Tujuhbintang Art Space. Wajah dua perempuan di atas kanvas itu sebenarnya cantik. Mata indah, hidung mancung dan bibir merah merekah dengan sederet gigi putih dan rapi. Namun, siapapun tak akan tahan menatapnya berlama-lama. Hanya beberapa detik menatap, kepala akan terasa pusing.
Wanita cantik yang membuat pusing itu karya Nurkholis, 39 tahun, berjudul Twin: Love Machine yang sedang dipamerkan di Tujuh Bintang Art Space Jl Sukonandi Yogyakarta. Nurkholis hanyalah satu dari 38 perupa yang menggelar pameran bareng bertajuk Indonesian Contemporary All Star 2008
Rasa pening itu akibat teknik optik yang diadopsi Nurkholis untuk menghasilkan karya lukisnya. Lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta 1994 dengan predikat cum laude itu, menggambar wajah dua wanita cantik yang berhadap-hadapan dengan masing-masing dua pasang mata dan dua mulut yang menganga. Hasil akhirnya, mirip sebuah foto yang dijepret dalam kondisi tidak stabil.
Pameran ini memberi satu pembelajaran kepada masyarakat. Sebab, selama ini, masyarakat terlalu banyak dipengaruhi oleh budaya dengar, baik untuk urusan politik maupun kenegaraan. Banyak rakyat yang tidak tahu siapa wakilnya di parlemen. "Yang mereka tahu hanyalah artis-artis cantik," jelas Nurkholis.
Budaya itu, kata Nurkholis, juga terjadi pada dunia senirupa Indonesia saat ini. Para kolektor berburu lukisan bukan karena pertimbangan kualitas karya, "Namun hanya sekadar mendengar pendapat orang lain bahwa karya si A bagus," ujarnya.
Dari 38 peserta pameran di Tujuh Bintang Art Space ini, sebagian besar karya dua dimensi. Hanya ada 11 karya tiga dimensi yang dipajang di galeri baru di kota Yogya ini. Satu diantara karya tiga dimensi yang menarik adalah, patung perunggu berjudul Kaki ke Langit karya Supar Madiyanto, 45 tahun.
Supar menghadirkan sepasang kaki setinggi mata kaki. Mulai dari pergelangan kaki, betis hingga paha diganti batang singkong tanpa daun. Dua batang singkong yang menjulang ke atas itu dihubungkan dengan tiga buah ranting dalam posisi horisontal yang diikat di kedua ujungnya. Detil karya itu diperoleh dari hasil cetakan batang singkong sungguhan.
Untuk memperoleh kesan tumbuh menjulang dari bawah ke atas, Supar sengaja menghadirkan batang singkong sungguhan. Sedangkan sepasang kaki adalah simbolisasi sesuatu yang selalu menginjak bumi. "Saya hanya ingin mengatakan bahwa sesuatu yang membumi itu bisa bertujuan ke atas," jelas Supar Madiayanto ihwal konsep karyanya.
Pameran pertama di Tujuh Bintang Art Space ini memajang karya-karya perupa yang sebagian besar tengah berkibar di jagad seni rupa Indonesia, seperti Entang Wiharso, Nyoman Sukari, Nasirun, S Teddy, Tisna Sanjaya, Ugo Untoro dan sebagainya.
Karya-karya yang dipajang di ruang pamer Tujuh Bintang Art Space sebenarnya tidak sepenuhnya mencerminkan selera pasar saat ini yang cenderung ke selera realis gaya Cina. "Banyak nama yang sebenarnya tidak cukup kuat di pasar ikut pada pameran ini,"
Sebaliknya, Kuss melihat pemilik galeri sebenarnya ingin menjadi transetter dunia seni rupa di Yogya. Pemilik tidak ingin terjebak pada tren seni rupa kontemporer gaya Cina. Itu sebabnya, lukisan bergaya abstrak seperti karya Widodo dan Hanafi serta lukisan bergaya realis karya Budi Ubrux, juga dihadirkan pada pameran ini.
Wanita cantik yang membuat pusing itu karya Nurkholis, 39 tahun, berjudul Twin: Love Machine yang sedang dipamerkan di Tujuh Bintang Art Space Jl Sukonandi Yogyakarta. Nurkholis hanyalah satu dari 38 perupa yang menggelar pameran bareng bertajuk Indonesian Contemporary All Star 2008
Rasa pening itu akibat teknik optik yang diadopsi Nurkholis untuk menghasilkan karya lukisnya. Lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta 1994 dengan predikat cum laude itu, menggambar wajah dua wanita cantik yang berhadap-hadapan dengan masing-masing dua pasang mata dan dua mulut yang menganga. Hasil akhirnya, mirip sebuah foto yang dijepret dalam kondisi tidak stabil.
Pameran ini memberi satu pembelajaran kepada masyarakat. Sebab, selama ini, masyarakat terlalu banyak dipengaruhi oleh budaya dengar, baik untuk urusan politik maupun kenegaraan. Banyak rakyat yang tidak tahu siapa wakilnya di parlemen. "Yang mereka tahu hanyalah artis-artis cantik," jelas Nurkholis.
Budaya itu, kata Nurkholis, juga terjadi pada dunia senirupa Indonesia saat ini. Para kolektor berburu lukisan bukan karena pertimbangan kualitas karya, "Namun hanya sekadar mendengar pendapat orang lain bahwa karya si A bagus," ujarnya.
Dari 38 peserta pameran di Tujuh Bintang Art Space ini, sebagian besar karya dua dimensi. Hanya ada 11 karya tiga dimensi yang dipajang di galeri baru di kota Yogya ini. Satu diantara karya tiga dimensi yang menarik adalah, patung perunggu berjudul Kaki ke Langit karya Supar Madiyanto, 45 tahun.
Supar menghadirkan sepasang kaki setinggi mata kaki. Mulai dari pergelangan kaki, betis hingga paha diganti batang singkong tanpa daun. Dua batang singkong yang menjulang ke atas itu dihubungkan dengan tiga buah ranting dalam posisi horisontal yang diikat di kedua ujungnya. Detil karya itu diperoleh dari hasil cetakan batang singkong sungguhan.
Untuk memperoleh kesan tumbuh menjulang dari bawah ke atas, Supar sengaja menghadirkan batang singkong sungguhan. Sedangkan sepasang kaki adalah simbolisasi sesuatu yang selalu menginjak bumi. "Saya hanya ingin mengatakan bahwa sesuatu yang membumi itu bisa bertujuan ke atas," jelas Supar Madiayanto ihwal konsep karyanya.
Pameran pertama di Tujuh Bintang Art Space ini memajang karya-karya perupa yang sebagian besar tengah berkibar di jagad seni rupa Indonesia, seperti Entang Wiharso, Nyoman Sukari, Nasirun, S Teddy, Tisna Sanjaya, Ugo Untoro dan sebagainya.
Karya-karya yang dipajang di ruang pamer Tujuh Bintang Art Space sebenarnya tidak sepenuhnya mencerminkan selera pasar saat ini yang cenderung ke selera realis gaya Cina. "Banyak nama yang sebenarnya tidak cukup kuat di pasar ikut pada pameran ini,"
Sebaliknya, Kuss melihat pemilik galeri sebenarnya ingin menjadi transetter dunia seni rupa di Yogya. Pemilik tidak ingin terjebak pada tren seni rupa kontemporer gaya Cina. Itu sebabnya, lukisan bergaya abstrak seperti karya Widodo dan Hanafi serta lukisan bergaya realis karya Budi Ubrux, juga dihadirkan pada pameran ini.