Majalah Gong
Posisi galeri dalam jagat seni rupa tak sekadar sebagai pemenuh kebutuhan ekonomi, tapi juga media pembelajaran kebudayaan. Bagaimana gagasan mengedepankan kualitas dengan tetap memikirkan pasar sekaligus?
Sebagai serambi kesenian, galeri adakalanya tidak beda dengan departement store. Eksistensinya diwarnai aktivitas jual-beli yang bermuara pada perhitungan untung rugi. Kendati pengetrapan sistem mencari ”laba” tidak dilakukan secara terang-terangan, namun tidak dipungkiri bila galeri adalah lahan perburuan uang yang cukup signifikan. Terbukti, tidak sedikit pelukis yang menjadi “kaya raya” akibat jaringan komersialisasi yang diciptakan galeri.
Namun demikian, lepas dari sifatnya yang kapitalistis, galeri pada dasarnya juga difungsikan sebagai ruang pembelajaran kebudayaan, di samping pembelajaran bidang pendidikan, sosial, politik, dan bidang ekonomi itu sendiri. Demi memahami fungsi galeri secara komprehensif, kiranya perlu mencermati pameran seni rupa yang digelar di galeri ”Tujuh Bintang Art Space” pada pertengahan Agustus silam.
Pameran yang diselenggarakan terkait dengan grand opening galeri tersebut tentunya tidak hanya ditujukan untuk menarik minat pembeli (kolektor), tapi juga dijadikan sarana membangun hubungan sosial, tempat mensosialisasikan karya seni yang ideal, ruang pencitraan identitas kebangsaan, serta ajang kajian seni yang apresiatif dan wadah aktualisasi seniman kreatif. Kenyataan ini membuktikan bahwa posisi galeri dalam jagat seni rupa tidak sekadar dijadikan pemenuh kebutuhan ekonomi, tapi juga media pembelajaran kebudayaan yang cukup penting.
Ruang Kebudayaan
Saat memasuki ruang galeri “Tujuh Bintang Art Space”, imajinasi seperti langsung digiring masuk ke dalam lorong kebudayaan nan luas dan dalam. Di mana seluruh lukisan yang dipamerkan, di antaranya karya Nasirun (mengusung tema dekoratif ekspresif) berjudul “Hiasan Pitulasan” (300 cmx200cm, oil on canvas), Gusti Alit Cakra (abstrak) berjudul “Tragedi Tanah yang Hilang” (150cmx180cm, oil, mix media on canvas), Susilo budi Purwanto berjudul “Rock n Roll Hard” (120cmx140cm, acrylic on canvas), Nurcholis,“V Twin Love Machine No.3” (30cmx145cmx2 panel, oil, acrylic on canvas), Koko P, Sancoko “Bunga #16” (150cmx150cm, oil, acrylic, pencil on canvas) dan lain-lain, tidak hanya sekedar menawarkan nilai-nilai estetis, tapi juga nilai-nilai semiotis. Karena, di balik keindahan karya rupa tersebut, secara subtansial mewacanakan nilai-nilai kebudayaan tidak hanya untuk kepentingan owner, seniman, pengamat seni maupun kolektor, tapi juga kepentingan masyarakat universal.
Artinya, melalui media lukisan, baik owner, seniman maupun pemilik modal tidak hanya mendapatkan keuntungan ekonomi, tetapi juga bisa memperluas jaringan kerja, tidak hanya dalam lingkup lokal dan nasional, tapi juga jaringan seni internasional. Sementara seniman, melalui galeri bisa mensosialisasikan karyanya pada masyarakat, dan sebaliknya juga, masyarakat akan mendapatkan informasi mengenai eksistensi seniman-seniman Indonesia sekaligus mengetahui perkembangan dan potensi seni budaya bangsanya. Inilah kira-kira yang penting dipahami terkait fungsi galeri yang tidak sekadar ruang “jualan” berhias sapuan cat warna-warni membentuk model, tekstur dan gaya. Lebih dari itu, juga merupakan sarana membangun hubungan sosial tidak hanya antara perupa dengan perupa, perupa dengan pemilik galeri, perupa dengan kolektor, perupa dengan pengamat seni, maupun perupa dengan masyarakat umum, tapi juga antara perupa dengan masyarakat seni dunia.
Bertolak dari hal tersebut, apa yang disampaikan oleh Saptoadi Nugroho menjadi penting. Bahwa, keberadaan galeri sebagai ruang kebudayaan tidak terbatas untuk kepentingan elemen-elemen yang berkaitan langsung dengan galeri. Tapi juga elemen-elemen lain yang berada di luar galeri, misalnya jaringan seni luar negeri. Oleh karena itu, maka yang penting dilakukan adalah menciptakan jaringan kerja, salah satunya lewat internet. Hal ini untuk mengantisipasi putusnya hubungan komunikasi antara seniman dengan jaringan luar negeri lantaran, tidak semua para perupa memiliki akses langsung. Ini cukup menarik, karena sangat memungkinkan semua negara, khususnya negara Eropa bisa menyaksikan buah karya para perupa Indonesia yang juga dikenal memiliki kapabelitas lumayan. “Jaringan antarseniman tentunya akan berdampak pada penciptaan citra Indonesia yang juga dikenal memiliki maestro seni rupa kelas dunia. Tentun saja, selain menjanjikan keuntungan finansial, hal ini akan menciptakan image positif mengenai eksistensi pelukis-pelukis dalam negeri,” kata Direktur Utama galeri “Tujuh Bintang Art Space” ini saat ditemui di ruang galeri yang penuh sesak pengunjung.
Tak Sekadar Menjual
Menilik peran galeri dan keberadaan lukisan yang dipamerkan, sebagaimana dipaparkan di atas, maka yang terpenting adalah tetap mempertahankan idealisme. Ibarat orang berjualan, barang yang dijual sebisa mungkin harus berkualitas dan memiliki daya jual. Karena hal tersebut bisa menciptakan brand dan gengsi, tidak hanya pada galeri tapi juga seniman yang terlibat. Maka, demi mencapai gagasan itu yang penting dilakukan adalah tetap memikirkan pasar sekaligus juga mengedepankan kwalitas.
Lantaran pemikiran tersebut, dalam memilih lukisan “Tujuh Bintang Art Space” tidak membatasi karya seni tertentu. Semua aliran bebas terlibat sepanjang tetap mengikuti aturan kuratorial. Sebagaimana yang disampaikan Kuss Indarto, bahwa sesungguhnya tidak ada yang khusus dari pameran tersebut. Karena semua karya, (tidak terkecuali yang beraliran realis) boleh ambil bagian dalam setiap pameran. Hanya saja, kurator akan tetap selektif memilih karya yang akan disertakan dalam pameran. Antara lain, track record perupa yang dilibatkan sedikitnya sudah mendapat pengakuan baik secara lokal, nasional, bahkan internasional. Demikian juga dengan karya yang akan dipamerkan, setidaknya harus memiliki visi ke depan, terutama tawaran kreativitasnya harus inovatif. “Lihat saja, karya-karya yang dipamerkan sesungguhnya berasal dari segala genre. Namun demikian yang diutamakan dalam pameran ini bukan semata-semata alirannya, tapi yang lebih penting adalah wacana yang dibangun para perupa,” ujar Kus Indarto di tengah-tengah perhelatan yang juga diramaikan oleh gelaran musik oleh komunitas Malioboro.
Apa yang disampaikan Kuss Indarto, secara implisit menegaskan bahwa dalam mengelola sebuah galeri yang lebih diutamakan sebaiknya kwalitas. Mengingat peran galeri tidak sekadar dijadikan arena “jual” lukisan, melainkan juga ajang mewacanakan nilai-nilai kebudayaan. Maka karya yang dipamerkan sebaikanya tetap menawarkan nilai-nilai karya seni yang appreciated dan qualified. Kalau tidak tentu akan mempersempit daya kreativitas seniman dan membatasi ruang gerak kebudayaan.
Namun demikian, lepas dari sifatnya yang kapitalistis, galeri pada dasarnya juga difungsikan sebagai ruang pembelajaran kebudayaan, di samping pembelajaran bidang pendidikan, sosial, politik, dan bidang ekonomi itu sendiri. Demi memahami fungsi galeri secara komprehensif, kiranya perlu mencermati pameran seni rupa yang digelar di galeri ”Tujuh Bintang Art Space” pada pertengahan Agustus silam.
Pameran yang diselenggarakan terkait dengan grand opening galeri tersebut tentunya tidak hanya ditujukan untuk menarik minat pembeli (kolektor), tapi juga dijadikan sarana membangun hubungan sosial, tempat mensosialisasikan karya seni yang ideal, ruang pencitraan identitas kebangsaan, serta ajang kajian seni yang apresiatif dan wadah aktualisasi seniman kreatif. Kenyataan ini membuktikan bahwa posisi galeri dalam jagat seni rupa tidak sekadar dijadikan pemenuh kebutuhan ekonomi, tapi juga media pembelajaran kebudayaan yang cukup penting.
Ruang Kebudayaan
Saat memasuki ruang galeri “Tujuh Bintang Art Space”, imajinasi seperti langsung digiring masuk ke dalam lorong kebudayaan nan luas dan dalam. Di mana seluruh lukisan yang dipamerkan, di antaranya karya Nasirun (mengusung tema dekoratif ekspresif) berjudul “Hiasan Pitulasan” (300 cmx200cm, oil on canvas), Gusti Alit Cakra (abstrak) berjudul “Tragedi Tanah yang Hilang” (150cmx180cm, oil, mix media on canvas), Susilo budi Purwanto berjudul “Rock n Roll Hard” (120cmx140cm, acrylic on canvas), Nurcholis,“V Twin Love Machine No.3” (30cmx145cmx2 panel, oil, acrylic on canvas), Koko P, Sancoko “Bunga #16” (150cmx150cm, oil, acrylic, pencil on canvas) dan lain-lain, tidak hanya sekedar menawarkan nilai-nilai estetis, tapi juga nilai-nilai semiotis. Karena, di balik keindahan karya rupa tersebut, secara subtansial mewacanakan nilai-nilai kebudayaan tidak hanya untuk kepentingan owner, seniman, pengamat seni maupun kolektor, tapi juga kepentingan masyarakat universal.
Artinya, melalui media lukisan, baik owner, seniman maupun pemilik modal tidak hanya mendapatkan keuntungan ekonomi, tetapi juga bisa memperluas jaringan kerja, tidak hanya dalam lingkup lokal dan nasional, tapi juga jaringan seni internasional. Sementara seniman, melalui galeri bisa mensosialisasikan karyanya pada masyarakat, dan sebaliknya juga, masyarakat akan mendapatkan informasi mengenai eksistensi seniman-seniman Indonesia sekaligus mengetahui perkembangan dan potensi seni budaya bangsanya. Inilah kira-kira yang penting dipahami terkait fungsi galeri yang tidak sekadar ruang “jualan” berhias sapuan cat warna-warni membentuk model, tekstur dan gaya. Lebih dari itu, juga merupakan sarana membangun hubungan sosial tidak hanya antara perupa dengan perupa, perupa dengan pemilik galeri, perupa dengan kolektor, perupa dengan pengamat seni, maupun perupa dengan masyarakat umum, tapi juga antara perupa dengan masyarakat seni dunia.
Bertolak dari hal tersebut, apa yang disampaikan oleh Saptoadi Nugroho menjadi penting. Bahwa, keberadaan galeri sebagai ruang kebudayaan tidak terbatas untuk kepentingan elemen-elemen yang berkaitan langsung dengan galeri. Tapi juga elemen-elemen lain yang berada di luar galeri, misalnya jaringan seni luar negeri. Oleh karena itu, maka yang penting dilakukan adalah menciptakan jaringan kerja, salah satunya lewat internet. Hal ini untuk mengantisipasi putusnya hubungan komunikasi antara seniman dengan jaringan luar negeri lantaran, tidak semua para perupa memiliki akses langsung. Ini cukup menarik, karena sangat memungkinkan semua negara, khususnya negara Eropa bisa menyaksikan buah karya para perupa Indonesia yang juga dikenal memiliki kapabelitas lumayan. “Jaringan antarseniman tentunya akan berdampak pada penciptaan citra Indonesia yang juga dikenal memiliki maestro seni rupa kelas dunia. Tentun saja, selain menjanjikan keuntungan finansial, hal ini akan menciptakan image positif mengenai eksistensi pelukis-pelukis dalam negeri,” kata Direktur Utama galeri “Tujuh Bintang Art Space” ini saat ditemui di ruang galeri yang penuh sesak pengunjung.
Tak Sekadar Menjual
Menilik peran galeri dan keberadaan lukisan yang dipamerkan, sebagaimana dipaparkan di atas, maka yang terpenting adalah tetap mempertahankan idealisme. Ibarat orang berjualan, barang yang dijual sebisa mungkin harus berkualitas dan memiliki daya jual. Karena hal tersebut bisa menciptakan brand dan gengsi, tidak hanya pada galeri tapi juga seniman yang terlibat. Maka, demi mencapai gagasan itu yang penting dilakukan adalah tetap memikirkan pasar sekaligus juga mengedepankan kwalitas.
Lantaran pemikiran tersebut, dalam memilih lukisan “Tujuh Bintang Art Space” tidak membatasi karya seni tertentu. Semua aliran bebas terlibat sepanjang tetap mengikuti aturan kuratorial. Sebagaimana yang disampaikan Kuss Indarto, bahwa sesungguhnya tidak ada yang khusus dari pameran tersebut. Karena semua karya, (tidak terkecuali yang beraliran realis) boleh ambil bagian dalam setiap pameran. Hanya saja, kurator akan tetap selektif memilih karya yang akan disertakan dalam pameran. Antara lain, track record perupa yang dilibatkan sedikitnya sudah mendapat pengakuan baik secara lokal, nasional, bahkan internasional. Demikian juga dengan karya yang akan dipamerkan, setidaknya harus memiliki visi ke depan, terutama tawaran kreativitasnya harus inovatif. “Lihat saja, karya-karya yang dipamerkan sesungguhnya berasal dari segala genre. Namun demikian yang diutamakan dalam pameran ini bukan semata-semata alirannya, tapi yang lebih penting adalah wacana yang dibangun para perupa,” ujar Kus Indarto di tengah-tengah perhelatan yang juga diramaikan oleh gelaran musik oleh komunitas Malioboro.
Apa yang disampaikan Kuss Indarto, secara implisit menegaskan bahwa dalam mengelola sebuah galeri yang lebih diutamakan sebaiknya kwalitas. Mengingat peran galeri tidak sekadar dijadikan arena “jual” lukisan, melainkan juga ajang mewacanakan nilai-nilai kebudayaan. Maka karya yang dipamerkan sebaikanya tetap menawarkan nilai-nilai karya seni yang appreciated dan qualified. Kalau tidak tentu akan mempersempit daya kreativitas seniman dan membatasi ruang gerak kebudayaan.