Showing posts with label Media. Show all posts
Showing posts with label Media. Show all posts

Monday, August 9, 2010

28 Seniman Pameran di Yogyakarta

Oleh: Herry Suhendra
Bisnis Indonesia

JAKARTA: Sebanyak 28 seniman dari berbagai kota di Indonesia mengadakan pameran bersama di Tujuh Bintang Art Space Yogyakarta bertema Let's Fly an Arrow (Ayo Lepaskan Anak Panah) pada 7 Agustus - 21 Agustus.

Secara harafiah, anak panah merupakan senjata untuk mencapai sasaran, berisi semangat dan kemampuan diri sang pemburu. Dalam memanah, jika pikiran tidak fokus, perasaan tidak seirama dengan tangan, anak panah dan busur, maka hasilnya tidak akan maksimal untuk mencapai sasaran buruan yang diinginkan.

"Begitu pula dengan berkarya, keredupan motivasi untuk menghasilkan karya yang ideal dan ekspresif, memerlukan semangat, keseimbangan berfikir yang fokus dan penggodogan ide yang matang. Melalui tema ini diharapkan hadirnya inspirasi bagi para perupa untuk melakukan tindakan penuh semangat dan memacu mereka untuk melakukan hal baru dalam karyanya," kata pengelola Tujuh Bintang Art Space Saptoadi Nugroho kepada Bisnis, hari ini.

Kurator Neto Sawiji mengatakan bahwa tema ini memberikan inspirasi bagi seseorang untuk melakukan tindakan revolusioner dan memacu untuk melakukan hal baru dalam hidupnya. Kesadaran ini dapat diaktualisasikan ketika seseorang persis berada di ujung keraguan bahkan keputusasaan, atau ketika seseorang berada pada puncak optimistis membangun segenap obsesinya.

"Nilai penting dari kesadaran intu semua mengarah pada situasi bagaimana sebuah mimpi diubah ke dalam pengelolaan [skill] untuk memanifestasikan segenap mimpi menjadi kenyataan," kata Neto Sawiji.

Dalam pameran itu para perupa muda asal Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Malang dan Bali akan membuktikan kekuatan karyanya dalam merepresentasikan gagasan kebaruannya masing-masing.

Ruang pameran ini diharapkan menjadi laboratorium sementara untuk menunjukkan bagaimana gejala perubahan kreatif tetap signifikan menyerap berbagai perubahan, pembaruan, dan perkembangan sebagai suatu sikap revolusioner. Para perupa dalam pameran ini dapat menjumput spirit yang mampu mengubah persepsi dan melakukan provokasi kreatif, sehingga semakin melesatkan gagasan kreatif layaknya anak panah yang melesat dari busurnya ke puncak pencapaian tertinggi.(er)


Friday, May 14, 2010

24 Perupa muda tampilkan karya baru

Oleh: Herry Suhendra
JAKARTA (Bisnis.Com): Sebanyak 24 perupa muda hasil saringan kompetisi ‘Tujuh Bintang Art Award’ menampilkan karya terbarunya dalam pameran bertajuk ‘Homage’ mulai malam ini sampai 23 Mei 2010 di Tujuh Bintang Art Space.

Ke-24 perupa itu hasil seleksi dari sekitar 1.500 peserta award yang sebelumnya dipilih 56 seniman. “Di mana ke-56 seniman ini kami bagi menjadi dua grup, dan grup pertama (yang terdiri dari 24 seniman) karyanya dipamerkan,” kata Direktur Utama Tujuh Bintang Art Space Saptoadi Nugroho hari ini kepada Bisnis.Com.

Sebanyak 32 karya seniman lainnya akan dipamerkan pada Juli 2010. Seniman yang mengikuti pameran ‘Homage’ ini banyak mengalami perubahan, baik peryubahan secara ide, gagasan maupun secara teknis.

Menurut Saptoadi, seniman kadang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menentukan pilihan,pilihan ide apa dan pilihan teknis apa yang bisa menmcapai gagasan yang didapat dan bisa membuahkan hasil yang maksimal, sehingga menjadi wacana bagi pameran dan seniman itu sendiri.

Di dalam pameran grup ini terkesan ada sebuah konmpetisi kecil yang sedang berlangsung, masing-masing seniman mempunyai kekuatan tersendiri. Satu atau beberapa karya banyak menjadi perhatian pencinta seni, menjadi bahan perbincangan dan diskusi dalam pameran ini.

Pameran seni rupa ini bertema “Homage” yang mempunyai makna sikap penghormatan terhadap berbagai aspek dalam proses pencapaian nilai-nilai puncak yang sampai saat ini sedang atau bahkan tetap diacu.

Rusnoto Susanto, salah seorang kurator pameran mengatakan “Homage” adalah bentuk persembahan dari Tujuh Bintang Art Space terhadap perkembangan perupa-perupa yang telah menjadi nominator dimana saat ini mereka telah melakukan perubahan signifikan terhadap kapasitas penciptaan seni rupa mereka.(msb)

Thursday, May 13, 2010

Penghormatan Atas Capaian Ideologi Estetik Perupa Muda

Sebanyak 24 karya dari 24 seniman yang berhasil menjadi bagian dari 56 seniman yang masuk dalam nominator kompetisi Tujuh Bintang Art Award 2009 dipamerkan pihak penyelenggara di ruang pamer tujuh bintang art space.

Pameran seni rupa ini bertema “Homage” yang mempunyai makna sikap penghormatan terhadap berbagai aspek dalam proses pencapaian nilai-nilai puncak yang sampai saat ini sedang atau bahkan tetap diacu.

Rusnoto Susanto, salah satu kurator pameran mengatakan “Homage” adalah bentuk persembahan dari Tujuh Bintang Art Space terhadap perkembangan perupa-perupa yang telah menjadi nominator dimana saat ini mereka telah melakukan perubahan signifikan terhadap kapasitas penciptaan seni rupa mereka.

“Tujuh Bintang Art Space begitu konsen pada perupa-perupa muda sehingga tidak pernah memilih-milih mana perupa yang sudah layak atau belum layak untuk ditampilkan.” kata Rusnoto yang juga menjadi salah satu dewan juri kompetisi Tujuh Bintang Art Space Award.

Pameran “Homage” ini, dijelaskan Direktur Utama Tujuh Bintang Art Space Saptoadi Nugroho adalah pameran sebagai kelanjutan dari kegiatan Tujuh Bintang Award yang telah dilaksanakan 18 Agustus 2009 lalu.

56 perupa yang masuk dalam nominator kompetisi Tujuh Bintang Art Award adalah hasil seleksi yang dipilih dari kurang lebih 1500 peserta yang mengikuti kompetisi ini. 56 nominator ini telah melewati seleksi dari dewan juri yang berkualitas seperti Suwarno Wisetrotomo, Kuss Indarto, Netok Sawiji_Rusnoto Susanto, Sujud Dartanto serta Mikke Susanto.

Rusnoto Susanto dalam catatan pamerannya memaknai “Homage”sebagai penghargaan atau penghormatan terhadap subyek-subyek tertentu yang dinilai memiliki kapasitas khusus semisal tokoh, peristiwa, era atau penanda periodisasi maupun simbil-simbol tertentu yang muncul mengambil posisi penting.

Secara jelas bisa diketahui “Homage” hendak memunculkan berbagai pemikiran-pemikiran segar dari perupa peserta pameran dalam mendedikasikan proses perenungan, pemikiran dan olah kreatifnya sebagai representasi penghormatan nilai serta ideologi estetika yang diperjuangkan.

Berbagai artikulasi visual yang hadir dalam pameran “Homage” ini, menurut Netok Sawiji, tentu tidak secara permukaan diinterpretasi, namun mesti dicermati sebagai wujud persembahan nilai-nilai estetika untuk avant garde seni rupa tanah air.

“Ini selayaknya memberikan penghormatan kepada maestro-maestro kita yang telah memperjuangkan dan menegaskan kembali ideologi estetika sejak masa perjuangan, revolusi, kemerdekaan hingga seni rupa kontemporer akhir-akhir ini…,” demikian Netok Sawiji.

“Homage” sekaligus juga memberi pengingat kepada kita yang sering kali luput menyampaikan apresiasi tertentu terhadap pencapaian-pencapaian puncak orang lain apalagi rival kita.

Secara umum, peserta pameran “Homage” memiliki kapasitas konsep dan kemampuan teknik artistik sangat memadai. Eksplorasi media, teknik, visual serta eksplorasi estetiknya mencukupi nilai yang hendak diperjuangkan.

Peserta pameran menggunakan berbagai pencapaian kapasitasn kreatifnya melalui media dua dimensi, tiga dimensi, variable media serta multi media dengan tingkat eksplorasi luar biasa guna membuka berbagai nilai kemungkinan.

Netok Sawiji mengamai para perupa dalam pameran “Homage” lebih dominan menampilkan gagasan dengan penggunaan bahasa visual realistik meski hanya dalam prosentase kecil saja yang memposisikan pada realistik yang non representasi obyek.

Citra realistik yang paling mudah dilihat adalah upaya setiap perupa masuk ke ranah seni rupa kontemporer dengan citra representasi visual maupun kekuatan-kekuatan gagasan yang mendasari olah kreatifnya.

Dalam bahasa promosi yang ditulis Netok, karya-karya ini telah mengindikasikan perubahan peta perkembangan seni rupa kontemporer hari ini, paling tidak ini cukup representatif untuk mengetahui laju perkembangan dan prediksi wacana seni rupa mendatang.

Setelah 24 karya dari 24 perupa yang masuk dalam nominator Tujuh Bintang Art Award, pada 24 Juli 2010 mendatang giliran 32 perupa yang masuk dalam 56 nominator memamerkan karyanya. Dan tentunya akan semakin banyak lagi upaya menggali ideologi estetika dari para perupa yang akan dipamerkan pihak Tujuh Bintang Art Space dalam rangka memberikan penghormatan terhadap dunia seni rupa. (The Real Jogja/joe)

Wednesday, May 12, 2010

Nominator Tujuh Bintang Art Space Unjuk Gigi Dalam 'Homage'

YOGYA (KRjogja.com) - Sebanyak 24 karya dari 24 seniman yang berhasil menjadi bagian dari 56 seniman nominator kompetisi Tujuh Bintang Art Award 2009 dipamerkan pihak penyelenggara di ruang pamer tujuh bintang art space. Pameran yang bertema “Homage” ini digelar sejak 8 hingga 23 Mei 2010 di Tujuh Bintang Art Space Jalan Sukonandi Yogyakarta.

Salah satu kurator pameran ini, Rusnoto Susanto mengatakan “Homage” adalah bentuk persembahan dari Tujuh Bintang Art Space terhadap perkembangan perupa-perupa yang telah menjadi nominator, karena saat ini mereka telah melakukan perubahan signifikan terhadap kapasitas penciptaan seni rupa mereka. Pemeran ini juga dilakukan sebagai sikap penghormatan terhadap berbagai aspek dalam proses pencapaian nilai-nilai puncak yang sampai saat ini sedang atau bahkan tetap diacu.

“Tujuh Bintang Art Space begitu konsen pada perupa-perupa muda sehingga tidak pernah memilih-milih mana perupa yang sudah layak atau belum layak untuk ditampilkan.” kata Rusnoto yang juga menjadi salah satu dewan juri kompetisi Tujuh Bintang Art Space Award, Selasa (11/5)

Direktur Utama Tujuh Bintang Art Space, Saptoadi Nugroho mengatakan pameran sebagai kelanjutan dari kegiatan Tujuh Bintang Award yang telah dilaksanakan 18 Agustus 2009 lalu.

Dikatakan Saptoadi bahwa 56 perupa yang masuk dalam nominator kompetisi Tujuh Bintang Art Award adalah hasil seleksi yang dipilih dari kurang lebih 1500 peserta yang mengikuti kompetisi ini. 56 nominator ini telah melewati seleksi dari dewan juri yang berkualitas seperti Suwarno Wisetrotomo, Kuss Indarto, Netok Sawiji, Rusnoto Susanto, Sujud Dartanto serta Mikke Susanto.

Para perupa yang berpameran adalah Achamd Basuki, Agung Santosa, Cipto Purnomo, Danny Irawan, Erianto, Ferry Gabriel, Hasto Edi Setiawan, I Kadek Agus Ardika, I Wayan Upadana, Khusna Hardiyanto, M.Wira Purnama, Miranti Minggar Triliani, Nawir MC Pitt, Nugroho Wiyatmojo, Rocka Radipa, Ronald Efendi, Roni Ammer, Rudi Hendriatmo, Wibawa Adi Utama dan Yudi Irawan

Setelah 24 karya dari 24 perupa yang masuk dalam nominator Tujuh Bintang Art Award, pada 24 Juli 2010 mendatang giliran 32 perupa yang masuk dalam 56 nominator memamerkan karyanya. Dan tentunya akan semakin banyak lagi upaya menggali ideologi estetika dari para perupa yang akan dipamerkan pihak Tujuh Bintang Art Space dalam rangka memberikan penghormatan terhadap dunia seni rupa. (Fir)

Saturday, April 24, 2010

‘MERINGKUS WAKTU’ ;Kejutan Ide Kreatif dan Variatif Katirin

PAMERAN seni rupa tunggal bertajuk ‘Meringkus Waktu’ karya perupa Katirin di Tujuh Bintang Art Space Jalan Sukonandi 7 Yogya, dibuka Kepala Taman Budaya Yogyakarta, Dra Dyan Anggraini Rais, Sabtu (17/4) malam.

Eloknya, sejumlah lukisan karya Katirin malam itu langsung laku dibeli 8 kolektor lukisan.

Salah satu kolektor lukisan, Dr Oei Hong Djien, setelah mengamati karya Katirin secara spontan langsung pesan lukisan berjudul ‘Waiting for Your Love’ ukuran 120 X 145 cm, bahan cat acrylic dan kanvas dibuat 2009. Pameran seni rupa ‘Meringkus Waktu’ bertema menunggu memajang puluhan lukisan dan patung kayu masih berlangsung hingga 2 Mei 2010 mendatang. Di antaranya, berjudul ‘Waiting #1’,’Waiting #2’, ‘Waiting #3’, ‘Waiting for The President Call’, ‘The Legend’ dan lukisan lainnya.

Dr Oi Hong Djien mengungkapkan, lukisan karya Katirin yang dipajang luar bisa kejutan dan ada kemajuan mulai dari gagasan, konsep hingga teknik divisualkan karyanya kreatif dan variatif. ”Salah satunya, lukisan ‘Waiting for Your Love’ sangat bagus dan tanpa pikir panjang langsung kupesan untuk dikoleksi di museumku. Aku melihat pameran seni rupa tunggal karya Katirin sangat bagus layak diapresiasi,” tandas Oi Hong Djien.

Katirin mengisahkan, puluhan lukisan yang digelar semua karya terbaru dikerjakan tahun 2009 dan 2010. Dr Oi Hong Djien mengoleksi 1 lukisan kali pertama tahun 2004. ”Kini, dalam momentum saya pameran tunggal kembali mengoleksi 1 lukisan. Tentu saja, aku senang pameran lukisan tunggal mendapat respons positif dan laku dikoleksi kolektor. Termasuk, Dr Oi Hong Djien tergoda mengoleksi lukisan karyaku lagi,” kata Katirin. (Cil)-s

dari Harian Kedaulatan Rakyat

Perburuan Hong Djien berlanjut...

JOGJA: Setelah gagal membeli karya-karya yang dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta, kolektor seni, Oei Hong Djien, melangkah ke Tujuh Bintang Art Space Gallery. Di sana dirinya menemukan sebuah karya milik Katirin berjudul Waiting for Your Love.

“Wah, ini harus masuk museum lukisan saya. Benar-benar Katirin sudah berubah, karyanya semakin menarik saja. Saya beli yang ini ya,” tiru Katirin mengulang percakapannya dengan Oei Hong Djien saat pembukaan pameran lukisan Meringkus Waktu karya Katirin di Tujuh Bintang Art Space Gallery, Senin (19/4).

Bagi Katirin tentu hal ini menjadi kebanggaan tersendiri. Bukan sekadar terjual namun lebih dari itu, Oei Hong Djien ternyata memuji karyakarya terakhirnya ini. Karya bertajuk Waiting for Your Love ini melukisn seorang perempuan yang menunggu dan duduk di atas kursi. Lamanya menunggu hingga kaki perempuan itu menyatu dengan kaki kursi.

Sebenarnya karya yang dipamerkan oleh Katirin di galeri ini bercerita tentang aktivitas menunggu. Di sana terlukiskan kemunculan hasrat untuk meringkus sang waktu, ingin mempercepat laju atau mempelambatnya.

“Semuanya berhubungan dengan waktu. Namun saya menvisualkan dalam pose-pose figur pencitraan seseorang dalam posisi menunggu,” ungkap Katirin.

Seperti halnya lukisannya yang bertajuk Waiting I sesosok dalam pose duduk, tangan kanannya memegang sebatang rokok. Sedangkan kepalanya sudah bermetamorfosa menjadi jendela kayu, tampak kuno dengan cat yang mengelupas. Bahkan jerujinya sebagian lepas dan berlubang.

Sedikit berbeda dengan karya Waiting III. Di sini digambarkan sesosok perempuan, yang dibagian kepalanya berbentuk arloji. Dia duduk berbalut baju terusan kekuningan yang sedang duduk di bangku panjang berwarna merah. Sesosok ini duduk di ujung bangku paling kanan, sementara bangku kiri seperti tak berujung.

Bahkan Katirin mencoba mengeksplorasi sebuah tema yang tak mungkin terjadi berjudul Waiting for The President Call. Di sana digambarkan seorang perempuan yang sedang duduk di atas kursi merah. Sedangkan kepala perempuan itu telah berganti wujud menjadi sebuah telepon berwarna hitam.

Pameran yang rencananya akan berakhir pada Minggu (2/5) ini menyuguhkan sekitar 20 karya Katirin. “Untuk saat ini yang sudah laku ada 7 lukisan,” ujar Katirin.

Oleh Joko Nugroho
HARIANJOGJA

Meringkus Waktu, Pameran Rangkaian Pergulatan Hidup

Kapanlagi.com - Seniman Katirin menampilkan 26 karyanya dalam pameran tunggal bertajuk "Meringkus Waktu" yang menggambarkan rangkaian pergulatan hidup manusia sepanjang waktu.

"Ke-26 karya yang saya pamerkan hingga 2 Mei 2010 itu terdiri atas 20 lukisan dan enam karya tiga dimensi," kata Katirin di sela pameran `Meringkus Waktu` di Tujuh Bintang Art Space Yogyakarta, Selasa.

Ia mengatakan dirinya mencoba untuk menuangkan pergulatan hidup manusia ke dalam lukisan dengan tetap membiarkan sebagian di antaranya terbungkus dalam misteri kehidupan.

"Dengan latar belakang itu saya mencoba memberikan kekuatan dan tenaga pada objek lewat sapuan, warna, garis, tekstur, serta goresan. Selanjutnya, membiarkan karya-karya tersebut `berbicara` sendiri," katanya.

Hal itu, menurut dia berangkat dari hidup yang tidak pernah terdefinisikan dan selalu lepas dari genggaman pemahaman serta penuh misteri.

Ia mengatakan pemahaman kata terhadap objek adalah perjalanannya dalam "diam", sehingga sepanjang itu dirinya seperti sedang menelusuri mata dan lekukan batin sendiri.

"Semua itu untuk menangkap makna yang hanya bisa digapai dengan mengembangkan segenap rasa simpati, dan melibatkan diri dengan seluruh emosi," katanya.

Menurut dia, realita tidak pernah "telanjang", dan selalu terbingkai oleh narasi yang rumit dan panjang, sehingga perlu diterjemahkan melalui visualisasi dalam bentuk lukisan serta karya tiga dimensi.

"Oleh karena itu, menolak setiap ilusi yang mengaku telah memindahkan seluruh realita ke dalam visualisasi akan membuat realita tidak pernah nyata, dan hanya samar-samar," katanya. (ant/npy)

Friday, April 23, 2010

Ekspresi Melalui Kayu

JOGJA: Perupa asal Jogja, Katirin, mencoba mendefi nisikan kehidupan yang penuh misteri pada karyakaryanya yang dipajang di Tujuh Bintang Art Space dalam pameran tunggal bertajuk Meringkus Waktu hingga 2 Mei mendatang.

Dalam pameran ini, Katirin menghadirkan 20 lukisan dan enam karya tiga dimensi berupa patung dari kayu bekas. Karya-karya Katirin ini menggambarkan aktivitas yang berdimensi sosial sekaligus spiritual.

Beliau mewujudkan manusia kayu yang sedang menunggu sambil bisa duduk, berdiri, atau mondar-mandir namun mengeluarkan banyak perasaan, mulai dari marah, jengkel, hingga frustrasi.

“Sebenarnya karya ini adalah karya setelah saya stagnan setahun lalu. Saya biasanya mengeksplorasi bentuk tubuh saja,” ungkap Katirin di Tujuh Bintang Art Space, Jalan Sukonandi No.7 Jogja, Senin (19/4).

Sebagai seorang ekspresionis, Katirin mengaku untuk menggarap satu karya hanya dibutuhkan waktu dua hari. Sedangkan yang lama adalah mengendapkan sebuah objek dalam batin dan pikirannya.

“Untuk sapuan, warna, garis, tekstur dan goresan mungkin hanya butuh dua hari, yang lama mengendapkan obyek dalam otak dan batin ini. Teknik bagi saya hanya pendukung karena sifatnya eksploratif saja. Dan, selebihnya membiarkan karya-karyanya berbicara sendiri,” ungkapnya.

Karya-karya Katirin yang terbaru dalam pameran kali ini, mengungkapkan perihal ‘menunggu’. Yang segera bisa ditangkap dari gejala visualnya adalah pose-pose atau gestur fi gur (simbolis) yang mencitrakan posisi menunggu.

Ia juga melakukan eksplorasi material, tak hanya dengan cat dan kanvas, tetapi juga menggunakan kertas untuk menghasilkan tekstur, dan menggunakan kayu-kayu bekas untuk menggubah patung.

Di sini dia tak hanya menyuguhkan tema menunggu, namun juga sebaliknya. Sepert dalam karya berjudul Go Home. Gambar seorang tengah pulang (mengayuh sampan) ingin segera menemui sesosok sedang berpose teronggok di balkon rumah.

Kesenangan yang meluap dihadirkan Katirin dalam karyanya Have Fun Go Mad. Ekspresi kehidupan malam antara dua pemuda dan tiga pemudi yang terlihat sedang menikmati pesta pora. Kegembiraan lebih lanjut terlihat dalam Building Memory yang memuat dua orang lawan jenis tengah berciuman.

Mereka memegang sebuah penggaris lipat yang berbentuk rumah. Seolah mereka sedang membicarakan merajut mimpi, membangun sarang tempat menampung segala ingatan.(jon)

dari Harian Jogja

Saturday, April 3, 2010

Menikmati Setan Berkepala Kelinci

TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Masa lalu yang hitam kelam tak selamanya terekspresikan secara buram. Perupa Oky Rey Montha Bukit alias Kyre, 24 tahun, mengungkap kisah getir masa lalunya justru dalam bentuk lukisan bergaya komikal dengan warna-warna cerah. Ekspresi kemarahannya dipersonifikasikan ke dalam figur kelinci yang lucu.

“Setan-setan Berkepala Kelinci” karya Kyre ini bisa disaksikan dalam pameran tunggalnya bertajuk Evorah (Evil of Rabbit Head) di Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta, mulai besok hingga 13 April mendatang. Tak hanya menampilkan belasan karya dua dimensi, Kyre juga menghadirkan karya tiga dimensi berupa kereta-kereta terbang bertanduk yang acap muncul dalam lukisan-lukisannya.

Mahasiswa semester VIII jurusan Desain Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, ini memang punya masa lalu yang kelam pada masa kanak-kanak saat masih tinggal bersama orangtuanya di Sumatera Utara. Sebagai anak sulung, ia harus kehilangan masa kanak-kanaknya untuk mengurus dua adiknya. Waktunya hampir habis untuk mengurusi kelinci, hewan piaraan adik-adiknya.

Tak hanya kehilangan masa kanak-kanak, Kyre juga sering mengalami kekerasan fisik. “Susah diceritakan sejauh mana kisah getir masa lalu saya. Yang jelas, sudah dalam bentuk (kekerasan) fisik,” katanya kepada Tempo.

Toh Kyre tak mau masa lalunya yang kelam itu muncul kembali ke atas kanvas. Pada karyanya yang berjudul Trip of Trap, misalnya, Kyre menghadirkan “setan berkepala kelinci” sedang mengendalikan kereta terbang bertanduk rusa dengan penumpang seorang gadis berkacamata. Kereta itu melintas di atas ombak menuju sebuah jebakan. Meski terasa getir, bentuk visualnya tetap terasa indah dengan pilihan warna-warna cerah.

Juga karya lain, Between Luck, Faith, and Dangerous yang mengisahkan tentang pertarungan hidup yang berbahaya, namun tetap indah dipandang. “Meski setan, kalau berkepala kelinci akan tereduksi wujud dan watak seramnya. Mungkin itulah yang akan dikatakan Kyre bahwa dirinya tetap manis, lucu, menggemaskan bak kelinci meski menyimpan nafsu seram,” tulis kurator Soewarno Wisetrotomo dalam katalog pameran.

Ihwal lukisannya yang terkesan ceria dengan pilihan-pilihan warna cerah, Kyre punya pengakuan tersendiri. “Saya ingin menciptakan dunia baru. Boleh dikatakan pelarian saya dari kenyataan,” ujarnya menjelaskan.

Menurut kurator Soewarno Wisetrotomo, karya-karya dengan genre komik seperti yang dilakukan Kyre ini sebenarnya sudah banyak dilakukan perupa lain, baik di dalam negeri seperti Bambang Toko Wicaksono, Uji Hahan Handoko dan Terra Bajraghosa, maupun perupa luar negeri seperti Bae Yoo Hwan dari Korea serta Jinten Tukral dan Sumir Tagra dari India. Namun, apa kata Kyre tentang pilihan gaya komikalnya? “Sejak kecil saya menikmati komik, menikmati kisah-kisah yang tidak nyata,” katanya.

Evil of Rabbit Head, tulis Soewarno Wisetrotomo dalam kuratorial pameran, adalah ekspresi umpatan, ledekan, gumam, dan gurauan Kyre menyikapi masa lalunya yang getir dan kelam. “Evorah (Evil of Rabbit Head” juga menjadi judul sebuah novel karya Sukma Swarga Tiba. Novel 33 halaman kwarto ini juga bertolak dari riwayat Kyre. Sukma Swarga Tiba tak lain adalah pacar Kyre.

Heru CN

Thursday, April 1, 2010

Pameran Seni Rupa EVORAH

Evil of Rabbit Head
Waktu: 01 – 13 April 2010

Tempat: Tujuh Bintang Art Space, Jalan Sukonandi No. 7, Yogyakarta

Masa lalu yang hitam kelam tak selamanya terekspresikan secara buram. Perupa Oky Rey Montha Bukit alias Kyre, 24 tahun, mengungkap kisah getir masa lalunya justru dalam bentuk lukisan bergaya komikal dengan warna-warna cerah. Ekspresi kemarahannya dia personifikasikan ke dalam figur kelinci yang lucu.

“Setan-setan Berkepala Kelinci” karya Kyre ini bisa disaksikan dalam pameran tunggalnya bertajuk Evorah (Evil of Rabbit Head) di Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta, mulai hari ini hingga 13 April mendatang. Tak hanya menampilkan belasan karya dua dimensi, Kyre juga menghadirkan karya tiga dimensi berupa kereta-kereta terbang bertanduk yang acap muncul dalam lukisan-lukisannya.

dari Tempo Interaktif

Wednesday, March 24, 2010

Memanfaatkan Teknologi untuk Berkarya

Oleh : YUYUK SUGARMAN
Dari : Sinar Harapan

Yogyakarta – Seorang perempuan agak tua dan bergigi tonggos tengah menabuh genderang. Di dekatnya terdapat tulisan “and justice for all”.

Itulah lukisan Totok Buchori, Ketua Sanggar Bambu, yang tengah dipamerkan di Tujuh Bintang Art Space dengan tajuk “Adopt!Adapt!” yang akan berlangsung 17-27 Maret. Lukisan Totok Buchori yang berjudul “Smiling People” memang menjadi semakin pen­ting bila dikaitkan dengan situa­si akhir-akhir ini ketika persoalan hukum semakin mencuat.

Di sinilah lewat kepekaannya, Totok menyadarkan kepada semua orang, bangsa ini, agar hukum benar-benar ditegakkan tanpa tebang pilih dan mengedepankan keadilan. Bagi Totok, keadilan masih jauh dari jangkauan rakyat kecil. Karenanya, ia mencoba menyuarakan hal ini dengan sosok perempuan yang berpenampilan sederhana (bersahaja).

Kenapa?
Totok melihat bangsa kita adalah bangsa yang ramah, mudah tersenyum. “Tapi kalau keadilan tak bisa mereka nikmati, bisa saja mereka akan bertindak anarkistis dan menabuh genderang perang. Untuk mencegah ini perlulah pemerintah bersungguh-sungguh menegakkan keadilan tanpa pandang bulu,” ungkapnya dalam percakapannya dengan SH, Senin (22/3) pagi.

Terlepas dari makna yang terkandung di dalamnya, ada sesuatu yang menarik pada lukisan Totok. Betapa tidak, wajah dari perempuan itu pernah pula dipakai oleh perupa Sigit Santoso ketika berpameran di Bentara Budaya beberapa waktu lalu. “Memang benar wajah itu pernah dipinjam oleh sahabat saya Sigit. Kala itu Sigit meminjam foto perempuan itu lantas diambil wajahnya saja. Hal semacam ini sah-sah saja, tak menjadi soal, yang penting adalah makna dari lukisan itu sendiri,” ungkap Totok.

Diakui Totok, kala melukis “Smiling People” ini dirinya menggunakan Photoshop. Artinya, ia menggunakan kemajuan teknologi untuk berkarya, yakni mempercepat pembuatan sketsa. Dengan begitu, menurut pe­ngakuan Totok, akan lebih memudahkan dirinya melukis realis. “Melukis realis itu tak mudah. Kalau saya menggunakan teknologi Photoshop itu hanyalah untuk mempercepat pembuatan sketsa. Kemajuan teknologi ini sangat membantu saya dalam berkarya,” kata Totok.

Memang, sebagaimana juga diungkapkan oleh Kuss Indarto, kurator dalam pameran ini, adanya kemajuan teknologi itu pada akhirnya tidak sekadar menjadi alat bantu, namun juga telah menjadi cara pandang kreatif dalam menelurkan karya-karya estetik lainnya yang lebih kreatif. “Namun teknologi bukan segala-segalanya bagi perupa,” tegas Kuss.

Beradaptasi
Pendekatan para seniman terhadap perkembangan teknologi inilah, yang dinilai Kuss, bertemu dalam satu titik bernama adaptasi. Kemampuan beradaptasi adalah situasi dalam diri seniman untuk menyesuai­`kan atau berdamai dengan kebaruan yang berasal dari dunia eksternal mereka.

“Teknologi adalah salah satu yang memungkinkan untuk di­serap dan diadaptasi untuk memberi tantangan bagi laju progresivitas kreatif mereka,” ujarnya seraya menambahkan gejala mengadopsi atau me­mungut (to adopt) ini banyak muncul pada lukisan-lukisan di seluruh Indonesia.

Namun, menurut Kuss, pada kesempatan yang sama, pada kerumunan persoalan gairah seniman yang memacu progresivitas kreatifnya dengan mendayagunakan teknologi, ada persoalan lain yang juga agenda permasalahan bagi sebagian seniman untuk terus diadopsi, yakni problem penggalian nilai-nilai “identitas kebudayaan”.

Persoalan adapt dan adopt ini tentu bisa kita lihat dalam pameran yang tengah digelar di Tujuh Bintang Art Space. Selain Totok Buchori, masih ada 22 seniman yang memamerkan karya-karya mereka. Sebut saja perupa Yuli Kodo dengan tajuk karya “Spirit of Java” (200x150 cm, oil on canvas, 2010) yang memvisualisasikan sosok seorang tokoh pengamat dan kurator seni rupa Indonesia Suwarno Wisetrotomo.

Ada pula perupa Wilman Syahnur yang belakangan ini mencuat namanya dalam Biennale Jogja X yang membuat “Becak Obama”. Namun dalam pameran ini, Wilman menyertakan lukisannya yang berjudul “Wrestling With The Angel”.

Monday, March 22, 2010

Pameran Karya Seni Teknologi

Yogyakarta (ANTARA News)
Sebanyak 23 seniman dari berbagai kota menggelar pameran yang menampilkan karya seni rupa bertajuk "Adopt,Adapt" di Tujuh Bintang Art Space Yogyakarta.

"Dalam pameran itu praktik berkesenian bagi seniman telah masuk dalam babak baru, di mana teknologi memiliki peran yang cukup penting," kata kurator pameran "Adopt, Adapt", Kuss Indarto di Yogyakarta,Sabtu.

Ke-23 seniman yang ambil bagian dalam pameran yang berlangsung hingga 27 Maret 2010 antara lain Agung Tato, Amrianis, Bambang Prasetyo, Dadang Imawan, Hadi Soesanto, Ekwan, I Nyoman Agus Wijaya, Iwan Sri Hartoko, Martono, M Sinnie, Mujiharjo.

Selanjutnya, Nur Khamim, Nico Siswanto, Rocka Radipa, Tato Kastareja,Totok Buchori, Yudi Sulistyo, Yoyok Sahaja, Wilman Syahnur, YuliKodo, Danny Ardiyanto, Klowor, dan Bonny Setiawan.

Ia mengatakan, dalam praktik berkesenian bagi seniman, teknologi digunakan sebagai perangkat pembantu dalam proses kreatif. Dalam hal ini, seniman mencoba mengembangkan kecenderungan kreatif yang selama ini telah dijalaninya.

"Dalam konteks itu, mereka memasukkan peran perangkat teknologi sebagai salah satu bagian dalam proses berkreasi. Teknologi menjadi perangkat utama dalam penciptaan karya, sehingga dari situ karya yang dihasilkan itu berasal," katanya.

Pada seniman seperti itu, menurut dia, kedudukan teknologi dalam kaitan dengan proses kreatifnya menjadi ideologis karena mendasarkan yang nyaris seluruh berkaryanya dengan bantuan perangkat teknologi.

Ia mengatakan, teknologi sebagai alat bantu untuk mendukung dalam menajamkan tema yang telah menjadi pilihan mereka. Namun, teknologi bukan segala-segalanya bagi perupa semacam itu.

"Kemampuan seniman untuk beradaptasi, menyesuaikan, dan menyelaraskan dengan kebaruan teknologi yang ada di lingkungannya juga menjadi sesuatu yang penting dalam proses kreatif," katanya. (B015/K004)

Sunday, March 21, 2010

Menyelaraskan teknologi & seni

Bentuk karya seni saat ini semakin banyak jenisnya. Salah satunya dengan menggunakan teknologi. Perpaduan teknologi dan seni ini bisa dilihat dalam pameran Adopt! Adapt! di Tujuh Bintang Art Space, Jogja, Rabu (18/3)

Seniman yang terlibat dalam pameran ini adalah Agung Tato, Amrianis, Bambang BP Prasetyo, Dadang Imawan, Hadi Soesanto, Ekwan, I Nyoman Agus Wijaya, Iwan Sri Hartoko, Martono, M Sinnie, Mujiharto, Nur Khamim, Nico Siswato, Rocka Radipa, Tato Kastareja, Totok Buchori, Yudi Sulistyo, Yoyok Sahaja, Wilman Syahnur, Yuli Kodo, Danny Ardiyanto, Klowor serta Bonny Setiawan.

Kurator pameran Adopt! Adapt!, Kuss Indarto, menungkapkan para seniman yang berpameran kali ini menjadikan teknologi sebagai perangkat utama dalam penciptaan karyanya. Sehingga dari teknologi inilah karya seni rupa berasal.

Proses bekerja dengan bantuan teknologi dimaksudkan dalam kata adopt yang menjadi tema pameran ini. “Kedudukan teknologi bagi para seniman yang berpameran ini akhirnya menjadi ideologis dan menjadi babakan baru penciptaan karya seni rupa,” kata Kuss.

Selain menjadi ideologi, menurut Kuss, teknologi bagi para seniman yang berpameran kali ini dihadirkan sebagai perangkat pembantu dalam proses kreatif mereka. Teknologi sebagai alat bantu untuk mendukung dan menajamkan tema yang telah jadi pilihannya.

“Karya-karya yang dipamerkan ini juga berasal dari kemampuan seniman beradaptasi atau menyesuaikan atau juga menyelaraskan dengan kebaruan-kebaruan teknologi yang ada di lingkungannya,” ungkap Kuss menambahkan.

Yang kemudian terjadi menurut, Kuss Indarto, publik penikmat seni yang sulit. Karya seniman Jogja, bisa jadi sangat jauh dari identitas Jogja dan Jawa mereka. Begitu pula dengan karya perupa dari minang ataupun Wonosobo.

Dua aspek menarik ini, proses adaptasi (gejala kemajuan teknologi) serta mengadopsi (melihat gejala visual yang melampaui lokalitas). Karya-karya yang hadir berasal dari problem-problem kebudayan lokal yang kemudian dikembangkan sebagai lintas lokal, lintas geografi.

Salah satu karya seni yang dipamerkan adalah instalasi berupa Vespa milik Agung Tato. Instalasi ini juga diberinama Vespa. Casis bagian depan tengah dan belakang Vespa milik Agung Tato ini kemudian diubah sedemikian rupa menyerupai bentuk daun kering yang penuh lobang termakan ulat.

Melihat instalasi Vespa karya Agung Tato ini, imajinasi menjadi terbawa pada persoalan pemanasan global akibat polusi udara yang dikeluarkan dari transportasi sehingga membuat lapisan ozon penahan panas matahari bolong-bolong.

Sedangkan dalam karya milik Sumartono yang berjudul Antaboga Sang Arsitek, pengunjung bisa menyimak ingatan tentang figur wayang purwa yaitu tokoh Antaboga. Imaji tentang wayang dalam kerangka pandang seniman ini telah diubah dalam kerangka visual yang mengedepankan pencitraan aspek waktu kekinian.

Antaboga oleh Sumartono dihadirkan dengan memakai kacamata dan memegang handphone dan memakai kaos. Latar belakang sosok Antaboga ini adalah gambar wajah-wajah pemimpin dunia yang menjadi arsitek negara mereka masing-masing.

Persoalan lokalitas berupa peran domestik wanita dihadirkan Danny Ardhiyanto dalam judul Yu’Mona”. Danny yang juga mahasiswa ISI Jogja ini menghadirkan realitas ibu menyusui sebagai bagian dari peran domestik. Wanita meminjam wajah serta senyum Monalisa yang sedang menggendong dan menyusui anaknya.

Oleh Joko Nugroho
HARIAN JOGJA

Saturday, March 20, 2010

Menjumput Menyelaraskan Teknologi & Karya Seni

Sepertinya sudah tidak ada yang bisa menghindar dari teknologi, bahkan bagi seniman sekalipun. Dulu seniman harus menyelenggarakan aneka bentuk “ritual” untuk mendapatkan inspirasi penciptaan karya seninya, Sekarang dengan menggunakan teknologi, bentuk karya seni bisa tercipta.

Itulah yang sekarang sedang dialami oleh seniman-seniman Yogyakarta; mengadopsi teknologi untuk berpraktek kesenian. Hasilnya pun mereka pamerkan bersama-sama di sebuah galery yang mengawali beberapa pameran yang dilangsungkan di galeri tersebut selalu menghadirkan sisi teknologi serta penciptaan karya seni begitu luasnya.

Galeri itu adalag Tujuh Bintang Ars Space yang berada di Jalan. Seniman-seniman ini mengusung tema “Adopt! Adapt” yang sekali lagi meneguhkan keterlibatan teknologi dalam penciptaan karya seni para seniman tersebut.

Para seniman tersebut adalah Agung Tato, Amrianis, Bambang “BP” Prasetyo, Dadang Imawan, Hadi Soesanto, Ekwan, I Nyoman Agus Wijaya, Iwan Sri Hartoko, Martono, M Sinnie, Mujiharto, Nur Khamim, Nico Siswato, Rocka Radipa, Tato Kastareja, Totok Buchori, Yudi Sulistyo, Yoyok Sahaja, Wilman Syahnur, Yuli Kodo, Danny Ardiyanto, Klowor serta Bonny Setiawan.

Kurator pameran Adopt Adapt, Kuss Indarto mengatakan, para seniman yang berpameran kali ini menjadikan teknologi sebagai perangkat utama dalam penciptaannya sehingga dari teknologi inilah karya seni rupa berasal.

Proses bekerja dengan bantuan teknologi inilah yang dimaksudkan dengan “adopt” yang menjadi tema pameran ini. “ Kedudukan teknologi bagi para seniman yang berpameran ini akhirnya menjadi ideologis dan menjadi babakan baru penciptaan karya seni rupa,” kata Kuss.

Selain menjadi ideologi, teknologi bagi para seniman yang berpameran kali ini dihadirkan sebagai perangkat pembantu dalam proses kreatif mereka. Teknologi sebagai alat bantu untuk mendukung dan menajamkan tema yang telah jadi pilihannya.

Dalam pemahaman tersebut, seniman telah melakukan proses “adapt” yang juga menjadi tema pameran ini. Namun dalam hal ini, teknologi kemudian bukan menjadi satu-satunya alat bagi perupa yang berpameran. “Karya-karya yang dipamerkan ini juga berasal dari kemampuan seiniman beradaptasi atau menyesuaikan atau juga menyelaraskan dengan kebaruan-kebaruan teknologi yang ada di lingkungannya,” terang Kuss Indarto.

Yang kemudian terjadi menurut, Kuss Indarto, publik penikmat seni sulit membuat identifikasi personal atau kelompok untuk melihat sebuah karya seni rupa. Karya seniman Yogyakarta, bisa jadi sangat jauh dari identitas Yogyakarta atau Jawa mereka. Begitu pula dengan karya perupa dari minang ataupun Wonosobo.

Dua aspek menarik ini, proses adaptasi (gejala kemajuan teknologi) serta mengadopsi (melihat gejala visual yang melampaui lokalitas). Karya-karya yang hadir berasal dari problem-problem kebudayan lokal yang kemudian dikembangkan sebagai “lintas lokal”, “lintas geografi”.

Kuss Indarto memberi contoh pada karya Sumartono berjudul “Antaboga Sang Arsitek”, penonton bisa menyimak ingatan tentang figur wayang purwa yaitu tokoh Antaboga. Imaji tentang wayang dalam kerangka pandang seniman ini telah diubah dalam kerangka visual yang mengedepankan pencitraan aspek waktu kekinian.

Antaboga oleh Sumartono dihadirkan dengan memakai kacamata dan memegang handphone dan memakai kaos. Latar belakang sosok Antaboga ini adalah gambar wajah-wajah pemimpin dunia yang menjadi “arsitek” negara mereka masing-masing.

Persoalan lokalitas berupa peran domestik wanita dihadirkan Danny Ardhiyanto dalam judul Yu’Mona”. Danny yang mahasiswa ISI Yogyakarta ini menghadirkan realitas ibu menyusui sebagai bagian dari peran domestik wanita dengan meminjam wajah serta senyum Monalisa yang sedang menggendong dan menyusui anaknya.

Instalasi berupa Vespa dipamerkan Agung Tato denga judul instalasi sama seperti namanya. Chasis bagian depan tengah dan belakang Vespa milik Agung Tato ini kemudian diubah sedemikian rupa menyerupai bentuk daun kering sudah penuh lobang termakan ulat.

Melihat instalasi “Vespa” karya Agung Tato ini, imajinasi menjadi terbawa pada persoalan pemanasan global akibat polusi udara yang dikeluarkan dari transportasi sehingga membuat lapisan ozon penahan panas matahari bolong-bolong.

Ikon visual yang berangkat dari persoalan gender dicoba dimunculkan Hadi Susanto dalam lukisannya, Drill With Girl yang menampilkan seorang wanita muda dengan rupa lokal tapi berpakaian global bertato dan memegang mesin bor.

Sosok wanita muda ini mengingatkan pada sosok bintang film wanita yang berpakaian seksi berperan menjadi tokoh jagoan dimana biasanya tokoh-tokoh jagoan itu dimainkan laki-laki. Lukisan Hadi Soesanto ini bisa dimaknai sebagai persoalan emansipasi dalam konteks dunia modern saat ini dengan salah satu persoalannya, persamaan hak dan peran antara wanita dan laki-laki.

Sementara itu, Yudi Sulistya hadir dalam karyanya, “Bangkitnya Roh”. Di sini Yudi menghadirkan sosok robot besar yang tiba-tiba hidup karena rohnya telah kembali.Robot itu bisa berdiri tegak dengan sorot pada bagian wajahnya berwarna merah. Ia berdiri diantara rongsokan-rongsokan robot rusak.

Karya-karya yang dipamerkan para seniman kali ini menyimpulkan satu hal, seperti yang dikatakan Direktur Tujuh Bintang Art Space, Saptoadi Nugroho, seni adalah makhluk dinamis yang lahir melalui proses, jadi melahirkan karya-karya yang mengadopsi karya orang lain kemudian diadaptasi dengan gaya masing-masing. (The Real Jogja/joe)

dari JogjaNews


Wednesday, March 17, 2010

Pameran Seni Rupa Adopt! Adapt!

Pameran Seni Rupa Adopt! Adapt!: Menjumput dan Menyelaraskan

TEMPO Interaktif, Jakarta - Mulai Rabu besok, Tujuh Bintang Art Space di Jalan Sukonandi, Kusumanegara, Yogyakarta, akan menggelar pameran seni rupa bertajuk “Adopt! Adapt!”. Pameran yang akan berlangsung hingga 27 Maret mendatang itu menampilkan karya-karya perupa, antara lain, Agung Tato, Amrianis, Bambang “BP” Prasetyo, I Nyoman Agus Wijaya, Nico Siswanto, Totok Buchori, Bonny Setiawan. adopt adapt

Dalam situs www.tujuhbintang.com, kurator pameran Kuss Indarto menyatakan, praktik berkesenian bagi banyak kalangan perupa di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, telah masuk dalam babakan dimana teknologi memiliki peran sangat penting.

Pertama, teknologi menjadi perangkat utama dalam penciptaan karya, sehingga dari sanalah asal karya yang dihasilkan. Kedudukan teknologi dalam kaitan dengan proses kreatifnya menjadi ideologis karena mendasarkan hampir seluruh karyanya dengan bantuan perangkat teknologi.

Kedua, teknologi sebagai perangkat pembantu dalam proses kreatif. Di sini para perupa mencoba mengembangkan kecenderungan kreatif yang selama ini telah dilakoninya, dan memasukkan peran perangkat teknologi sebagai salah satu bagian dalam proses berkreasi. Teknologi sebagai alat bantu untuk mendukung dalam menajamkan tema yang telah jadi pilihannya. Namun teknologi bukan segala-segalanya. Kemampuan seniman untuk beradaptasi atau menyesuaikan atau menyelaraskan (to adapt) dengan kebaruan-kebaruan teknologi yang ada di lingkungannya.

Gejala lain yang juga berkembang belakangan ini adalah publik sulit sekali membuat identifikasi personal atau komunal untuk melihat sebuah karya seni rupa. Misalnya, karya seniman yang berasal dari Yogyakarta, bisa sangat jauh dari “identitas keyogyaan/kejawaannya”. Begitu juga dengan karya perupa dari Ranah Minang bisa tak beda jauh “identitas visualnya” dari karya seniman Eropa.

Gejala ini mengemuka di mana-mana, dan menjadi bagian penting dari kerja kreatif seniman yang imajinasinya tak seutuhnya didukung dan bersumber dari ide-ide lokal. Lokalitas terkadang seperti diingkari secara visual, meski secara konseptual hal ini masih belum beranjak jauh.

Menurut Kuss, gejala ini dapat ditengarai sebagai sebuah cara seniman dalam bersiasat untuk memperbarui dunia gagasan dan implementasinya di medan kreatifnya, di atas kanvasnya. Saya kira gejala mengadopsi atau memungut (to adopt) ini banyak muncul pada lukisan-lukisan di seluruh Indonesia.

Aspek yang menarik dalam pameran ini adalah proses mengadaptasi (gejala kemajuan teknologi) dan mengadopsi (gejala visual yang melampaui problem lokalitas). Ikon-ikon visual yang berangkat dari problem kebudayaan lokal bisa lebih jauh digali dan dikembangkan menjadi lintas lokal, lintas geografis, lintas etnik.


Nurdin Kalim

Monday, March 15, 2010

23 Seniman ISI gelar pameran Adopt! Adapt!

Senin, 15/03/2010 13:45:25 WIB
Oleh: Herry Suhendra

JAKARTA (Bisnis.com): Sebanyak 23 seniman dari berbagai kota di Indonesia yang menempuh pendidikan di ISI Yogyakarta, menyelenggarakan pameran bersama dengan tema Adopt! Adapt! di Tujuh Bintang Art Space Yogyakarta pada 17 Maret.

"Praktik berkesenian bagi banyak kalangan perupa di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, telah masuk dalam babakan di mana teknologi memiliki peran yang teramat penting," kata kurator Kuss Indarto, hari ini.

Menurut dia, teknologi menjadi perangkat utama dalam penciptaan karya sehingga dari sanalah karya yang dihasilkan itu berasal. Pada seniman jenis ini, kedudukan teknologi dalam kaitan dengan proses kreatifnya menjadi ideologis karena mendasarkan (nyaris) seluruh berkaryanya dengan bantuan perangkat teknologi.

"Teknologi juga sebagai perangkat pembantu dalam proses kreatif. Di sini para perupa mencoba mengembangkan kecenderungan kreatif yang selama ini telah dilakoninya, dan memasukkan peran perangkat teknologi sebagai salah satu bagian dalam proses berkreasi."

Teknologi, tambahnya, sebagai alat bantu untuk mendukung dalam menajamkan tema yang telah jadi pilihannya. Namun, teknologi bukan segala-segalanya bagi perupa semacam ini.

Kemampuan seniman untuk beradaptasi atau menyesuaikan atau menyelaraskan [to adapt] dengan kebaruan-kebaruan teknologi yang ada di lingkungannya. Di sisi lain, jelasnya, saat ini publik sulit sekali membuat identifikasi personal atau komunal untuk melihat sebuah karya seni rupa.

"Misalnya, karya seniman yang berasal dari Yogyakarta, bisa sangat jauh dari identitas keyogyaan atua kejawaannya."

Begitu juga dengan karya perupa dari Ranah Minang bisa tak beda jauh 'identitas visualnya' dari karya seniman Eropa. Gejala ini mengemuka dimana-mana, dan menjadi bagian penting dari kerja kreatif seniman yang imajinasinya tidak seutuhnya didukung dan bersumber dari ide-ide lokal.

"Lokalitas terkadang seperti diingkari secara visual, meski secara konseptual hal ini masih belum beranjak jauh. Gejala ini saya kira dapat ditengarai sebagai sebuah cara seniman dalam bersiasat untuk memperbarui dunia gagasan dan implementasinya di medan kreatifnya, di atas kanvasnya," kata Kuss Indarto.

Para seniman yang ikut pameran adalah Agung Tato, Amrianis, Bambang 'BP' Prasetyo, Dadang Imawan, Hadi Soesanto, Ekwan, I Nyoman Agus Wijaya, Iwan Sri Hartoko, Martono, M. Sinnie, Mujiharjo, Nur Khamim, Nico Siswanto, Rocka Radipa, Tato Kastareja, Totok Buchori, Yudi Sulistyo, Yoyok Sahaja, Wilman Syahnur, Yuli Kodo, Danny Ardiyanto, Klowor, dan Bonny Setiawan.(yn)


Sunday, March 14, 2010

”Adopt! Adapt!”

dari Kompas cetak

Sejumlah seniman berpameran bersama dengan tajuk ”Adopt! Adapt!” di Tujuh Bintang Art Space, Jalan Sukonandi 7, Yogyakarta, 17-27 Maret. Pesertanya antara lain Agung Tato, Amrianis, Bambang ”BP” Prasetyo, I Nyoman Agus Wijaya, M Sinnie, Nur khamim, Nico Siswanto, Totok Buchori, Wilman Syahnur, Danny Ardiyanto, dan Bonny Setiawan. Pameran dengan kurator Kuss Indarto itu bakal dibuka pada hari Rabu (17/3) pukul 19.30 dengan dimeriahkan pentas musik Jasmine Akustik. Menurut Kuss, pameran memperlihatkan upaya seniman untuk mengadaptasi (gejala kemajuan teknologi) dan mengadopsi (gejala visual melampaui problem lokalitas).


Monday, March 8, 2010

Seni Lukis sebagai Adaptasi Komik

Oleh Joko Widiyarso
Lewat tokoh-tokoh imajinatif dalam komik karya komikus, kita dapat melihat melalui penampakan visual tokoh itu bagaimana gaya bicaranya, perilakunya dan bahkan kepribadiannya.

Melalui cara itulah sebuah tokoh komik dapat memasuki wilayah ingatan pembaca. Kekuatan menciptakan tokoh dengan spesifikasi kepribadian yang unik ini menjadi sesuatu yang lain. Citra inilah yang menyebabkan cerita komik itu dikenal.

Dengan dasar itulah sejumlah seniman menggelar pameran 'Wouw' yang mencoba mengadaptasi ide-ide komikal ke dalama karya-karya mereka. Mereka adalah Sulung, Purnomo, Janu,Restu, Rinarsi Widhi, Rudhiy Atje, Hendra Blangkon, Rudy Lampung, F.Alwatoni,Sarwoto Kothot, Gurit, Riono Tunggul N, PRihatmoko, Yudha Sandy, Tera Bajraghosa, Bondo Teguh, Batman Henry, Bing Mushowir, Saleh Husein, Haoritsa, Gibran Reza, Seno purwanto Adji dan Sutrisno.
Melalui tokoh imajiner ini narasi komik digerakan, walaupun cerita itu pada akhirnya bertumpu pada baik atau buruknya tokoh yang tampil tetapi kekuatan cerita yang menyebabkan munculnya mitos dalam kejadian komikal yang tercipta.

"Tokoh antagonis atau protagonis adalah sesuatu yang menggerakan penceritaan lebih jauh. Bagimana tokoh itu tampil dalam tiap adegan adalah citra spesifik yang hendaknya dapat menjadi perhatian, atau titik tumpu kemunculan kedalaman kerakteristik komikal," kata kurator pameran, Frigidanto Agung di Tujuh Bintang Art Space, Minggu (7/3).

Menurutnya, ide-ide komikal yang muncul disini merupakan adaptasi terhadap pengaruh seni visual diluar material dua dimensi yang menjadi faktor utama dalam menghilangkan perbedaan. Serta memahami karakteristik material dalam menggunakan teknologi atau tidak dapat membuat proses visual obyek.

"Pada dasarnya bagaimana membingkai karakteristik komik tetapi secara subyektif, karakter-karakter itu dibuat seniman. Ketika masuk ke komik kita sudah tidak tahu bagaiamana arahnya. Membingkai karakter tokoh masuk dalam dunia seniman. Seniman melukis sebelum jadi komik. Nah itu biasa kan ada karakternya itu," tandasnya.

Frigidanto menambahkan, karya-karya seni visual komikal sudah muncul di Amerika tahun 70-an dengan basis low brow art, yang diawal-awal pergerakannya memunculkan seni comic street atau komik jalanan yang meminimalisir kata-kata sehingga yang keluar adalah tokoh-tokohnya. Kehadiran sensasi dari citra tokoh dapat disajikan secara utuh menjadi obyek lukisan yang demikian kuat, seiring kapasitas tokoh dalam peristiwa yang terjadi ditengah penceritaan.

"Kehandalan tokoh cerita dalam satu peristiwa adalah nialai kehadiran dalam penceritaan yang dapat dicermati sebagai keunikan mengupas masalah dalam pesan yang hendak disampaikan sang komikus. Disinilah titik obyektif dimana tokoh baik antagonis atau protagonis mendapatkan posisinya," katanya.

Visual-visual itulah yang dapat dijadikan obyek yang lebih dalam untuk membentuk reaksi antara keduanya menjadi sesuatu yang lebih dalam. Karakteristik masing-masing saling mengisi dalam satu ruang yang tidak terdapat celah dalam membuat situasi lebih jauh lagi, karena pendekatan obyektif yang harus ditunjukan dalam visual yang lebih jelas. Kekuatan inilah yang diperinci menjadi obyek yang jelas, detail dan situasional.

Pameran kolaborasi antara seniman muda kreatif asal Jogja dan Jakarta ini digelar pada 26 Februari hingga 7 Maret di Tujuh Bintang Art Space Yogyakarta. Pameran ini menghadirkan sekitar 24 karya seni visual dari 23 seniman yang berpartisipasi dalam pameran tersebut.

Thursday, March 4, 2010

Pameran Seni Rupa “Wouw!”

Ketika Seni Rupa Kontemporer Menampakkan Wajahnya Melalui Komputer
dari
Jogja News

Sebuah pameran seni rupa menarik dihadirkan publik penikmat seni rupa di Yogyakarta oleh Tujuh Bintang Art Space, Selasa (26/2) hingga Minggu (7/3) mendatang. Pada kesempatan pameran perdana di tahun 2010 ini, galeri yang berada di Jalan Sukonandi No.7 Yogyakarta ini menghadirkan ide-ide komikal dalam karya seni visual 23 seniman dari Yogyakarta dan Jakarta yang berpameran.

Tema pameran ini adalah “Wouw” dihadirkan seniman-seniman muda kreatif dua kota besar ini sebagai representasi penciptaan seni visual dari perkembangan teknologi. “Wouw”, menurut Saptoadi Nugroho juga dihadirkan untuk menguji kehebatannya menggabungkan apa yang disebut orisinalitas imajinas dan kreatifitas mendownload ide.

Direktur Tujuh Bintang Art Space ini, karya-karya visula yang ditampillkan pada pameran ini adalah penanda awal jaman kontemporer, ketika dimana segala materi dan media penciptaan ide. Ide penciptaan seni visual dapat digali dari internet , televisi, radio, suirat kabar, film dan komik.

“Pameran ini menjawab tantangan terhadap pertanyaan jika seni visual tak dapat dicerna dengan baik dan seniman tak mampu mendapatkan spesifikasi juga nilai baru untuk mengusung ciri khas personal maka mereka harus siap-siap menerima label sebagai seniman plagiat,” kata Saptoadi Nugroho

Kurator pameran ini, Frigidanto Agung berpendapat ide-ide komikal yang muncul disini merupakan adaptasi terhadap pengaruh seni visual diluar material dua dimensi yang menjadi faktor utama dalam menghilangkan perbedaan memahami karakteristik material dalam menggunakan teknologi atau tidak dapat membuat proses visual obyek.

Dalam bahasa gampangnya, Frigidanto mengatakan pada dasarnya bagaimana membingkai karakteristik komik tetapi secara subyektif, karakter-karakter itu dibuat seniman. “Kalau ketika masuk ke komik kita sudah tidak tahu bagaiamana arahnya. Membingkai karakter tokoh masuk dalam dunia seniman. Seniman melukis sebelum jadi komik. Nah itu biasa kan ada karakternya itu,” kata Frigidanto.

Karya-karya seni visual komikal ini menurut Frigidanto sudah muncul di Amerika tahun 70-an dengan basis low brow art, yang diawal-awal pergerakannya memunculkan seni komik street (komik jalanan yang meminimalisir kata-kata sehingga yang keluar adalah tokoh-tokohnya.

Karya visual
Sebanyak 24 karya komikus ini dibuat oleh seniman-seniman ISI angkatan 2000 dan beberapa kampus seni di Jakarta. Seniman yang hadir berpameran antara lain Sulung, Purnomo, Janu,Restu, Rinarsi Widhi, Rudhiy Atje, Hendra Blangkon, Rudy Lampung, F.Alwatoni, Sarwoto Kothot, Gurit, Riono Tunggul N, PRihatmoko, Yudha Sandy, Tera Bajraghosa, Bondo Teguh, Batman Henry, Bing Mushowir, Saleh Husein, Haoritsa, Gibran Reza, Seno purwanto ADji, Sutrisno.

Menurut Frigidanto, yang dipentingkan, atau ditawarkan sebagai representasi seni rupa adalah adanya pencitraan yang bisa diambil dari sudut apapun terhadap obyek seni visual. Pada karya “Lonely” yang terbuat dari kayu, kaca dan keramik yang membentuk sepatu dengan tulisan lonely di tempat memasukkan kaki ke sepatu itu.

“Gimana sih supaya sepatu mempunyai citra komikal. Kalau ada tulisan yang berada di body sepatu itu sudah selesai, ngga dilihat apapun. Tapi ketika tulisannya diluar. Itu kan ada sesuatu yang ditawarkan,” kata Frigidanto.

Kemudian pada karya berjudul “Wisata Ke Bulan” yang diciptakan Teraa Bajraghosa menghadirkan citra karakter Lara Croft dalam film-film yang telah dibuat dalam berbagai karakter personal. Terra menghadirkan wanita yang mirip seperti Lara Croft dengan celana mini sedang menaiki pesawat untuk berwisata ke bulan dengan segenap peralatan wisata ke bulan.

Sementara Restu Ratnaningtyas menghadirkan gambar komik berseri berjudul “Run Baby Run Seriers” yang menghadirkan cerita komik imajinatif ketika dunia sudah dikuasai robot bahkan ketika robot menjadi penjaja mie ayam sehingga manusia hidup begitu terasing didunia mereka sendiri.

Lukisan bercitra komikal membahas persoalan sosial kota Besar juga dihadirkan Bondho Teguh dari Jakarta yang memamerkan karya berjudul “Happy Moment”. Pada karya ini dhadirkan anak-anak kecil sedang bermain air banjir dijalan yang dilalui kendaraan umum.

“Aku pesimis persoalan banjir di Jakarta akan terselesaikan. Tapi aku disini juga menyampaikan optimisme dengan menghadirkan anak-anak yang bermain di tengah banjir di jalan raya terus ada kendaraan yang tetap berjalan meski banjir. Walaupun kita dalam keadaan susah tapi tetap harus optimis,” jelas Bondo Teguh yang telah setahun terakhir menggeluti fine art jenis ini.

Perkembangan teknologi nampaknya sudah merasuk ke seluruh lini kehidupan manusia, juga pada dunia seni yang kita kenal sangat menjunjung tinggi idealisme. Mencari ide menciptakan karya seni mengandalkan imajinasi pribadi –seperti melakukan pertapaan dll-sudah kian sedikit pengikutnya.

“Tuntutan jaman yang membuat seniman-seniman muda beralih pada cara-cara yang lebih bebas, terbuka dan modern dalam pengembanggan idenya, ini bukan karena para perupa malas atau tak memiliki ide orisinal lagi,” jelas Saptoadi Nugroho. (The Real Jogja/joe)

Tuesday, March 2, 2010

Air Bah “Komik Kanvas”

oleh Satmoko Budi Santoso
dari Indonesian Art News

Seorang gadis tengah mengamati salah satu karya lukisan yang tengah digelar di Tujuh Bintang Art Space pada malam pembukaan, Jumat, 26 Februari 2010. (foto: kuss)

TREN perluasan medium berkarya kini rasanya kian menjadi-jadi. Pameran bertajuk Wouw! di Tujuh Bintang Art Space menunjukkan pembuktian tersebut. Sejumlah perupa seperti Sutrisno, Mushowir Bing, Restu Ratnaningtyas, Sulung Widya Prasastya, Saleh Husein, Kemal Reza Gibran, dan yang lainnya lagi mempergelarkan karya “komik kanvas” mereka selama 26 Februari-7 Maret 2010.

Kenapa saya menyebut adanya istilah “komik kanvas”? Secara visual, representasi karya-karya yang tampil dalam pameran ini memang merupakan obyek-obyek sebagaimana yang dikenal dalam bentuk gambar komik. Hanya saja, bentuk visual komik yang biasanya secara umum dikenal dalam buku stensilan itu, kini berada di dalam bidang kanvas. Jadilah karya-karya yang tampil merupakan tokoh-tokoh maupun obyek fantasi seperti yang hidup dalam dunia kanak-kanak. Ada sosok harimau, buaya, monyet, ular, robot, dan obyek karikatural lainnya.

Salah satu sisi penting adanya pameran ini boleh jadi adalah mencermati seberapa jauh pendekatan perspektif ilmu grafis termaksimalkan dalam bidang-bidang kanvas yang rata-rata bermaterial akrilik tersebut. Setidaknya, “fokus pengamatan” semacam ini akan membuat pengunjung mempunyai kesadaran perspektif soal kedalaman penguasaan pendekatan ilmu grafis yang digunakan masing-masing perupa. Tinggal yang terakhir kemudian adalah bagaimana capaian visual karya itu sendiri, apakah mengejutkan dalam hal gagasan, misalnya.

Kurator Agung Frigidanto menyebut di dalam katalog soal evolusi media relevansinya dengan “kotak ajaib” televisi dan dunia maya. Betapa pengaruh sejumlah elemen budaya global tersebut begitu signifikan dan tuntutan penceritaan dalam ruang media pun bisa mengalami semacam penyiasatan. Rupanya, pameran ini memang ada di dalam kerangka pemahaman semacam itu. Sehingga dalam satu bidang kanvas pengunjung secara spontan bakalan mendapatkan suguhan “cerita yang ringkas dan valid” tanpa obyek tersebut menceritakan “secara capek”.

Artinya, lansiran soal evolusi media tersebut mendapatkan katup pembenaran bahwa perupa-perupa kita kini juga merambah eksperimentasi berupa upaya membungkus bahasa visual menjadi lebih padat lewat transformasi medium “komik kanvas”. Tanpa harus berlama-lama melihat televisi dan nongkrong di depan layar dunia maya, pengunjung sudah dapat melihat dengan singkat dan jelas pesan apa yang ingin disampaikan dalam sebidang ranah kanvas. Meskipun fenomena semacam ini bukanlah kebaruan, namun tetap saja memikat diapresiasi sebagai niatan eksplorasi.

Sudut pandang yang juga tak kelewat penting dalam “mengukur” capaian visual karya semacam ini tentu saja soal kompleksitas bentuk kreasi yang ditampilkan. Sejauh ini, apa yang tampil memang hanya cenderung “memindah” gambar-gambar komik serupa stensilan ke atas kanvas. Capaian visual yang katakanlah lebih kreatif dari itu nisbi tertemukan.

Lantas, apakah acuan maksimal sebagaimana sodoran gambar-gambar komik memang hanya semacam itu? Inilah persoalannya. Perlu terpikirkan adanya capaian visual berupa gambar komik di dalam bidang kanvas yang lebih kritis muatan eksplorasinya. Setidaknya, mempunyai isu tertentu yang membuat gambar serupa komik tidak identik hanya sebagai dunia penghadiran tokoh atau obyek fantasi. Namun, boleh jadi hakikat komik memanglah hanya untuk bermain-main fantasi itu sendiri? Sebuah nilai baku yang tak tergugatkan?

Dalam bentuk yang bukan merupakan “komik kanvas” namun komik buku stensilan, gambar-gambar yang kritis dalam pengertian memuat ideologi tertentu memang sudah cukup banyak beredar. Katakanlah yang berideologi “kiri kerakyatan”, misalnya. Namun, keberadaannya seperti hanya dalam lingkup yang terbatas. Maunya mengubah paradigma tertentu masyarakat malah justru seperti terpenjara dalam segmentasi yang sempit. Jika ada fenomena semacam ini, lantas formula apakah yang perlu diambil guna membebaskannya dari segmentasi yang justru sempit itu? Apakah jika kemudian tertransformasi menjadi “komik kanvas” bakalan direspons lebih baik dan keluar dari segmentasi yang terasa sempit?

Jadi, capaian visual sebagaimana gambar-gambar komik sungguh tertakdirkan hanya untuk bermain-main fantasi saja? ***

Ping your blog, website, or RSS feed for Free
My Ping in TotalPing.com
Feedage Grade B rated
Preview on Feedage: cheap-canvas-art Add to My Yahoo! Add to Google! Add to AOL! Add to MSN
Subscribe in NewsGator Online Add to Netvibes Subscribe in Pakeflakes Subscribe in Bloglines Add to Alesti RSS Reader
Add to Feedage.com Groups Add to Windows Live iPing-it Add to Feedage RSS Alerts Add To Fwicki