Bentuk karya seni saat ini semakin banyak jenisnya. Salah satunya dengan menggunakan teknologi. Perpaduan teknologi dan seni ini bisa dilihat dalam pameran Adopt! Adapt! di Tujuh Bintang Art Space, Jogja, Rabu (18/3)
Seniman yang terlibat dalam pameran ini adalah Agung Tato, Amrianis, Bambang BP Prasetyo, Dadang Imawan, Hadi Soesanto, Ekwan, I Nyoman Agus Wijaya, Iwan Sri Hartoko, Martono, M Sinnie, Mujiharto, Nur Khamim, Nico Siswato, Rocka Radipa, Tato Kastareja, Totok Buchori, Yudi Sulistyo, Yoyok Sahaja, Wilman Syahnur, Yuli Kodo, Danny Ardiyanto, Klowor serta Bonny Setiawan.
Kurator pameran Adopt! Adapt!, Kuss Indarto, menungkapkan para seniman yang berpameran kali ini menjadikan teknologi sebagai perangkat utama dalam penciptaan karyanya. Sehingga dari teknologi inilah karya seni rupa berasal.
Proses bekerja dengan bantuan teknologi dimaksudkan dalam kata adopt yang menjadi tema pameran ini. “Kedudukan teknologi bagi para seniman yang berpameran ini akhirnya menjadi ideologis dan menjadi babakan baru penciptaan karya seni rupa,” kata Kuss.
Selain menjadi ideologi, menurut Kuss, teknologi bagi para seniman yang berpameran kali ini dihadirkan sebagai perangkat pembantu dalam proses kreatif mereka. Teknologi sebagai alat bantu untuk mendukung dan menajamkan tema yang telah jadi pilihannya.
“Karya-karya yang dipamerkan ini juga berasal dari kemampuan seniman beradaptasi atau menyesuaikan atau juga menyelaraskan dengan kebaruan-kebaruan teknologi yang ada di lingkungannya,” ungkap Kuss menambahkan.
Yang kemudian terjadi menurut, Kuss Indarto, publik penikmat seni yang sulit. Karya seniman Jogja, bisa jadi sangat jauh dari identitas Jogja dan Jawa mereka. Begitu pula dengan karya perupa dari minang ataupun Wonosobo.
Dua aspek menarik ini, proses adaptasi (gejala kemajuan teknologi) serta mengadopsi (melihat gejala visual yang melampaui lokalitas). Karya-karya yang hadir berasal dari problem-problem kebudayan lokal yang kemudian dikembangkan sebagai lintas lokal, lintas geografi.
Salah satu karya seni yang dipamerkan adalah instalasi berupa Vespa milik Agung Tato. Instalasi ini juga diberinama Vespa. Casis bagian depan tengah dan belakang Vespa milik Agung Tato ini kemudian diubah sedemikian rupa menyerupai bentuk daun kering yang penuh lobang termakan ulat.
Melihat instalasi Vespa karya Agung Tato ini, imajinasi menjadi terbawa pada persoalan pemanasan global akibat polusi udara yang dikeluarkan dari transportasi sehingga membuat lapisan ozon penahan panas matahari bolong-bolong.
Sedangkan dalam karya milik Sumartono yang berjudul Antaboga Sang Arsitek, pengunjung bisa menyimak ingatan tentang figur wayang purwa yaitu tokoh Antaboga. Imaji tentang wayang dalam kerangka pandang seniman ini telah diubah dalam kerangka visual yang mengedepankan pencitraan aspek waktu kekinian.
Antaboga oleh Sumartono dihadirkan dengan memakai kacamata dan memegang handphone dan memakai kaos. Latar belakang sosok Antaboga ini adalah gambar wajah-wajah pemimpin dunia yang menjadi arsitek negara mereka masing-masing.
Persoalan lokalitas berupa peran domestik wanita dihadirkan Danny Ardhiyanto dalam judul Yu’Mona”. Danny yang juga mahasiswa ISI Jogja ini menghadirkan realitas ibu menyusui sebagai bagian dari peran domestik. Wanita meminjam wajah serta senyum Monalisa yang sedang menggendong dan menyusui anaknya.
Oleh Joko Nugroho
HARIAN JOGJA
Seniman yang terlibat dalam pameran ini adalah Agung Tato, Amrianis, Bambang BP Prasetyo, Dadang Imawan, Hadi Soesanto, Ekwan, I Nyoman Agus Wijaya, Iwan Sri Hartoko, Martono, M Sinnie, Mujiharto, Nur Khamim, Nico Siswato, Rocka Radipa, Tato Kastareja, Totok Buchori, Yudi Sulistyo, Yoyok Sahaja, Wilman Syahnur, Yuli Kodo, Danny Ardiyanto, Klowor serta Bonny Setiawan.
Kurator pameran Adopt! Adapt!, Kuss Indarto, menungkapkan para seniman yang berpameran kali ini menjadikan teknologi sebagai perangkat utama dalam penciptaan karyanya. Sehingga dari teknologi inilah karya seni rupa berasal.
Proses bekerja dengan bantuan teknologi dimaksudkan dalam kata adopt yang menjadi tema pameran ini. “Kedudukan teknologi bagi para seniman yang berpameran ini akhirnya menjadi ideologis dan menjadi babakan baru penciptaan karya seni rupa,” kata Kuss.
Selain menjadi ideologi, menurut Kuss, teknologi bagi para seniman yang berpameran kali ini dihadirkan sebagai perangkat pembantu dalam proses kreatif mereka. Teknologi sebagai alat bantu untuk mendukung dan menajamkan tema yang telah jadi pilihannya.
“Karya-karya yang dipamerkan ini juga berasal dari kemampuan seniman beradaptasi atau menyesuaikan atau juga menyelaraskan dengan kebaruan-kebaruan teknologi yang ada di lingkungannya,” ungkap Kuss menambahkan.
Yang kemudian terjadi menurut, Kuss Indarto, publik penikmat seni yang sulit. Karya seniman Jogja, bisa jadi sangat jauh dari identitas Jogja dan Jawa mereka. Begitu pula dengan karya perupa dari minang ataupun Wonosobo.
Dua aspek menarik ini, proses adaptasi (gejala kemajuan teknologi) serta mengadopsi (melihat gejala visual yang melampaui lokalitas). Karya-karya yang hadir berasal dari problem-problem kebudayan lokal yang kemudian dikembangkan sebagai lintas lokal, lintas geografi.
Salah satu karya seni yang dipamerkan adalah instalasi berupa Vespa milik Agung Tato. Instalasi ini juga diberinama Vespa. Casis bagian depan tengah dan belakang Vespa milik Agung Tato ini kemudian diubah sedemikian rupa menyerupai bentuk daun kering yang penuh lobang termakan ulat.
Melihat instalasi Vespa karya Agung Tato ini, imajinasi menjadi terbawa pada persoalan pemanasan global akibat polusi udara yang dikeluarkan dari transportasi sehingga membuat lapisan ozon penahan panas matahari bolong-bolong.
Sedangkan dalam karya milik Sumartono yang berjudul Antaboga Sang Arsitek, pengunjung bisa menyimak ingatan tentang figur wayang purwa yaitu tokoh Antaboga. Imaji tentang wayang dalam kerangka pandang seniman ini telah diubah dalam kerangka visual yang mengedepankan pencitraan aspek waktu kekinian.
Antaboga oleh Sumartono dihadirkan dengan memakai kacamata dan memegang handphone dan memakai kaos. Latar belakang sosok Antaboga ini adalah gambar wajah-wajah pemimpin dunia yang menjadi arsitek negara mereka masing-masing.
Persoalan lokalitas berupa peran domestik wanita dihadirkan Danny Ardhiyanto dalam judul Yu’Mona”. Danny yang juga mahasiswa ISI Jogja ini menghadirkan realitas ibu menyusui sebagai bagian dari peran domestik. Wanita meminjam wajah serta senyum Monalisa yang sedang menggendong dan menyusui anaknya.
Oleh Joko Nugroho
HARIAN JOGJA