Sepertinya sudah tidak ada yang bisa menghindar dari teknologi, bahkan bagi seniman sekalipun. Dulu seniman harus menyelenggarakan aneka bentuk “ritual” untuk mendapatkan inspirasi penciptaan karya seninya, Sekarang dengan menggunakan teknologi, bentuk karya seni bisa tercipta.
Itulah yang sekarang sedang dialami oleh seniman-seniman Yogyakarta; mengadopsi teknologi untuk berpraktek kesenian. Hasilnya pun mereka pamerkan bersama-sama di sebuah galery yang mengawali beberapa pameran yang dilangsungkan di galeri tersebut selalu menghadirkan sisi teknologi serta penciptaan karya seni begitu luasnya.
Galeri itu adalag Tujuh Bintang Ars Space yang berada di Jalan. Seniman-seniman ini mengusung tema “Adopt! Adapt” yang sekali lagi meneguhkan keterlibatan teknologi dalam penciptaan karya seni para seniman tersebut.
Para seniman tersebut adalah Agung Tato, Amrianis, Bambang “BP” Prasetyo, Dadang Imawan, Hadi Soesanto, Ekwan, I Nyoman Agus Wijaya, Iwan Sri Hartoko, Martono, M Sinnie, Mujiharto, Nur Khamim, Nico Siswato, Rocka Radipa, Tato Kastareja, Totok Buchori, Yudi Sulistyo, Yoyok Sahaja, Wilman Syahnur, Yuli Kodo, Danny Ardiyanto, Klowor serta Bonny Setiawan.
Kurator pameran Adopt Adapt, Kuss Indarto mengatakan, para seniman yang berpameran kali ini menjadikan teknologi sebagai perangkat utama dalam penciptaannya sehingga dari teknologi inilah karya seni rupa berasal.
Proses bekerja dengan bantuan teknologi inilah yang dimaksudkan dengan “adopt” yang menjadi tema pameran ini. “ Kedudukan teknologi bagi para seniman yang berpameran ini akhirnya menjadi ideologis dan menjadi babakan baru penciptaan karya seni rupa,” kata Kuss.
Selain menjadi ideologi, teknologi bagi para seniman yang berpameran kali ini dihadirkan sebagai perangkat pembantu dalam proses kreatif mereka. Teknologi sebagai alat bantu untuk mendukung dan menajamkan tema yang telah jadi pilihannya.
Dalam pemahaman tersebut, seniman telah melakukan proses “adapt” yang juga menjadi tema pameran ini. Namun dalam hal ini, teknologi kemudian bukan menjadi satu-satunya alat bagi perupa yang berpameran. “Karya-karya yang dipamerkan ini juga berasal dari kemampuan seiniman beradaptasi atau menyesuaikan atau juga menyelaraskan dengan kebaruan-kebaruan teknologi yang ada di lingkungannya,” terang Kuss Indarto.
Yang kemudian terjadi menurut, Kuss Indarto, publik penikmat seni sulit membuat identifikasi personal atau kelompok untuk melihat sebuah karya seni rupa. Karya seniman Yogyakarta, bisa jadi sangat jauh dari identitas Yogyakarta atau Jawa mereka. Begitu pula dengan karya perupa dari minang ataupun Wonosobo.
Dua aspek menarik ini, proses adaptasi (gejala kemajuan teknologi) serta mengadopsi (melihat gejala visual yang melampaui lokalitas). Karya-karya yang hadir berasal dari problem-problem kebudayan lokal yang kemudian dikembangkan sebagai “lintas lokal”, “lintas geografi”.
Kuss Indarto memberi contoh pada karya Sumartono berjudul “Antaboga Sang Arsitek”, penonton bisa menyimak ingatan tentang figur wayang purwa yaitu tokoh Antaboga. Imaji tentang wayang dalam kerangka pandang seniman ini telah diubah dalam kerangka visual yang mengedepankan pencitraan aspek waktu kekinian.
Antaboga oleh Sumartono dihadirkan dengan memakai kacamata dan memegang handphone dan memakai kaos. Latar belakang sosok Antaboga ini adalah gambar wajah-wajah pemimpin dunia yang menjadi “arsitek” negara mereka masing-masing.
Persoalan lokalitas berupa peran domestik wanita dihadirkan Danny Ardhiyanto dalam judul Yu’Mona”. Danny yang mahasiswa ISI Yogyakarta ini menghadirkan realitas ibu menyusui sebagai bagian dari peran domestik wanita dengan meminjam wajah serta senyum Monalisa yang sedang menggendong dan menyusui anaknya.
Instalasi berupa Vespa dipamerkan Agung Tato denga judul instalasi sama seperti namanya. Chasis bagian depan tengah dan belakang Vespa milik Agung Tato ini kemudian diubah sedemikian rupa menyerupai bentuk daun kering sudah penuh lobang termakan ulat.
Melihat instalasi “Vespa” karya Agung Tato ini, imajinasi menjadi terbawa pada persoalan pemanasan global akibat polusi udara yang dikeluarkan dari transportasi sehingga membuat lapisan ozon penahan panas matahari bolong-bolong.
Ikon visual yang berangkat dari persoalan gender dicoba dimunculkan Hadi Susanto dalam lukisannya, Drill With Girl yang menampilkan seorang wanita muda dengan rupa lokal tapi berpakaian global bertato dan memegang mesin bor.
Sosok wanita muda ini mengingatkan pada sosok bintang film wanita yang berpakaian seksi berperan menjadi tokoh jagoan dimana biasanya tokoh-tokoh jagoan itu dimainkan laki-laki. Lukisan Hadi Soesanto ini bisa dimaknai sebagai persoalan emansipasi dalam konteks dunia modern saat ini dengan salah satu persoalannya, persamaan hak dan peran antara wanita dan laki-laki.
Sementara itu, Yudi Sulistya hadir dalam karyanya, “Bangkitnya Roh”. Di sini Yudi menghadirkan sosok robot besar yang tiba-tiba hidup karena rohnya telah kembali.Robot itu bisa berdiri tegak dengan sorot pada bagian wajahnya berwarna merah. Ia berdiri diantara rongsokan-rongsokan robot rusak.
Karya-karya yang dipamerkan para seniman kali ini menyimpulkan satu hal, seperti yang dikatakan Direktur Tujuh Bintang Art Space, Saptoadi Nugroho, seni adalah makhluk dinamis yang lahir melalui proses, jadi melahirkan karya-karya yang mengadopsi karya orang lain kemudian diadaptasi dengan gaya masing-masing. (The Real Jogja/joe)
dari JogjaNews
Itulah yang sekarang sedang dialami oleh seniman-seniman Yogyakarta; mengadopsi teknologi untuk berpraktek kesenian. Hasilnya pun mereka pamerkan bersama-sama di sebuah galery yang mengawali beberapa pameran yang dilangsungkan di galeri tersebut selalu menghadirkan sisi teknologi serta penciptaan karya seni begitu luasnya.
Galeri itu adalag Tujuh Bintang Ars Space yang berada di Jalan. Seniman-seniman ini mengusung tema “Adopt! Adapt” yang sekali lagi meneguhkan keterlibatan teknologi dalam penciptaan karya seni para seniman tersebut.
Para seniman tersebut adalah Agung Tato, Amrianis, Bambang “BP” Prasetyo, Dadang Imawan, Hadi Soesanto, Ekwan, I Nyoman Agus Wijaya, Iwan Sri Hartoko, Martono, M Sinnie, Mujiharto, Nur Khamim, Nico Siswato, Rocka Radipa, Tato Kastareja, Totok Buchori, Yudi Sulistyo, Yoyok Sahaja, Wilman Syahnur, Yuli Kodo, Danny Ardiyanto, Klowor serta Bonny Setiawan.
Kurator pameran Adopt Adapt, Kuss Indarto mengatakan, para seniman yang berpameran kali ini menjadikan teknologi sebagai perangkat utama dalam penciptaannya sehingga dari teknologi inilah karya seni rupa berasal.
Proses bekerja dengan bantuan teknologi inilah yang dimaksudkan dengan “adopt” yang menjadi tema pameran ini. “ Kedudukan teknologi bagi para seniman yang berpameran ini akhirnya menjadi ideologis dan menjadi babakan baru penciptaan karya seni rupa,” kata Kuss.
Selain menjadi ideologi, teknologi bagi para seniman yang berpameran kali ini dihadirkan sebagai perangkat pembantu dalam proses kreatif mereka. Teknologi sebagai alat bantu untuk mendukung dan menajamkan tema yang telah jadi pilihannya.
Dalam pemahaman tersebut, seniman telah melakukan proses “adapt” yang juga menjadi tema pameran ini. Namun dalam hal ini, teknologi kemudian bukan menjadi satu-satunya alat bagi perupa yang berpameran. “Karya-karya yang dipamerkan ini juga berasal dari kemampuan seiniman beradaptasi atau menyesuaikan atau juga menyelaraskan dengan kebaruan-kebaruan teknologi yang ada di lingkungannya,” terang Kuss Indarto.
Yang kemudian terjadi menurut, Kuss Indarto, publik penikmat seni sulit membuat identifikasi personal atau kelompok untuk melihat sebuah karya seni rupa. Karya seniman Yogyakarta, bisa jadi sangat jauh dari identitas Yogyakarta atau Jawa mereka. Begitu pula dengan karya perupa dari minang ataupun Wonosobo.
Dua aspek menarik ini, proses adaptasi (gejala kemajuan teknologi) serta mengadopsi (melihat gejala visual yang melampaui lokalitas). Karya-karya yang hadir berasal dari problem-problem kebudayan lokal yang kemudian dikembangkan sebagai “lintas lokal”, “lintas geografi”.
Kuss Indarto memberi contoh pada karya Sumartono berjudul “Antaboga Sang Arsitek”, penonton bisa menyimak ingatan tentang figur wayang purwa yaitu tokoh Antaboga. Imaji tentang wayang dalam kerangka pandang seniman ini telah diubah dalam kerangka visual yang mengedepankan pencitraan aspek waktu kekinian.
Antaboga oleh Sumartono dihadirkan dengan memakai kacamata dan memegang handphone dan memakai kaos. Latar belakang sosok Antaboga ini adalah gambar wajah-wajah pemimpin dunia yang menjadi “arsitek” negara mereka masing-masing.
Persoalan lokalitas berupa peran domestik wanita dihadirkan Danny Ardhiyanto dalam judul Yu’Mona”. Danny yang mahasiswa ISI Yogyakarta ini menghadirkan realitas ibu menyusui sebagai bagian dari peran domestik wanita dengan meminjam wajah serta senyum Monalisa yang sedang menggendong dan menyusui anaknya.
Instalasi berupa Vespa dipamerkan Agung Tato denga judul instalasi sama seperti namanya. Chasis bagian depan tengah dan belakang Vespa milik Agung Tato ini kemudian diubah sedemikian rupa menyerupai bentuk daun kering sudah penuh lobang termakan ulat.
Melihat instalasi “Vespa” karya Agung Tato ini, imajinasi menjadi terbawa pada persoalan pemanasan global akibat polusi udara yang dikeluarkan dari transportasi sehingga membuat lapisan ozon penahan panas matahari bolong-bolong.
Ikon visual yang berangkat dari persoalan gender dicoba dimunculkan Hadi Susanto dalam lukisannya, Drill With Girl yang menampilkan seorang wanita muda dengan rupa lokal tapi berpakaian global bertato dan memegang mesin bor.
Sosok wanita muda ini mengingatkan pada sosok bintang film wanita yang berpakaian seksi berperan menjadi tokoh jagoan dimana biasanya tokoh-tokoh jagoan itu dimainkan laki-laki. Lukisan Hadi Soesanto ini bisa dimaknai sebagai persoalan emansipasi dalam konteks dunia modern saat ini dengan salah satu persoalannya, persamaan hak dan peran antara wanita dan laki-laki.
Sementara itu, Yudi Sulistya hadir dalam karyanya, “Bangkitnya Roh”. Di sini Yudi menghadirkan sosok robot besar yang tiba-tiba hidup karena rohnya telah kembali.Robot itu bisa berdiri tegak dengan sorot pada bagian wajahnya berwarna merah. Ia berdiri diantara rongsokan-rongsokan robot rusak.
Karya-karya yang dipamerkan para seniman kali ini menyimpulkan satu hal, seperti yang dikatakan Direktur Tujuh Bintang Art Space, Saptoadi Nugroho, seni adalah makhluk dinamis yang lahir melalui proses, jadi melahirkan karya-karya yang mengadopsi karya orang lain kemudian diadaptasi dengan gaya masing-masing. (The Real Jogja/joe)
dari JogjaNews