TEMPO Interaktif, Jakarta - Mulai Rabu besok, Tujuh Bintang Art Space di Jalan Sukonandi, Kusumanegara, Yogyakarta, akan menggelar pameran seni rupa bertajuk “Adopt! Adapt!”. Pameran yang akan berlangsung hingga 27 Maret mendatang itu menampilkan karya-karya perupa, antara lain, Agung Tato, Amrianis, Bambang “BP” Prasetyo, I Nyoman Agus Wijaya, Nico Siswanto, Totok Buchori, Bonny Setiawan. adopt adapt
Dalam situs www.tujuhbintang.com, kurator pameran Kuss Indarto menyatakan, praktik berkesenian bagi banyak kalangan perupa di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, telah masuk dalam babakan dimana teknologi memiliki peran sangat penting.
Pertama, teknologi menjadi perangkat utama dalam penciptaan karya, sehingga dari sanalah asal karya yang dihasilkan. Kedudukan teknologi dalam kaitan dengan proses kreatifnya menjadi ideologis karena mendasarkan hampir seluruh karyanya dengan bantuan perangkat teknologi.
Kedua, teknologi sebagai perangkat pembantu dalam proses kreatif. Di sini para perupa mencoba mengembangkan kecenderungan kreatif yang selama ini telah dilakoninya, dan memasukkan peran perangkat teknologi sebagai salah satu bagian dalam proses berkreasi. Teknologi sebagai alat bantu untuk mendukung dalam menajamkan tema yang telah jadi pilihannya. Namun teknologi bukan segala-segalanya. Kemampuan seniman untuk beradaptasi atau menyesuaikan atau menyelaraskan (to adapt) dengan kebaruan-kebaruan teknologi yang ada di lingkungannya.
Gejala lain yang juga berkembang belakangan ini adalah publik sulit sekali membuat identifikasi personal atau komunal untuk melihat sebuah karya seni rupa. Misalnya, karya seniman yang berasal dari Yogyakarta, bisa sangat jauh dari “identitas keyogyaan/kejawaannya”. Begitu juga dengan karya perupa dari Ranah Minang bisa tak beda jauh “identitas visualnya” dari karya seniman Eropa.
Gejala ini mengemuka di mana-mana, dan menjadi bagian penting dari kerja kreatif seniman yang imajinasinya tak seutuhnya didukung dan bersumber dari ide-ide lokal. Lokalitas terkadang seperti diingkari secara visual, meski secara konseptual hal ini masih belum beranjak jauh.
Menurut Kuss, gejala ini dapat ditengarai sebagai sebuah cara seniman dalam bersiasat untuk memperbarui dunia gagasan dan implementasinya di medan kreatifnya, di atas kanvasnya. Saya kira gejala mengadopsi atau memungut (to adopt) ini banyak muncul pada lukisan-lukisan di seluruh Indonesia.
Aspek yang menarik dalam pameran ini adalah proses mengadaptasi (gejala kemajuan teknologi) dan mengadopsi (gejala visual yang melampaui problem lokalitas). Ikon-ikon visual yang berangkat dari problem kebudayaan lokal bisa lebih jauh digali dan dikembangkan menjadi lintas lokal, lintas geografis, lintas etnik.
Nurdin Kalim
Dalam situs www.tujuhbintang.com, kurator pameran Kuss Indarto menyatakan, praktik berkesenian bagi banyak kalangan perupa di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, telah masuk dalam babakan dimana teknologi memiliki peran sangat penting.
Pertama, teknologi menjadi perangkat utama dalam penciptaan karya, sehingga dari sanalah asal karya yang dihasilkan. Kedudukan teknologi dalam kaitan dengan proses kreatifnya menjadi ideologis karena mendasarkan hampir seluruh karyanya dengan bantuan perangkat teknologi.
Kedua, teknologi sebagai perangkat pembantu dalam proses kreatif. Di sini para perupa mencoba mengembangkan kecenderungan kreatif yang selama ini telah dilakoninya, dan memasukkan peran perangkat teknologi sebagai salah satu bagian dalam proses berkreasi. Teknologi sebagai alat bantu untuk mendukung dalam menajamkan tema yang telah jadi pilihannya. Namun teknologi bukan segala-segalanya. Kemampuan seniman untuk beradaptasi atau menyesuaikan atau menyelaraskan (to adapt) dengan kebaruan-kebaruan teknologi yang ada di lingkungannya.
Gejala lain yang juga berkembang belakangan ini adalah publik sulit sekali membuat identifikasi personal atau komunal untuk melihat sebuah karya seni rupa. Misalnya, karya seniman yang berasal dari Yogyakarta, bisa sangat jauh dari “identitas keyogyaan/kejawaannya”. Begitu juga dengan karya perupa dari Ranah Minang bisa tak beda jauh “identitas visualnya” dari karya seniman Eropa.
Gejala ini mengemuka di mana-mana, dan menjadi bagian penting dari kerja kreatif seniman yang imajinasinya tak seutuhnya didukung dan bersumber dari ide-ide lokal. Lokalitas terkadang seperti diingkari secara visual, meski secara konseptual hal ini masih belum beranjak jauh.
Menurut Kuss, gejala ini dapat ditengarai sebagai sebuah cara seniman dalam bersiasat untuk memperbarui dunia gagasan dan implementasinya di medan kreatifnya, di atas kanvasnya. Saya kira gejala mengadopsi atau memungut (to adopt) ini banyak muncul pada lukisan-lukisan di seluruh Indonesia.
Aspek yang menarik dalam pameran ini adalah proses mengadaptasi (gejala kemajuan teknologi) dan mengadopsi (gejala visual yang melampaui problem lokalitas). Ikon-ikon visual yang berangkat dari problem kebudayaan lokal bisa lebih jauh digali dan dikembangkan menjadi lintas lokal, lintas geografis, lintas etnik.
Nurdin Kalim