dari Indonesian Art News
TREN perluasan medium berkarya kini rasanya kian menjadi-jadi. Pameran bertajuk Wouw! di Tujuh Bintang Art Space menunjukkan pembuktian tersebut. Sejumlah perupa seperti Sutrisno, Mushowir Bing, Restu Ratnaningtyas, Sulung Widya Prasastya, Saleh Husein, Kemal Reza Gibran, dan yang lainnya lagi mempergelarkan karya “komik kanvas” mereka selama 26 Februari-7 Maret 2010.
Kenapa saya menyebut adanya istilah “komik kanvas”? Secara visual, representasi karya-karya yang tampil dalam pameran ini memang merupakan obyek-obyek sebagaimana yang dikenal dalam bentuk gambar komik. Hanya saja, bentuk visual komik yang biasanya secara umum dikenal dalam buku stensilan itu, kini berada di dalam bidang kanvas. Jadilah karya-karya yang tampil merupakan tokoh-tokoh maupun obyek fantasi seperti yang hidup dalam dunia kanak-kanak. Ada sosok harimau, buaya, monyet, ular, robot, dan obyek karikatural lainnya.
Salah satu sisi penting adanya pameran ini boleh jadi adalah mencermati seberapa jauh pendekatan perspektif ilmu grafis termaksimalkan dalam bidang-bidang kanvas yang rata-rata bermaterial akrilik tersebut. Setidaknya, “fokus pengamatan” semacam ini akan membuat pengunjung mempunyai kesadaran perspektif soal kedalaman penguasaan pendekatan ilmu grafis yang digunakan masing-masing perupa. Tinggal yang terakhir kemudian adalah bagaimana capaian visual karya itu sendiri, apakah mengejutkan dalam hal gagasan, misalnya.
Kurator Agung Frigidanto menyebut di dalam katalog soal evolusi media relevansinya dengan “kotak ajaib” televisi dan dunia maya. Betapa pengaruh sejumlah elemen budaya global tersebut begitu signifikan dan tuntutan penceritaan dalam ruang media pun bisa mengalami semacam penyiasatan. Rupanya, pameran ini memang ada di dalam kerangka pemahaman semacam itu. Sehingga dalam satu bidang kanvas pengunjung secara spontan bakalan mendapatkan suguhan “cerita yang ringkas dan valid” tanpa obyek tersebut menceritakan “secara capek”.
Artinya, lansiran soal evolusi media tersebut mendapatkan katup pembenaran bahwa perupa-perupa kita kini juga merambah eksperimentasi berupa upaya membungkus bahasa visual menjadi lebih padat lewat transformasi medium “komik kanvas”. Tanpa harus berlama-lama melihat televisi dan nongkrong di depan layar dunia maya, pengunjung sudah dapat melihat dengan singkat dan jelas pesan apa yang ingin disampaikan dalam sebidang ranah kanvas. Meskipun fenomena semacam ini bukanlah kebaruan, namun tetap saja memikat diapresiasi sebagai niatan eksplorasi.
Sudut pandang yang juga tak kelewat penting dalam “mengukur” capaian visual karya semacam ini tentu saja soal kompleksitas bentuk kreasi yang ditampilkan. Sejauh ini, apa yang tampil memang hanya cenderung “memindah” gambar-gambar komik serupa stensilan ke atas kanvas. Capaian visual yang katakanlah lebih kreatif dari itu nisbi tertemukan.
Lantas, apakah acuan maksimal sebagaimana sodoran gambar-gambar komik memang hanya semacam itu? Inilah persoalannya. Perlu terpikirkan adanya capaian visual berupa gambar komik di dalam bidang kanvas yang lebih kritis muatan eksplorasinya. Setidaknya, mempunyai isu tertentu yang membuat gambar serupa komik tidak identik hanya sebagai dunia penghadiran tokoh atau obyek fantasi. Namun, boleh jadi hakikat komik memanglah hanya untuk bermain-main fantasi itu sendiri? Sebuah nilai baku yang tak tergugatkan?
Dalam bentuk yang bukan merupakan “komik kanvas” namun komik buku stensilan, gambar-gambar yang kritis dalam pengertian memuat ideologi tertentu memang sudah cukup banyak beredar. Katakanlah yang berideologi “kiri kerakyatan”, misalnya. Namun, keberadaannya seperti hanya dalam lingkup yang terbatas. Maunya mengubah paradigma tertentu masyarakat malah justru seperti terpenjara dalam segmentasi yang sempit. Jika ada fenomena semacam ini, lantas formula apakah yang perlu diambil guna membebaskannya dari segmentasi yang justru sempit itu? Apakah jika kemudian tertransformasi menjadi “komik kanvas” bakalan direspons lebih baik dan keluar dari segmentasi yang terasa sempit?
Jadi, capaian visual sebagaimana gambar-gambar komik sungguh tertakdirkan hanya untuk bermain-main fantasi saja? ***
Seorang gadis tengah mengamati salah satu karya lukisan yang tengah digelar di Tujuh Bintang Art Space pada malam pembukaan, Jumat, 26 Februari 2010. (foto: kuss)
TREN perluasan medium berkarya kini rasanya kian menjadi-jadi. Pameran bertajuk Wouw! di Tujuh Bintang Art Space menunjukkan pembuktian tersebut. Sejumlah perupa seperti Sutrisno, Mushowir Bing, Restu Ratnaningtyas, Sulung Widya Prasastya, Saleh Husein, Kemal Reza Gibran, dan yang lainnya lagi mempergelarkan karya “komik kanvas” mereka selama 26 Februari-7 Maret 2010.
Kenapa saya menyebut adanya istilah “komik kanvas”? Secara visual, representasi karya-karya yang tampil dalam pameran ini memang merupakan obyek-obyek sebagaimana yang dikenal dalam bentuk gambar komik. Hanya saja, bentuk visual komik yang biasanya secara umum dikenal dalam buku stensilan itu, kini berada di dalam bidang kanvas. Jadilah karya-karya yang tampil merupakan tokoh-tokoh maupun obyek fantasi seperti yang hidup dalam dunia kanak-kanak. Ada sosok harimau, buaya, monyet, ular, robot, dan obyek karikatural lainnya.
Salah satu sisi penting adanya pameran ini boleh jadi adalah mencermati seberapa jauh pendekatan perspektif ilmu grafis termaksimalkan dalam bidang-bidang kanvas yang rata-rata bermaterial akrilik tersebut. Setidaknya, “fokus pengamatan” semacam ini akan membuat pengunjung mempunyai kesadaran perspektif soal kedalaman penguasaan pendekatan ilmu grafis yang digunakan masing-masing perupa. Tinggal yang terakhir kemudian adalah bagaimana capaian visual karya itu sendiri, apakah mengejutkan dalam hal gagasan, misalnya.
Kurator Agung Frigidanto menyebut di dalam katalog soal evolusi media relevansinya dengan “kotak ajaib” televisi dan dunia maya. Betapa pengaruh sejumlah elemen budaya global tersebut begitu signifikan dan tuntutan penceritaan dalam ruang media pun bisa mengalami semacam penyiasatan. Rupanya, pameran ini memang ada di dalam kerangka pemahaman semacam itu. Sehingga dalam satu bidang kanvas pengunjung secara spontan bakalan mendapatkan suguhan “cerita yang ringkas dan valid” tanpa obyek tersebut menceritakan “secara capek”.
Artinya, lansiran soal evolusi media tersebut mendapatkan katup pembenaran bahwa perupa-perupa kita kini juga merambah eksperimentasi berupa upaya membungkus bahasa visual menjadi lebih padat lewat transformasi medium “komik kanvas”. Tanpa harus berlama-lama melihat televisi dan nongkrong di depan layar dunia maya, pengunjung sudah dapat melihat dengan singkat dan jelas pesan apa yang ingin disampaikan dalam sebidang ranah kanvas. Meskipun fenomena semacam ini bukanlah kebaruan, namun tetap saja memikat diapresiasi sebagai niatan eksplorasi.
Sudut pandang yang juga tak kelewat penting dalam “mengukur” capaian visual karya semacam ini tentu saja soal kompleksitas bentuk kreasi yang ditampilkan. Sejauh ini, apa yang tampil memang hanya cenderung “memindah” gambar-gambar komik serupa stensilan ke atas kanvas. Capaian visual yang katakanlah lebih kreatif dari itu nisbi tertemukan.
Lantas, apakah acuan maksimal sebagaimana sodoran gambar-gambar komik memang hanya semacam itu? Inilah persoalannya. Perlu terpikirkan adanya capaian visual berupa gambar komik di dalam bidang kanvas yang lebih kritis muatan eksplorasinya. Setidaknya, mempunyai isu tertentu yang membuat gambar serupa komik tidak identik hanya sebagai dunia penghadiran tokoh atau obyek fantasi. Namun, boleh jadi hakikat komik memanglah hanya untuk bermain-main fantasi itu sendiri? Sebuah nilai baku yang tak tergugatkan?
Dalam bentuk yang bukan merupakan “komik kanvas” namun komik buku stensilan, gambar-gambar yang kritis dalam pengertian memuat ideologi tertentu memang sudah cukup banyak beredar. Katakanlah yang berideologi “kiri kerakyatan”, misalnya. Namun, keberadaannya seperti hanya dalam lingkup yang terbatas. Maunya mengubah paradigma tertentu masyarakat malah justru seperti terpenjara dalam segmentasi yang sempit. Jika ada fenomena semacam ini, lantas formula apakah yang perlu diambil guna membebaskannya dari segmentasi yang justru sempit itu? Apakah jika kemudian tertransformasi menjadi “komik kanvas” bakalan direspons lebih baik dan keluar dari segmentasi yang terasa sempit?
Jadi, capaian visual sebagaimana gambar-gambar komik sungguh tertakdirkan hanya untuk bermain-main fantasi saja? ***