Dari : Sinar Harapan
Yogyakarta – Seorang perempuan agak tua dan bergigi tonggos tengah menabuh genderang. Di dekatnya terdapat tulisan “and justice for all”.
Itulah lukisan Totok Buchori, Ketua Sanggar Bambu, yang tengah dipamerkan di Tujuh Bintang Art Space dengan tajuk “Adopt!Adapt!” yang akan berlangsung 17-27 Maret. Lukisan Totok Buchori yang berjudul “Smiling People” memang menjadi semakin penting bila dikaitkan dengan situasi akhir-akhir ini ketika persoalan hukum semakin mencuat.
Di sinilah lewat kepekaannya, Totok menyadarkan kepada semua orang, bangsa ini, agar hukum benar-benar ditegakkan tanpa tebang pilih dan mengedepankan keadilan. Bagi Totok, keadilan masih jauh dari jangkauan rakyat kecil. Karenanya, ia mencoba menyuarakan hal ini dengan sosok perempuan yang berpenampilan sederhana (bersahaja).
Kenapa?
Totok melihat bangsa kita adalah bangsa yang ramah, mudah tersenyum. “Tapi kalau keadilan tak bisa mereka nikmati, bisa saja mereka akan bertindak anarkistis dan menabuh genderang perang. Untuk mencegah ini perlulah pemerintah bersungguh-sungguh menegakkan keadilan tanpa pandang bulu,” ungkapnya dalam percakapannya dengan SH, Senin (22/3) pagi.
Terlepas dari makna yang terkandung di dalamnya, ada sesuatu yang menarik pada lukisan Totok. Betapa tidak, wajah dari perempuan itu pernah pula dipakai oleh perupa Sigit Santoso ketika berpameran di Bentara Budaya beberapa waktu lalu. “Memang benar wajah itu pernah dipinjam oleh sahabat saya Sigit. Kala itu Sigit meminjam foto perempuan itu lantas diambil wajahnya saja. Hal semacam ini sah-sah saja, tak menjadi soal, yang penting adalah makna dari lukisan itu sendiri,” ungkap Totok.
Diakui Totok, kala melukis “Smiling People” ini dirinya menggunakan Photoshop. Artinya, ia menggunakan kemajuan teknologi untuk berkarya, yakni mempercepat pembuatan sketsa. Dengan begitu, menurut pengakuan Totok, akan lebih memudahkan dirinya melukis realis. “Melukis realis itu tak mudah. Kalau saya menggunakan teknologi Photoshop itu hanyalah untuk mempercepat pembuatan sketsa. Kemajuan teknologi ini sangat membantu saya dalam berkarya,” kata Totok.
Memang, sebagaimana juga diungkapkan oleh Kuss Indarto, kurator dalam pameran ini, adanya kemajuan teknologi itu pada akhirnya tidak sekadar menjadi alat bantu, namun juga telah menjadi cara pandang kreatif dalam menelurkan karya-karya estetik lainnya yang lebih kreatif. “Namun teknologi bukan segala-segalanya bagi perupa,” tegas Kuss.
Beradaptasi
Pendekatan para seniman terhadap perkembangan teknologi inilah, yang dinilai Kuss, bertemu dalam satu titik bernama adaptasi. Kemampuan beradaptasi adalah situasi dalam diri seniman untuk menyesuai`kan atau berdamai dengan kebaruan yang berasal dari dunia eksternal mereka.
“Teknologi adalah salah satu yang memungkinkan untuk diserap dan diadaptasi untuk memberi tantangan bagi laju progresivitas kreatif mereka,” ujarnya seraya menambahkan gejala mengadopsi atau memungut (to adopt) ini banyak muncul pada lukisan-lukisan di seluruh Indonesia.
Namun, menurut Kuss, pada kesempatan yang sama, pada kerumunan persoalan gairah seniman yang memacu progresivitas kreatifnya dengan mendayagunakan teknologi, ada persoalan lain yang juga agenda permasalahan bagi sebagian seniman untuk terus diadopsi, yakni problem penggalian nilai-nilai “identitas kebudayaan”.
Persoalan adapt dan adopt ini tentu bisa kita lihat dalam pameran yang tengah digelar di Tujuh Bintang Art Space. Selain Totok Buchori, masih ada 22 seniman yang memamerkan karya-karya mereka. Sebut saja perupa Yuli Kodo dengan tajuk karya “Spirit of Java” (200x150 cm, oil on canvas, 2010) yang memvisualisasikan sosok seorang tokoh pengamat dan kurator seni rupa Indonesia Suwarno Wisetrotomo.
Ada pula perupa Wilman Syahnur yang belakangan ini mencuat namanya dalam Biennale Jogja X yang membuat “Becak Obama”. Namun dalam pameran ini, Wilman menyertakan lukisannya yang berjudul “Wrestling With The Angel”.
Di sinilah lewat kepekaannya, Totok menyadarkan kepada semua orang, bangsa ini, agar hukum benar-benar ditegakkan tanpa tebang pilih dan mengedepankan keadilan. Bagi Totok, keadilan masih jauh dari jangkauan rakyat kecil. Karenanya, ia mencoba menyuarakan hal ini dengan sosok perempuan yang berpenampilan sederhana (bersahaja).
Kenapa?
Totok melihat bangsa kita adalah bangsa yang ramah, mudah tersenyum. “Tapi kalau keadilan tak bisa mereka nikmati, bisa saja mereka akan bertindak anarkistis dan menabuh genderang perang. Untuk mencegah ini perlulah pemerintah bersungguh-sungguh menegakkan keadilan tanpa pandang bulu,” ungkapnya dalam percakapannya dengan SH, Senin (22/3) pagi.
Terlepas dari makna yang terkandung di dalamnya, ada sesuatu yang menarik pada lukisan Totok. Betapa tidak, wajah dari perempuan itu pernah pula dipakai oleh perupa Sigit Santoso ketika berpameran di Bentara Budaya beberapa waktu lalu. “Memang benar wajah itu pernah dipinjam oleh sahabat saya Sigit. Kala itu Sigit meminjam foto perempuan itu lantas diambil wajahnya saja. Hal semacam ini sah-sah saja, tak menjadi soal, yang penting adalah makna dari lukisan itu sendiri,” ungkap Totok.
Diakui Totok, kala melukis “Smiling People” ini dirinya menggunakan Photoshop. Artinya, ia menggunakan kemajuan teknologi untuk berkarya, yakni mempercepat pembuatan sketsa. Dengan begitu, menurut pengakuan Totok, akan lebih memudahkan dirinya melukis realis. “Melukis realis itu tak mudah. Kalau saya menggunakan teknologi Photoshop itu hanyalah untuk mempercepat pembuatan sketsa. Kemajuan teknologi ini sangat membantu saya dalam berkarya,” kata Totok.
Memang, sebagaimana juga diungkapkan oleh Kuss Indarto, kurator dalam pameran ini, adanya kemajuan teknologi itu pada akhirnya tidak sekadar menjadi alat bantu, namun juga telah menjadi cara pandang kreatif dalam menelurkan karya-karya estetik lainnya yang lebih kreatif. “Namun teknologi bukan segala-segalanya bagi perupa,” tegas Kuss.
Beradaptasi
Pendekatan para seniman terhadap perkembangan teknologi inilah, yang dinilai Kuss, bertemu dalam satu titik bernama adaptasi. Kemampuan beradaptasi adalah situasi dalam diri seniman untuk menyesuai`kan atau berdamai dengan kebaruan yang berasal dari dunia eksternal mereka.
“Teknologi adalah salah satu yang memungkinkan untuk diserap dan diadaptasi untuk memberi tantangan bagi laju progresivitas kreatif mereka,” ujarnya seraya menambahkan gejala mengadopsi atau memungut (to adopt) ini banyak muncul pada lukisan-lukisan di seluruh Indonesia.
Namun, menurut Kuss, pada kesempatan yang sama, pada kerumunan persoalan gairah seniman yang memacu progresivitas kreatifnya dengan mendayagunakan teknologi, ada persoalan lain yang juga agenda permasalahan bagi sebagian seniman untuk terus diadopsi, yakni problem penggalian nilai-nilai “identitas kebudayaan”.
Persoalan adapt dan adopt ini tentu bisa kita lihat dalam pameran yang tengah digelar di Tujuh Bintang Art Space. Selain Totok Buchori, masih ada 22 seniman yang memamerkan karya-karya mereka. Sebut saja perupa Yuli Kodo dengan tajuk karya “Spirit of Java” (200x150 cm, oil on canvas, 2010) yang memvisualisasikan sosok seorang tokoh pengamat dan kurator seni rupa Indonesia Suwarno Wisetrotomo.
Ada pula perupa Wilman Syahnur yang belakangan ini mencuat namanya dalam Biennale Jogja X yang membuat “Becak Obama”. Namun dalam pameran ini, Wilman menyertakan lukisannya yang berjudul “Wrestling With The Angel”.