Senin, 15/03/2010 13:45:25 WIB
Oleh: Herry Suhendra
JAKARTA (Bisnis.com): Sebanyak 23 seniman dari berbagai kota di Indonesia yang menempuh pendidikan di ISI Yogyakarta, menyelenggarakan pameran bersama dengan tema Adopt! Adapt! di Tujuh Bintang Art Space Yogyakarta pada 17 Maret.
"Praktik berkesenian bagi banyak kalangan perupa di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, telah masuk dalam babakan di mana teknologi memiliki peran yang teramat penting," kata kurator Kuss Indarto, hari ini.
Menurut dia, teknologi menjadi perangkat utama dalam penciptaan karya sehingga dari sanalah karya yang dihasilkan itu berasal. Pada seniman jenis ini, kedudukan teknologi dalam kaitan dengan proses kreatifnya menjadi ideologis karena mendasarkan (nyaris) seluruh berkaryanya dengan bantuan perangkat teknologi.
"Teknologi juga sebagai perangkat pembantu dalam proses kreatif. Di sini para perupa mencoba mengembangkan kecenderungan kreatif yang selama ini telah dilakoninya, dan memasukkan peran perangkat teknologi sebagai salah satu bagian dalam proses berkreasi."
Teknologi, tambahnya, sebagai alat bantu untuk mendukung dalam menajamkan tema yang telah jadi pilihannya. Namun, teknologi bukan segala-segalanya bagi perupa semacam ini.
Kemampuan seniman untuk beradaptasi atau menyesuaikan atau menyelaraskan [to adapt] dengan kebaruan-kebaruan teknologi yang ada di lingkungannya. Di sisi lain, jelasnya, saat ini publik sulit sekali membuat identifikasi personal atau komunal untuk melihat sebuah karya seni rupa.
"Misalnya, karya seniman yang berasal dari Yogyakarta, bisa sangat jauh dari identitas keyogyaan atua kejawaannya."
Begitu juga dengan karya perupa dari Ranah Minang bisa tak beda jauh 'identitas visualnya' dari karya seniman Eropa. Gejala ini mengemuka dimana-mana, dan menjadi bagian penting dari kerja kreatif seniman yang imajinasinya tidak seutuhnya didukung dan bersumber dari ide-ide lokal.
"Lokalitas terkadang seperti diingkari secara visual, meski secara konseptual hal ini masih belum beranjak jauh. Gejala ini saya kira dapat ditengarai sebagai sebuah cara seniman dalam bersiasat untuk memperbarui dunia gagasan dan implementasinya di medan kreatifnya, di atas kanvasnya," kata Kuss Indarto.
Para seniman yang ikut pameran adalah Agung Tato, Amrianis, Bambang 'BP' Prasetyo, Dadang Imawan, Hadi Soesanto, Ekwan, I Nyoman Agus Wijaya, Iwan Sri Hartoko, Martono, M. Sinnie, Mujiharjo, Nur Khamim, Nico Siswanto, Rocka Radipa, Tato Kastareja, Totok Buchori, Yudi Sulistyo, Yoyok Sahaja, Wilman Syahnur, Yuli Kodo, Danny Ardiyanto, Klowor, dan Bonny Setiawan.(yn)
Oleh: Herry Suhendra
JAKARTA (Bisnis.com): Sebanyak 23 seniman dari berbagai kota di Indonesia yang menempuh pendidikan di ISI Yogyakarta, menyelenggarakan pameran bersama dengan tema Adopt! Adapt! di Tujuh Bintang Art Space Yogyakarta pada 17 Maret.
"Praktik berkesenian bagi banyak kalangan perupa di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, telah masuk dalam babakan di mana teknologi memiliki peran yang teramat penting," kata kurator Kuss Indarto, hari ini.
Menurut dia, teknologi menjadi perangkat utama dalam penciptaan karya sehingga dari sanalah karya yang dihasilkan itu berasal. Pada seniman jenis ini, kedudukan teknologi dalam kaitan dengan proses kreatifnya menjadi ideologis karena mendasarkan (nyaris) seluruh berkaryanya dengan bantuan perangkat teknologi.
"Teknologi juga sebagai perangkat pembantu dalam proses kreatif. Di sini para perupa mencoba mengembangkan kecenderungan kreatif yang selama ini telah dilakoninya, dan memasukkan peran perangkat teknologi sebagai salah satu bagian dalam proses berkreasi."
Teknologi, tambahnya, sebagai alat bantu untuk mendukung dalam menajamkan tema yang telah jadi pilihannya. Namun, teknologi bukan segala-segalanya bagi perupa semacam ini.
Kemampuan seniman untuk beradaptasi atau menyesuaikan atau menyelaraskan [to adapt] dengan kebaruan-kebaruan teknologi yang ada di lingkungannya. Di sisi lain, jelasnya, saat ini publik sulit sekali membuat identifikasi personal atau komunal untuk melihat sebuah karya seni rupa.
"Misalnya, karya seniman yang berasal dari Yogyakarta, bisa sangat jauh dari identitas keyogyaan atua kejawaannya."
Begitu juga dengan karya perupa dari Ranah Minang bisa tak beda jauh 'identitas visualnya' dari karya seniman Eropa. Gejala ini mengemuka dimana-mana, dan menjadi bagian penting dari kerja kreatif seniman yang imajinasinya tidak seutuhnya didukung dan bersumber dari ide-ide lokal.
"Lokalitas terkadang seperti diingkari secara visual, meski secara konseptual hal ini masih belum beranjak jauh. Gejala ini saya kira dapat ditengarai sebagai sebuah cara seniman dalam bersiasat untuk memperbarui dunia gagasan dan implementasinya di medan kreatifnya, di atas kanvasnya," kata Kuss Indarto.
Para seniman yang ikut pameran adalah Agung Tato, Amrianis, Bambang 'BP' Prasetyo, Dadang Imawan, Hadi Soesanto, Ekwan, I Nyoman Agus Wijaya, Iwan Sri Hartoko, Martono, M. Sinnie, Mujiharjo, Nur Khamim, Nico Siswanto, Rocka Radipa, Tato Kastareja, Totok Buchori, Yudi Sulistyo, Yoyok Sahaja, Wilman Syahnur, Yuli Kodo, Danny Ardiyanto, Klowor, dan Bonny Setiawan.(yn)