Kau tau tentang racun? Pasti! Bahkan di dalam tubuhmu, juga tubuh kita semua, bersemayam racun akibat dari pola dan gaya hidup kita hari ini; lingkungan, udara, makanan yang masuk ke tubuh kita. Seberapa jauh racun itu terkelola dengan baik atau tidak, tentu tergantung kualitas kesehatan ginjal. Dalam terminologi ilmu kimia, racun dijelaskan sebagai berikut, “zat yang mengubah metabolisme yang normal dari organisme yang merugikan kesehatan dan dapat mematikan bila sedikit zat ini dimakan atau bersentuhan dengan organisme itu”. Racun disebut pula toksin.
Racun mendatangi tubuh kita dari manapun dan dari sumber apapun. Dalam tubuh Kyre, saya duga juga dalam jiwa dan pikirannya, terdapat gugusan toksin atau racun, yang mula-mula datang dari luar dirinya, dan kemudian, sadar atau tidak, diproduksi oleh tubuh dan jiwanya. Seserius itukah? Tentu saja, Anda atau kita semua boleh menyangsikannya.
Oh ya, siapakah Kyre? Dia perupa muda yang gelisah, yang memiliki nama unik Oky Rey Montha Bukit a.k.a Kyre Tempatkencink. Perhatikan nama sapaannya itu, kelihatan bengal ya? Orang muda ini dilahirkan di Yogyakarta, 3 Januari 1986, tetapi tumbuh dan besar di Kabanjahe, Sumatera Utara, sampai akhirnya kembali lagi ke Yogyakarta untuk kuliah di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta. Minat utama yang diambil Desain Komunikasi Visual. Hobinya membaca dan membuat komik. Ia membuat komunitas yang diberi nama Tempatkencink Visual Art Comunity Yogyakarta, yang (secara narsis...!) menerbitkan buku komiknya sendiri dengan judul “One Day Mystique 2009” – Kyre Illustration pocket book (2009). Dalam buku itu, Kyre menulis pengantar pendek (ia menyebutnya INTRO – setali tiga uang), antara lain mengatakan, “Apa yang dicari setiap orang ketika udara yang bersimpang siur di dalam tubuhnya masih dapat berrotasi dengan sempurna? Sel-sel darah merah masih bergejolak, syaraf-syaraf otak masih berfungsi sebagaimana mestinya? Bohong kalau dia tidak mencari sebuah kenikmatan. Kaya raya, terkenal, uang, kedudukan, bahkan menenggak sebotol anggur cap orang tua pun adalah sebuah bentuk kenikmatan yang dicari manusia. Salah satu bentuk kenikmatan lain yang lebih sial adalah fantasi. Kebiasaan berfantasi dapat menimbulkan berbagai macam efek samping yang kadang merugikan makhluk-makhluk di sekitarnya”. Saya kira tulisan itu lebih menunjukkan endapan bawah sadar Kyre dalam memahami perilakunya sendiri. Setidak-tidaknya adalah problematika, bagaimana ia memamahi dirinya sendiri, terkait dengan urusan gelegak fantasi, memori rasa sakit, amarah, dan upaya membebaskan dirinya dari kepungan kisah yang menikam-nikam.
Saya baru bertemu muka dan ngobrol dengan Kyre dua kali. Cara dan gaya bicaranya pelan, sering tampak ragu-ragu, juga tampak menyimpan banyak kisah yang (sepertinya) tak membuatnya nyaman (itu yang saya sebut sebagai “kisah yang menikam-nikam”). Dia juga bilang, agak nervous ketemu saya (mungkin itu yang membuatnya bicara pelan dan tak begitu mengalir?). Namun toh, akhirnya Kyre bicara juga, terutama menjawab sejumlah kesangsian dan pertanyaanku (sebenarnya bukan pertanyaan, tetapi lebih sebagai upaya melakukan konfirmasi-konfirmasi, sembari melihat karya-karya lukisannya).
Inti kisah, Kyre di masa lalunya, masa kanak-kanak dan remaja, sewaktu masih tinggal di Medan, berada dalam situasi ‘di bawah tekanan’ kedua orang tuanya. Maksud orang tuanya, tentu, mengajari Kyre (sebagai si sulung) untuk kerja keras, memberikan contoh, dan bertanggungjawab atas kedua adiknya. Akibatnya, waktunya habis untuk merawat kelinci-kelinci piaraan adik atau keluarganya, juga habis untuk mengurus sebagian pekerjaan rumah tangga. Ia merasa tak memiliki waktu untuk bermain lepas, seperti halnya anak-anak seusianya. “Hanya seperti itu, kau sudah merasa tertekan dan depresi?” saya menyergah memotong ceritanya (dalam hati, saya menyimpan kata yang lebih tajam, tapi tak terucapkan, tepatnya prasangka, yakni, “cengeng amat kau...!”). Kyre seperti tergagap, kemudian melanjutkan, “aku sering diperlakukan kasar oleh orang tuaku....!”. “Oh.... sory” jawab saya cepat. Ia juga mengatakan, bahwa betapa terbatasnya komunikasi yang terbangun antara dirinya dengan orang tuanya. Kata kunci dari kisahnya adalah “perlakuan kasar”, dan kemudian membekas mengiringi pertumbuhan – tubuh dan jiwa – dirinya.
Kata kunci itu cukup jelas. Maksudku tak perlu diurai detailnya, dan sudah bisa digunakan sebagai pintu masuk untuk memahami Kyre dan karya-karyanya, juga aktivitas-aktivitasnya.
Apakah Kyre, melalui karya-karyanya, tengah mempersoalkan mind, body, soul; pikiran, tubuh, dan jiwa? Mengapa karya-karya Kyre begitu ornamentik dengan warna-warna menyala, padahal seluruh karyanya bertolak dari kisah getir masa lalunya? Itulah pertanyaan saya, mungkin juga pertanyaan kita, ketika berhadapan dengan karya-karya Kyre.
Estetisasi Toksin
Toksoid: toksin yang telah kehilangan sifat-sifat toksinnya sebagai akibat dinaturasi atau modifikasi kimia, namun sifat-sifat antigennya masih dipertahankan.
Pameran tunggal Kyre yang pertama ini bertajuk “EVORAH (Evil of Rabbit Head)”. Tajuk ini juga digunakan sebagai judul sebuah novel debutan karya Sukma Swarga Tiba (sssst... dia pacar Kyre....!), 33 halaman kwarto, yang kisahnya juga bertolak dari riwayat hidup Kyre. Kira-kira, novel ini berbasis kisah nyata, yang diolah dan diramu menjadi beraroma fiksi. Lalu, bagaimana hubungan antara novel dengan lukisan-lukisan Kyre? Yang pasti, keduanya bertolak dari sumber yang sama, dan dikreasi oleh orang yang berbeda. Bisa terhubung, bisa juga (dianggap) terpisah. Maksud saya, setidak-tidaknya sampai hari ini, mereka yang membaca novel Sukma dan berupaya mengerti, tak harus mengamati karya-karya lukisan Kyre sampai paham. Demikian pula sebaliknya, mereka yang mengamati dan berupaya mengerti karya-karya Kyre tak harus membaca novel Sukma. Maksud saya berikutnya, bahwa kedua karya itu bisa sangat otonom, dan pada kesempatan berikutnya berpotensi dapat saling memperkaya.
Kembali pada karya-karya Kyre, memang terasa paradoks. Bersumber dari pengalaman dirinya yang buram, karya-karya itu justru ditampilkan secara hingar-bingar, dengan ornamentasi yang riuh dengan warna-warna pastel cerah, dan lembut. Itulah yang saya singgung sejak awal dalam tulisan ini, yakni tentang racun, toksin, dan kemudian toksoid. Pengalaman buram itulah yang terakumulasi menjadi “racun”, yang berpotensi destruktif, baik yang terekspresikan dalam perilaku/tindakan, maupun yang tersimpan dalam kepala dan hatinya. Keduanya merupakan daya perusak yang efektif, dan sanggup menghancurkan (kepribadian, gaya hidup, karier, dll).
Racun harus dikeluarkan dari tubuh, setidaknya dijinakkan, atau dalam istilah kimia disebut detaksikasi, yakni proses membuat zat beracun menjadi tak berbahaya. Racun yang sudah di-detaksikasi tidak lagi menjadi perusak. Dalam konteks proses kreatif Kyre, gumpalan-gumpalan “racun” pada dirinya itu di-detaksikasi melalui corat-coret komik, gambar-gambar fantasi, yang akhirnya menjadi karya-karya lukisan.
Pengalaman-pengalaman buram itu ditumpahkan melalui gambar. Di sana, di bidang gambar itu, Kyre masih bisa mengumpat, meledek, berguman, atau bergurau. Warna-warni yang meriah, dan bentuk-bentuk yang kartunal (deformasi, stilisasi, dan ornamentasi) merupakan bahan dan adonan yang efektif dalam proses detaksikasi, proses reduksi agar racun menjadi tawar. Tajuk “Evil of Rabbit Head” adalah ekspresi umpatan, ledekan, gumam, dan gurauannya.
“Setan Berkepala Kelinci” adalah pengalaman personal, bahkan merupakan personifikasi dirinya. Tajuk itu juga menyiratkan sikap paradoks; meski “setan”, tetapi kalau berkepala “kelinci” akan tereduksi wujud dan watak seramnya. Mungkin itulah yang akan dikatakan Kyre, bahwa dirinya tetap “manis, lucu, menggemaskan” bak “kelinci”, meski menyimpan nafsu setan. Semua kecenderungan “setan” dalam dirinya, ia taklukkan dengan kemasan yang menggemaskan. Perhatikan karya dengan judul “Between Luck, Faith, and Dangerous” (2010); yang menyimpan kemarahan, atau kisah tentang pertarungan hidup yang berbahaya. Namun toh karya ini tetap sedap dipandang mata. Juga karya “Trip of Trap” (2010); sebuah panorama surealistik, sang “setan berkepala kelinci” sedang mengendalikan ‘kereta bertanduk rusa’ (seperti cerita Sinterklas?) dengan seorang penumpang ‘gadis berkacamata’ tengah melintasi langit, di atas ombak (seperti grafis klasik Hokusai?), terdapat bulan penuh, jembatan, dan bangunan kuil (seperti kisah Musashi?). Perjalanan menuju jebakan? Saya duga, kisah yang tersembunyi di balik karya ini cukup getir, tetapi tetap indah bukan? Bahkan mengingatkan pada banyak karya atau kisah yang lain? Atau karya “Hard Decision” (2010); seperti judulnya, kira-kira karya ini berkisah tentang keputusan-keputusan sulit, rumit, dan beresiko, yang harus diambil oleh Kyre. Tetapi, sekali lagi, karya ini tetap terasa jinak, disebabkan oleh bentuk dan warna-warnanya.
Saya ingin pula menyebut proses ini sebagai “estetisasi toksin”, yang di dalamnya tentu terjadi “toksoid”. Kyre berhasil “menjinakkan racun-racun” intangible; racun tak berwujud, tak teraba, tetapi sangat terasa (bagi dirinya). Karena itulah saya mengatakan pada Kyre, “kau beruntung punya kisah masa lalu yang pahit”.
Catatan Kritis
Suatu pilihan ‘bahasa ekspresi’ bisa menjadi jebakan. Kyre bisa terjebak pada bahasa yang ia pilih, dan kemudian membawanya pada bahasa yang stereotipe yang akan berujung pada kemacetan (stagnasi). Indikasi terjadi kemacetan adalah larut dan tenggelam dalam pengulangan-pengulangan, dan itu berarti pula terjadi kemacetan dan ketumpulan gagasan. Jika ini terjadi, maka frustrasi baru segera menghadang dan melanda dirinya, serta sangat mungkin lebih menyakitkan.
Tak mudah untuk menghindar dari ancaman seperti itu. Kecuali Kyre memperkaya diri dengan referensi, mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan cara dan teknik bahasa ekspresi, serta mencari makna baru atas kisah-kisah dirinya sendiri. Kalau ia masih terpesona dengan kepahitan kisah dirinya dengan cara yang sama, maka kemacetan kreativitas sudah tinggal sejengkal di hadapannya.
Hal lain yang harus Kyre lihat dengan lebih terbuka adalah, bahwa karya-karya dengan genre semacam ini sudah cukup banyak. Misalnya karya-karya Bambang “Toko” Witjaksono, Nano Warsono, Wedhar Riyadi, Agus Yulianto, Andre Tanama, Uji “Hahan” Handoko, Tera Bajraghosa, Tulus Rahadi, dan beberapa nama lainnya. Terdapat pula nama Bae Yoo Hwan (perupa Korea, yang suka menghadirkan sosok kelinci dalam karyanya), dan Thukral & Tagra (lengkapnya Jinten Thukral dan Sumir Tagra, perupa kelahiran Punjab, India, yang bekerja bersama/berkolaborasi dengan karyanya yang rapi, surealistik ornamentik). Tentu saja karya-karya itu digubah dengan aneka alasan dan argumentasi masing-masing. Mereka, dengan problematika (jebakan dan posisi) yang hampir sama, namun sudah on the map, tentu dengan resepsi publik (kritikus, kurator, pencinta seni, kolektor, art dealer, atau siapapun dan apapun namanya) yang beragam.
Yang membedakan antara karya perupa yang satu dengan yang lainnya adalah argumentasi dan upaya-upaya memosisikan diri (positioning) dalam panggung seni rupa. Dengan kata lain, tantangan Kyre tak sederhana. Di samping harus menghindari “jebakan stagnasi” (gagasan dan visualisasi), juga harus berupaya menempatkan diri dalam peta seni rupa (Indonesia dan dunia) pada posisi yang meyakinkan. Dengan modal “Toksoid ala Kyre”, saya kira ia punya peluang besar. ***
Suwarno Wisetrotomo
Kritikus Seni Rupa
Dosen di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta
Racun mendatangi tubuh kita dari manapun dan dari sumber apapun. Dalam tubuh Kyre, saya duga juga dalam jiwa dan pikirannya, terdapat gugusan toksin atau racun, yang mula-mula datang dari luar dirinya, dan kemudian, sadar atau tidak, diproduksi oleh tubuh dan jiwanya. Seserius itukah? Tentu saja, Anda atau kita semua boleh menyangsikannya.
Oh ya, siapakah Kyre? Dia perupa muda yang gelisah, yang memiliki nama unik Oky Rey Montha Bukit a.k.a Kyre Tempatkencink. Perhatikan nama sapaannya itu, kelihatan bengal ya? Orang muda ini dilahirkan di Yogyakarta, 3 Januari 1986, tetapi tumbuh dan besar di Kabanjahe, Sumatera Utara, sampai akhirnya kembali lagi ke Yogyakarta untuk kuliah di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta. Minat utama yang diambil Desain Komunikasi Visual. Hobinya membaca dan membuat komik. Ia membuat komunitas yang diberi nama Tempatkencink Visual Art Comunity Yogyakarta, yang (secara narsis...!) menerbitkan buku komiknya sendiri dengan judul “One Day Mystique 2009” – Kyre Illustration pocket book (2009). Dalam buku itu, Kyre menulis pengantar pendek (ia menyebutnya INTRO – setali tiga uang), antara lain mengatakan, “Apa yang dicari setiap orang ketika udara yang bersimpang siur di dalam tubuhnya masih dapat berrotasi dengan sempurna? Sel-sel darah merah masih bergejolak, syaraf-syaraf otak masih berfungsi sebagaimana mestinya? Bohong kalau dia tidak mencari sebuah kenikmatan. Kaya raya, terkenal, uang, kedudukan, bahkan menenggak sebotol anggur cap orang tua pun adalah sebuah bentuk kenikmatan yang dicari manusia. Salah satu bentuk kenikmatan lain yang lebih sial adalah fantasi. Kebiasaan berfantasi dapat menimbulkan berbagai macam efek samping yang kadang merugikan makhluk-makhluk di sekitarnya”. Saya kira tulisan itu lebih menunjukkan endapan bawah sadar Kyre dalam memahami perilakunya sendiri. Setidak-tidaknya adalah problematika, bagaimana ia memamahi dirinya sendiri, terkait dengan urusan gelegak fantasi, memori rasa sakit, amarah, dan upaya membebaskan dirinya dari kepungan kisah yang menikam-nikam.
Saya baru bertemu muka dan ngobrol dengan Kyre dua kali. Cara dan gaya bicaranya pelan, sering tampak ragu-ragu, juga tampak menyimpan banyak kisah yang (sepertinya) tak membuatnya nyaman (itu yang saya sebut sebagai “kisah yang menikam-nikam”). Dia juga bilang, agak nervous ketemu saya (mungkin itu yang membuatnya bicara pelan dan tak begitu mengalir?). Namun toh, akhirnya Kyre bicara juga, terutama menjawab sejumlah kesangsian dan pertanyaanku (sebenarnya bukan pertanyaan, tetapi lebih sebagai upaya melakukan konfirmasi-konfirmasi, sembari melihat karya-karya lukisannya).
Inti kisah, Kyre di masa lalunya, masa kanak-kanak dan remaja, sewaktu masih tinggal di Medan, berada dalam situasi ‘di bawah tekanan’ kedua orang tuanya. Maksud orang tuanya, tentu, mengajari Kyre (sebagai si sulung) untuk kerja keras, memberikan contoh, dan bertanggungjawab atas kedua adiknya. Akibatnya, waktunya habis untuk merawat kelinci-kelinci piaraan adik atau keluarganya, juga habis untuk mengurus sebagian pekerjaan rumah tangga. Ia merasa tak memiliki waktu untuk bermain lepas, seperti halnya anak-anak seusianya. “Hanya seperti itu, kau sudah merasa tertekan dan depresi?” saya menyergah memotong ceritanya (dalam hati, saya menyimpan kata yang lebih tajam, tapi tak terucapkan, tepatnya prasangka, yakni, “cengeng amat kau...!”). Kyre seperti tergagap, kemudian melanjutkan, “aku sering diperlakukan kasar oleh orang tuaku....!”. “Oh.... sory” jawab saya cepat. Ia juga mengatakan, bahwa betapa terbatasnya komunikasi yang terbangun antara dirinya dengan orang tuanya. Kata kunci dari kisahnya adalah “perlakuan kasar”, dan kemudian membekas mengiringi pertumbuhan – tubuh dan jiwa – dirinya.
Kata kunci itu cukup jelas. Maksudku tak perlu diurai detailnya, dan sudah bisa digunakan sebagai pintu masuk untuk memahami Kyre dan karya-karyanya, juga aktivitas-aktivitasnya.
Apakah Kyre, melalui karya-karyanya, tengah mempersoalkan mind, body, soul; pikiran, tubuh, dan jiwa? Mengapa karya-karya Kyre begitu ornamentik dengan warna-warna menyala, padahal seluruh karyanya bertolak dari kisah getir masa lalunya? Itulah pertanyaan saya, mungkin juga pertanyaan kita, ketika berhadapan dengan karya-karya Kyre.
Estetisasi Toksin
Toksoid: toksin yang telah kehilangan sifat-sifat toksinnya sebagai akibat dinaturasi atau modifikasi kimia, namun sifat-sifat antigennya masih dipertahankan.
Pameran tunggal Kyre yang pertama ini bertajuk “EVORAH (Evil of Rabbit Head)”. Tajuk ini juga digunakan sebagai judul sebuah novel debutan karya Sukma Swarga Tiba (sssst... dia pacar Kyre....!), 33 halaman kwarto, yang kisahnya juga bertolak dari riwayat hidup Kyre. Kira-kira, novel ini berbasis kisah nyata, yang diolah dan diramu menjadi beraroma fiksi. Lalu, bagaimana hubungan antara novel dengan lukisan-lukisan Kyre? Yang pasti, keduanya bertolak dari sumber yang sama, dan dikreasi oleh orang yang berbeda. Bisa terhubung, bisa juga (dianggap) terpisah. Maksud saya, setidak-tidaknya sampai hari ini, mereka yang membaca novel Sukma dan berupaya mengerti, tak harus mengamati karya-karya lukisan Kyre sampai paham. Demikian pula sebaliknya, mereka yang mengamati dan berupaya mengerti karya-karya Kyre tak harus membaca novel Sukma. Maksud saya berikutnya, bahwa kedua karya itu bisa sangat otonom, dan pada kesempatan berikutnya berpotensi dapat saling memperkaya.
Kembali pada karya-karya Kyre, memang terasa paradoks. Bersumber dari pengalaman dirinya yang buram, karya-karya itu justru ditampilkan secara hingar-bingar, dengan ornamentasi yang riuh dengan warna-warna pastel cerah, dan lembut. Itulah yang saya singgung sejak awal dalam tulisan ini, yakni tentang racun, toksin, dan kemudian toksoid. Pengalaman buram itulah yang terakumulasi menjadi “racun”, yang berpotensi destruktif, baik yang terekspresikan dalam perilaku/tindakan, maupun yang tersimpan dalam kepala dan hatinya. Keduanya merupakan daya perusak yang efektif, dan sanggup menghancurkan (kepribadian, gaya hidup, karier, dll).
Racun harus dikeluarkan dari tubuh, setidaknya dijinakkan, atau dalam istilah kimia disebut detaksikasi, yakni proses membuat zat beracun menjadi tak berbahaya. Racun yang sudah di-detaksikasi tidak lagi menjadi perusak. Dalam konteks proses kreatif Kyre, gumpalan-gumpalan “racun” pada dirinya itu di-detaksikasi melalui corat-coret komik, gambar-gambar fantasi, yang akhirnya menjadi karya-karya lukisan.
Pengalaman-pengalaman buram itu ditumpahkan melalui gambar. Di sana, di bidang gambar itu, Kyre masih bisa mengumpat, meledek, berguman, atau bergurau. Warna-warni yang meriah, dan bentuk-bentuk yang kartunal (deformasi, stilisasi, dan ornamentasi) merupakan bahan dan adonan yang efektif dalam proses detaksikasi, proses reduksi agar racun menjadi tawar. Tajuk “Evil of Rabbit Head” adalah ekspresi umpatan, ledekan, gumam, dan gurauannya.
“Setan Berkepala Kelinci” adalah pengalaman personal, bahkan merupakan personifikasi dirinya. Tajuk itu juga menyiratkan sikap paradoks; meski “setan”, tetapi kalau berkepala “kelinci” akan tereduksi wujud dan watak seramnya. Mungkin itulah yang akan dikatakan Kyre, bahwa dirinya tetap “manis, lucu, menggemaskan” bak “kelinci”, meski menyimpan nafsu setan. Semua kecenderungan “setan” dalam dirinya, ia taklukkan dengan kemasan yang menggemaskan. Perhatikan karya dengan judul “Between Luck, Faith, and Dangerous” (2010); yang menyimpan kemarahan, atau kisah tentang pertarungan hidup yang berbahaya. Namun toh karya ini tetap sedap dipandang mata. Juga karya “Trip of Trap” (2010); sebuah panorama surealistik, sang “setan berkepala kelinci” sedang mengendalikan ‘kereta bertanduk rusa’ (seperti cerita Sinterklas?) dengan seorang penumpang ‘gadis berkacamata’ tengah melintasi langit, di atas ombak (seperti grafis klasik Hokusai?), terdapat bulan penuh, jembatan, dan bangunan kuil (seperti kisah Musashi?). Perjalanan menuju jebakan? Saya duga, kisah yang tersembunyi di balik karya ini cukup getir, tetapi tetap indah bukan? Bahkan mengingatkan pada banyak karya atau kisah yang lain? Atau karya “Hard Decision” (2010); seperti judulnya, kira-kira karya ini berkisah tentang keputusan-keputusan sulit, rumit, dan beresiko, yang harus diambil oleh Kyre. Tetapi, sekali lagi, karya ini tetap terasa jinak, disebabkan oleh bentuk dan warna-warnanya.
Saya ingin pula menyebut proses ini sebagai “estetisasi toksin”, yang di dalamnya tentu terjadi “toksoid”. Kyre berhasil “menjinakkan racun-racun” intangible; racun tak berwujud, tak teraba, tetapi sangat terasa (bagi dirinya). Karena itulah saya mengatakan pada Kyre, “kau beruntung punya kisah masa lalu yang pahit”.
Catatan Kritis
Suatu pilihan ‘bahasa ekspresi’ bisa menjadi jebakan. Kyre bisa terjebak pada bahasa yang ia pilih, dan kemudian membawanya pada bahasa yang stereotipe yang akan berujung pada kemacetan (stagnasi). Indikasi terjadi kemacetan adalah larut dan tenggelam dalam pengulangan-pengulangan, dan itu berarti pula terjadi kemacetan dan ketumpulan gagasan. Jika ini terjadi, maka frustrasi baru segera menghadang dan melanda dirinya, serta sangat mungkin lebih menyakitkan.
Tak mudah untuk menghindar dari ancaman seperti itu. Kecuali Kyre memperkaya diri dengan referensi, mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan cara dan teknik bahasa ekspresi, serta mencari makna baru atas kisah-kisah dirinya sendiri. Kalau ia masih terpesona dengan kepahitan kisah dirinya dengan cara yang sama, maka kemacetan kreativitas sudah tinggal sejengkal di hadapannya.
Hal lain yang harus Kyre lihat dengan lebih terbuka adalah, bahwa karya-karya dengan genre semacam ini sudah cukup banyak. Misalnya karya-karya Bambang “Toko” Witjaksono, Nano Warsono, Wedhar Riyadi, Agus Yulianto, Andre Tanama, Uji “Hahan” Handoko, Tera Bajraghosa, Tulus Rahadi, dan beberapa nama lainnya. Terdapat pula nama Bae Yoo Hwan (perupa Korea, yang suka menghadirkan sosok kelinci dalam karyanya), dan Thukral & Tagra (lengkapnya Jinten Thukral dan Sumir Tagra, perupa kelahiran Punjab, India, yang bekerja bersama/berkolaborasi dengan karyanya yang rapi, surealistik ornamentik). Tentu saja karya-karya itu digubah dengan aneka alasan dan argumentasi masing-masing. Mereka, dengan problematika (jebakan dan posisi) yang hampir sama, namun sudah on the map, tentu dengan resepsi publik (kritikus, kurator, pencinta seni, kolektor, art dealer, atau siapapun dan apapun namanya) yang beragam.
Yang membedakan antara karya perupa yang satu dengan yang lainnya adalah argumentasi dan upaya-upaya memosisikan diri (positioning) dalam panggung seni rupa. Dengan kata lain, tantangan Kyre tak sederhana. Di samping harus menghindari “jebakan stagnasi” (gagasan dan visualisasi), juga harus berupaya menempatkan diri dalam peta seni rupa (Indonesia dan dunia) pada posisi yang meyakinkan. Dengan modal “Toksoid ala Kyre”, saya kira ia punya peluang besar. ***
Suwarno Wisetrotomo
Kritikus Seni Rupa
Dosen di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta