Showing posts with label Info. Show all posts
Showing posts with label Info. Show all posts

Tuesday, July 27, 2010

Let's Fly An Arrow

Let’s Fly an Arrow
Spirit Mengubah Persepsi dan Provokasi Kreatif

Tujuh Bintang Art Space
7 - 21 Agustus 2010

Artists :
Afdhal | Agus Triono | Andi Laghost | Angga Aditya Atmadilaga | Bambang Supriyadi | Baskoro Latu | Budi Agung Kuswara | Dani ‘King’ Heriyanto | Deden FG | Dedy Maryadi | Dedy Sufriadi | Desrat Fianda | Dhomas Yudhistira | Dwi Rustanto | Arya Sucitra | I Made Adinata Mahendra | I Wayan Legianta | Imam Abdillah | Ivan Yulianto | Kadek Agus Mediana | Mulyo Gunarso | Nugroho Heri Cahyono | Pande Nyoman Alit Wijaya Suta | Purwanto | Suparyanto |
Untung Yuli Prastiawan | Widhi Kertiya Semadi | RB Setiawanta

Kurator
Netok Sawiji_Rusnoto Susanto

Pembukaan :
7 Agustus 2010 pukul 19:30 WIB

Dibuka Oleh :
Entang Wiharso

Performance :
Hadi Soesanto SE

Anak layaknya sebuah anak panah dan orang tua sebagai busurnya. Biarkan anak panah itu melesat dari busurnya bersama impian-impiannya karena sesungguhnya ia tahu persis alamat yang dikehendakinya. (Kahlil Gibran)
Bagai anak panah yang lepas dari busurnya, demikian Apollo dikisahkan sebagai dewa pertama ahli panah yang mengajar manusia seni pengobatan dan penyembuhan termasuk lewat musik. Ia dianggap membantu manusia mencapai potensi sepenuhnya dengan anugerah pencerahannya. (dalam Mitologi Yunani & Romawi)

Transformasi Spirit Kreatif atas Perceptual Images
Panah telah berabad-abad dijadikan ikon maupun simbol tertentu bagi sebagian besar bangsa-bangsa di dunia, kemudian panah menjadi metafora untuk mengartikulasikan pesan dan pencitraan tertentu. Meminjam mitologi Yunani kita segera menemukan perihal ‘panah’ sebagai subjek kajian. Apollo ‘Dewa cahaya’ merupakan dewa yang memiliki banyak keahlian; ahli musik, pemanah, pengobatan, dan penyair (seniman). Ia merupakan anak Zeus dan Leto sekaligus saudara kembar Artemis. Ramalan Orakel Delphi menunjukkan bahwa Apollo adalah salah satu dewa terpenting di Olimpus. Apollo, Dewa perbuatan, musik dan penyembuhan yang memberikan kebijaksanaan sebagai perantara antara dewa dan manusia. Dengan kepandaian yang tinggi, bagai anak panah yang lepas dari busurnya, dikisahkan dia adalah dewa pertama yang mengajarkan manusia seni pengobatan dan penyembuhan termasuk lewat musik. Ia dianggap membantu manusia mencapai potensi sepenuhnya dengan anugerah pencerahannya. Selama perang Troya, dipercaya bahwa Apollo berpihak dan menolong prajurit Hector di medan perang.

Sedangkan Artemis, saudara kembar Apollo dikenal sebagai dewi hutan dan perbukitan, digambarkan ia selalu membawa busur dan anak panah. Rusa dan pohon siprus dikeramatkan baginya. Artemis (Dewi berburu) merupakan dewi suci bagi pemburu dan pelindung kaum muda yang tengah mengatur masa depannya. Saudara kembar Apollo ini piawai dalam memanah melebihi semua dewa di Gunung Olympia. Panah yang dilepaskannya memberikan impresi sebuah pelepasan keputusan-keputusan pentingnya, pesan ini dapat dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kecerdasannya dalam mengambil keputusan-keputusan yangdapat dijadikan inspirasi kreatif bagi seorang perupa untuk memanifestasikan berbagai kegelisahan kreatifnya dengan menggelandang gagasan-gagasan gilanya.

Satu dari sekian banyak kisah dari mitologi Yunani tersebut membangun persepsi ‘panah’ sebagai metafora yang sesungguhnya memiliki kelekatan dengan spirit daya hidup dan optimisme. Kita semua diajak menata kembali pentingnya visi ke depan dengan tetap menjaga intensitas kreatif, karena kekuatan inilah yang dapat melesatkan impian-impian kita ke depan. Kita berharap para perupa tetap mengartikulasikan ikon-ikon visioner untuk menerabas kebuntuan-kebuntuan dan segera menemukan kekuatan-kekuatan potensial sebagai individu kreatif. Let’s Fly an Arrow mengisyaratkan kita pada teks Let’s Fly The Future Arrow atau Releasing The Arrow of The Future, itulah sepenggal kalimat motivasi yang nyaris tak pernah kita jumpai sebagai teks, namun biasa melesat-lesat dalam alam bawah sadar ketika kita berada di tepi keragu-raguan. Sejatinya kalimat semacam ini dapat diartikulasikan dengan presentasi yang berbeda-beda di setiap konteks budaya. Juga terjadi pada epos bharatayudha sering munculnya adegan-adegan yang berkaitan dengan panah yang memanifestasikan sejumlah nilai filosofis kehidupan.

Pencermatan terhadap fenomena apapun senantiasa bergantung pada seberapa mampu seseorang melakukan transformasi spirit dari nilai mitologi ke dalam semangat kreativitas kontemporer. Penggalian spiritual sesungguhnya memiliki aspek nilai tawar khusus bagi seseorang untuk pencapaian sebuah proses identifikasi yang menandai kerja kreatifnya. Sebagian besar peserta pameran saat ini memiliki kapasitas kreativitas dan intelektualitas yang memadai untuk melakukan transformasi gagasan intelektualnya atas respon fenomena estetik.

Selamat Mengapresiasi

Wednesday, May 19, 2010

Kuratorial Ten Made

TEN MADE
Tujuh Bintang Art SPace

PAMERAN seni rupa “Ten Made” menampilkan karya sepuluh pelukis yang tergabung dalam kelompok 10 Fine Art dari Sanur, Bali. Mereka adalah A.A. Ngurah Paramartha, I Ketut Teja Astawa, I Made Budi Adnyana, I Made Dollar Astawa, I Made Romi Sukadana, Ida Bagus Putu Purwa, I Wayan Apel Hendrawan, I Wayan Muliastra, I Wayan Paramartha dan Vinsensius Dedy Reru. Kelahiran kelompok ini ditandai dengan pameran kontroversial yang menampilkan lukisan lelaki telanjang, potret diri sepuluh anggota kelompok ini sendiri, pada 2004.

“Ten Made” dipilih sebagai judul pameran untuk menyatakan dua hal. Pertama, secara eksplisit, “Ten Made” berarti “buatan Ten”, bahwa karya-karya yang dipamerkan adalah ciptaan para perupa 10 Fine Art. Kedua, secara implisit, “Ten Made” berasosiasi dengan istilah populer “hand made” atau “buatan tangan”, sebagai pernyataan sikap kemandirian kreatif sepuluh anggota kelompok ini secara personal maupun komunal.

Meskipun bersinergi memadukan kekuatan dalam satu kelompok, para perupa 10 Fine Art tetap mempertahankan visi kreatif dan gaya lukis masing-masing. Karya mereka beragam. Kemandirian dan kebebasan ekspresi adalah “ideologi” bersama yang justru menyatukan mereka. Mereka saling belajar dan mendukung satu sama lain, sembari merayakan perbedaan, membuka ruang seluas-luasnya bagi keyakinan estetik dan kecenderungan artistik masing-masing. Secara personal, anggota kelompok ini aktif berpameran di berbagai tempat, di dalam dan luar negeri. Sejumlah person telah muncul sebagai perupa muda yang diperhitungkan di jagat seni rupa nasional.

Keragaman ekspresi artistik para perupa 10 Fine Art menggemakan situasi kehidupan sosial di Sanur, basis kelompok ini. Sanur adalah kawasan wisata terkenal di pesisir timur Denpasar yang dilengkapi fasilitas akomodasi modern berkelas internasional. Sebagaimana penghuni resor pariwisata tersohor lainnya, warga Sanur harus hidup bersama ribuan pendatang dari berbagai daerah di Indonesia yang mencari nafkah di sektor pariwisata, maupun lalu-lalang turis dari dalam dan luar negeri.

Namun berbeda dari pusat pariwisata lainnya di Bali, misalnya Kuta atau Ubud, atmosfir Sanur terasa lebih “eklektis”. Di Sanur, gaya-hidup kosmopolitan, lokalisasi pelacuran dan kafe remang-remang berdampingan dengan suasana alam nan syahdu dan mistis, prestasi historis seni lukis tradisional mazhab Sanur, kehadiran museum Le Mayeur, dan eksistensi gria Brahmana berpengaruh yang merupakan pusat keunggulan intelektual-religius-artistik Bali di masa silam. Sanur mengaduk yang tradisional dan yang modern, yang luhur dan yang mesum, yang sakral dan yang profan. Kemajemukan realitas Sanur ini kiranya berperan penting membentuk sikap toleran dan terbuka para perupa 10 Fine Art, sehingga mampu mengakomodasi dan mendayagunakan perbedaan mereka untuk membangun kekuatan dalam sebuah kelompok yang tetap solid sejak didirikan enam tahun silam sampai hari ini.

Kendati mengusung keragaman tema, gaya maupun teknik, kreativitas para seniman 10 Fine Art digerakkan oleh tanggapan dan sikap moral tertentu mengenai situasi kehidupan sosial yang sehari-hari dilihat dan dialami. Kreasi artistik mereka mencerminkan intuisi dan imajinasi personal, sekaligus kepekaan sosial dan kultural. Dengan cara masing-masing, mereka menanggapi transformasi yang berlangsung di masyarakat. Pada khususnya, respons akut dan kreativitas personal mereka tidak terlepas dari konteks sosial yang membentuk realitas Sanur sebagai lingkungan desa tradisional yang telah terglobalisasi, berubah menjadi pusat industri pariwisata berskala massal dan internasional.

Karya para perupa 10 Fine Art secara tersirat merefleksikan dampak gempuran gelombang tsunami globalisasi yang menyapu pantai Sanur pada khususnya, dan seantero Bali pada umumnya. Di Sanur pada abad 21, juga di kawasan-kawasan lain di Bali, budaya tradisional umumnya masih bertahan (atau dipertahankan, termasuk untuk menunjang kepentingan industri pariwisata), tapi sekaligus terancam karena semakin sulit diadaptasikan dengan tuntutan pragmatis kehidupan modern, dan juga karena harus bersaing dengan berbagai pengaruh budaya kontemporer sejagad yang lebih fleksibel, seksi dan profitable. Benturan budaya ini ditanggapi para perupa 10 Fine Art dengan psikologi berbeda-beda. Ada yang rileks, ada yang tegang. Namun demikian, mereka semua sama-sama menyuarakan kritisisme terhadap badai perubahan yang melanda lingkungan sosio-kultural Bali kontemporer.

Salah satu dampak perubahan sosio-kultural yang menjadi fokus perhatian para perupa adalah problem identitas. Dalam situasi silang-sengkarut aneka budaya, gaya hidup dan nilai-nilai yang berebut ruang, Sanur seolah menjelma jadi “wilayah tak bertuan” (no-man’s-land). Sebentang wilayah abu-abu di mana, mengutip teoretikus politik Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, “tidak ada identitas sosial yang sepenuhnya terlindung dari wacana luar yang membuatnya cacat dan tak bisa utuh-padu... tidak ada identitas yang dapat terbentuk dengan sempurna.” Atau dengan kata lain, suatu medan gegar identitas. Karena identitas adalah soal posisi subjek, maka di medan gegar identitas, subjek (individual maupun kolektif) tidak lagi dapat dipastikan posisinya. Subjek terombang-ambing tak menentu dalam kegamangan dan kebimbangan, disorientasi bahkan depresi.

Situasi ketidakpastian posisi subjek ditampilkan secara dramatis dalam karya-karya I.B Purwa. Lukisan-lukisannya mengetengahkan suatu biografi tubuh yang tak henti bergerak, berubah-ubah perangai, berganti-ganti posisi. Tubuh menggeliat, mengejang dan menghentak, sepenuhnya menjadi ajang pergolakan daya-daya internal dan eksternal. Secara heroik dan sekaligus ironis, Purwa merayakan subjektivitas tanpa pusat. Tubuh pada kanvasnya melambangkan kondisi masyarakat yang dari luar tampak solid dan memiliki identitas jelas, tapi sesungguhnya penuh retakan dan ketidakpastian di bagian dalam.

Wayan Muliastra menginterogasi problem identitas dengan menggelar proyek refleksi-diri. Serangkaian lukisan potret-dirinya mengungkapkan ketegangan psikologis hebat yang menyertai rumitnya, perihnya dan absurdnya upaya menegakkan identitas. Identitas yang utuh dan kukuh adalah mustahil, bukan saja karena selalu terkoyak oleh agresi dari luar (“Tak Bisa Menjerit”, “Terpancing”), tapi juga karena tidak lagi mempunyai akar esensial (“Charge”). Ketegangan psikologis juga terpancar dari figur-figur penari Bali dalam karya Wayan Apel Hendrawan (“Irama Laut”, “Menari dalam Api”). Tanda identitas etnis Bali pada tubuh figur tampak “dicemari” oleh jejak kekuatan-kekuatan dahsyat eksternal yang menggurat kulit mereka seperti tato.

Wayan Paramartha mempersoalkan identitas etnis Bali lewat ekspose citra fotografis perempuan Bali. Ia melakukan reinterpretasi kritis terhadap citra kemolekan perempuan Bali yang berperan penting melambungkan citra Bali sebagai surga eksotis dan erotis sejak dekade-dekade awal abad 20. Citra nostalgis-romantis perempuan Bali dimainkan Paramartha secara ironis untuk menimbang-kembali makna identitas etnis Bali pada zaman sekarang. Ada optimisme bahwa identitas etnis Bali akan tetap lestari di tengah deru perubahan (“Tak Akan Usai”). Sebaliknya, merebak pula pesimisme bahwa budaya tradisional Bali tidak relevan lagi dengan kemajuan zaman, terasing bagai penari Bali di tengah belantara metropolitan (“Lost in S’pore”). Dan jika pada masa kolonial, mengutip W. van Schendel, “ketelanjangan melambangkan keprimitivan, keterbelakangan, kecabulan dan kehinaan” manusia pribumi dan budaya lokal, maka pada zaman modern ini, emansipasi identitas etnis Bali perlu dipersenjatai dengan ilmu pengetahuan modern, ibarat gadis Bali telanjang menggenggam pistol (“Aku di Depan”).

Made Dollar Astawa menggeser posisi subjek perempuan dari pusat fantasi seksual, dan menggantinya dengan citra buah-buahan tertentu yang berkonotasi erotis. Erotisisme tidak lagi terisolasi pada tubuh perempuan, khususnya karakter fisik tertentu yang dianggap ideal dan membakar syahwat, melainkan muncul sebagai efek dari permainan tanda. Tubuh-erotis digeser oleh pikiran-erotis. Pergeseran ini menyiratkan suatu tanggapan kritis atas fenomena objektivikasi dan komodifikasi perempuan di “sisi kelam” pariwisata Sanur.

Dengan rileks, Ngurah Paramartha menerima kenyelenehan (idiosyncrasy) sebagai bagian yang wajar dari dinamika kehidupan sehari-hari. Lukisan-lukisannya menampilkan figur mirip-badut yang tingkahnya aneh-aneh. Di kawasan pariwisata seramai Sanur, di mana berkumpul segala macam karakter identitas dari seluruh penjuru dunia, penampilan dan perilaku seaneh apapun sesungguhnya tidak aneh lagi.

Tidak kalah rileksnya, Made Romi Sukadana meledek sindrom “disorientasi kultural” pada masyarakat yang dilanda krisis identitas. Karya-karya Romi memperagakan anakronisme yang menyengat: anekdot-anekdot karikatural tentang subjek yang tidak lagi mengenal dirinya sendiri, sehingga terdampar pada situasi absurd di tempat dan waktu yang salah. Unta, binatang padang pasir itu, hidup di padang rumput (“Unta dan Padang Rumput”). Sedangkan penyelam, yang mestinya menjelajah perairan, malah berkeliaran di padang pasir (“Menyelam di Padang Pasir”). Lucu dan sekaligus menyedihkan.
Kesadaran identitas etnis Bali menyeruak dari karya Ketut Teja Astawa yang berupaya meredefinisi dan merenegosiasi tradisi secara inovatif. Teja mencari sensibilitas yang bersumber dari budaya masyarakat tradisional Bali, dan mengemasnya dalam ekspresi kontemporer. Ia mengembangkan corak stilistik dan tematik khas yang berpijak pada eksplorasi personal terhadap khazanah artistik wayang kulit Bali dan seni lukis klasik Bali. Namun, berlawanan dengan watak seni wayang maupun seni lukis klasik Bali yang menjunjung keanggunan dan kestabilan tatanan, Teja mengadopsi khazanah tradisi dengan sikap kreatif yang rileks, untuk mengungkapkan pengalaman sehari-hari maupun fantasi individual yang kadang lucu bahkan konyol.

Berkebalikan dari Teja, Made Budi Adnyana dan V. Dedy Reru justru melepaskan diri dari bayang-bayang identitas etnis maupun identitas nasional. Budi adalah satu-satunya anggota kelompok 10 Fine Art yang konsisten berkarya di jalur seni lukis abstrak. Karya-karyanya bergaya Kubisme Analitis, khususnya mengikuti model yang dikembangkan oleh Georges Braque dan Lyonel Feininger. Sementara Dedy adalah satu-satunya perupa non-Bali dalam kelompok 10 Fine Art. Karya-karya mutakhirnya menjelajahi fenomena musik pop Barat, khususnya grup legendaris The Beatles. Berbagai citraan pada kanvasnya dilukis dengan memadukan kekuatan efek fotografis dan seni gambar (drawing). Meskipun dapat diidentifikasi dengan jelas, figur-figur dalam lukisan Dedy tampak menghantu (phantasmagoric), menghuni dunia-ambang di antara mimpi dan realitas: suatu metafora visual tentang kekuatan halusinogenik budaya massa.

Kemandirian kreatif para perupa 10 Fine Art berakar pada kepercayaan teguh terhadap otentisitas penciptaan seni murni (Fine Art). Para anggota kelompok ini terbuka kepada perkembangan zaman, tetapi menolak ikut-ikutan trend belaka. Mereka, misalnya, tak mau melukis dibantu artisan seperti banyak dilakukan pelukis sekarang, dan tidak tertarik mengubah gaya lukisan sekedar agar dianggap “kontemporer”. Mereka percaya bahwa karya seni sejati haruslah merupakan ekspresi diri yang otentik, ungkapan identitas kreatif personal yang unik: lahir dari rasa, karsa dan hasta sendiri. Ten Made.

Arif Bagus Prasetyo, Kurator
Alumnus IWP University of Iowa, Amerika Serikat

Monday, May 3, 2010

Kuratorial Homage

Kuratorial
H O M A G E

Netok Sawiji_Rusnoto Susanto

Secara sederhana Homage dapat diinterpretasikan sebagai sebuah sikap penghormatan terhadap berbagai aspek dalam proses pencapaian nilai-nilai terpuncak yang sampai saat ini sedang atau bahkan tetap diacu. Penghargaan/penghormatan dapat dialamatkan terhadap subjek-subjek tertentu yang dinilai memiliki kapasitas khusus, misalnya; tokoh, peristiwa, era atau penanda periodisasi maupun simbol-simbol tertentu yang muncul mengambil posisi penting. Penghormatan terhadap seorang maestro seni rupa misalnya, dengan berbagai pemikiran-pemikiran kreatif begitu sangat signifikan lekat pada produk kreativitas penggagasnya. Baik dari aspek visual maupun wacana filosofis dikembangkan dalam proses kreatif yang secara otomatis dapat merumuskan nilai-nilai dari ideologi estetika yang digelutinya. Disitulah spirit kreatif dipicu, diacu, berbagai kekhususan subject matter diurai/diartikulasikan, wacana seni rupa digulirkan dan proses kreativitas diperjuangkan nilai estetikanya.

Selayaknya memberikan penghormatan kepada maestro-maestro kita yang memperjuangkan sekaligus menegaskan kembali ideologi estetika sejak masa perjuangan, revolusi, kemerdekaan hingga seni rupa kontemporer yang akhir-akhir ini hiruk-pikuk berhasil menempatkannya pada pencapaian-pencapaian derajat sekaligus nilai inovatifnya. Bagaimana sejarah seni rupa kita dipertunjukkan di hadapan kita ketika mereka merepresentasikan ketajaman dan kecerdasan intuitif dengan perspektif individual yang tetap merespon jiwa jaman atas nilai-nilai local genius yang menjadi kesadarannya.

Alasan-alasan semacam inilah kemudian bingkai kuratorial ini dengan intensi mematangkan asumsi bahwa untuk meretaskan berbagai pemikiran-pemikiran segar dari para perupa peserta pameran dalam mendedikasikan proses perenungan, pemikiran dan olah kreatifnya sebagai representasi penghormatan nilai-nilai serta ideologi estetika yang diperjuangkan. Bernagai artikulasi visual dalam konteks ini tentu tidak secara permukaam diinterpretasi, namun dapat dicermati sebagai wujud persembahan nilai-nilai estetika untuk avant garde seni rupa kita. Pameran ini didedikasikan untuk para avant garde dan peristiwa yang diwacanakan pada kompetisi Tubi Art Award 2009 silam.

Penghormatan Kembali dan Upaya Menggali Ideologi Estetika
Seringkali kita luput untuk mampu menyampaikan apresiasi tertentu terhadap pencapaian-pencapaian puncak orang lain, terlebih rivalitasnya. Kita begitu disibukkan dengan rasa kagum –bahkan kadang berlebihan- atas pencapaian yang diraih diri kita sendiri tanpa rasa peduli pencapaian puncak diri kita bermula dari suatu inspirasi –inspirator- tertentu. Pada wacana kreativitas hal tersebut sangatlah umum dijumpai dan seketika menjadi sangat cair toleransinya. Padahal semua saling terkait, saling sinergi bahkan terinspirasi. Kemudian sesorang tergerak empatynya untuk berada pada sebuah kecenderungan melakukan hal serupa atau bahkan perlawanannya. Simak saja seorang Van Gogh menggilai karya-karya woodcut Jepang dan Joan Miro terinspirasi brushstroke kaligrafi China serta Affandi mengurasi berlebihan ekspresi visual Van Gogh dengan representasi baru dan personal. Mereka begitu menghargai inspiratornya hingga mereka menemukan kekuatannya sendiri dalam sejumlah periodisasi proses kreatif tanpa mereduksi penghormatannya terhadap apa yang ia sebut sebagai pemicu kreatifnya.

Inspirasi kreatif menjadi mula bagi seorang seniman terpicu segenap kepekaan dan kemampuan kreativitasnya untuk menjejaki, mengembangkan, menguatkan maupun meruntuhkannya. Baik ketika seseorang melakukan eksplorasi maupun dengan kesadarannya melakukan pertentangan sebagai antithesa. Tentunya sekali lagi peran inspirator menjadi posisi penting dalam proses kreativitasnya. Nah, pada konteks semacam ini fokus utamanya ialah upaya penghormatan atau penghargaan atas nilai-nilai tertentu yang ditebarkan inspirator bagi banyak orang sehingga mampu menggerakkan sekaligus menguatkan nilai lainnya. Begitu banyak satu nilai sederhana ketika dengan kesadaran menghargainya maka nilai tersebut kemudian memiliki kekuatan untuk memproduksi nilai-nilai lainnya. Memproduksi, mengembangkan, atau bahkan memformulasikannya dengan format berbeda sama sekali. Kemudian nilai-nilai kebaruan dimanifestasikan.

Pameran yang diikuti beberapa peserta nominator dan pemenang Tujuh Bintang Art Awards 2009 dipetakan dalam paket-paket pameran secara berkala di Tujuh Bintang Art Space sebagai serangkaian penghormatan dan penghargaan setingi-tingginya untuk para pemenang dan peserta nominator kompetisi tersebut. Yang tak kalah pentingnya adalah pameran ini sebagai bentuk penghargaan kami kepada para nominator Tujuh Bintang Art Awards 2009. Sejumlah karya-karya terbaiknya masuk dalam 59 nominator diantaranya karya: Dedy Sufriadi, Yudi Irawan, Rokhim Maosart, Miranti Minggar Triliani, Danny Irawan, Nawir Mc Pitt, M. Wira Purnama, Agung Santosa, Baswara Indrajati, Handry L.S, Pande Nyoman Alit Wijaya Suta, RB. Setiawanta, Hilmi Fabeta, I Gede Arya Sucitra, Nugroho Wijayatmo, Dani ‘King’ Heriyanto, I Made Ngurah Sadnyana, Afdhal , Nugroho Heri Cahyono, Dhomas Yudhistira (Kampret), Achmad Basuki, Mulyo Gunarso, Untung Yuli Prastiawan, Widhi Kertiya Semadi, Ferry Gabriel, I Wayan Legianta, Tri Wahyudi, Kadek Agus Mediana (Cupruk), I Made Adinata Mahendra, Roni Ammer, Bambang Supriyadi, Budi Agung Kuswara a.k.a Kabul, Jouhan Jauhari, Baskoro latu, Nur Fitriyah , Agus Triono, Dwi Rustanto, Ivan Yulianto, Imam Abdillah, dan Andi Riyanto (Laghost).

Secara umum mereka memiliki kapasitas konsepsi dan kemampuan tekink artistik sangat memadai. Eksplorasi-eksplorasi media, teknik, visual dan eksplorasi estetiknya mencukupi nilai yang hendak diperjuangkan. Mereka menggunakan berbagai pencapaian kapasitas kreatifnya melalui media dua dimensi, tiga dimensi, variable media, dan hanya dua karya multi media dengan tingkat eksplorasi yang luar biasa untuk membuka berbagai nilai kemungkinan.

Pada kesempatan kali ini Tujuh Bintang Art Space menghadirkan sebagian dari nominator Tubi Art Award 2009 dan selebihnya akan dihadirkan dalam pameran bagian kedua pada 24 Juli 2010. Kemunculan nama-nama yang mendedikasikan proses kreatif mutakhiirnya sebut saja I Kadek Agus Ardika, Syaiful A. Rachman, Hasto Edi Setiawan a.k.a Iwan Hasto, Rocka Radipa, Yudi Irawan, Rokhim Maosart, Danny Irawan, Agung Santosa, Nugroho Wijayatmo, Achmad Basuki, Roni Ammer, Nur Fitriyah, Rudi Hendriatno, Wibowo Adi Utama, I Wayan Upadana, Erianto, Cipto Purnomo, Khusna Hardiyanto, Miranti Minggar Triliani, Nawir Mc Pitt, M. Wira Purnama, Ferry Gabriel, Hilmi Fabeta dan Ronald Efendi. Perupa-perupa tersebut berangkat dari berbagai disiplin ilmu dan otodidak, formulasi semacam ini menarik ketika kita hendak melakukan studi banding untuk membangun wilayah-wilayah kreatifnya. Bagaimana karya kriya berhadapan langsung dengan disiplin patung, lukis, grafis dan lainnya tentu tidak sederhana untuk mempersandingkan sebab aspeknya berbeda namun mereka memiliki kepekaan estetik yang mampu menyetarakan dan menebarkan nilai-nilai sekaligus.

Dalam perspektif lain, mengamati puncak-puncak kreatif generasi perupa yang relatif muda ini mengingatkan kembali kecenderungan-kecenderungan (dari sekitar 1500an karya yang masuk) munculnya bahasa visual mengingatkan kita kembali mengenai dinamika seni lukis modern yang dipaparkan Greenberg ketika itu yang bergerak melakukan pembersihan-pembersihan berurutan melampaui figurasi, kedalaman, pelampauan hingga berakhir pada upaya pencitraan datar dan warna belaka. Yang dianggap Danto sebagai the end of art dan dinyatakan secara filosofis sebagai keruntuhan dari semua narasi ahli. Kemudian Pop Art sebagai ruang pemakamannya sekaligus penanda kebaruan seni lukis ke dalam pola kebebasan ‘post-historis’ di mana segala sesuatu dapat diamati sebagai karya seni, Kotak Brillo dari Warhol (Warhol’s Brillo Box) misalnya yang berdiri sebagai epifani sebagai bentuk perayaan tiga raja dalam Kristen. Paling tidak Warhol dapat kita jadikan sampel kasus dalam upaya pembacaan yang simpatetis dan cerdik dari seorang Wollen yang mensituasikan ‘teatrikalisasi kehidupan sehari-hari’ (theatricalization of everyday life) sebagai tindak lanjut avant-garde historis yang mengangkat hambatan-hambatan antara seni dan kehidupan yang dimunculkan kembali.

Kecenderungan semacam ini tentu menjadi picu kaum muda untuk merayakan kebebasan artistik sempurna (perfect artistic freedom) di mana segala sesuatu diperbolehkan (everything is permitted) kendati berhadapan langsung dengan konsep-konsep estetika Hegel. Kemudian berakhir pada datangnya kesadaran sifat seni yang lebih filosofis, seni dapat masuk melalui celah filsafat pada momen yang hanya mengambil keputusan intelektual saja dan mampu menentukan antara seni dan bukan seni. Neo-avant-garde bergerak merealisasikan tujuan melakukan perubahan paradigma menuju praktik-praktik postmodernisme yang terus menerus dan sistemik akan diperluas hingga hari ini. Postmodern tidak pernah sepenuhnya bermaksud menghapus modern. Dua wujud yang selalu dalam pengertian ‘paling dihormati’ karena begitu visioner melihat masa depan yang dibayangkan dan masa lalu yang dimanifestasikan kembali.

Namun demikian postmodern dalam pemahaman yang berbeda memunculkan antithesis bukan sekadar manifestasi estetis tetapi politis. Sejarah ini masih dianggap terlalu baru untuk mampu merekonstruksi perciknya yang lepas lantas berpotensi memberikan nuansa kontradiksi suatu waktu. Misalkan, terjadinya berbagai perubahan pradigma dalam seni lukis (ruang-ruang eksperimentasi estetis) yang memiliki dasar kecenderungan lebih luas dengan olah konseptualisasi yang tampaknya kemudian menjadi ketegangan dalam wacana seni postmodernisme.


Pada pameran ini terdapat suasana yang saya paparkan di atas. Para perupa lebih dominan mempresentasikan gagasannya dengan penggunaan bahasa visual bercitra realistik meskipun hanya dalam prosentase kecil saja yang memposisikannya pada langgam non representasi objek. Citra-citra yang paling mudah diidentifikasi adalah upaya setiap perupa masuk ke ranah seni rupa kontemporer dengan citra representasi visual maupun kekuatan-kekuatan gagasan yang mendasari olah kreatifnya. Karya-karya ini telah mampu mengindikasi perubahan peta perkembangan seni rupa kontemporer hari ini, paling tidak ini cukup representatif untuk mengetahui laju perkembangan dan prediksi wacana seni rupa mendatang.

Dalam kurum waktu kurang setahun mereka telah menunjukkan berbagai perubahan dan perkembangan dalam proses kreatif, ini membuktikan bahwa seniman-seniman terbaik yang berhasil masuk nominator Tubi Art Awaard 2009 semakin layak diperhitungkan kematangan prosesnya. Hal tersebut dapat kita lacak dari pemilihan media ungkap, penentuan gagasan, penguasaan teknik dan kedalaman-kedalaman yang bersifat substantif. Mereka kian menegaskan kembali ketajaman menentukan subject matter dan pendalaman kajian-kajian filosofis yang dijadikan dasar prosese penciptaannya. Kecermatan memecahkan berbagai persoalan teknis visual menjadi sebuah kekuatan baru untuk mencuatkan kegelisahan batin dan mempertajam karakteristik ideologi estetikanya. Dasar-dasar kesadaran semacam ini sesungguhnya yang menjadi daya hidup dalam memanifestasikan gagasan kreatif dan menyerap spirit jiwa jaman.

H O M A G E


Pameran Seni Rupa
H O M A G E
Tujuh Bintang Art Space
8 - 23 Mei 2010

Artists :
ACHMAD BASUKI | AGUNG SANTOSA | CIPTO PURNOMO | DANNY IRAWAN | ERIANTO | FERRY GABRIEL | HASTO EDI SETIAWAN | HILMI FABETA | I KADEK AGUS ARDIKA | I WAYAN UPADANA | KHUSNA HARDIYANTO | M.WIRA PURNAMA | MIRANTI MINGGAR TRILIANI | NAWIR MC PITT | NUGROHO WIJAYATMO | NUR FITRIYAH | ROCKA RADIPA | ROKHIM MAOSART | RONALD EFENDI | RONI AMMER | RUDI HENDRIATNO | SYAIFUL A RAHMAN | WIBAWA ADI UTAMA | YUDI IRAWAN

Curator :
Netok Sawiji_Rusnoto Susanto

Pembukaan :
Sabtu 8 Mei 2010
Pukul 19:30 WIB

Musik : The Walrus

Homage to Maestro ditafsir sebagai sebuah sikap penghormatan terhadap proses pencapaian terpuncak para maestro kita. Karena pemikiran-pemikiran dan kreativitas maestro itulah spirit kreatif dipicu, subject matter diurai/diartikulasikan, wacana seni rupa digulirkan dan seni rupa diperjuangkan nilai estetikanya. Maetro-maestro kita memperjuangkan sekaligus menegaskan kembali ideologi estetika semenjak masa perjuangan, revolusi, kemerdekaan hingga seni rupa kontemporer hiruk-pikuk kini menempatkannya pada pencapaian-pencapaian derajat sekaligus nilai inovatifnya. Bagaimana sejarah seni rupa kita dipertunjukkan di hadapan kita ketika mereka merepresentasikan ketajaman intuisinya dengan perspektif individual yang tetap merespon jiwa jaman atas nilai-nilai local genius.

Alasan-alasan semacam inilah bingkai kuratorial ini intens di matangkan untuk meretaskan berbagai pemikiran-pemikiran segar dari para perupa peserta pameran dalam mendedikasikan proses perenungan, pemikiran dan olah kreatif sebagai representatif penghormatan terhadap maestro. Artikulasi visual dalam konteks ini tentu tidak secara permukaam ditafsir, namun dicermati sebagai wujud persembahan nilai-nilai estetika untuk avant garde seni rupa kita.

Pameran ini diikuti beberapa peserta nominator dan pemenang Tujuh Bintang Art Awards 2009 yang lalu, dalam paket pameran ini secara berkala digelar di Tujuh Bintang Art Space sebagai serangkaian penghormatan dan penghargaan setingi-tingginya utk para maestro. Yang tak kalah pentingnya adalah pameran ini sebagai bentuk penghargaan kami kepada para peserta nominator Tujuh Bintang Art Awards 2009. Terima kasih kami sampaikan kepada para peserta pameran semoga dapat mempersembahkan karya-karya terbaiknya.

Silakan diapresiasi

More info :
www.tujuhbintang.com
blog.tujuhbintang.com

Tuesday, April 13, 2010

Meringkus Waktu oleh Suwarno Wisetrotomo

Meringkus Waktu ...!
Catatan: Suwarno Wisetrotomo

Aktivitas sederhana tetapi berdimensi sosial dan sekaligus spiritual, salah satunya adalah menunggu. Ya, menunggu. Wujud kerjanya sederhana – bisa duduk, berdiri, atau mondar-mandir diantara keduanya, dan segala bentuk eksresi lainnya – tetapi bisa berdampak kompleks, seperti perasaan marah, jengkel, lelah, bahkan frustrasi. Namun juga bisa berdampak positif seperti terbentuknya pribadi yang lebih matang, jiwa yang lebih kuat dan berkarakter, kesabaran yang lebih lapang, serta kesetiaan yang teruji. Kapan ia, menunggu itu, berdampak positif atau negatif, tentu sangat tergantung dari kualitas pribadi seseorang; apakah seseorang itu memiliki kemampuan mengelola emosi dengan baik, ataukah sebaliknya.


Aktivitas menunggu terkait erat dengan urusan waktu. Waktu itu konsisten, tak pernah merasa kurang atau lebih. Perbedaan hanya karena persoalan posisi geografis. Namun tak mengubah apapun, kecuali sekadar perbedaan antara wilayah yang satu dengan yang lainnya, yang membuat terjadinya selisih waktu. Maka, menunggu seperti bermain dan dimainkan oleh waktu dengan segenap tegangan. Dalam kehidupan masa kini tegangan itu di wakili oleh kehadiran arloji yang menunjukkan perubahan jam, yang menandakan durasi. Mula-mula dihitung dengan detik, kemudian menit, kemudian jam, yang kait mengkait dengan hari, bulan, tahun, dan abad.

Dalam aktivitas menunggu, maka arloji yang (umumnya) dikenakan di pergelangan tangan menjadi sasaran ekspresi si penunggu; entah menerima makian, entah terus-menerus dipelototi dengan muram, sambil memelihara kegelisahan. Atau sebaliknya, menunggu bisa melatih kesabaran dan mengikat kesetiaan. Aktivitas menunggu berada dalam ruang permainan yang menegangkan semacam itu.

Dari Tubuh ke Waktu
Tubuh adalah jazad yang terbatas. Puncaknya adalah kehancuran fisik setelah kematian. Tak ada yang tersisa kecuali kenangan (atas nilai-nilai) terhadapnya. Kapan semua itu terjadi, adalah urusan Sang Khalik Yang Maha Kuasa. Siapapun hanya mampu mengenang. Kenangan akan berkejaran dengan ingatan yang juga terbatas. Namun waktu berperan mengabadikan peran dan nilai yang pernah diperbuat oleh tubuh. Lebih dari itu, diperlukan tindakan untuk mengabadikan ingatan tersebut. Maka digubahlah sejumlah monumen yang substansinya adalah sebagai peringatan, sebagai kenangan. Meskipun akhirnya digunakan pula sebagai pengukuhan dan penegasan atas peran-peran seseorang yang merasa atau dianggap paling berjasa atau paling penting.

Tubuh sebagai subject matter para perupa, bukanlah hal baru. Karya-karya yang tertera dalam kitab-kitab suci seperti Bibel sudah mulai menghadirkan tubuh sebagai gambaran kenyataan, khususnya terkait nama dan peristiwa. Karya-karya era romantisisme, hingga era kontemporer seperti sekarang, tubuh tetap menjadi sumber penciptaan yang menggairahkan. Gagasan dan tendensi yang melatarbelakangi beragam gubahan itu juga berbeda-beda, terus bergerak, seiring dengan pergeseran zaman yang menggeser pula sikap dan pemaknaan terhadap tubuh.

Katirin (dilahirkan di Banyuwangi, 17 September 1968), pada karya-karya terbarunya mempersoalkan perihal “menunggu”. Seperti saya singgung dalam awal catatan ini, maka persoalan menunggu sangat terkait dengan “waktu”. Karya-karya ini akan menjadi materi utama dalam pameran tunggalnya di Galeri Tujuh Bintang Yogyakarta, April 2010.

Dalam waktu yang cukup lama, dengan kemampuan bentuk realistiknya yang memadai, Katirin dalam berkarya bertolak dari persoalan tubuh, terutama tubuh-tubuh perempuan. Sebab memang, tubuh perempuan memiliki kompleksitas yang memungkinkan untuk dieksplorasi dalam bahasa rupa; hampir dari setiap sisi dan lekuknya, memiliki potensi artistik. Meskipun sesungguhnya dalam melukis tubuh (perempuan), Katirin tidak sekadar ‘melukis model’, tetapi menghadirkan berbagai kemungkinan bentuk seliar-liarnya, bahkan yang tidak mungkin diperagakan oleh sang model.

Katirin terus menjelajah dunia tubuh. Tubuh dijadikan subject observasi, ditangkap kemungkinan-kemungkinan gesturnya, dan berupaya menangkap roh/auranya. Katirin tidak lagi menghadirkan kenyataan sang model (kenyataan tubuh perempuan), tetapi menghadirkan passion atas tubuh. Maka, meski tubuh-tubuh itu tampak erotis (karena gesturnya), sesungguhnya tidak lagi beridentitas kelamin secara pasti. Tubuh-tubuh itu adalah dunia pesona, gairah, kenikmatan, dan penjelajahan Katirin atas berbagai ‘kemungkinan’ yang bisa dilakukan atau diperagakan oleh tubuh (siapapun).

Kini, tubuh-tubuh menghadapi kenyataan yang fana: bergulat dengan waktu dan perubahan, serta keberakhiran. Setiap peristiwa akan berakhir. Dan, setiap akhir merupakan permulaan yang tak pernah bisa diduga atas apa yang akan terjadi. Pergeseran Katirin dapat dimaknai dalam perspektif semacam itu; yakni dari penghayatan atas fisik yang fana, ke persoalan waktu yang baka (abadi). Ia mempersoalkan tubuh dengan cara mengobservasi tubuh dirinya, atau tubuh orang lain (yang memiliki hubungan emosi atau jarak yang intim), untuk mengenali dan memahami, untuk kepentingan menjelaskan perihal menunggu dan waktu.
Meringkus Waktu

Problema yang muncul dalam aktivitas menunggu adalah munculnya hasrat yang besar untuk meringkus sang waktu; ingin mempercepat lajunya, atau (mungkin) ingin mempelambatnya. Ia, sang waktu, tak bisa ditipu, karena waktu tak pernah menipu. Waktu juga tak bisa disuap, agar memenuhi kehendak penggunanya. Waktu tetap setia, dan setia pula menjadi saksi atas semua yang terjadi. Kalaupun kita berhasil mempedaya laju jarum panjang dan pendeknya, dan jarum detiknya, atau bisa meremukkan tabung pasirnya, pada dasarnya yang berubah atau bahkan hancur hanyalah fisiknya. Tetapi esensinya (sang waktu) tetap tak bergeser sedetikpun. Bukankah dengan demikian justru kita yang akhirnya tertipu, atau dengan sangat bodoh kita sedang menipu dirinya sendiri?

Karya-karya Katirin yang terbaru dalam pameran kali ini, mengungkapkan perihal ‘menunggu’. Yang segera bisa ditangkap dari gejala visualnya adalah pose-pose atau gestur figur (simbolis) yang mencitrakan posisi menunggu. Ia juga melakukan eksplorasi material, tak hanya dengan cat dan kanvas, tetapi juga menggunakan kertas untuk menghasilkan tekstur, dan menggunakan kayu-kayu bekas untuk menggubah patung.
Akan tetapi apakah tema ‘menunggu’ ini dapat dibaca sebagai ‘narasi tentang kesabaran dan daya tahan’ seseorang terhadap apa yang ditunggu? Bukankah memang, persoalan menunggu adalah persoalan ‘daya tahan’ dan ujian tentang ‘kesabaran’? Karya lukisannya yang bertajuk “Waiting I”, sesosok dalam pose duduk, tangan kanannya memegang sebatang rokok, dan pada kepalanya sudah bermetamorfosa menjadi jendela kayu, tampak kuno, catnya mengelupas, dan jerujinya (krepyak: sebutan di Jawa) sebagian lepas dan bolong. Warna dalam lukisan itu, termasuk figur yang menjadi jendela itu kemerahan. Jendela tua itu juga tertutup, gestur tubuhnya seperti menyerah pasrah (nglokro: istilah Jawa). Dominasi kemerahan itu seperti akumulasi dari marah dan menyerah. Apakah karya ini mengisyaratkan tentang batas kesabaran, dan berujung pada kesia-siaan?

Penghayatan yang berbeda terdapat pada karya “Waiting II”; sesosok perempuan, yang dibagian kepalanya berbentuk arloji duduk dengan dua alrm di bagian atasnya, berbalut baju terusan kekuningan, duduk di bangku panjang berwarna merah. Sesosok itu duduk tepat di ujung bangku sebelah kanan, sementara arah bangku ke kiri seperti tak berujung (karena langsung habis di tepi kanvas). Bidang lukisan itu didominasi warna kebiruan. Absurditas dalam karya ini dibangun oleh kode yang berlapis-lapis; “arloji kepala” itu masih menunjukkan pukul 06.25. Gestur perempuan itu masih tampak semangat (mungkin baru saja duduk). Suasana tampak cerah; biru cerah, bangku merah yang cerah, juga baju kuning yang tampak terang. Saya berkesimpulan berdasarkan tafsie atas kode-kode itu, peristiwa itu terjadi pada pagi hari. Tapi saya tak yakin, seberapa pendek atau seberapa lama perempuan itu akan menunggu di sana.

Karya yang juga menghentak adalah karya-karya tiga dimensional, yang ia bentuk dengan pecahan kayu-kayu (kayu jati; tectonia grandis) bekas, mirip potongan-potongan kayu bakar, yang disusun atau ditata, membentuk figur-figur dalam bentuk atau gestur (pose) tengah menunggu (semua karya itu bertajuk “Waiting”). Karya-karya ini menjadi terasa pekat, karena menyerupai fosil; mengingatkan peristiwa menunggu yang lama, hingga diri ini terasa membeku, menjadi fosil, mengayu, menjadi kayu. Terdapat perasaan yang ringsek, yang rapuh, tampak berkeping-keping. Menunggu, disamping terasa absurd (perhatikan lukisan yang mengungkapkan kursi panjang, atau karya tiga dimensional yang duduk di sebuah kursi panjang tanpa ujung), juga berpeluang menjadi sang korban.

Katirin kembali menghadirkan ‘kenyataan’ menunggu yang membeku; sesosok samar-samar berwarna kekuningan, duduk dikursi kayu berwarna merah, dengan wajah yang loyo. Perhatikan kedua kakinya; sudah mengayu – menjadi kayu – dan menyatu ke dalam kaki kursi. Warna pastel yang mengitarinya, menambah suasana nglangut. Sudah berapa lama ia menunggu di kursi itu? Karya itu tentang kesabaran, kenaifan, atau kesetiaan?

Katirin juga bergurau, atau tepatnya meledek tentang saat-saat menunggu. Karyanya “Waiting Presiden Call”, seperti menyindir ritual lima tahunan, ketika banyak orang yang merasa penting dan mampu, menunggu telpon dari Istana, siapa tahu ditunjuk menjadi “pembantu” Presiden. Sesosok perempuan, duduk dengan gestur seronok, jari-jari tangan kanan menjepit sebatang rokok, tangan kiri menopang dagu, tetapi bentuk seluruh kepala itu sudah menjadi pesawat telepon. Apakah Katirin menyembunyikan ‘komentar sosial’ dalam karya itu? Jangan-jangan sejumlah orang yang merasa penting dan mampu, dan akhirnya benar-benar menerima telepon dari Presiden, tak lebih hanya mereka yang sesungguhnya ‘seronok’ kualitasnya? Dapat dibayangkan, betapa sepanjang waktu, isi kepala seseorang itu hanya tentang telepon.

Lalu apa yang terjadi dengan “ditunggu”? Subyek pelaku antara yang “menunggu” dan yang “ditunggu” berbeda secara tajam. Menunggu adalah pengalaman “penderitaan”, sementara “ditunggu” adalah pengalaman kekuasaan. Ia, sebagai sang “ditunggu” memiliki kuasa ‘memainkan’ pihak yang “menunggu”; yang berakhir mengecewakan atau membahagiakan. Karya “Coming Home” bagi saya menyodorkan pengalaman semacam itu; tegangan yang berbeda antara yang menunggu dan yang ditunggu, dan berujung pada pertemuan. Seseorang tengah pulang (mengayuh sampan) ingin segera menemui seseorang yang memeluk rindu dalam pose teronggok di balkon rumahnya.

Kegembiraan yang meluap juga sebuah momentum yang ditunggu-tunggu. Karya “Euphoria” yang melukiskan kerumunan, dengan ekspresi bingar. Perhatikan tulisan didinding itu, Great Sale. Sedang ada obral besar, dan Katirin membidiknya dari sisi dalam. Spirit memburu obral besar, adalah spirit yang ada dalam kondisi menungu-nunggu. Dalam kata great sale, terkonstruksi makna murah. Itulah mantra kapitalisme, sebagai bagian dari jurus bujuk rayu kepada konsumken. Maka, bagi sang konsumen, great sale adalah momentum kegembiraan untuk melampiaskan syahwat konsumsinya.

Terdapat tiga karya lainnya yang ingin saya soroti, meski tidak mengisyaratkan tema yang sama (menunggu), tetapi menyimpan narasi tentang waktu. Karya “building Memory”; dua orang lawan jenis tengah berciuman, sembari memegang penggaris lipat (meteran: Jawa) yang dibentuk menyerupai rumah. Sebuah kisah tentang upaya merajut mimpi, membangun sarang tempat menampung segala ingatan.

Dua karya lainnya; “The Thinker I”; sesosok dengan pose pemikir (mengolah karya patung terkenal dengan judul yang sama oleh Auguste Rodin, 1840-1917), namun berkepala merpati (kebebasan?). Kemudian karya “The Thinker II”; sesosok dalam pose duduk, tengah memegang kepalanya yang sudah menjadi batu (persoalan yang begitu berat, keras?). Ketiga karyan yang saya singgung terakhir ini menunjukkan kekuatan Katirin dalam menyampaikan narasi yang puitis.

Pameran ini lebih menampakkan pergulatan kesenian seorang Katirin dalam menjelajah dan mengobservasi tubuh dalam ruang dan waktu. Menunggu hanyalah sepenggal peristiwa, dari rangkaian waktu yang sesungguhnya mengisyaratkan tentang kesementaraan tubuh. Upaya-upaya untuk meringkus waktu, sesungguhnya hanya akan mubazir. Kecuali jika upaya itu ditujukan untuk berpacu dengan memberinya makna. Tubuh sesungguhnya fana. Dan, nilai-nilai lah yang abadi.

Suwarno Wisetrotomo
Kritikus Seni Rupa.
Dosen di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta.

Monday, April 12, 2010

Katirin Meringkus Waktu

Manusia dalam kehidupan sehari-hari merupakan rangkaian gerak-gerik sepanjang pergulatannya dengan hidup. Hidup yang tak pernah terdefinisikan dan senantiasa luput dari genggaman pemahamannya, maka kepada setiap manusia selalu saya temukan perasaan ketidakberdayaan tetapi sekaligus juga rasa kesanggupan untuk menempuh itu dengan ikhlas dan semua itu bagi diri saya sungguh memukau dan penuh misteri.

Berangkat dari itu saya mencoba untuk menuangkan ini ke dalam lukisan dengan tetap membiarkan sebagian terbungkus dengan misteri. Sesungguhnya realita tak pernah telanjang dan selalu terbingkai oleh narasi yang rumit dan panjang. Maka saya menolak setiap ilusi yang mengaku telah mampu memindahkan seluruh realita ke dalam visualisasi, ia tak pernah nyata kecuali samar-samar.

Pemahaman kata terhadap obyek adalah perjalanan jauh saya dalam “diam” sehingga sepanjang itu saya seperti sedang menelusuri mata dan lekukan batin sendiri untuk menangkap makna yang hanya bisa digapai dengan mengembangkan segenap rasa simpati dan melibatkan diri dengan seluruh emosi.

Berangkat dari sumber itu saya mencoba memberiakan sebagian kekuatan dan tenaga pada obyek-obyek saya lewat sapuan, warna, garis, tekstur dan goresan untuk menghantar pada “sesuatu” yang jauh dan tak terperi itu, selebihnya membiarkan ia berbicara sendiri.

Selengkapnya silakan di apresiasi di :
Tujuh Bintang Art Space
Jl. Sukonandi 7 Yogyakarta
Tanggal 17 April - 2 Mei 2010

Tuesday, March 23, 2010

Toksoid Kyre

Kau tau tentang racun? Pasti! Bahkan di dalam tubuhmu, juga tubuh kita semua, bersemayam racun akibat dari pola dan gaya hidup kita hari ini; lingkungan, udara, makanan yang masuk ke tubuh kita. Seberapa jauh racun itu terkelola dengan baik atau tidak, tentu tergantung kualitas kesehatan ginjal. Dalam terminologi ilmu kimia, racun dijelaskan sebagai berikut, “zat yang mengubah metabolisme yang normal dari organisme yang merugikan kesehatan dan dapat mematikan bila sedikit zat ini dimakan atau bersentuhan dengan organisme itu”. Racun disebut pula toksin.

Racun mendatangi tubuh kita dari manapun dan dari sumber apapun. Dalam tubuh Kyre, saya duga juga dalam jiwa dan pikirannya, terdapat gugusan toksin atau racun, yang mula-mula datang dari luar dirinya, dan kemudian, sadar atau tidak, diproduksi oleh tubuh dan jiwanya. Seserius itukah? Tentu saja, Anda atau kita semua boleh menyangsikannya.

Oh ya, siapakah Kyre? Dia perupa muda yang gelisah, yang memiliki nama unik Oky Rey Montha Bukit a.k.a Kyre Tempatkencink. Perhatikan nama sapaannya itu, kelihatan bengal ya? Orang muda ini dilahirkan di Yogyakarta, 3 Januari 1986, tetapi tumbuh dan besar di Kabanjahe, Sumatera Utara, sampai akhirnya kembali lagi ke Yogyakarta untuk kuliah di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta. Minat utama yang diambil Desain Komunikasi Visual. Hobinya membaca dan membuat komik. Ia membuat komunitas yang diberi nama Tempatkencink Visual Art Comunity Yogyakarta, yang (secara narsis...!) menerbitkan buku komiknya sendiri dengan judul “One Day Mystique 2009” – Kyre Illustration pocket book (2009). Dalam buku itu, Kyre menulis pengantar pendek (ia menyebutnya INTRO – setali tiga uang), antara lain mengatakan, “Apa yang dicari setiap orang ketika udara yang bersimpang siur di dalam tubuhnya masih dapat berrotasi dengan sempurna? Sel-sel darah merah masih bergejolak, syaraf-syaraf otak masih berfungsi sebagaimana mestinya? Bohong kalau dia tidak mencari sebuah kenikmatan. Kaya raya, terkenal, uang, kedudukan, bahkan menenggak sebotol anggur cap orang tua pun adalah sebuah bentuk kenikmatan yang dicari manusia. Salah satu bentuk kenikmatan lain yang lebih sial adalah fantasi. Kebiasaan berfantasi dapat menimbulkan berbagai macam efek samping yang kadang merugikan makhluk-makhluk di sekitarnya”. Saya kira tulisan itu lebih menunjukkan endapan bawah sadar Kyre dalam memahami perilakunya sendiri. Setidak-tidaknya adalah problematika, bagaimana ia memamahi dirinya sendiri, terkait dengan urusan gelegak fantasi, memori rasa sakit, amarah, dan upaya membebaskan dirinya dari kepungan kisah yang menikam-nikam.

Saya baru bertemu muka dan ngobrol dengan Kyre dua kali. Cara dan gaya bicaranya pelan, sering tampak ragu-ragu, juga tampak menyimpan banyak kisah yang (sepertinya) tak membuatnya nyaman (itu yang saya sebut sebagai “kisah yang menikam-nikam”). Dia juga bilang, agak nervous ketemu saya (mungkin itu yang membuatnya bicara pelan dan tak begitu mengalir?). Namun toh, akhirnya Kyre bicara juga, terutama menjawab sejumlah kesangsian dan pertanyaanku (sebenarnya bukan pertanyaan, tetapi lebih sebagai upaya melakukan konfirmasi-konfirmasi, sembari melihat karya-karya lukisannya).

Inti kisah, Kyre di masa lalunya, masa kanak-kanak dan remaja, sewaktu masih tinggal di Medan, berada dalam situasi ‘di bawah tekanan’ kedua orang tuanya. Maksud orang tuanya, tentu, mengajari Kyre (sebagai si sulung) untuk kerja keras, memberikan contoh, dan bertanggungjawab atas kedua adiknya. Akibatnya, waktunya habis untuk merawat kelinci-kelinci piaraan adik atau keluarganya, juga habis untuk mengurus sebagian pekerjaan rumah tangga. Ia merasa tak memiliki waktu untuk bermain lepas, seperti halnya anak-anak seusianya. “Hanya seperti itu, kau sudah merasa tertekan dan depresi?” saya menyergah memotong ceritanya (dalam hati, saya menyimpan kata yang lebih tajam, tapi tak terucapkan, tepatnya prasangka, yakni, “cengeng amat kau...!”). Kyre seperti tergagap, kemudian melanjutkan, “aku sering diperlakukan kasar oleh orang tuaku....!”. “Oh.... sory” jawab saya cepat. Ia juga mengatakan, bahwa betapa terbatasnya komunikasi yang terbangun antara dirinya dengan orang tuanya. Kata kunci dari kisahnya adalah “perlakuan kasar”, dan kemudian membekas mengiringi pertumbuhan – tubuh dan jiwa – dirinya.

Kata kunci itu cukup jelas. Maksudku tak perlu diurai detailnya, dan sudah bisa digunakan sebagai pintu masuk untuk memahami Kyre dan karya-karyanya, juga aktivitas-aktivitasnya.

Apakah Kyre, melalui karya-karyanya, tengah mempersoalkan mind, body, soul; pikiran, tubuh, dan jiwa? Mengapa karya-karya Kyre begitu ornamentik dengan warna-warna menyala, padahal seluruh karyanya bertolak dari kisah getir masa lalunya? Itulah pertanyaan saya, mungkin juga pertanyaan kita, ketika berhadapan dengan karya-karya Kyre.

Estetisasi Toksin
Toksoid: toksin yang telah kehilangan sifat-sifat toksinnya sebagai akibat dinaturasi atau modifikasi kimia, namun sifat-sifat antigennya masih dipertahankan.

Pameran tunggal Kyre yang pertama ini bertajuk “EVORAH (Evil of Rabbit Head)”. Tajuk ini juga digunakan sebagai judul sebuah novel debutan karya Sukma Swarga Tiba (sssst... dia pacar Kyre....!), 33 halaman kwarto, yang kisahnya juga bertolak dari riwayat hidup Kyre. Kira-kira, novel ini berbasis kisah nyata, yang diolah dan diramu menjadi beraroma fiksi. Lalu, bagaimana hubungan antara novel dengan lukisan-lukisan Kyre? Yang pasti, keduanya bertolak dari sumber yang sama, dan dikreasi oleh orang yang berbeda. Bisa terhubung, bisa juga (dianggap) terpisah. Maksud saya, setidak-tidaknya sampai hari ini, mereka yang membaca novel Sukma dan berupaya mengerti, tak harus mengamati karya-karya lukisan Kyre sampai paham. Demikian pula sebaliknya, mereka yang mengamati dan berupaya mengerti karya-karya Kyre tak harus membaca novel Sukma. Maksud saya berikutnya, bahwa kedua karya itu bisa sangat otonom, dan pada kesempatan berikutnya berpotensi dapat saling memperkaya.

Kembali pada karya-karya Kyre, memang terasa paradoks. Bersumber dari pengalaman dirinya yang buram, karya-karya itu justru ditampilkan secara hingar-bingar, dengan ornamentasi yang riuh dengan warna-warna pastel cerah, dan lembut. Itulah yang saya singgung sejak awal dalam tulisan ini, yakni tentang racun, toksin, dan kemudian toksoid. Pengalaman buram itulah yang terakumulasi menjadi “racun”, yang berpotensi destruktif, baik yang terekspresikan dalam perilaku/tindakan, maupun yang tersimpan dalam kepala dan hatinya. Keduanya merupakan daya perusak yang efektif, dan sanggup menghancurkan (kepribadian, gaya hidup, karier, dll).

Racun harus dikeluarkan dari tubuh, setidaknya dijinakkan, atau dalam istilah kimia disebut detaksikasi, yakni proses membuat zat beracun menjadi tak berbahaya. Racun yang sudah di-detaksikasi tidak lagi menjadi perusak. Dalam konteks proses kreatif Kyre, gumpalan-gumpalan “racun” pada dirinya itu di-detaksikasi melalui corat-coret komik, gambar-gambar fantasi, yang akhirnya menjadi karya-karya lukisan.

Pengalaman-pengalaman buram itu ditumpahkan melalui gambar. Di sana, di bidang gambar itu, Kyre masih bisa mengumpat, meledek, berguman, atau bergurau. Warna-warni yang meriah, dan bentuk-bentuk yang kartunal (deformasi, stilisasi, dan ornamentasi) merupakan bahan dan adonan yang efektif dalam proses detaksikasi, proses reduksi agar racun menjadi tawar. Tajuk “Evil of Rabbit Head” adalah ekspresi umpatan, ledekan, gumam, dan gurauannya.

“Setan Berkepala Kelinci” adalah pengalaman personal, bahkan merupakan personifikasi dirinya. Tajuk itu juga menyiratkan sikap paradoks; meski “setan”, tetapi kalau berkepala “kelinci” akan tereduksi wujud dan watak seramnya. Mungkin itulah yang akan dikatakan Kyre, bahwa dirinya tetap “manis, lucu, menggemaskan” bak “kelinci”, meski menyimpan nafsu setan. Semua kecenderungan “setan” dalam dirinya, ia taklukkan dengan kemasan yang menggemaskan. Perhatikan karya dengan judul “Between Luck, Faith, and Dangerous” (2010); yang menyimpan kemarahan, atau kisah tentang pertarungan hidup yang berbahaya. Namun toh karya ini tetap sedap dipandang mata. Juga karya “Trip of Trap” (2010); sebuah panorama surealistik, sang “setan berkepala kelinci” sedang mengendalikan ‘kereta bertanduk rusa’ (seperti cerita Sinterklas?) dengan seorang penumpang ‘gadis berkacamata’ tengah melintasi langit, di atas ombak (seperti grafis klasik Hokusai?), terdapat bulan penuh, jembatan, dan bangunan kuil (seperti kisah Musashi?). Perjalanan menuju jebakan? Saya duga, kisah yang tersembunyi di balik karya ini cukup getir, tetapi tetap indah bukan? Bahkan mengingatkan pada banyak karya atau kisah yang lain? Atau karya “Hard Decision” (2010); seperti judulnya, kira-kira karya ini berkisah tentang keputusan-keputusan sulit, rumit, dan beresiko, yang harus diambil oleh Kyre. Tetapi, sekali lagi, karya ini tetap terasa jinak, disebabkan oleh bentuk dan warna-warnanya.

Saya ingin pula menyebut proses ini sebagai “estetisasi toksin”, yang di dalamnya tentu terjadi “toksoid”. Kyre berhasil “menjinakkan racun-racun” intangible; racun tak berwujud, tak teraba, tetapi sangat terasa (bagi dirinya). Karena itulah saya mengatakan pada Kyre, “kau beruntung punya kisah masa lalu yang pahit”.

Catatan Kritis
Suatu pilihan ‘bahasa ekspresi’ bisa menjadi jebakan. Kyre bisa terjebak pada bahasa yang ia pilih, dan kemudian membawanya pada bahasa yang stereotipe yang akan berujung pada kemacetan (stagnasi). Indikasi terjadi kemacetan adalah larut dan tenggelam dalam pengulangan-pengulangan, dan itu berarti pula terjadi kemacetan dan ketumpulan gagasan. Jika ini terjadi, maka frustrasi baru segera menghadang dan melanda dirinya, serta sangat mungkin lebih menyakitkan.

Tak mudah untuk menghindar dari ancaman seperti itu. Kecuali Kyre memperkaya diri dengan referensi, mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan cara dan teknik bahasa ekspresi, serta mencari makna baru atas kisah-kisah dirinya sendiri. Kalau ia masih terpesona dengan kepahitan kisah dirinya dengan cara yang sama, maka kemacetan kreativitas sudah tinggal sejengkal di hadapannya.

Hal lain yang harus Kyre lihat dengan lebih terbuka adalah, bahwa karya-karya dengan genre semacam ini sudah cukup banyak. Misalnya karya-karya Bambang “Toko” Witjaksono, Nano Warsono, Wedhar Riyadi, Agus Yulianto, Andre Tanama, Uji “Hahan” Handoko, Tera Bajraghosa, Tulus Rahadi, dan beberapa nama lainnya. Terdapat pula nama Bae Yoo Hwan (perupa Korea, yang suka menghadirkan sosok kelinci dalam karyanya), dan Thukral & Tagra (lengkapnya Jinten Thukral dan Sumir Tagra, perupa kelahiran Punjab, India, yang bekerja bersama/berkolaborasi dengan karyanya yang rapi, surealistik ornamentik). Tentu saja karya-karya itu digubah dengan aneka alasan dan argumentasi masing-masing. Mereka, dengan problematika (jebakan dan posisi) yang hampir sama, namun sudah on the map, tentu dengan resepsi publik (kritikus, kurator, pencinta seni, kolektor, art dealer, atau siapapun dan apapun namanya) yang beragam.

Yang membedakan antara karya perupa yang satu dengan yang lainnya adalah argumentasi dan upaya-upaya memosisikan diri (positioning) dalam panggung seni rupa. Dengan kata lain, tantangan Kyre tak sederhana. Di samping harus menghindari “jebakan stagnasi” (gagasan dan visualisasi), juga harus berupaya menempatkan diri dalam peta seni rupa (Indonesia dan dunia) pada posisi yang meyakinkan. Dengan modal “Toksoid ala Kyre”, saya kira ia punya peluang besar. ***

Suwarno Wisetrotomo
Kritikus Seni Rupa
Dosen di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta



Monday, March 22, 2010

EVORAH

(Evil of Rabbit Head) – Setan Berkepala Kelinci!.

Membaca judul ini, setidaknya membuat kita mengeryitkan dahi atau bergumam dalam hati, “opo tho maksude?” apa maksudnya? Dari judul itu, seolah terbaca dua makhluk yang saling bertolak belakang di”kawin”kan pada satu situasi. Setan dan Kelinci, tentu mempunyai perbedaan yang sangat jauh bertentangan, dari sifat, fisik sampai alam hidupnya, jelas bertolak 180 derajat. Namun, sebenarnya bukan pada bagian itu fokus kita, tapi bagaimana penciptaan karya-karya mengagumkan dari seorang Kyre yang terbungkus dalam pameran tunggal bertitle “EVORAH (Evil of Rabbit Head)” dapat tersaji manis dihadapan kita, itulah yang menjadi sentral perhatian.

Kyre?
Siapa Kyre? Ialah Oky Rey Montha Bukit, seorang perupa muda yang menekuni ilmu Desain Komunikasi Visual di ISI Yogyakarta, juga penggiat komunitas seni Tempatkencink Visual Art Comunity Yogyakarta yang gemar membaca dan membuat komik. Selain namanya yang unik, kegiatan, minat studi dan hobi pemuda ini nampak biasa saja. Namun jangan dulu salah menerka, kesemua hal yang biasa dari dirinya itu menyimpan berbagai hal luar biasa. Hal-hal yang muncul dari dalam diri, melalui pengaruh luar, lingkungan, keluarga, atau pengalamannya. Semua hal itulah yang kemudian menjalari tiap nadi, syaraf ataupun pikiran dan hati orang muda ini sebagai “Racun”. Ya, racun yang baik, racun positive yang membawanya pada akumulasi ide brilliant.

Kembali pada EVORAH, mengapa kemudian Kyre menamai pameran tunggalnya ini dengan sebutan demikian? Tak banyak yang tahu masa kelam Kyre belasan tahun dibelakang, masa dimana ia merasakan tekanan-tekanan, tekanan yang mengakumulasi terus-menerus dimasa lalunya itu berpuncak pada “perlakuan kasar” orang-orang terdekatnya. Mungkin disitulah tolak awalnya, perlakuan kasar itulah yang meracuni karya-karya Kyre. Dalam karya-karyanya, Kyre ingin melontarkan umpatan, ledekan, gumam, bahkan gurauannya pada masa silamnya yang kelam. Tapi kenapa bentuk demonstrasi hati bernada protes ditampilkan dengan warna-warna pastel yang cerah, lembut dan penuh hingar bingar? pengemasan ekspresi seperti itu sebagai rangkaian proses detaksikasi (proses membuat racun menjadi netral) dan tereduksi menjadi tawar, tak berbahaya. Sehingga seorang Kyre bebas membuat penegasan realisasi dirinya dalam karya, bahwa saat kemarahan “Setan” disajikannya diatas kanvas, dia ingin tetap menjadi kelinci yang menggemaskan, makhluk jenaka yang mampu menghibur siapa saja. Sungguh percikan ide yang luar biasa! Mari kita sama-sama selami kedalaman fikiran dan hati orang muda ini melalui deretan karya-karya istimewanya. Dan silakan bermain dengan fantasi Anda masing-masing.

Selamat Berpameran!

Saptoadi Nugroho
Tujuh Bintang Art Space

Tuesday, March 9, 2010

Pameran Adopt! Adapt!

Adopt! Adapt!
(Menjumput dan Menyelaraskan)

Tujuh Bintang Art Space Yogyakarta
17 - 27 Maret 2010

Seniman :
Agung Tato | Amrianis | Bambang “BP” Prasetyo | Dadang Imawan | Hadi Soesanto | Ekwan | I Nyoman Agus Wijaya | Iwan Sri Hartoko | Martono | M Sinnie | Mujiharjo | Nur khamim | Nico Siswanto | Rocka Radipa | Tato Kastareja | Totok Buchori | Yudi Sulistyo | Yoyok Sahaja | Wilman Syahnur | Yuli Kodo | Danny Ardiyanto | Klowor | Bonny setiawan


Praktik berkesenian bagi banyak kalangan perupa di Indonesia, khususnya yang bisa diamati di Yogyakarta, telah masuk dalam babakan yang telah lanjut. Dalam babakan itu, peran teknologi memiliki peran yang teramat penting. Pergumulan mereka bersama dengan pesatnya perkembangan teknologi ini dapat ditengarai dalam dua hal penting.

Pertama, teknologi menjadi perangkat utama dalam penciptaan karya, sehingga dari sanalah muasal karya yang dihasilkan itu berasal. Pada seniman jenis ini, kedudukan teknologi dalam kaitan dengan proses kreatifnya menjadi ideologis karena mendasarkan (nyaris) seluruh berkaryanya dengan bantuan perangkat teknologi.

Kedua, teknologi sebagai perangkat pembantu dalam proses kreatif. Di sini para perupa mencoba mengembangkan kecenderungan kreatif yang selama ini telah dilakoninya, dan memasukkan peran perangkat teknologi sebagai salah satu bagian dalam proses berkreasi. Teknologi sebagai alat bantu untuk mendukung dalam menajamkan tema yang telah jadi pilihannya. Namun teknologi bukan segala-segalanya bagi perupa semacam ini.

Pada poin kedua di ataslah saya sebut sebagai kemampuan seniman untuk beradaptasi atau menyesuaikan atau menyelaraskan (to adapt) dengan kebaruan-kebaruan teknologi yang ada di lingkungannya.

Di sisi pembicaraan lain, dewasa ini publik sulit sekali membuat identifikasi personal atau komunal untuk melihat sebuah karya seni rupa. Artinya, karya seniman yang berasal dari Yogyakarta, sebagai misal, bisa sangat jauh dari “identitas keyogyaan/kejawaannya”. Begitu juga dengan karya perupa dari Ranah Minang bisa tak beda jauh (“identitas visualnya”) dari karya seniman di belahan Eropa atau Eropa.

Gejala ini mengemuka dimana-mana, dan menjadi bagian penting dari kerja kreatif seniman yang imajinasinya tidak seutuhnya didukung dan bersumber dari ide-ide lokal. Lokalitas terkadang seperti diingkari secara visual, meski secara konseptual hal ini masih belum beranjak jauh. Gejala ini saya kira dapat ditengarai sebagai sebuah cara seniman dalam bersiasat untuk memperbarui dunia gagasan dan implementasinya di medan kreatifnya, di atas kanvasnya. Saya kira gejala mengadopsi atau memungut atau menjumput (to adopt) ini banyak muncul pada lukisan-lukisan di Yogyakarta, atau bahkan di seluruh Indonesia.

Pada aspek yang menarik perhatian ini, yakni proses mengadaptasi (gejala kemajuan teknologi) dan mengadopsi (gejala visual yang melampaui problem lokalitas), maka pameran ini dikerangkai sebagai dasar kuratorial. Dengan demikian, para perupa peserta diharapkan bisa menggali lebih lanjut kecenderungan kreatif yang selama ini telah berlangsung, dan memberi penekanan pada aspek pengolahan aspek adaptasi dan adopsi dalam berkarya. Ikon-ikon visual yang bertitik berangkat pada problem kebudayaan lokal bisa lebih jauh digali dan dikembangkan, untuk kemudian bisa dikerangkai sebagai “lintas lokal”, “lintas geografis”, “lintas etnik”, dan seterusnya, Istilah “lintas lokal” dan sejenisnya ini untuk menunjukkan bahwa problem kelokalan bisa menjadi titik pijak untuk lalu diperluas cakupannya sehingga melampaui (beyond) problem lokalitas (yang dirasa sempit) itu sendiri. Maka, sekali lagi, aspek-aspek penting yang dijumput dari kearifan lokal atau kejeniusan lokal bisa diberdayakan lebih lanjut untuk memberi tekanan lebih-dalam pada garis kuratorial.

Selamat Berkarya, Selamat Mengadaptasi dan Mengadopsi!

Salam,
Kuss Indarto
Kurator Pameran

Monday, February 22, 2010

Pameran WouW!

WouW!
Mengadaptasi Cerita Komik
Tujuh Bintang Art Space, 26 Februari – 7 Maret 2010

Melalui komik tokoh-tokoh imajinatif bentukan dari komikus dapat kita lihat, melalui penampakan visual tokoh itu dapat terlihat bagaimana gaya bicaranya, perilakunya dan bagaimana kepribadiannya. Disinilah tokoh itu dapat memasuki wilayah ingatan pembaca. Kekuatan menciptakan tokoh dengan spesifikasi kepribadian yang unik ini menjadi sesuatu yang lain. Citra inilah yang menyebabkan cerita komik itu dikenal.


Melalui tokoh imajiner ini narasi komik digerakan, walaupun cerita itu pada akhirnya bertumpu pada baik atau buruknya tokoh yang tampil tetapi kekuatan cerita yang menyebabkan munculnya mitos dalam kejadian komikal yang tercipta. Tokoh antagonis atau protagonis adalah sesuatu yang menggerakan penceritaan lebih jauh. Bagimana tokoh itu tampil dalam tiap adegan adalah citra spesifik yang hendaknya dapat menjadi perhatian, atau titik tumpu kemunculan kedalaman kerakteristik komikal.

Visual yang demikian pesat, ternyata dapat menjadikan citra komik menjadi materi lukisan yang dapat diandalkan sebagai obyek yang tidak terhindarkan. Komposisi komikal dari gerak juga dapat merunut bagaimana kepribadian tokoh tampil dari satu peristiwa ke peristiwa yang lainnya. bagian demi bagian inilah yang sebenarnya dapat digali menjadi sesuatu yang detail dari obyek visual.

Kehadiran sensasi dari citra tokoh dapat disajikan secara utuh menjadi obyek lukisa yang demikian kuat, seiring kapasitas tokoh dalam peristiwa yang terjadi ditengah penceritaan. Kehandalan tokoh cerita dalam satu peristiwa adalah nialai kehadiran dalam penceritaan yang dapat dicermati sebagai keunikan mengupas masalah dalam pesan yang hendak disampaikan sang komikus. Disinilah titik obyektif dimana tokoh baik antagonis atau protagonis mendapatkan posisinya.

Visual-visual itulah yang dapat dijadikan obyek yang lebih dalam untuk membentuk reaksi antara keduanya menjadi sesuatu yang lebih dalam. Karakteristik masing-masing saling mengisi dalam satu ruang yang tidak terdapat celah dalam membuat situasi lebih jauh lagi, karena pendekatan obyektif yang harus ditunjukan dalam visual yang lebih jelas. Kekuatan inilah yang diperinci menjadi obyek yang jelas, detail dan situasional.

Artists :
SULUNG | PURNOMO | JANU | RESTU | RINARSI WIDHI | RUDY ATJE | HENDRA BLANKON | RUDY LAMPUNG | F.ALWATONI | SARWOTO KATOT | GURIT | RIONO TUNGGUL N | PRIHATMOKO | YUDHA SANDY | TERA BRAJAGOSHA | SUTRISNO | BONDHO TEGUH | BATMAN HENRY | BING MUSHOWIR | SALEH HUSEIN | HAORITSA | GIBRAN REZA | SENO PURWANTO ADJI

Curator :
FRIGIDANTO AGUNG

Pembukaan Pameran
Hari, tanggal : Jumat, 26 Februari 2010
Waktu : Pukul 20:00
Tempat : Tujuh Bintang Art Space
Jl Sukonandi 7 Yogyakarta
Dibuka Oleh : Nasirun
Musik : The Walrus

Wednesday, November 18, 2009

Pers Release Peace | FaceToFace

PEACE | FACETOFACE
Pameran Komunitas Air Gunung

Kurator :
Wicaksono Adi
Pembukaan :
Sabtu, 21 Nopember 2009 pukul 19:30
Dibuka Oleh :
Syakieb A. Sungkar
Tempat :
Tujuh Bintang Art Space
Jl. Sukonandi 7 Yogyakarta 55166
Musik :
Rames Band & Primitive Democration
Performance :
Fashion Show “Batik Kembang Keli”
Batik Kertek Wonosobo
Karya Yohanes Wiera
Pameran :
Tanggal 21 Nopember – 5 Desember 2009 - pukul 10:00 – 20:00 WIB
------------------------------------------------------------------------------------------

Yang patut dihargai dari para pelukis Wonosobo ini adalah pilihannya untuk menggunakan teknik representasional melalui cara kerja melukis realistik. Kita ingat bahwa dalam seni rupa atau seni visual secara umum lazim dikenal pembedaan antara jenis seni rupa representasional dengan seni rupa non-representasional. Seni rupa representasional lahir dari kemungkinan visual yang berkaitan dengan dunia yang nampak dan berada di luar diri si seniman, penampilan dari dunia eksterior sehingga pembacaan atasnya tak dapat dilepaskan dari bagaimana proses terbentuknya kenyataan yang ditampilkan tersebut. Yaitu suatu karya artistik di mana proses pemaknaannya masih dapat dikaitkan secara langsung maupun tidak langsung dengan sesuatu yang kurang lebih “objektif” - sekalipun kenyataan “objektif” tersebut telah mengalami deformasi - tapi ia masih dapat diidentifikasi dengan dunia eksterior. Gampangnya, seni rupa representasional adalah suatu seni yang memiliki “objek”, seperti gambar dari hasil bidikan kamera yang memotret sasaran sasaran tertentu di luar dirinya. Ia dapat membidik dan merefleksikan apa saja kecuali dirinya sendiri.



Berbeda dengan seni rupa representasional, seni non-representasional dapat ditandai minimal oleh dua hal. Pertama, ketiadaan objek. Akibat dari ketiadaan objek ini maka kamera tidak mungkin diarahkan ke dunia eksterior, melainkan cenderung ditujukan kepada dirinya, pada wilayah interior. Kedua, karena kamera mengarah ke wilayah interior maka hal itu akan menghilangkan syarat munculnya persepsi, sehingga persepsi akan bermain dalam wilayah fenomenologis “tertentu”. Dikatakan “tertentu” karena setiap persepsi mengandaikan adanya objek, sementara jika objek itu tidak ada, maka ia akan menjadikan dirinya menjadi sasaran persepsi. Di situ kita mengenal karya-karya seni rupa abstrak dan abstrak-ekspresionistik.

Karya-karya seniman Wonosobo ini jelas mengambil jalur representasional. Dan menghadapi karya-karya lukisan semacam itu penonton diajak untuk menyelami makna berdasarkan elemen-elemen yang muncul di kanvas lalu dihimbau untuk mencari acuan-acuan referensial yang umum. Orang mengenal Bill Gates sebagai kampiun dunia komputer, Gandhi, Dalai Lama dan Aung San Suu Kyi sebagai pejuang kemanusiaan. Kita diajak untuk memberi makna baru dari acuan tersebut melalui elemen-elemen tambahan yang dilekatkan di sana. Ada elemen hijau daun rerumputan pada wajah Bill Gates dan Suu Kyi, ada batu-batu yang menyusun wajah Gandhi, gambar cicak (yang menggambarkan kekonyolan sirkus hukum yang dipertontonkan sebagian elite di Indonesia yang akhir-akhir ini poluler dengan ungkapan ”buaya melawan cicak”) pada lukisan Mr. Bean, dan seterusnya. Selain lukisan berobjek individu-individu besar, kita juga menemukan lukisan yang menggambarkan dunia jungkir balik kota besar yang agak menakutkan (Metropolis, karya Agus Handoko).

More info :
www tujuhbintang.com

Monday, October 12, 2009

Pameran Tunggal Bambang Darto

PERS RELEASE

Kurator : Wicaksono Adi
Pembukaan : Minggu, 18 Oktober 2009 pukul 19:30
Tempat : Tujuh Bintang Art Space
Jl. Sukonandi 7 Yogyakarta 55166
Musik : Hadi Soesanto, SE
Pameran : Tanggal 18 - 31 Oktober 2009 - pukul 10:00 – 20:00 WIB
---------------------------------------------------------------------

Karya-karya Bambang Darto lebih dekat sebagai bentuk permainan visual terbatas dari karya-karya yang telah menjadi klasik. Dan publik mungkin tidak akan tahu dan tidak mengenali bahwa salah satu objek dalam lukisan Bambang Darto adalah sosok si pelukisnya. Bahkan orang akan menyangka bahwa karya-karya itu merupakan duplikat atau semacam reproduksi yang prima, dengan perubahan di sana-sini, dari karya-karya klasik tersebut. Jika dulu orang percaya pada otentisitas dan orisinalitas karya seni sebagai buah cipta seorang genius, kini Bambang Darto justru melanggar anggapan semacam itu. Dan cara yang ia lakukan tidak dengan merusak atau mengacak-acak karya-karya klasik yang diagung-agungkan itu melainkan dengan menciptakan ulang secara utuh.



Personalitas (potret diri) seorang pelukis tidak hadir dalam ruang kosong melainkan hadir dalam haribaan berbagai karya yang sudah ada. Ia dapat hadir dalam karya orang lain yang dapat diperlakukan sebagai karya sendiri. Itulah cara yang ingin saya sebut sebagai permainan dalam ketertiban teknikal dari disiplin konvensional rupawi yang sudah mapan. Maka ia menjadi semacam rekonstruksi dari karya-karya besar sebagai bentuk penghormatan sekaligus personifikasi terbatas terhadap karya-karya tersebut. Dan memang, setelah dipublikasikan selama bertahun-tahun atau berabad-abad, maka karya-karya besar itu pada akhirnya telah menjadi milik publik. Milik sejarah.

Dan tanpa ragu-ragu Bambang Darto ingin hadir dalam sejarah itu. Dia menyusup dengan cara yang halus sehingga orang lupa bahwa dirinya adalah seorang penyusup. (Aku ada di sana, berada di dalam sejarah yang diciptakan oleh orang-orang sebelum diriku). Dan sejarah yang diciptakan oleh para maestro itu terkadang menjelma menjadi semacam mitos yang coba diabadikan oleh generasi-generasi berikutnya sehingga menjadi semacam ”keabadian buatan” pula. Dan kini seorang pelukis bernama Bambang Darto hendak ambil bagian dalam proses pengabadian mitos tersebut dengan cara memain-mainkan lalu dan”menambahi” bagian-bagian tertentu dari keabadian yang sudah baku tersebut.

Itulah personalitas yang dibuat samar-samar hingga nyaris tak terbaca. Suatu cara yang sangat halus untuk membuat tafsir bebas terhadap mitos yang coba terus diabadikan oleh para kreator di zaman yang dipenuhi oleh replika segala hal. Berhadapan dengan karya-karya semacam itu kita dibawa masuk pada berbagai sensasi eksotik dari replika keabadian yang telah menjadi milik siapa saja. Si seniman tak berambisi untuk menciptakan keabadian baru, karena ambisi semacam itu kini juga telah menjadi mitos kosong. Yang ada hanyalah celah-celah kosong di mana orang dapat menyusun ulang personalitas dirinya dalam jejak-jejak mitos. Jejak-jejak sejarah yang terusun oleh berbagai elemen masa silam yang jauh.

More info :
www tujuhbintang.com

Friday, October 2, 2009

Penawaran Kerjasama Lelang Lukisan

Mengantisipasi kondisi pasar seni yang cukup mengkhawatirkan akibat libasan krisis ekonomi global saat ini, Tujuh Bintang (Tubi) Art Space bermaksud menawarkan kerjasama pemasaran lukisan melalui balai lelang. Hal ini menjadi sangat krusial karena sejak awal tahun ini, kolektor yang benar-benar pecinta seni mulai banyak menahan diri. Yang masih sering menghadiri pameran adalah kolektor-kolektor yang statusnya pedagang. Akibatnya pembeli karya lebih sensitif terhadap harga karya yang dipamerkan. Yang diburu bukan lagi sekedar karya yang bagus saja. Tapi karya yang bagus dan laku di balai lelang. Ini merupakan masalah bagi galeri dan seniman.

Galeri kesulitan mendapatkan karya seniman yang punya nama di pasar, karena yang memburu banyak. Padahal galeri membutuhkan dana yang cukup besar untuk bisa terus berkontribusi terhadap wacana seni, terutama untuk mendukung seniman-seniman muda yang berkualitas. Agar bisa terus berpameran dengan seniman muda, galeri harus bisa memperkenalkan dulu nama-nama baru itu di balai lelang dan menjaga karya seniman agar terkesan sering masuk balai lelang dan laku di mata kolektor. Sehingga ketika galeri memunculkan nama tersebut di pameran, kolektor sudah punya gambaran tentang pasarnya. Jadi untuk bisa bertahan hidup dalam kondisi ekonomi sekarang, sudah masanya bagi galeri dan seniman untuk bisa hidup di dua alam, yaitu dalam wacana apresiasi melalui pameran dan wacana pasar melalui balai lelang.

Saat ini Tubi telah menjalin kerjasama dan menjadi vendor beberapa balai lelang di Jakarta dan Singapore. Dan Tubi bermaksud untuk mengangkat beberapa seniman muda yang sekiranya bisa bekerjasama saling menguntungkan secara jangka panjang. Yang perlu diingat, kerjasama pemasaran ini bukan kerjasama jangka pendek yang bisa mendapatkan hasil maksimal dalam waktu dekat. Perlu cukup banyak waktu agar nilai pasar karya bisa didongkrak sampai ke titik tertinggi. Draft perjanjian kerjasama beserta penjelasannya kami lampirkan dalam email ini. Apabila merasa berminat atau ada beberapa hal yang belum jelas, silakan hubungi kami di nomor 0274 545577 atau datang langsung ke Tubi cp Lenny.

Sebagai tindak lanjutnya, silakan kirimkan sampel karya melalui email agar bisa kami pilih karya yang akan dimasukan secara bertahap karena keterbatasan kuota vendor ke balai lelang. Setelah karya dipilih kami akan hubungi per telepon dan MoU akan kami kirimkan.

Demikian penawaran dari kami. Atas perhatian dan kerjasamanya yang baik kami ucapkan terima kasih.

Monday, August 17, 2009

Malam Anugrah Tujuh Bintang Art Award 2009

Setelah melalui proses yang demikian panjang. Pada tanggal 15 Agustus 2009, Malam Anugrah Tujuh Bintang Art Award yang mengambil tajuk "The Dream" dilaksanakan di Jogja National Museum.

Acara dibuka dengan hentakan musik top forty oleh D'Gaz Band. Dipandu MC Trio Kirik, seremonial penyerahan hadiah untuk 5 besar dari 58 nominator "The Dream" diawali dengan performance oleh Jemek. Hadiah sebesar 5 juta rupiah, sertifikat dan tropi diserahkan oleh perwakilan seniman senior, kurator, wartawan dan direktur Tujuh Bintang Art Space.

Lima seniman terbaik itu adalah besar itu adalah :
1. Made Wiguna Valasara
2. Cipto Purnomo
3. Desrat Fianda
4. Rudi Hendriatno
5. Syaiful A Rahman

Acara yangs sedianya dibuka oleh GKR Hemas, akhirnya dibuka oleh Bapak Saptoadi Nugroho karena GKR Hemas yang sempat hadir menyatakan tidak siap untuk memberikan sambutan. Selain membuka pameran, Owner Tujuh Bintang juga melakukan prosesi pemotongan tumpeng sebagai pengungkapan rasa syukur atas usia Tujuh Bintang Art Space yang telah mencapai satu tahun dengan penuh kesuksesan.

Begitu pameran dibuka, panggung dihentak kembali oleh penampilan dua grup hiphop ternama di Yogyakarta, Rotra dan Jahanam. Dan sebagai penutup, Hadi Soesanto, SE mengawal 7 penyanyi dangdut menggoyang suasana The Dream menjadi semakin panas.

Selamat kepada para pemenang.
Selamat Ulang Tahun Tujuh Bintang Art Space.

Thursday, August 13, 2009

Invitation of The Dream Exhibitions

INVITATION

Tujuh Bintang Art Space
Cordially invites you to


The Opening of Art Exhibition

Tujuh Bintang Art Award 2009
August 15th – 30th, 2009

Nominators :

Achmad Basuki | Afdhal | Agung Santosa | Agus Triono | Ahmat Nawir (Mc Pitt) | Andi (La Ghost) Riyanto
Angga Aditya Atmadilaga | Bambang Supriyadi | Baskoro Latu | Baswara Indrajati | Budi Agung Kuswara
Cipto Purnomo | Dani ‘King’ Heriyanto | Danny Irawan | Deden FG | Dedy Maryadi | Dedy Sufriadi
Desrat Fianda | Dhomas "Kampret" Yudhistiro | Dwi Rustanto | Edi Maesar | Erianto | Ferry Gabriel
Handry L.S | Hasto Edi Setiawan | Hilmi Fabeta | I Gede Arya Sucitra | I Kadek Agus Ardika
I Made Adinata Mahendra | I Made Ngurah Sadnyana | I Wayan Legianta | I Wayan Upadana
Imam Abdillah | Ivan Yulianto | Jouhan Jauhari | Kadafi Gandi Kusuma | Kadek Agus Mediana
Khusna Hardiyanto | M. Wira Purnama | Made Wiguna Valasara | Miranti Minggar Triliani
Muhammad Yusuf Siregar | Mulyo Gunarso | Nugroho Heri Cahyono | Nugroho Wijayatmo
Nur Fitriyah | Pande Nyoman Alit Wijaya Suta | Purwanto | RB. Setiawanta | Rokhim MaosArt
Roni Ammer | Rudi Hendriatno | Suparyanto | Syaiful A. Rachman | Tri Wahyudi
Untung Yuli Prastiawan | Wibowo Adi Utama | Widhi Kertiya Semadi | Yudi Irawan



Curated by:
Rusnoto Susanto

The Judges:
Suwarno Wisetrotomo | Kuss Indarto | Mikke Susanto
Sujud Dartanto | Rusnoto Susanto

Will be Officiated by:
Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas

Live Music & Performance by:
Hadi Soes, SE - Hip Hop (Rotra & Jahanam)
D’Gaz Band - Jemek Supardi

MC
Elis & Trio Kirik

on Saturday, August 15th, 2009
at 07.00 pm
at Jogja National Museum
Jl Amri Yahya 1 Wirobrajan Yogyakarta


More Info :
Tujuh Bintang Art Space
Jl Sukonandi No. 7-Yogyakarta 55166, Indonesia
Tlp +62 274 545577 Fax +62 274 583377
email: info@tujuhbintang.com
website: www.tujuhbintang.com

Friday, August 7, 2009

D'Gaz, Rotra, Jahanam & Hadi Soes Meriahkan The Dream


Persiapan 1st Anniversary of Tujuh Bintang Art Space sekaligus Malam Penganugrahan 5 Seniman Terbaik "The Dream" Tujuh Bintang Art Award 2009 semakin mendekat puncaknya. Acara akan dibuka oleh Kanjeng Hatu Hemas.

D'Gaz Band akan menjadi musik pembuka dilanjutkan 2 grup hip hop ternama di kota Yogyakarta, Rotra dan Jahanam. Untuk menambah panas suasana, hadirin akan diajak bergoyang oleh 5 biduan dangdut dari Hadi Soes, SE. Performance dari Jemek juga akan turut memukau hadirin disana.
Pengatur acara diserahkan kepada Elis dan Trio Kirik.

Jangan lewatkan event terbesar Tujuh Bintang Art Space selama setahun ini. Ramaikan Jogja National Museum Jl Amri Yahya No 1 Wirobrajan pada tanggal 15 Agustus 2009 mulai pukul 19:00 WIB.


Kami nantikan kehadiran anda semua.
Ping your blog, website, or RSS feed for Free
My Ping in TotalPing.com
Feedage Grade B rated
Preview on Feedage: cheap-canvas-art Add to My Yahoo! Add to Google! Add to AOL! Add to MSN
Subscribe in NewsGator Online Add to Netvibes Subscribe in Pakeflakes Subscribe in Bloglines Add to Alesti RSS Reader
Add to Feedage.com Groups Add to Windows Live iPing-it Add to Feedage RSS Alerts Add To Fwicki