TEN MADE
Tujuh Bintang Art SPace
PAMERAN seni rupa “Ten Made” menampilkan karya sepuluh pelukis yang tergabung dalam kelompok 10 Fine Art dari Sanur, Bali. Mereka adalah A.A. Ngurah Paramartha, I Ketut Teja Astawa, I Made Budi Adnyana, I Made Dollar Astawa, I Made Romi Sukadana, Ida Bagus Putu Purwa, I Wayan Apel Hendrawan, I Wayan Muliastra, I Wayan Paramartha dan Vinsensius Dedy Reru. Kelahiran kelompok ini ditandai dengan pameran kontroversial yang menampilkan lukisan lelaki telanjang, potret diri sepuluh anggota kelompok ini sendiri, pada 2004.
“Ten Made” dipilih sebagai judul pameran untuk menyatakan dua hal. Pertama, secara eksplisit, “Ten Made” berarti “buatan Ten”, bahwa karya-karya yang dipamerkan adalah ciptaan para perupa 10 Fine Art. Kedua, secara implisit, “Ten Made” berasosiasi dengan istilah populer “hand made” atau “buatan tangan”, sebagai pernyataan sikap kemandirian kreatif sepuluh anggota kelompok ini secara personal maupun komunal.
Meskipun bersinergi memadukan kekuatan dalam satu kelompok, para perupa 10 Fine Art tetap mempertahankan visi kreatif dan gaya lukis masing-masing. Karya mereka beragam. Kemandirian dan kebebasan ekspresi adalah “ideologi” bersama yang justru menyatukan mereka. Mereka saling belajar dan mendukung satu sama lain, sembari merayakan perbedaan, membuka ruang seluas-luasnya bagi keyakinan estetik dan kecenderungan artistik masing-masing. Secara personal, anggota kelompok ini aktif berpameran di berbagai tempat, di dalam dan luar negeri. Sejumlah person telah muncul sebagai perupa muda yang diperhitungkan di jagat seni rupa nasional.
Keragaman ekspresi artistik para perupa 10 Fine Art menggemakan situasi kehidupan sosial di Sanur, basis kelompok ini. Sanur adalah kawasan wisata terkenal di pesisir timur Denpasar yang dilengkapi fasilitas akomodasi modern berkelas internasional. Sebagaimana penghuni resor pariwisata tersohor lainnya, warga Sanur harus hidup bersama ribuan pendatang dari berbagai daerah di Indonesia yang mencari nafkah di sektor pariwisata, maupun lalu-lalang turis dari dalam dan luar negeri.
Namun berbeda dari pusat pariwisata lainnya di Bali, misalnya Kuta atau Ubud, atmosfir Sanur terasa lebih “eklektis”. Di Sanur, gaya-hidup kosmopolitan, lokalisasi pelacuran dan kafe remang-remang berdampingan dengan suasana alam nan syahdu dan mistis, prestasi historis seni lukis tradisional mazhab Sanur, kehadiran museum Le Mayeur, dan eksistensi gria Brahmana berpengaruh yang merupakan pusat keunggulan intelektual-religius-artistik Bali di masa silam. Sanur mengaduk yang tradisional dan yang modern, yang luhur dan yang mesum, yang sakral dan yang profan. Kemajemukan realitas Sanur ini kiranya berperan penting membentuk sikap toleran dan terbuka para perupa 10 Fine Art, sehingga mampu mengakomodasi dan mendayagunakan perbedaan mereka untuk membangun kekuatan dalam sebuah kelompok yang tetap solid sejak didirikan enam tahun silam sampai hari ini.
Kendati mengusung keragaman tema, gaya maupun teknik, kreativitas para seniman 10 Fine Art digerakkan oleh tanggapan dan sikap moral tertentu mengenai situasi kehidupan sosial yang sehari-hari dilihat dan dialami. Kreasi artistik mereka mencerminkan intuisi dan imajinasi personal, sekaligus kepekaan sosial dan kultural. Dengan cara masing-masing, mereka menanggapi transformasi yang berlangsung di masyarakat. Pada khususnya, respons akut dan kreativitas personal mereka tidak terlepas dari konteks sosial yang membentuk realitas Sanur sebagai lingkungan desa tradisional yang telah terglobalisasi, berubah menjadi pusat industri pariwisata berskala massal dan internasional.
Karya para perupa 10 Fine Art secara tersirat merefleksikan dampak gempuran gelombang tsunami globalisasi yang menyapu pantai Sanur pada khususnya, dan seantero Bali pada umumnya. Di Sanur pada abad 21, juga di kawasan-kawasan lain di Bali, budaya tradisional umumnya masih bertahan (atau dipertahankan, termasuk untuk menunjang kepentingan industri pariwisata), tapi sekaligus terancam karena semakin sulit diadaptasikan dengan tuntutan pragmatis kehidupan modern, dan juga karena harus bersaing dengan berbagai pengaruh budaya kontemporer sejagad yang lebih fleksibel, seksi dan profitable. Benturan budaya ini ditanggapi para perupa 10 Fine Art dengan psikologi berbeda-beda. Ada yang rileks, ada yang tegang. Namun demikian, mereka semua sama-sama menyuarakan kritisisme terhadap badai perubahan yang melanda lingkungan sosio-kultural Bali kontemporer.
Salah satu dampak perubahan sosio-kultural yang menjadi fokus perhatian para perupa adalah problem identitas. Dalam situasi silang-sengkarut aneka budaya, gaya hidup dan nilai-nilai yang berebut ruang, Sanur seolah menjelma jadi “wilayah tak bertuan” (no-man’s-land). Sebentang wilayah abu-abu di mana, mengutip teoretikus politik Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, “tidak ada identitas sosial yang sepenuhnya terlindung dari wacana luar yang membuatnya cacat dan tak bisa utuh-padu... tidak ada identitas yang dapat terbentuk dengan sempurna.” Atau dengan kata lain, suatu medan gegar identitas. Karena identitas adalah soal posisi subjek, maka di medan gegar identitas, subjek (individual maupun kolektif) tidak lagi dapat dipastikan posisinya. Subjek terombang-ambing tak menentu dalam kegamangan dan kebimbangan, disorientasi bahkan depresi.
Situasi ketidakpastian posisi subjek ditampilkan secara dramatis dalam karya-karya I.B Purwa. Lukisan-lukisannya mengetengahkan suatu biografi tubuh yang tak henti bergerak, berubah-ubah perangai, berganti-ganti posisi. Tubuh menggeliat, mengejang dan menghentak, sepenuhnya menjadi ajang pergolakan daya-daya internal dan eksternal. Secara heroik dan sekaligus ironis, Purwa merayakan subjektivitas tanpa pusat. Tubuh pada kanvasnya melambangkan kondisi masyarakat yang dari luar tampak solid dan memiliki identitas jelas, tapi sesungguhnya penuh retakan dan ketidakpastian di bagian dalam.
Wayan Muliastra menginterogasi problem identitas dengan menggelar proyek refleksi-diri. Serangkaian lukisan potret-dirinya mengungkapkan ketegangan psikologis hebat yang menyertai rumitnya, perihnya dan absurdnya upaya menegakkan identitas. Identitas yang utuh dan kukuh adalah mustahil, bukan saja karena selalu terkoyak oleh agresi dari luar (“Tak Bisa Menjerit”, “Terpancing”), tapi juga karena tidak lagi mempunyai akar esensial (“Charge”). Ketegangan psikologis juga terpancar dari figur-figur penari Bali dalam karya Wayan Apel Hendrawan (“Irama Laut”, “Menari dalam Api”). Tanda identitas etnis Bali pada tubuh figur tampak “dicemari” oleh jejak kekuatan-kekuatan dahsyat eksternal yang menggurat kulit mereka seperti tato.
Wayan Paramartha mempersoalkan identitas etnis Bali lewat ekspose citra fotografis perempuan Bali. Ia melakukan reinterpretasi kritis terhadap citra kemolekan perempuan Bali yang berperan penting melambungkan citra Bali sebagai surga eksotis dan erotis sejak dekade-dekade awal abad 20. Citra nostalgis-romantis perempuan Bali dimainkan Paramartha secara ironis untuk menimbang-kembali makna identitas etnis Bali pada zaman sekarang. Ada optimisme bahwa identitas etnis Bali akan tetap lestari di tengah deru perubahan (“Tak Akan Usai”). Sebaliknya, merebak pula pesimisme bahwa budaya tradisional Bali tidak relevan lagi dengan kemajuan zaman, terasing bagai penari Bali di tengah belantara metropolitan (“Lost in S’pore”). Dan jika pada masa kolonial, mengutip W. van Schendel, “ketelanjangan melambangkan keprimitivan, keterbelakangan, kecabulan dan kehinaan” manusia pribumi dan budaya lokal, maka pada zaman modern ini, emansipasi identitas etnis Bali perlu dipersenjatai dengan ilmu pengetahuan modern, ibarat gadis Bali telanjang menggenggam pistol (“Aku di Depan”).
Made Dollar Astawa menggeser posisi subjek perempuan dari pusat fantasi seksual, dan menggantinya dengan citra buah-buahan tertentu yang berkonotasi erotis. Erotisisme tidak lagi terisolasi pada tubuh perempuan, khususnya karakter fisik tertentu yang dianggap ideal dan membakar syahwat, melainkan muncul sebagai efek dari permainan tanda. Tubuh-erotis digeser oleh pikiran-erotis. Pergeseran ini menyiratkan suatu tanggapan kritis atas fenomena objektivikasi dan komodifikasi perempuan di “sisi kelam” pariwisata Sanur.
Dengan rileks, Ngurah Paramartha menerima kenyelenehan (idiosyncrasy) sebagai bagian yang wajar dari dinamika kehidupan sehari-hari. Lukisan-lukisannya menampilkan figur mirip-badut yang tingkahnya aneh-aneh. Di kawasan pariwisata seramai Sanur, di mana berkumpul segala macam karakter identitas dari seluruh penjuru dunia, penampilan dan perilaku seaneh apapun sesungguhnya tidak aneh lagi.
Tidak kalah rileksnya, Made Romi Sukadana meledek sindrom “disorientasi kultural” pada masyarakat yang dilanda krisis identitas. Karya-karya Romi memperagakan anakronisme yang menyengat: anekdot-anekdot karikatural tentang subjek yang tidak lagi mengenal dirinya sendiri, sehingga terdampar pada situasi absurd di tempat dan waktu yang salah. Unta, binatang padang pasir itu, hidup di padang rumput (“Unta dan Padang Rumput”). Sedangkan penyelam, yang mestinya menjelajah perairan, malah berkeliaran di padang pasir (“Menyelam di Padang Pasir”). Lucu dan sekaligus menyedihkan.
Kesadaran identitas etnis Bali menyeruak dari karya Ketut Teja Astawa yang berupaya meredefinisi dan merenegosiasi tradisi secara inovatif. Teja mencari sensibilitas yang bersumber dari budaya masyarakat tradisional Bali, dan mengemasnya dalam ekspresi kontemporer. Ia mengembangkan corak stilistik dan tematik khas yang berpijak pada eksplorasi personal terhadap khazanah artistik wayang kulit Bali dan seni lukis klasik Bali. Namun, berlawanan dengan watak seni wayang maupun seni lukis klasik Bali yang menjunjung keanggunan dan kestabilan tatanan, Teja mengadopsi khazanah tradisi dengan sikap kreatif yang rileks, untuk mengungkapkan pengalaman sehari-hari maupun fantasi individual yang kadang lucu bahkan konyol.
Berkebalikan dari Teja, Made Budi Adnyana dan V. Dedy Reru justru melepaskan diri dari bayang-bayang identitas etnis maupun identitas nasional. Budi adalah satu-satunya anggota kelompok 10 Fine Art yang konsisten berkarya di jalur seni lukis abstrak. Karya-karyanya bergaya Kubisme Analitis, khususnya mengikuti model yang dikembangkan oleh Georges Braque dan Lyonel Feininger. Sementara Dedy adalah satu-satunya perupa non-Bali dalam kelompok 10 Fine Art. Karya-karya mutakhirnya menjelajahi fenomena musik pop Barat, khususnya grup legendaris The Beatles. Berbagai citraan pada kanvasnya dilukis dengan memadukan kekuatan efek fotografis dan seni gambar (drawing). Meskipun dapat diidentifikasi dengan jelas, figur-figur dalam lukisan Dedy tampak menghantu (phantasmagoric), menghuni dunia-ambang di antara mimpi dan realitas: suatu metafora visual tentang kekuatan halusinogenik budaya massa.
Kemandirian kreatif para perupa 10 Fine Art berakar pada kepercayaan teguh terhadap otentisitas penciptaan seni murni (Fine Art). Para anggota kelompok ini terbuka kepada perkembangan zaman, tetapi menolak ikut-ikutan trend belaka. Mereka, misalnya, tak mau melukis dibantu artisan seperti banyak dilakukan pelukis sekarang, dan tidak tertarik mengubah gaya lukisan sekedar agar dianggap “kontemporer”. Mereka percaya bahwa karya seni sejati haruslah merupakan ekspresi diri yang otentik, ungkapan identitas kreatif personal yang unik: lahir dari rasa, karsa dan hasta sendiri. Ten Made.
Arif Bagus Prasetyo, Kurator
Alumnus IWP University of Iowa, Amerika Serikat
Tujuh Bintang Art SPace
PAMERAN seni rupa “Ten Made” menampilkan karya sepuluh pelukis yang tergabung dalam kelompok 10 Fine Art dari Sanur, Bali. Mereka adalah A.A. Ngurah Paramartha, I Ketut Teja Astawa, I Made Budi Adnyana, I Made Dollar Astawa, I Made Romi Sukadana, Ida Bagus Putu Purwa, I Wayan Apel Hendrawan, I Wayan Muliastra, I Wayan Paramartha dan Vinsensius Dedy Reru. Kelahiran kelompok ini ditandai dengan pameran kontroversial yang menampilkan lukisan lelaki telanjang, potret diri sepuluh anggota kelompok ini sendiri, pada 2004.
“Ten Made” dipilih sebagai judul pameran untuk menyatakan dua hal. Pertama, secara eksplisit, “Ten Made” berarti “buatan Ten”, bahwa karya-karya yang dipamerkan adalah ciptaan para perupa 10 Fine Art. Kedua, secara implisit, “Ten Made” berasosiasi dengan istilah populer “hand made” atau “buatan tangan”, sebagai pernyataan sikap kemandirian kreatif sepuluh anggota kelompok ini secara personal maupun komunal.
Meskipun bersinergi memadukan kekuatan dalam satu kelompok, para perupa 10 Fine Art tetap mempertahankan visi kreatif dan gaya lukis masing-masing. Karya mereka beragam. Kemandirian dan kebebasan ekspresi adalah “ideologi” bersama yang justru menyatukan mereka. Mereka saling belajar dan mendukung satu sama lain, sembari merayakan perbedaan, membuka ruang seluas-luasnya bagi keyakinan estetik dan kecenderungan artistik masing-masing. Secara personal, anggota kelompok ini aktif berpameran di berbagai tempat, di dalam dan luar negeri. Sejumlah person telah muncul sebagai perupa muda yang diperhitungkan di jagat seni rupa nasional.
Keragaman ekspresi artistik para perupa 10 Fine Art menggemakan situasi kehidupan sosial di Sanur, basis kelompok ini. Sanur adalah kawasan wisata terkenal di pesisir timur Denpasar yang dilengkapi fasilitas akomodasi modern berkelas internasional. Sebagaimana penghuni resor pariwisata tersohor lainnya, warga Sanur harus hidup bersama ribuan pendatang dari berbagai daerah di Indonesia yang mencari nafkah di sektor pariwisata, maupun lalu-lalang turis dari dalam dan luar negeri.
Namun berbeda dari pusat pariwisata lainnya di Bali, misalnya Kuta atau Ubud, atmosfir Sanur terasa lebih “eklektis”. Di Sanur, gaya-hidup kosmopolitan, lokalisasi pelacuran dan kafe remang-remang berdampingan dengan suasana alam nan syahdu dan mistis, prestasi historis seni lukis tradisional mazhab Sanur, kehadiran museum Le Mayeur, dan eksistensi gria Brahmana berpengaruh yang merupakan pusat keunggulan intelektual-religius-artistik Bali di masa silam. Sanur mengaduk yang tradisional dan yang modern, yang luhur dan yang mesum, yang sakral dan yang profan. Kemajemukan realitas Sanur ini kiranya berperan penting membentuk sikap toleran dan terbuka para perupa 10 Fine Art, sehingga mampu mengakomodasi dan mendayagunakan perbedaan mereka untuk membangun kekuatan dalam sebuah kelompok yang tetap solid sejak didirikan enam tahun silam sampai hari ini.
Kendati mengusung keragaman tema, gaya maupun teknik, kreativitas para seniman 10 Fine Art digerakkan oleh tanggapan dan sikap moral tertentu mengenai situasi kehidupan sosial yang sehari-hari dilihat dan dialami. Kreasi artistik mereka mencerminkan intuisi dan imajinasi personal, sekaligus kepekaan sosial dan kultural. Dengan cara masing-masing, mereka menanggapi transformasi yang berlangsung di masyarakat. Pada khususnya, respons akut dan kreativitas personal mereka tidak terlepas dari konteks sosial yang membentuk realitas Sanur sebagai lingkungan desa tradisional yang telah terglobalisasi, berubah menjadi pusat industri pariwisata berskala massal dan internasional.
Karya para perupa 10 Fine Art secara tersirat merefleksikan dampak gempuran gelombang tsunami globalisasi yang menyapu pantai Sanur pada khususnya, dan seantero Bali pada umumnya. Di Sanur pada abad 21, juga di kawasan-kawasan lain di Bali, budaya tradisional umumnya masih bertahan (atau dipertahankan, termasuk untuk menunjang kepentingan industri pariwisata), tapi sekaligus terancam karena semakin sulit diadaptasikan dengan tuntutan pragmatis kehidupan modern, dan juga karena harus bersaing dengan berbagai pengaruh budaya kontemporer sejagad yang lebih fleksibel, seksi dan profitable. Benturan budaya ini ditanggapi para perupa 10 Fine Art dengan psikologi berbeda-beda. Ada yang rileks, ada yang tegang. Namun demikian, mereka semua sama-sama menyuarakan kritisisme terhadap badai perubahan yang melanda lingkungan sosio-kultural Bali kontemporer.
Salah satu dampak perubahan sosio-kultural yang menjadi fokus perhatian para perupa adalah problem identitas. Dalam situasi silang-sengkarut aneka budaya, gaya hidup dan nilai-nilai yang berebut ruang, Sanur seolah menjelma jadi “wilayah tak bertuan” (no-man’s-land). Sebentang wilayah abu-abu di mana, mengutip teoretikus politik Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, “tidak ada identitas sosial yang sepenuhnya terlindung dari wacana luar yang membuatnya cacat dan tak bisa utuh-padu... tidak ada identitas yang dapat terbentuk dengan sempurna.” Atau dengan kata lain, suatu medan gegar identitas. Karena identitas adalah soal posisi subjek, maka di medan gegar identitas, subjek (individual maupun kolektif) tidak lagi dapat dipastikan posisinya. Subjek terombang-ambing tak menentu dalam kegamangan dan kebimbangan, disorientasi bahkan depresi.
Situasi ketidakpastian posisi subjek ditampilkan secara dramatis dalam karya-karya I.B Purwa. Lukisan-lukisannya mengetengahkan suatu biografi tubuh yang tak henti bergerak, berubah-ubah perangai, berganti-ganti posisi. Tubuh menggeliat, mengejang dan menghentak, sepenuhnya menjadi ajang pergolakan daya-daya internal dan eksternal. Secara heroik dan sekaligus ironis, Purwa merayakan subjektivitas tanpa pusat. Tubuh pada kanvasnya melambangkan kondisi masyarakat yang dari luar tampak solid dan memiliki identitas jelas, tapi sesungguhnya penuh retakan dan ketidakpastian di bagian dalam.
Wayan Muliastra menginterogasi problem identitas dengan menggelar proyek refleksi-diri. Serangkaian lukisan potret-dirinya mengungkapkan ketegangan psikologis hebat yang menyertai rumitnya, perihnya dan absurdnya upaya menegakkan identitas. Identitas yang utuh dan kukuh adalah mustahil, bukan saja karena selalu terkoyak oleh agresi dari luar (“Tak Bisa Menjerit”, “Terpancing”), tapi juga karena tidak lagi mempunyai akar esensial (“Charge”). Ketegangan psikologis juga terpancar dari figur-figur penari Bali dalam karya Wayan Apel Hendrawan (“Irama Laut”, “Menari dalam Api”). Tanda identitas etnis Bali pada tubuh figur tampak “dicemari” oleh jejak kekuatan-kekuatan dahsyat eksternal yang menggurat kulit mereka seperti tato.
Wayan Paramartha mempersoalkan identitas etnis Bali lewat ekspose citra fotografis perempuan Bali. Ia melakukan reinterpretasi kritis terhadap citra kemolekan perempuan Bali yang berperan penting melambungkan citra Bali sebagai surga eksotis dan erotis sejak dekade-dekade awal abad 20. Citra nostalgis-romantis perempuan Bali dimainkan Paramartha secara ironis untuk menimbang-kembali makna identitas etnis Bali pada zaman sekarang. Ada optimisme bahwa identitas etnis Bali akan tetap lestari di tengah deru perubahan (“Tak Akan Usai”). Sebaliknya, merebak pula pesimisme bahwa budaya tradisional Bali tidak relevan lagi dengan kemajuan zaman, terasing bagai penari Bali di tengah belantara metropolitan (“Lost in S’pore”). Dan jika pada masa kolonial, mengutip W. van Schendel, “ketelanjangan melambangkan keprimitivan, keterbelakangan, kecabulan dan kehinaan” manusia pribumi dan budaya lokal, maka pada zaman modern ini, emansipasi identitas etnis Bali perlu dipersenjatai dengan ilmu pengetahuan modern, ibarat gadis Bali telanjang menggenggam pistol (“Aku di Depan”).
Made Dollar Astawa menggeser posisi subjek perempuan dari pusat fantasi seksual, dan menggantinya dengan citra buah-buahan tertentu yang berkonotasi erotis. Erotisisme tidak lagi terisolasi pada tubuh perempuan, khususnya karakter fisik tertentu yang dianggap ideal dan membakar syahwat, melainkan muncul sebagai efek dari permainan tanda. Tubuh-erotis digeser oleh pikiran-erotis. Pergeseran ini menyiratkan suatu tanggapan kritis atas fenomena objektivikasi dan komodifikasi perempuan di “sisi kelam” pariwisata Sanur.
Dengan rileks, Ngurah Paramartha menerima kenyelenehan (idiosyncrasy) sebagai bagian yang wajar dari dinamika kehidupan sehari-hari. Lukisan-lukisannya menampilkan figur mirip-badut yang tingkahnya aneh-aneh. Di kawasan pariwisata seramai Sanur, di mana berkumpul segala macam karakter identitas dari seluruh penjuru dunia, penampilan dan perilaku seaneh apapun sesungguhnya tidak aneh lagi.
Tidak kalah rileksnya, Made Romi Sukadana meledek sindrom “disorientasi kultural” pada masyarakat yang dilanda krisis identitas. Karya-karya Romi memperagakan anakronisme yang menyengat: anekdot-anekdot karikatural tentang subjek yang tidak lagi mengenal dirinya sendiri, sehingga terdampar pada situasi absurd di tempat dan waktu yang salah. Unta, binatang padang pasir itu, hidup di padang rumput (“Unta dan Padang Rumput”). Sedangkan penyelam, yang mestinya menjelajah perairan, malah berkeliaran di padang pasir (“Menyelam di Padang Pasir”). Lucu dan sekaligus menyedihkan.
Kesadaran identitas etnis Bali menyeruak dari karya Ketut Teja Astawa yang berupaya meredefinisi dan merenegosiasi tradisi secara inovatif. Teja mencari sensibilitas yang bersumber dari budaya masyarakat tradisional Bali, dan mengemasnya dalam ekspresi kontemporer. Ia mengembangkan corak stilistik dan tematik khas yang berpijak pada eksplorasi personal terhadap khazanah artistik wayang kulit Bali dan seni lukis klasik Bali. Namun, berlawanan dengan watak seni wayang maupun seni lukis klasik Bali yang menjunjung keanggunan dan kestabilan tatanan, Teja mengadopsi khazanah tradisi dengan sikap kreatif yang rileks, untuk mengungkapkan pengalaman sehari-hari maupun fantasi individual yang kadang lucu bahkan konyol.
Berkebalikan dari Teja, Made Budi Adnyana dan V. Dedy Reru justru melepaskan diri dari bayang-bayang identitas etnis maupun identitas nasional. Budi adalah satu-satunya anggota kelompok 10 Fine Art yang konsisten berkarya di jalur seni lukis abstrak. Karya-karyanya bergaya Kubisme Analitis, khususnya mengikuti model yang dikembangkan oleh Georges Braque dan Lyonel Feininger. Sementara Dedy adalah satu-satunya perupa non-Bali dalam kelompok 10 Fine Art. Karya-karya mutakhirnya menjelajahi fenomena musik pop Barat, khususnya grup legendaris The Beatles. Berbagai citraan pada kanvasnya dilukis dengan memadukan kekuatan efek fotografis dan seni gambar (drawing). Meskipun dapat diidentifikasi dengan jelas, figur-figur dalam lukisan Dedy tampak menghantu (phantasmagoric), menghuni dunia-ambang di antara mimpi dan realitas: suatu metafora visual tentang kekuatan halusinogenik budaya massa.
Kemandirian kreatif para perupa 10 Fine Art berakar pada kepercayaan teguh terhadap otentisitas penciptaan seni murni (Fine Art). Para anggota kelompok ini terbuka kepada perkembangan zaman, tetapi menolak ikut-ikutan trend belaka. Mereka, misalnya, tak mau melukis dibantu artisan seperti banyak dilakukan pelukis sekarang, dan tidak tertarik mengubah gaya lukisan sekedar agar dianggap “kontemporer”. Mereka percaya bahwa karya seni sejati haruslah merupakan ekspresi diri yang otentik, ungkapan identitas kreatif personal yang unik: lahir dari rasa, karsa dan hasta sendiri. Ten Made.
Arif Bagus Prasetyo, Kurator
Alumnus IWP University of Iowa, Amerika Serikat