Meringkus Waktu ...!
Catatan: Suwarno Wisetrotomo
Aktivitas sederhana tetapi berdimensi sosial dan sekaligus spiritual, salah satunya adalah menunggu. Ya, menunggu. Wujud kerjanya sederhana – bisa duduk, berdiri, atau mondar-mandir diantara keduanya, dan segala bentuk eksresi lainnya – tetapi bisa berdampak kompleks, seperti perasaan marah, jengkel, lelah, bahkan frustrasi. Namun juga bisa berdampak positif seperti terbentuknya pribadi yang lebih matang, jiwa yang lebih kuat dan berkarakter, kesabaran yang lebih lapang, serta kesetiaan yang teruji. Kapan ia, menunggu itu, berdampak positif atau negatif, tentu sangat tergantung dari kualitas pribadi seseorang; apakah seseorang itu memiliki kemampuan mengelola emosi dengan baik, ataukah sebaliknya.
Catatan: Suwarno Wisetrotomo
Aktivitas sederhana tetapi berdimensi sosial dan sekaligus spiritual, salah satunya adalah menunggu. Ya, menunggu. Wujud kerjanya sederhana – bisa duduk, berdiri, atau mondar-mandir diantara keduanya, dan segala bentuk eksresi lainnya – tetapi bisa berdampak kompleks, seperti perasaan marah, jengkel, lelah, bahkan frustrasi. Namun juga bisa berdampak positif seperti terbentuknya pribadi yang lebih matang, jiwa yang lebih kuat dan berkarakter, kesabaran yang lebih lapang, serta kesetiaan yang teruji. Kapan ia, menunggu itu, berdampak positif atau negatif, tentu sangat tergantung dari kualitas pribadi seseorang; apakah seseorang itu memiliki kemampuan mengelola emosi dengan baik, ataukah sebaliknya.
Aktivitas menunggu terkait erat dengan urusan waktu. Waktu itu konsisten, tak pernah merasa kurang atau lebih. Perbedaan hanya karena persoalan posisi geografis. Namun tak mengubah apapun, kecuali sekadar perbedaan antara wilayah yang satu dengan yang lainnya, yang membuat terjadinya selisih waktu. Maka, menunggu seperti bermain dan dimainkan oleh waktu dengan segenap tegangan. Dalam kehidupan masa kini tegangan itu di wakili oleh kehadiran arloji yang menunjukkan perubahan jam, yang menandakan durasi. Mula-mula dihitung dengan detik, kemudian menit, kemudian jam, yang kait mengkait dengan hari, bulan, tahun, dan abad.
Dalam aktivitas menunggu, maka arloji yang (umumnya) dikenakan di pergelangan tangan menjadi sasaran ekspresi si penunggu; entah menerima makian, entah terus-menerus dipelototi dengan muram, sambil memelihara kegelisahan. Atau sebaliknya, menunggu bisa melatih kesabaran dan mengikat kesetiaan. Aktivitas menunggu berada dalam ruang permainan yang menegangkan semacam itu.
Dari Tubuh ke Waktu
Tubuh adalah jazad yang terbatas. Puncaknya adalah kehancuran fisik setelah kematian. Tak ada yang tersisa kecuali kenangan (atas nilai-nilai) terhadapnya. Kapan semua itu terjadi, adalah urusan Sang Khalik Yang Maha Kuasa. Siapapun hanya mampu mengenang. Kenangan akan berkejaran dengan ingatan yang juga terbatas. Namun waktu berperan mengabadikan peran dan nilai yang pernah diperbuat oleh tubuh. Lebih dari itu, diperlukan tindakan untuk mengabadikan ingatan tersebut. Maka digubahlah sejumlah monumen yang substansinya adalah sebagai peringatan, sebagai kenangan. Meskipun akhirnya digunakan pula sebagai pengukuhan dan penegasan atas peran-peran seseorang yang merasa atau dianggap paling berjasa atau paling penting.
Tubuh sebagai subject matter para perupa, bukanlah hal baru. Karya-karya yang tertera dalam kitab-kitab suci seperti Bibel sudah mulai menghadirkan tubuh sebagai gambaran kenyataan, khususnya terkait nama dan peristiwa. Karya-karya era romantisisme, hingga era kontemporer seperti sekarang, tubuh tetap menjadi sumber penciptaan yang menggairahkan. Gagasan dan tendensi yang melatarbelakangi beragam gubahan itu juga berbeda-beda, terus bergerak, seiring dengan pergeseran zaman yang menggeser pula sikap dan pemaknaan terhadap tubuh.
Katirin (dilahirkan di Banyuwangi, 17 September 1968), pada karya-karya terbarunya mempersoalkan perihal “menunggu”. Seperti saya singgung dalam awal catatan ini, maka persoalan menunggu sangat terkait dengan “waktu”. Karya-karya ini akan menjadi materi utama dalam pameran tunggalnya di Galeri Tujuh Bintang Yogyakarta, April 2010.
Dalam waktu yang cukup lama, dengan kemampuan bentuk realistiknya yang memadai, Katirin dalam berkarya bertolak dari persoalan tubuh, terutama tubuh-tubuh perempuan. Sebab memang, tubuh perempuan memiliki kompleksitas yang memungkinkan untuk dieksplorasi dalam bahasa rupa; hampir dari setiap sisi dan lekuknya, memiliki potensi artistik. Meskipun sesungguhnya dalam melukis tubuh (perempuan), Katirin tidak sekadar ‘melukis model’, tetapi menghadirkan berbagai kemungkinan bentuk seliar-liarnya, bahkan yang tidak mungkin diperagakan oleh sang model.
Katirin terus menjelajah dunia tubuh. Tubuh dijadikan subject observasi, ditangkap kemungkinan-kemungkinan gesturnya, dan berupaya menangkap roh/auranya. Katirin tidak lagi menghadirkan kenyataan sang model (kenyataan tubuh perempuan), tetapi menghadirkan passion atas tubuh. Maka, meski tubuh-tubuh itu tampak erotis (karena gesturnya), sesungguhnya tidak lagi beridentitas kelamin secara pasti. Tubuh-tubuh itu adalah dunia pesona, gairah, kenikmatan, dan penjelajahan Katirin atas berbagai ‘kemungkinan’ yang bisa dilakukan atau diperagakan oleh tubuh (siapapun).
Kini, tubuh-tubuh menghadapi kenyataan yang fana: bergulat dengan waktu dan perubahan, serta keberakhiran. Setiap peristiwa akan berakhir. Dan, setiap akhir merupakan permulaan yang tak pernah bisa diduga atas apa yang akan terjadi. Pergeseran Katirin dapat dimaknai dalam perspektif semacam itu; yakni dari penghayatan atas fisik yang fana, ke persoalan waktu yang baka (abadi). Ia mempersoalkan tubuh dengan cara mengobservasi tubuh dirinya, atau tubuh orang lain (yang memiliki hubungan emosi atau jarak yang intim), untuk mengenali dan memahami, untuk kepentingan menjelaskan perihal menunggu dan waktu.
Meringkus Waktu
Problema yang muncul dalam aktivitas menunggu adalah munculnya hasrat yang besar untuk meringkus sang waktu; ingin mempercepat lajunya, atau (mungkin) ingin mempelambatnya. Ia, sang waktu, tak bisa ditipu, karena waktu tak pernah menipu. Waktu juga tak bisa disuap, agar memenuhi kehendak penggunanya. Waktu tetap setia, dan setia pula menjadi saksi atas semua yang terjadi. Kalaupun kita berhasil mempedaya laju jarum panjang dan pendeknya, dan jarum detiknya, atau bisa meremukkan tabung pasirnya, pada dasarnya yang berubah atau bahkan hancur hanyalah fisiknya. Tetapi esensinya (sang waktu) tetap tak bergeser sedetikpun. Bukankah dengan demikian justru kita yang akhirnya tertipu, atau dengan sangat bodoh kita sedang menipu dirinya sendiri?
Karya-karya Katirin yang terbaru dalam pameran kali ini, mengungkapkan perihal ‘menunggu’. Yang segera bisa ditangkap dari gejala visualnya adalah pose-pose atau gestur figur (simbolis) yang mencitrakan posisi menunggu. Ia juga melakukan eksplorasi material, tak hanya dengan cat dan kanvas, tetapi juga menggunakan kertas untuk menghasilkan tekstur, dan menggunakan kayu-kayu bekas untuk menggubah patung.
Akan tetapi apakah tema ‘menunggu’ ini dapat dibaca sebagai ‘narasi tentang kesabaran dan daya tahan’ seseorang terhadap apa yang ditunggu? Bukankah memang, persoalan menunggu adalah persoalan ‘daya tahan’ dan ujian tentang ‘kesabaran’? Karya lukisannya yang bertajuk “Waiting I”, sesosok dalam pose duduk, tangan kanannya memegang sebatang rokok, dan pada kepalanya sudah bermetamorfosa menjadi jendela kayu, tampak kuno, catnya mengelupas, dan jerujinya (krepyak: sebutan di Jawa) sebagian lepas dan bolong. Warna dalam lukisan itu, termasuk figur yang menjadi jendela itu kemerahan. Jendela tua itu juga tertutup, gestur tubuhnya seperti menyerah pasrah (nglokro: istilah Jawa). Dominasi kemerahan itu seperti akumulasi dari marah dan menyerah. Apakah karya ini mengisyaratkan tentang batas kesabaran, dan berujung pada kesia-siaan?
Penghayatan yang berbeda terdapat pada karya “Waiting II”; sesosok perempuan, yang dibagian kepalanya berbentuk arloji duduk dengan dua alrm di bagian atasnya, berbalut baju terusan kekuningan, duduk di bangku panjang berwarna merah. Sesosok itu duduk tepat di ujung bangku sebelah kanan, sementara arah bangku ke kiri seperti tak berujung (karena langsung habis di tepi kanvas). Bidang lukisan itu didominasi warna kebiruan. Absurditas dalam karya ini dibangun oleh kode yang berlapis-lapis; “arloji kepala” itu masih menunjukkan pukul 06.25. Gestur perempuan itu masih tampak semangat (mungkin baru saja duduk). Suasana tampak cerah; biru cerah, bangku merah yang cerah, juga baju kuning yang tampak terang. Saya berkesimpulan berdasarkan tafsie atas kode-kode itu, peristiwa itu terjadi pada pagi hari. Tapi saya tak yakin, seberapa pendek atau seberapa lama perempuan itu akan menunggu di sana.
Karya yang juga menghentak adalah karya-karya tiga dimensional, yang ia bentuk dengan pecahan kayu-kayu (kayu jati; tectonia grandis) bekas, mirip potongan-potongan kayu bakar, yang disusun atau ditata, membentuk figur-figur dalam bentuk atau gestur (pose) tengah menunggu (semua karya itu bertajuk “Waiting”). Karya-karya ini menjadi terasa pekat, karena menyerupai fosil; mengingatkan peristiwa menunggu yang lama, hingga diri ini terasa membeku, menjadi fosil, mengayu, menjadi kayu. Terdapat perasaan yang ringsek, yang rapuh, tampak berkeping-keping. Menunggu, disamping terasa absurd (perhatikan lukisan yang mengungkapkan kursi panjang, atau karya tiga dimensional yang duduk di sebuah kursi panjang tanpa ujung), juga berpeluang menjadi sang korban.
Katirin kembali menghadirkan ‘kenyataan’ menunggu yang membeku; sesosok samar-samar berwarna kekuningan, duduk dikursi kayu berwarna merah, dengan wajah yang loyo. Perhatikan kedua kakinya; sudah mengayu – menjadi kayu – dan menyatu ke dalam kaki kursi. Warna pastel yang mengitarinya, menambah suasana nglangut. Sudah berapa lama ia menunggu di kursi itu? Karya itu tentang kesabaran, kenaifan, atau kesetiaan?
Katirin juga bergurau, atau tepatnya meledek tentang saat-saat menunggu. Karyanya “Waiting Presiden Call”, seperti menyindir ritual lima tahunan, ketika banyak orang yang merasa penting dan mampu, menunggu telpon dari Istana, siapa tahu ditunjuk menjadi “pembantu” Presiden. Sesosok perempuan, duduk dengan gestur seronok, jari-jari tangan kanan menjepit sebatang rokok, tangan kiri menopang dagu, tetapi bentuk seluruh kepala itu sudah menjadi pesawat telepon. Apakah Katirin menyembunyikan ‘komentar sosial’ dalam karya itu? Jangan-jangan sejumlah orang yang merasa penting dan mampu, dan akhirnya benar-benar menerima telepon dari Presiden, tak lebih hanya mereka yang sesungguhnya ‘seronok’ kualitasnya? Dapat dibayangkan, betapa sepanjang waktu, isi kepala seseorang itu hanya tentang telepon.
Lalu apa yang terjadi dengan “ditunggu”? Subyek pelaku antara yang “menunggu” dan yang “ditunggu” berbeda secara tajam. Menunggu adalah pengalaman “penderitaan”, sementara “ditunggu” adalah pengalaman kekuasaan. Ia, sebagai sang “ditunggu” memiliki kuasa ‘memainkan’ pihak yang “menunggu”; yang berakhir mengecewakan atau membahagiakan. Karya “Coming Home” bagi saya menyodorkan pengalaman semacam itu; tegangan yang berbeda antara yang menunggu dan yang ditunggu, dan berujung pada pertemuan. Seseorang tengah pulang (mengayuh sampan) ingin segera menemui seseorang yang memeluk rindu dalam pose teronggok di balkon rumahnya.
Kegembiraan yang meluap juga sebuah momentum yang ditunggu-tunggu. Karya “Euphoria” yang melukiskan kerumunan, dengan ekspresi bingar. Perhatikan tulisan didinding itu, Great Sale. Sedang ada obral besar, dan Katirin membidiknya dari sisi dalam. Spirit memburu obral besar, adalah spirit yang ada dalam kondisi menungu-nunggu. Dalam kata great sale, terkonstruksi makna murah. Itulah mantra kapitalisme, sebagai bagian dari jurus bujuk rayu kepada konsumken. Maka, bagi sang konsumen, great sale adalah momentum kegembiraan untuk melampiaskan syahwat konsumsinya.
Terdapat tiga karya lainnya yang ingin saya soroti, meski tidak mengisyaratkan tema yang sama (menunggu), tetapi menyimpan narasi tentang waktu. Karya “building Memory”; dua orang lawan jenis tengah berciuman, sembari memegang penggaris lipat (meteran: Jawa) yang dibentuk menyerupai rumah. Sebuah kisah tentang upaya merajut mimpi, membangun sarang tempat menampung segala ingatan.
Dua karya lainnya; “The Thinker I”; sesosok dengan pose pemikir (mengolah karya patung terkenal dengan judul yang sama oleh Auguste Rodin, 1840-1917), namun berkepala merpati (kebebasan?). Kemudian karya “The Thinker II”; sesosok dalam pose duduk, tengah memegang kepalanya yang sudah menjadi batu (persoalan yang begitu berat, keras?). Ketiga karyan yang saya singgung terakhir ini menunjukkan kekuatan Katirin dalam menyampaikan narasi yang puitis.
Pameran ini lebih menampakkan pergulatan kesenian seorang Katirin dalam menjelajah dan mengobservasi tubuh dalam ruang dan waktu. Menunggu hanyalah sepenggal peristiwa, dari rangkaian waktu yang sesungguhnya mengisyaratkan tentang kesementaraan tubuh. Upaya-upaya untuk meringkus waktu, sesungguhnya hanya akan mubazir. Kecuali jika upaya itu ditujukan untuk berpacu dengan memberinya makna. Tubuh sesungguhnya fana. Dan, nilai-nilai lah yang abadi.
Suwarno Wisetrotomo
Kritikus Seni Rupa.
Dosen di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta.