Katirin juga bergurau, atau tepatnya meledek tentang saat-saat menunggu. Karyanya “Waiting Presiden Call”, seperti menyindir ritual lima tahunan, ketika banyak orang yang merasa penting dan mampu, menunggu telpon dari Istana, siapa tahu ditunjuk menjadi “pembantu” Presiden.
Sesosok perempuan, duduk dengan gestur seronok, jari-jari tangan kanan menjepit sebatang rokok, tangan kiri menopang dagu, tetapi bentuk seluruh kepala itu sudah menjadi pesawat telepon.
Apakah Katirin menyembunyikan ‘komentar sosial’ dalam karya itu? Jangan-jangan sejumlah orang yang merasa penting dan mampu, dan akhirnya benar-benar menerima telepon dari Presiden, tak lebih hanya mereka yang sesungguhnya ‘seronok’ kualitasnya?
Dapat dibayangkan, betapa sepanjang waktu, isi kepala seseorang itu hanya tentang telepon.
Sesosok perempuan, duduk dengan gestur seronok, jari-jari tangan kanan menjepit sebatang rokok, tangan kiri menopang dagu, tetapi bentuk seluruh kepala itu sudah menjadi pesawat telepon.
Apakah Katirin menyembunyikan ‘komentar sosial’ dalam karya itu? Jangan-jangan sejumlah orang yang merasa penting dan mampu, dan akhirnya benar-benar menerima telepon dari Presiden, tak lebih hanya mereka yang sesungguhnya ‘seronok’ kualitasnya?
Dapat dibayangkan, betapa sepanjang waktu, isi kepala seseorang itu hanya tentang telepon.