Karya yang juga menghentak adalah karya-karya tiga dimensional, yang ia bentuk dengan pecahan kayu-kayu (kayu jati; tectonia grandis) bekas, mirip potongan-potongan kayu bakar, yang disusun atau ditata, membentuk figur-figur dalam bentuk atau gestur (pose) tengah menunggu (semua karya itu bertajuk “Waiting”).
Karya-karya ini menjadi terasa pekat, karena menyerupai fosil; mengingatkan peristiwa menunggu yang lama, hingga diri ini terasa membeku, menjadi fosil, mengayu, menjadi kayu. Terdapat perasaan yang ringsek, yang rapuh, tampak berkeping-keping. Menunggu, disamping terasa absurd (perhatikan lukisan yang mengungkapkan kursi panjang, atau karya tiga dimensional yang duduk di sebuah kursi panjang tanpa ujung), juga berpeluang menjadi sang korban.
Katirin kembali menghadirkan ‘kenyataan’ menunggu yang membeku; sesosok samar-samar berwarna kekuningan, duduk dikursi kayu berwarna merah, dengan wajah yang loyo. Perhatikan kedua kakinya; sudah mengayu – menjadi kayu – dan menyatu ke dalam kaki kursi. Warna pastel yang mengitarinya, menambah suasana nglangut.
Sudah berapa lama ia menunggu di kursi itu?
Karya itu tentang kesabaran, kenaifan, atau kesetiaan?
Karya-karya ini menjadi terasa pekat, karena menyerupai fosil; mengingatkan peristiwa menunggu yang lama, hingga diri ini terasa membeku, menjadi fosil, mengayu, menjadi kayu. Terdapat perasaan yang ringsek, yang rapuh, tampak berkeping-keping. Menunggu, disamping terasa absurd (perhatikan lukisan yang mengungkapkan kursi panjang, atau karya tiga dimensional yang duduk di sebuah kursi panjang tanpa ujung), juga berpeluang menjadi sang korban.
Katirin kembali menghadirkan ‘kenyataan’ menunggu yang membeku; sesosok samar-samar berwarna kekuningan, duduk dikursi kayu berwarna merah, dengan wajah yang loyo. Perhatikan kedua kakinya; sudah mengayu – menjadi kayu – dan menyatu ke dalam kaki kursi. Warna pastel yang mengitarinya, menambah suasana nglangut.
Sudah berapa lama ia menunggu di kursi itu?
Karya itu tentang kesabaran, kenaifan, atau kesetiaan?