Kamis, 28 Mei 2009 15:45
Kegelisahan Perupa atas Perubahan dalam Masyarakat Urban
OLEH: YUYUK SUGARMAN
Yogyakarta - Ketika melihat lalat hijau, apalagi bila lalat tersebut menempel di makanan, kebanyakan dari kita merasa jijik. Dalam benak kita, makhluk yang mengeluarkan bunyi mendengung ini, sering hinggap di kotoran kuda, sapi, manusia, bahkan di bangkai seekor tikus mati.
Bayangkan, jika lalat hijau tersebut hinggal di makanan yang akan kita santap. Wow. Namun di tangan Kadek Agus Mediana, lewat imajinasinya yang liar, binatang yang menjijikkan dengan warna merah di kepalanya tersebut, menjadi sebuah lukisan yang artistik dan menjadi media untuk menyoroti perubahan yang terjadi di dalam masyarakat.
Lihat saja pada lukisan yang berjudul “Hiegenis” di atas kanvas berukuran 130 cm X 110 cm. Perupa asal Bali yang tengah menyelesaikan kuliahnya di ISI Yogyakarta melukis beberapa ekor lalat hijau yang sudah dikemas dalam sebuah wadah sterofoam dan dibungkus dalam plastik transparan.
Tak hanya itu. Perupa yang juga menjadi finalis pada Jakarta Art Award 2008 ini juga menyajikan lukisan yang masih dengan objek lalat hijau dengan judul “Di sisi manisnya Cerry”. Dalam lukisannya itu, Kadek memperlihatkan sebuah cerry yang tinggal separuh yang tengah ditinggalkan seekor lalat hijau.
Dua lukisan Kadek ini kini tengah dipamerkan di Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta, dari 16 Mei hingga 7 Juni mendatang, dengan tajuk “Nostalgilla”.
Selain Kadek, pameran ini juga menghadirkan–di antaranya lukisan AT Sitompul, SH Joko Atmaja, Pande Nyoman Alit dan lain sebagainya, yang tergabung dalam kelompok Nostalgia. Menurut Netok Sawiji, kurator pada pameran ini, Kadek mencoba mengungkapkan (memindai) persoalan masyarakat urban dalam kemasan steril (Higienis).
Kecemasan
Pemindaian semacam ini juga bisa ditengok pada lukisan “Di sisi manisnya Cerry”. Cupruk (begitu Kadek sering dipanggil) melihat ada sebuah perubahan yang signifikan di kalangan masyarakat urban.
Kecemasan Cupruk, lanjut Netok, merupakan kesadaran umum yang mengemuka ketika para gadis (utamanya yang hidup di daerah urban) memasuki dunia kerja.
Entah mereka itu bekerja sebagai pembantu rumah tangga, SPG, ataupun karyawan di sebuah perusahaan. “Di sini Cupruk melihat, selalu saja menjadi pribadi yang berbeda, terbungkus dengan lipstik kota yang terkesan bening dan menawan, namun tak sedikit yang menutupi kebusukannya dengan bungkus yang seolah-olah higienis,” kata Netok.
Kegelisahan serupa juga muncul dalam diri SH Joko Atmaja. Hal ini bisa terlihat pada lukisannya “Menara Tumbal”. Lewat guratan cat itu Joko mencoba menggambarkan kegalauannya dengan kepulan asap hitam, langit kemerahan, figur badut, penggalan kepala, serta bangunan-bangunan pabrik.
Netok melihat, di sini Joko mengungkapkan kepanikan penduduk bumi atas pemanasan global yang merupakan akibat dari perilakunya sendiri ketika dengan ugal-ugalan mengeksplorasi alam demi sebuah obsesi tanpa berorientasi pada lingkungan yang butuh keseimbangan.
“Dalam Menara Tumbal ini Joko ingin membagi kesadaran, ketika manusia membangun mimpi layaknya menara sebagai puncak pencapaian kejayaan, sejatinya ia menawarkan tumbal bagi impiannya,” kata Netok.
Begitulah lukisan-lukisan yang terlihat dalam sebuah pameran yang digelar oleh kelompok Nostalgia-Sebuah wadah yang mempertemukan para seniman untuk mengenang kembali masa lalu.