Monday, June 22, 2009

Pertarungan Pelukis Bali Merebut Perhatian Publik

Sinar Harapan

Pameran di Galeri Tujuh Bintang
Pertarungan Pelukis Bali Merebut Perhatian Publik
OLEH: YUYUK SUGARMAN

Yogyakarta - Godaan, tantangan, dan gangguan terhadap seniman di Bali banyak mengadang. Selain jumlah seniman makin lama bertambah, jika si seniman salah menentukan posisi “ideologi” seni, dia akan dicap sebagai seniman kodian atau “seniman jalanan”.

“Jika si perupa tidak kuat menopang biaya hidup yang tinggi, bukan tidak mungkin ia akan lari ke pasar wisata dan turisme yang secara otomatis citranya sebagai seniman “bersejarah” turun drastis,” tegas Mike Susanto, pengamat seni yang juga dosen di ISI Yogya.

Selain pasar, Mike juga melihat para seniman Bali ini tak bisa lepas begitu saja dengan adat-istiadat atau tradisi religi yang sangat kental dan hampir selalu berlangsung setiap hari. Jelas, mau tak mau, ini juga akan mengganggu aktivitas mereka sebagai perupa profesional.

Karenanya, lanjut Mike, tak salah jika lantas kita menyebut Bali sebagai sebuah “komunitas”, contoh yang menarik. “Di tengah gegap gempita dan turun-naiknya pasar, Bali merupakan sebuah tempat yang sangat menggoda sekaligus “menyakitkan” bagi sebagian perupa profesional dan perupa pemula,” tambah Mike.Dari berbagai alasan tersebut, Tujuh Bintang Art Space bersama Mike Susanto yang bertindak sebagai kurator menyelenggarakan sebuah pameran dengan menghadirkan sejumlah seniman asal Bali. Pameran ini berlangsung 16 Juni-5 Juli mendatang.

Para seniman Bali yang dihadirkan ini adalah Nyoman Erawan, lulusan ISI Yogya 1987. Sosok yang diposisikan sebagai bagian dari Gelombang Akademis “Modernis” Bali kedua. Erawan juga dianggap sosok yang menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini. Ia juga sering mengatakan bahwa dirinya berada dalam dua wilayah yang kontradiktif, sekaligus dinamis.
Nah, Erawan ini lantas dihadapkan dengan seka demen atau “kelompok bermain” yang beranggotakan enam orang perupa. Mereka adalah Wayan Sudarna Putra (Nano), Wayan Wirawan (Yancut), Gede Suanda (Sayur), Dewa Jodi Saputra (Jo), Putu Suardana (Vije), dan Kadek Suadnyana (Pektif). Kewnam orang itu adalah sarjana dan alumni ISI Yogyakarta tahun 2000-an.

“Mereka kami hadapkan atau katakanlah kami pertandingkan dengan Erawan dalam pameran ini. Tujuannya, untuk melihat dan mengetahui sejauh mana perjuangan mereka merebut perhatian publik, minimal publik di Bali dan di Yogya,” ujar Mike ketika berbincang-bincang dengan SH, Sabtu (20/6) .

Dalam pameran yang berlangsung di Tujuh Bintang Art Space ini, Erawan menampilkan beberapa karya, di antaranya “Api, Depresi, dan Batu II, IV, dan V” (lukisan yang dibuat tahun 2009) serta sebuah karya instalasi berjudul “Api, Refleksi dan Menu” (2009).

Dalam penilaian Mike, karya Erawan ini adalah wujud dari persoalan-persoalan yang selama ini membentur pemikiran-pemikirannya. Cipratan pada wajahnya sendiri mengasosiasi bahwa Erawan berada pada situasi yang tegang, bertubrukan, dan chaos. Wajahnya adalah ekspresi sebentuk perlawanan dan cara bertahan baginya. “Inilah pralaya atau kehancuran baru Erawan. Pralaya yang menerpa dirinya juga menerpa seniman-seniman di Bali,” tutur Mike.

Perlawanan
Sementara itu, salah satu perupa dari “kelompok bermain”, Dewa Jodi Saputra atau Jo menampilkan isu budaya popular dengan memakai popcorn (jagung berondong) sebagai metafora dalam karya-karyanya. Popcorn dianggap sangat cocok menggambarkan situasi saat ini. “Inilah dunia pop, cepat membesar dan meledak, setelah itu hancur, kembali diam dan basi,” tutur Mike.

Melihat karya-karya dari “kelompok bermain” ini, Mike menilai, meski karya-karya mereka secara teknis masih perlu ditingkatkan, hal ini sebagai sebuah upaya untuk melakukan perlawanan individu terhadap situasi seni rupa Bali yang menurut mereka berjalan di tempat.
Terlepas dari itu semua, Mike dengan tegas mengatakan, semua partisipan pameran ini disatukan oleh kegelisahan bersama untuk tidak menghadirkan karya secara konvensional.

Mereka masih membuat karya-karya eksperimentatif. Mereka masih mengolah kejadian dan fenomena kontemporer. “Mereka tidak menutup diri dan malu untuk bekerja serta bersosialisasi dengan siapa pun. Tiap hari mereka telah bertarung,” ungkap Mike.
Ping your blog, website, or RSS feed for Free
My Ping in TotalPing.com
Feedage Grade B rated
Preview on Feedage: cheap-canvas-art Add to My Yahoo! Add to Google! Add to AOL! Add to MSN
Subscribe in NewsGator Online Add to Netvibes Subscribe in Pakeflakes Subscribe in Bloglines Add to Alesti RSS Reader
Add to Feedage.com Groups Add to Windows Live iPing-it Add to Feedage RSS Alerts Add To Fwicki