Judul tulisan ini, ingin menunjukkan pameran seni kontemporer kelompok seniman Wonosobo yang sedang berpameran di ibukota seni rupa Indonesia, Yogyakarta. Sebanyak 19 seniman Wonosobo sejak 21 November-5 Desember 2009 memamerkan karya-karya lukisnya di Tujuh Bintang Art Space.
Seniman Wonosobo seperti ingin memperlihatkan sinyal-sinyal eksistensi berkesenian dalam tema “Peace/ Face To Face” kepada publik Yogyakarta. Apa yang mereka tampilkan dalam dua puluhan karya lukis yang mereka pamerkan ini, menunjukkan Wonosobo boleh saja menjadi daerah kecil tapi menyimpan potensi karya seni rupa yang tidak kalah dengan kota lain seperti “kota besar seni rupa”, Yogyakarta.
Lihat saja sosok-sosok internasional yang ditampilkan dalam lukisan-lukisan para seniman Wonosobo ini seperti Bill Gates, Dalai Lama, Lady Di dan Aung San Syu Kyi. Ada lagi sosok artis seperti Merlyn Monroe, aktris Hollywood dari China Zhang Zi Yi, Mr. Bean, dan Michael Jackson.Para seniman Wonosobo ini juga menampilkan realitas-realitas global seperti penyerangan terhadap mantan Presiden Amerika Serikat (AS) dengan menggunakan sepatu oleh seorang wartawan Irak. Ada juga realitas anak-anak Palestina yang terjebak dalam perang hasil permainan politik global.
Sosok internasional atau realitas satir global tersebut menunjukkan atau bahkan mewakili dari kondisi well informed masyarakat Wonosobo. Sebuah kondisi yang sering kali diidentikan milik masyarakat kota besar.
Secara teknis, karya seni lukis seniman-seniman Wonosobo ini juga patut diacungi jempol. Kurator pameran, Wicaksono Adi mengatakan, teknis berkarya yang ditampilkan dalam pameran ini bagus dan potensial untuk dikembangkan.
Hal yang patut dihargai adalah teknik representasional melalui cara kerja melukis realistis. Representasional adalah wujud-wujud visual yang berkaitan dengan dunia yang nampak dan berada di luar diri seniman.
Artinya, seniman-seniman Wonosobo telah masuk dalam realitas zaman kontemporer. “Mereka bekerja dengan menyusun berbagai serpihan teks (visual) menjadi karya baru,” ujar Adi.
“Jika jaman dulu pelukis menggambar obyek harus berhadapan langsung dengan apa yang di gambar, sekarang ia dapat memungut bahan-bahan dari mana saja dari majalah atau internet dan mengubahnya dengan potongan gambar lain,” jelas kurator yang tinggal di Jakarta ini.
Dipilihnya Yogyakarta oleh seniman-seniman Wonosobo karena alasan-alasan positif tentang kondusifnya dunia seni rupa Yogyakarta bagi seniman-seniman muda Wonosobo ini. Manajer kelompok seniman Wonosobo ini, Agus Muryanto mengatakan Yogyakarta telah menjadi tolak ukur (barometer) berkesenian dan berkebudayaan.
“Yogyakarta mempunyai banyak perupa-perupa hebat sehingga bisa menjadi bahan eksplorasi, sekaligus bisa memberi masukan seniman Wonosobo, ” kata Agus sembari menambahkan, pihaknya ingin menjalin kerjasama lebih erat dengan Tujuh Bintang Art Space sebagai galeri yang sangat intens memamerkan karya seni rupa.
Pertanyaan yang muncul adalah kenapa mereka melukis para tokoh yang nun jauh disana dan tidak melukis manusia-manusia yang mereka kenal dekat?
Bagi Adi, realitas atau persoalan global bisa didekati dengan sentuhan berbeda yang lebih dekat dengan kehidupan sekitar. Realitas dalam lukisan harus didekatkan dengan Wonosobo. Seandainya harus menggunakan sosok-sosok impor bisa saja diganti dengan figur lokal semisal KD atau Rhoma Irama.
“Yang perlu dipertanyakan adalah pengayaan idenya. Harus didekatkan dengan sentuhan berbeda. Ini yang belum nampak,” kritik Adi. “ KD dengan Bill Gates bagi warga Wonosobo lebih terkenal mana? KD,” ujarnya lagi.
Menurut Wicaksono Adi, penggambaran tokoh-tokoh besar seperti Bill Gates dalam “Gates on Grass” atau Dalai Lama dalam”The New Leader serta Lady Di dalam “Remembering Ladi Di” adalah sebagai upaya mengawetkan ingatan kita terhadap individu luar biasa yang dapat mengubah sejarah (dalam derajat berbeda-beda).
Bill Gates yang digambar dengan rerumputan mengandung makna ekologis baru yang ditampilkan perupa Wonosobo. Belum ada yang menggambar seperti itu. Bill Gates adalah tokoh besar dunia yang mendonasikan 40 Persen penghasilannya untuk orang lain. “Ini adalah sesuatu yang besar. Sesuatu yang positif,” ujar Adi
Teks visual ironi yang tajam muncul pada lukisan Arianto yang menggambarkan tokoh kemanusiaan Dalai Lama yang mengenakan topi Mao Zedong dan memegang sebutir peluru. Lukisan ini begitu jelas ingin menunjukkan perbedaan antara nilai-nilai perdamaian yang diperjuangkan Dalai Lama melaluai kelembutannya dengan sikap militerisme pemerintah China sebagai ‘lawan” si pejuang.
“Sebagian dari individu itu memang telah mati tapi mereka harus tetap dihidupkan agar nilai-nilai yang diperjuangkan tidak lenyap tertimbun hingar bingar citra visual yang datang dan pergi begitu cepatnya,” ujar Adi.
Boleh jadi akan tampak sia-sia ketika menciptakan nilai-nilai ditengah banjir informasi yang remeh temeh. Namun setiap orang memerlukan pahlawannya sendiri-sendiri. Dan pahlawan itu tidak hanya dilahirkan tapi juga harus diciptakan dengan mereproduksi dan mempromosikan secara berkelanjutan agar tidak lenyap dari memori kolektif.
Dan perupa-perupa dari Wonosobo yang berpameran itu tampak begitu cerdas membuat sesuatu, berupa tokoh, selebritis, realitas sosial global, agar memiliki arti dan makna.
Mereka mengajak kita untuk melihat kembali bahwa dunia kita tak sesuram yang disangka sebagian orang karena masih ada individu-individu besar yang terus dapat kita jadikan inspirasi, tulis Wicaksono Adi. (The Real Jogja/joe)