AntiKorupsi.org
Interpretasi visual kepahlawanan yang lebih terbuka.
Pelukis Yuswantoro Adi, 42 tahun, biasanya memindahkan citra anak-anak dengan teknik realis ke kanvas. Tapi kini ia meminjam tubuh Superman dengan tubuh berotot dililit baju ketat biru berkilat dengan cawat dan jubah merah berkibar. Di dadanya tercetak simbol Superman yang sudah sangat dikenal dengan huruf S berbingkai bentuk geometris pentagon. Tapi huruf S itu dikesankan mata uang dolar Amerika Serikat dengan dua garis di bagian tengah.
Pada karyanya yang bertajuk Superhero 2 ini, ia meminjam wajah pelukis Nyoman Masriadi, seorang pelukis yang karyanya di balai lelang melejit dengan angka yang menakjubkan. Yuswantoro menambahkan teks di dekat citra kepala Masriadi: "Jangan tanya saya, tanya kolektor".
Dari teks itu terlihat arah narasi Yuswantoro, yakni pasar seni rupa. "Bau" lembaran dolar makin kuat dengan garis hitam tipis berbentuk tas yang digenggam tangan superhero yang kukuh. Tas itu sarat uang. "Pahlawan (seni rupa) kontemporer bukan menyangkut wacana, melainkan pasar. Apa boleh buat, leader-nya Masriadi," ujar Yuswantoro.
Kurator Wahyudin-lah yang menyeret Yuswantoro bersama 23 pelukis lainnya dalam pameran bertajuk "Contemporary Heroes" di Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta, pada 15 November hingga 7 Desember ini. "Karya mereka memperlihatkan tafsir yang beragam atas sosok pahlawan atau tema kepahlawanan dalam pameran ini," ujar Wahyudin.
Yuswantoro, misalnya, memparodikan sosok Masriadi sebagai superhero yang sukses meraup rupiah dari karya lukisnya. Ia meminjam nyaris semua teknik, pewarnaan, bahkan judul karya lukis Masriadi untuk menampilkan sosok superhero baru dalam seni rupa kontemporer Indonesia. Agar tubuh superhero itu tampak makin kekar, Yuswantoro menyamakan ukuran badan dengan ukuran kakinya. Tapi yang terjadi justru sang superhero kelihatan bertubuh cebol bak superhero Melayu.
Bagi Wahyudin, karya Yuswantoro merupakan tafsir subversif terhadap kepahlawanan, yakni sosok hero dan anti-hero. Tafsir sejenis muncul pada karya pelukis Hari Budiono berupa potret wajah Artalyta Suryani, pengusaha yang dituduh menyuap jaksa Urip Tri Gunawan.
Hari memberi konteks citra realis Artalyta yang sangat dikenal publik lewat fotonya di ruang pengadilan dengan citra bercorak komik berupa sosok lelaki dengan mulut belepotan warna merah dan perempuan berbikini dengan leher bernoda merah. Karya ini bertajuk Sidang Para Pengisap Darah. "Artalyta oleh sementara orang justru dianggap pahlawan," kata Wahyudin.
Sedangkan karya Yudi Sulistya memberi perspektif perbandingan pahlawan dengan menampilkan idiom lokal dengan idiom global. Yudi meminjam idiom budaya pop Superman yang disandingkan dengan potret diri Jenderal Sudirman. Pelukis lain meminjam simbol budaya pop dalam fiksi superhero lainnya, semisal Batman, RoboCop, atau sosok laki-laki yang sedang terbang dengan sayap di punggung.
Ada yang lebih kontekstual, semisal karya Totok Buchori, yang memakai citra seniman pantomim Jemek Supardi dengan mimik wajah tersenyum yang sedang berusaha menangkap tikus kecil. Tapi di belakangnya ada tikus besar yang mengawasi. Karya ini mengingatkan orang pada penilaian kritis terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi.
RAIHUL FADJRI
(Rwn)