cheap canvas art,cheap canvas art,cheap canvas art prints,cheap canvas art for sale,cheap canvas art supplies,cheap canvas art online,cheap canvas art sets,cheap canvas art uk,cheap canvas art australia,cheap canvas art canada,cheap canvas art brisbane
Thursday, September 25, 2008
The Exquisite Palette 2008
Moth Mask Palette created for the group exhibition The Exquisite Palette, St Luke Artist Colourmen, 25 Smith Street Collingwood, 3065. The exhibition opens on 3 October and runs until 8 November.
Workshops at Warrnambool Art Gallery
Workshops with students from St Brendan's, Coragulac, South Warrnambool Kindergarten, St Patrick's Primary School, Port Fairy and a floor talk for VCE staff and students were held on 25-26 August. These public programs were coordinated by the gallery's Education Service in conjunction with the touring survey exhibition Deborah Klein - Out of the Past 1995-2007. Exhibition dates were 19 July - 31 August 2008.
Wednesday, September 24, 2008
Magnet Tujuh Bintang Art Space Yogya
TEMPO Interaktif
Yogyakarta: Tiga perupa yang tergabung dalam Kelompok Seni Rupa Magnet, menggelar pameran bersama bertajuk Too Much Painting Will Kill You di Tujuh Bintang Art Space, Yogya, 14 September-12 Oktober 2008. Materi pameran adalah buah diskusi bertiga, meski hasil akhirnya tetap mengedepankan gaya masing-masing perupa.
Deddy Sufriadi, 32 tahun, menampilkan lukisan abstrak yang didominasi susunan teks. Deddy memenuhi kanvas dengan teks berhuruf latin. Terkadang ia menorehkan teks dengan guruf kapital ke atas kanvas. Teks-teks berhuruf latin itu kemudian ditumpangi lagi dengan teks-teks berhuruf Arab. Deddy menyebut teknik melukisnya itu sebagai ’sastra rupa’. ”Teks bisa mengambil peran lebih sebagai penerjemah semua pikiran, obsesi dan opini saya tentang segala hal, yang tidak bisa diterjemahkan dengan bahasa gambar,” kata alumnus Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini.
Perupa Yusron Mudhakir, 31 tahun, menampilkan lukisan yang didominasi bidang-bidang geometris seperti kubus dan empat persegi panjang. Di dalam bidang geometris yang tersusun secara ritmis di atas kanvas itu, muncul tekstur, aik yang disengaja maupun yang tidak disengaja akibat sapuan kuas. Pada lukisan Coexist, How to Disapear Obtrusion Series, misalnya, Yusron menghadirkan tekstur bulan sabit, bintang Daud dan salib, di dalam bidang-bidang geometrisnya. Bulan sabit, bintang Daud dan salib adalah lambang-lambang agama monomtheis di dunia.
”Saya membayangkan, suatu saat dunia menganut apa yang dianjurkan oleh Ibnu Arabi sebagai agama cinta, ketika umat muslim berjamaah di Vatikan, para Paus mengadakan liturgi di kuil Sulaiman dan rabi-rabi Yahudi membenturkan keningnya dengan lembut di dinding Kabah. Saya rasa itu akan menjadi pemandangan yang menarik,” kata Yusron.
Karya ini dilhami oleh penampilan Bono, vokalis band U2, yang menutup matanya dengan kain bertuliskan ”Coexist” dan gambar bulan sabit, bintang Daud dan salib. Penampilan nyleneh Bono ini sering menjadi bahan perbincangan dalam diskusi-diskusi Kelompok Seni Rupa Magnet. Terkadang, Yusron juga menorehkan teks di dalam bidang-didang geometrisnya. Namun, teks ini berbeda dengan teks yang dibuat Deddy dalam lukisan-lukisannya.
”Deddy menemukan estetika dalam huruf dan teks-teks yang bertebaran dan mengeksplorasinya menjadi sebuah karya seni. Teks dalam lukisan saya kadang tak mempunyai arti dan tujuan. Itu seperti menulis surat dan kita tidak mempunyai alamat untuk dituju,” jelas Yusron.
Sementara Rocka Radipa alias Sigitblank, 32 tahun, memilih memindahkan siluet tubuhnya dalam lukisan-lukisan yang dipamerkan di Tujuh Bintang Art Space. Siluet dengan berbagai pose itu dipadu dengan garis, bulatan stau bidang-bidang geometris untuk memberi aksen gerak. Rocka memilih menggunakan tubuhnya sendiri, meski dalam bentuk siluet, sebagai medium untuk mengungkapkan pikiran, perasaan dan keinginan, termasuk kegelisahannya menemukan kebesaran Tuhan seperti pada lukisannya yang berjudul Mengutuk Tuhan dengan Hamdallah.
Di sini Rocka menampilkan siluet dirinya yang sedang bersujud dengan kedua tangan di belakang tubuhnya. ”Karya dari ketiga anggota Kelompok Seni Rupa Magnet ini lahir secara individual, namun merupakan hasil saling keterpaduan aneka rupa gagasan di antara mereka. Karya-karya mereka secara tematik saling berbeda,” tulis Mikke Susanto dalam pengantar kuratorialnya.
Heru CN
(Rwn)
Yogyakarta: Tiga perupa yang tergabung dalam Kelompok Seni Rupa Magnet, menggelar pameran bersama bertajuk Too Much Painting Will Kill You di Tujuh Bintang Art Space, Yogya, 14 September-12 Oktober 2008. Materi pameran adalah buah diskusi bertiga, meski hasil akhirnya tetap mengedepankan gaya masing-masing perupa.
Deddy Sufriadi, 32 tahun, menampilkan lukisan abstrak yang didominasi susunan teks. Deddy memenuhi kanvas dengan teks berhuruf latin. Terkadang ia menorehkan teks dengan guruf kapital ke atas kanvas. Teks-teks berhuruf latin itu kemudian ditumpangi lagi dengan teks-teks berhuruf Arab. Deddy menyebut teknik melukisnya itu sebagai ’sastra rupa’. ”Teks bisa mengambil peran lebih sebagai penerjemah semua pikiran, obsesi dan opini saya tentang segala hal, yang tidak bisa diterjemahkan dengan bahasa gambar,” kata alumnus Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini.
Perupa Yusron Mudhakir, 31 tahun, menampilkan lukisan yang didominasi bidang-bidang geometris seperti kubus dan empat persegi panjang. Di dalam bidang geometris yang tersusun secara ritmis di atas kanvas itu, muncul tekstur, aik yang disengaja maupun yang tidak disengaja akibat sapuan kuas. Pada lukisan Coexist, How to Disapear Obtrusion Series, misalnya, Yusron menghadirkan tekstur bulan sabit, bintang Daud dan salib, di dalam bidang-bidang geometrisnya. Bulan sabit, bintang Daud dan salib adalah lambang-lambang agama monomtheis di dunia.
”Saya membayangkan, suatu saat dunia menganut apa yang dianjurkan oleh Ibnu Arabi sebagai agama cinta, ketika umat muslim berjamaah di Vatikan, para Paus mengadakan liturgi di kuil Sulaiman dan rabi-rabi Yahudi membenturkan keningnya dengan lembut di dinding Kabah. Saya rasa itu akan menjadi pemandangan yang menarik,” kata Yusron.
Karya ini dilhami oleh penampilan Bono, vokalis band U2, yang menutup matanya dengan kain bertuliskan ”Coexist” dan gambar bulan sabit, bintang Daud dan salib. Penampilan nyleneh Bono ini sering menjadi bahan perbincangan dalam diskusi-diskusi Kelompok Seni Rupa Magnet. Terkadang, Yusron juga menorehkan teks di dalam bidang-didang geometrisnya. Namun, teks ini berbeda dengan teks yang dibuat Deddy dalam lukisan-lukisannya.
”Deddy menemukan estetika dalam huruf dan teks-teks yang bertebaran dan mengeksplorasinya menjadi sebuah karya seni. Teks dalam lukisan saya kadang tak mempunyai arti dan tujuan. Itu seperti menulis surat dan kita tidak mempunyai alamat untuk dituju,” jelas Yusron.
Sementara Rocka Radipa alias Sigitblank, 32 tahun, memilih memindahkan siluet tubuhnya dalam lukisan-lukisan yang dipamerkan di Tujuh Bintang Art Space. Siluet dengan berbagai pose itu dipadu dengan garis, bulatan stau bidang-bidang geometris untuk memberi aksen gerak. Rocka memilih menggunakan tubuhnya sendiri, meski dalam bentuk siluet, sebagai medium untuk mengungkapkan pikiran, perasaan dan keinginan, termasuk kegelisahannya menemukan kebesaran Tuhan seperti pada lukisannya yang berjudul Mengutuk Tuhan dengan Hamdallah.
Di sini Rocka menampilkan siluet dirinya yang sedang bersujud dengan kedua tangan di belakang tubuhnya. ”Karya dari ketiga anggota Kelompok Seni Rupa Magnet ini lahir secara individual, namun merupakan hasil saling keterpaduan aneka rupa gagasan di antara mereka. Karya-karya mereka secara tematik saling berbeda,” tulis Mikke Susanto dalam pengantar kuratorialnya.
Heru CN
(Rwn)
Labels:
Media
Saturday, September 20, 2008
Pameran di Tujuh Bintang Art Space Yogya
Tujuhbintang Art Space. Wajah dua perempuan di atas kanvas itu sebenarnya cantik. Mata indah, hidung mancung dan bibir merah merekah dengan sederet gigi putih dan rapi. Namun, siapapun tak akan tahan menatapnya berlama-lama. Hanya beberapa detik menatap, kepala akan terasa pusing.
Wanita cantik yang membuat pusing itu karya Nurkholis, 39 tahun, berjudul Twin: Love Machine yang sedang dipamerkan di Tujuh Bintang Art Space Jl Sukonandi Yogyakarta. Nurkholis hanyalah satu dari 38 perupa yang menggelar pameran bareng bertajuk Indonesian Contemporary All Star 2008
Rasa pening itu akibat teknik optik yang diadopsi Nurkholis untuk menghasilkan karya lukisnya. Lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta 1994 dengan predikat cum laude itu, menggambar wajah dua wanita cantik yang berhadap-hadapan dengan masing-masing dua pasang mata dan dua mulut yang menganga. Hasil akhirnya, mirip sebuah foto yang dijepret dalam kondisi tidak stabil.
Pameran ini memberi satu pembelajaran kepada masyarakat. Sebab, selama ini, masyarakat terlalu banyak dipengaruhi oleh budaya dengar, baik untuk urusan politik maupun kenegaraan. Banyak rakyat yang tidak tahu siapa wakilnya di parlemen. "Yang mereka tahu hanyalah artis-artis cantik," jelas Nurkholis.
Budaya itu, kata Nurkholis, juga terjadi pada dunia senirupa Indonesia saat ini. Para kolektor berburu lukisan bukan karena pertimbangan kualitas karya, "Namun hanya sekadar mendengar pendapat orang lain bahwa karya si A bagus," ujarnya.
Dari 38 peserta pameran di Tujuh Bintang Art Space ini, sebagian besar karya dua dimensi. Hanya ada 11 karya tiga dimensi yang dipajang di galeri baru di kota Yogya ini. Satu diantara karya tiga dimensi yang menarik adalah, patung perunggu berjudul Kaki ke Langit karya Supar Madiyanto, 45 tahun.
Supar menghadirkan sepasang kaki setinggi mata kaki. Mulai dari pergelangan kaki, betis hingga paha diganti batang singkong tanpa daun. Dua batang singkong yang menjulang ke atas itu dihubungkan dengan tiga buah ranting dalam posisi horisontal yang diikat di kedua ujungnya. Detil karya itu diperoleh dari hasil cetakan batang singkong sungguhan.
Untuk memperoleh kesan tumbuh menjulang dari bawah ke atas, Supar sengaja menghadirkan batang singkong sungguhan. Sedangkan sepasang kaki adalah simbolisasi sesuatu yang selalu menginjak bumi. "Saya hanya ingin mengatakan bahwa sesuatu yang membumi itu bisa bertujuan ke atas," jelas Supar Madiayanto ihwal konsep karyanya.
Pameran pertama di Tujuh Bintang Art Space ini memajang karya-karya perupa yang sebagian besar tengah berkibar di jagad seni rupa Indonesia, seperti Entang Wiharso, Nyoman Sukari, Nasirun, S Teddy, Tisna Sanjaya, Ugo Untoro dan sebagainya.
Karya-karya yang dipajang di ruang pamer Tujuh Bintang Art Space sebenarnya tidak sepenuhnya mencerminkan selera pasar saat ini yang cenderung ke selera realis gaya Cina. "Banyak nama yang sebenarnya tidak cukup kuat di pasar ikut pada pameran ini,"
Sebaliknya, Kuss melihat pemilik galeri sebenarnya ingin menjadi transetter dunia seni rupa di Yogya. Pemilik tidak ingin terjebak pada tren seni rupa kontemporer gaya Cina. Itu sebabnya, lukisan bergaya abstrak seperti karya Widodo dan Hanafi serta lukisan bergaya realis karya Budi Ubrux, juga dihadirkan pada pameran ini.
Wanita cantik yang membuat pusing itu karya Nurkholis, 39 tahun, berjudul Twin: Love Machine yang sedang dipamerkan di Tujuh Bintang Art Space Jl Sukonandi Yogyakarta. Nurkholis hanyalah satu dari 38 perupa yang menggelar pameran bareng bertajuk Indonesian Contemporary All Star 2008
Rasa pening itu akibat teknik optik yang diadopsi Nurkholis untuk menghasilkan karya lukisnya. Lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta 1994 dengan predikat cum laude itu, menggambar wajah dua wanita cantik yang berhadap-hadapan dengan masing-masing dua pasang mata dan dua mulut yang menganga. Hasil akhirnya, mirip sebuah foto yang dijepret dalam kondisi tidak stabil.
Pameran ini memberi satu pembelajaran kepada masyarakat. Sebab, selama ini, masyarakat terlalu banyak dipengaruhi oleh budaya dengar, baik untuk urusan politik maupun kenegaraan. Banyak rakyat yang tidak tahu siapa wakilnya di parlemen. "Yang mereka tahu hanyalah artis-artis cantik," jelas Nurkholis.
Budaya itu, kata Nurkholis, juga terjadi pada dunia senirupa Indonesia saat ini. Para kolektor berburu lukisan bukan karena pertimbangan kualitas karya, "Namun hanya sekadar mendengar pendapat orang lain bahwa karya si A bagus," ujarnya.
Dari 38 peserta pameran di Tujuh Bintang Art Space ini, sebagian besar karya dua dimensi. Hanya ada 11 karya tiga dimensi yang dipajang di galeri baru di kota Yogya ini. Satu diantara karya tiga dimensi yang menarik adalah, patung perunggu berjudul Kaki ke Langit karya Supar Madiyanto, 45 tahun.
Supar menghadirkan sepasang kaki setinggi mata kaki. Mulai dari pergelangan kaki, betis hingga paha diganti batang singkong tanpa daun. Dua batang singkong yang menjulang ke atas itu dihubungkan dengan tiga buah ranting dalam posisi horisontal yang diikat di kedua ujungnya. Detil karya itu diperoleh dari hasil cetakan batang singkong sungguhan.
Untuk memperoleh kesan tumbuh menjulang dari bawah ke atas, Supar sengaja menghadirkan batang singkong sungguhan. Sedangkan sepasang kaki adalah simbolisasi sesuatu yang selalu menginjak bumi. "Saya hanya ingin mengatakan bahwa sesuatu yang membumi itu bisa bertujuan ke atas," jelas Supar Madiayanto ihwal konsep karyanya.
Pameran pertama di Tujuh Bintang Art Space ini memajang karya-karya perupa yang sebagian besar tengah berkibar di jagad seni rupa Indonesia, seperti Entang Wiharso, Nyoman Sukari, Nasirun, S Teddy, Tisna Sanjaya, Ugo Untoro dan sebagainya.
Karya-karya yang dipajang di ruang pamer Tujuh Bintang Art Space sebenarnya tidak sepenuhnya mencerminkan selera pasar saat ini yang cenderung ke selera realis gaya Cina. "Banyak nama yang sebenarnya tidak cukup kuat di pasar ikut pada pameran ini,"
Sebaliknya, Kuss melihat pemilik galeri sebenarnya ingin menjadi transetter dunia seni rupa di Yogya. Pemilik tidak ingin terjebak pada tren seni rupa kontemporer gaya Cina. Itu sebabnya, lukisan bergaya abstrak seperti karya Widodo dan Hanafi serta lukisan bergaya realis karya Budi Ubrux, juga dihadirkan pada pameran ini.
Labels:
Galeri
Exhibitons at Tujuh Bintang Art Space Yogya
Tujuhbintang ArtSpace. Face two woman above that beautiful canvas in fact. Beautiful eye, nose of mancung red lip and do chap with natty and white tooth sederet. But, whoever will not hold up staring at him prolonging. Only some second stare at, head will felt is confused
Beautiful woman that make confused of masterpiece of Nurkholis, 39 year, entitling Twin: Love Machine which being displayed in Tujuhbintang Art Space Jl Sukonandi Yogyakarta. Nurkholis only one from 38 perupa which performing exhibition of bareng have coronet of Indonesian Contemporary All Star 2008
Feeling that dizzy effect of adopted by Nurkholis optic technique to yield its paint masterpiece. Artistic Grad Institute of Indonesia (ISI) Yogyakarta 1994 with that laude cum predikat, drawing face two beautiful woman which vis with each two eye tide and two mouth which open. Its end result, loo like a photo which is unstable shoot in a condition
This exhibition give one study to society. Because, during the time, society too much influenced by culture hear, good to political business and also political. Many people which do not know the who is its proxy in parliament. " What they know only beautiful artists," Nurkholis said.
Cultural that, word of Nurkholis, also happened in world of senirupa Indonesia in this time. All collector hunt painting not because of consideration of masterpiece quality, " But only merely hearing opinion of others that masterpiece the good A," he said
From 38 participant of exhibition in Tujuhbintang Art this Space, most masterpiece two dimension. There'S only 11 masterpiece three dimension which displaying in new galeri in town of Yogya this. One among masterpiece three interesting dimension, bronze idol entitle Kaki Ke Langit masterpiece of Supar Madiyanto, 45 year
Supar attend a couple of feet as high as ankle. Start from ankle, calf till thigh changed by cassava bar without leaf. Two cassava bar boosting to to the that attributed to three stick in horizontal position which girded upon by both its back part. that Masterpiece detail obtained from cassava bar printed material really
To obtain;get impression grow to boost from under to of, Supar intend to attend cassava bar really. While a couple of feet is something that symbolizing always step on earth. " I am only wishing to say that that earth something that can aim to to to the is," clear of Supar Madiayanto about its masterpiece concept
First exhibition in Tujuhbintang Art this Space of masterpieces display of artist mostly flaging in Indonesia fine arts world, like Entang Wiharso, Nyoman Sukari, Nasirun, S Teddy, Tisna Sanjaya, Ugo Untoro etcetera
Masterpieces which displaying in room exhibit Seven Star of Art Space in fact do not fully express market appetite in this time which tend to to Chinese style realist appetite. " Many name of which insufficient in fact strength in market follow at this exhibition
On the contrary, Kuss see owner of galeri in fact want to be fine arts world transetter in Yogya. Owner do not wish to be trapped by contemporary fine arts tren of Chinese style. That cause, dressy painting of abstraction like masterpiece of Widodo and of Hanafi and also dressy painting of Kindness masterpiece realist of Ubrux, is also attended at this exhibition.
Beautiful woman that make confused of masterpiece of Nurkholis, 39 year, entitling Twin: Love Machine which being displayed in Tujuhbintang Art Space Jl Sukonandi Yogyakarta. Nurkholis only one from 38 perupa which performing exhibition of bareng have coronet of Indonesian Contemporary All Star 2008
Feeling that dizzy effect of adopted by Nurkholis optic technique to yield its paint masterpiece. Artistic Grad Institute of Indonesia (ISI) Yogyakarta 1994 with that laude cum predikat, drawing face two beautiful woman which vis with each two eye tide and two mouth which open. Its end result, loo like a photo which is unstable shoot in a condition
This exhibition give one study to society. Because, during the time, society too much influenced by culture hear, good to political business and also political. Many people which do not know the who is its proxy in parliament. " What they know only beautiful artists," Nurkholis said.
Cultural that, word of Nurkholis, also happened in world of senirupa Indonesia in this time. All collector hunt painting not because of consideration of masterpiece quality, " But only merely hearing opinion of others that masterpiece the good A," he said
From 38 participant of exhibition in Tujuhbintang Art this Space, most masterpiece two dimension. There'S only 11 masterpiece three dimension which displaying in new galeri in town of Yogya this. One among masterpiece three interesting dimension, bronze idol entitle Kaki Ke Langit masterpiece of Supar Madiyanto, 45 year
Supar attend a couple of feet as high as ankle. Start from ankle, calf till thigh changed by cassava bar without leaf. Two cassava bar boosting to to the that attributed to three stick in horizontal position which girded upon by both its back part. that Masterpiece detail obtained from cassava bar printed material really
To obtain;get impression grow to boost from under to of, Supar intend to attend cassava bar really. While a couple of feet is something that symbolizing always step on earth. " I am only wishing to say that that earth something that can aim to to to the is," clear of Supar Madiayanto about its masterpiece concept
First exhibition in Tujuhbintang Art this Space of masterpieces display of artist mostly flaging in Indonesia fine arts world, like Entang Wiharso, Nyoman Sukari, Nasirun, S Teddy, Tisna Sanjaya, Ugo Untoro etcetera
Masterpieces which displaying in room exhibit Seven Star of Art Space in fact do not fully express market appetite in this time which tend to to Chinese style realist appetite. " Many name of which insufficient in fact strength in market follow at this exhibition
On the contrary, Kuss see owner of galeri in fact want to be fine arts world transetter in Yogya. Owner do not wish to be trapped by contemporary fine arts tren of Chinese style. That cause, dressy painting of abstraction like masterpiece of Widodo and of Hanafi and also dressy painting of Kindness masterpiece realist of Ubrux, is also attended at this exhibition.
Labels:
Galeri
Exhibitons at Tujuh Bintang Art Space Yogya
Tujuhbintang ArtSpace. Face two woman above that beautiful canvas in fact. Beautiful eye, nose of mancung red lip and do chap with natty and white tooth sederet. But, whoever will not hold up staring at him prolonging. Only some second stare at, head will felt is confused
Beautiful woman that make confused of masterpiece of Nurkholis, 39 year, entitling Twin: Love Machine which being displayed in Tujuhbintang Art Space Jl Sukonandi Yogyakarta. Nurkholis only one from 38 perupa which performing exhibition of bareng have coronet of Indonesian Contemporary All Star 2008
Feeling that dizzy effect of adopted by Nurkholis optic technique to yield its paint masterpiece. Artistic Grad Institute of Indonesia (ISI) Yogyakarta 1994 with that laude cum predikat, drawing face two beautiful woman which vis with each two eye tide and two mouth which open. Its end result, loo like a photo which is unstable shoot in a condition
This exhibition give one study to society. Because, during the time, society too much influenced by culture hear, good to political business and also political. Many people which do not know the who is its proxy in parliament. " What they know only beautiful artists," Nurkholis said.
Cultural that, word of Nurkholis, also happened in world of senirupa Indonesia in this time. All collector hunt painting not because of consideration of masterpiece quality, " But only merely hearing opinion of others that masterpiece the good A," he said
From 38 participant of exhibition in Tujuhbintang Art this Space, most masterpiece two dimension. There'S only 11 masterpiece three dimension which displaying in new galeri in town of Yogya this. One among masterpiece three interesting dimension, bronze idol entitle Kaki Ke Langit masterpiece of Supar Madiyanto, 45 year
Supar attend a couple of feet as high as ankle. Start from ankle, calf till thigh changed by cassava bar without leaf. Two cassava bar boosting to to the that attributed to three stick in horizontal position which girded upon by both its back part. that Masterpiece detail obtained from cassava bar printed material really
To obtain;get impression grow to boost from under to of, Supar intend to attend cassava bar really. While a couple of feet is something that symbolizing always step on earth. " I am only wishing to say that that earth something that can aim to to to the is," clear of Supar Madiayanto about its masterpiece concept
First exhibition in Tujuhbintang Art this Space of masterpieces display of artist mostly flaging in Indonesia fine arts world, like Entang Wiharso, Nyoman Sukari, Nasirun, S Teddy, Tisna Sanjaya, Ugo Untoro etcetera
Masterpieces which displaying in room exhibit Seven Star of Art Space in fact do not fully express market appetite in this time which tend to to Chinese style realist appetite. " Many name of which insufficient in fact strength in market follow at this exhibition
On the contrary, Kuss see owner of galeri in fact want to be fine arts world transetter in Yogya. Owner do not wish to be trapped by contemporary fine arts tren of Chinese style. That cause, dressy painting of abstraction like masterpiece of Widodo and of Hanafi and also dressy painting of Kindness masterpiece realist of Ubrux, is also attended at this exhibition.
Beautiful woman that make confused of masterpiece of Nurkholis, 39 year, entitling Twin: Love Machine which being displayed in Tujuhbintang Art Space Jl Sukonandi Yogyakarta. Nurkholis only one from 38 perupa which performing exhibition of bareng have coronet of Indonesian Contemporary All Star 2008
Feeling that dizzy effect of adopted by Nurkholis optic technique to yield its paint masterpiece. Artistic Grad Institute of Indonesia (ISI) Yogyakarta 1994 with that laude cum predikat, drawing face two beautiful woman which vis with each two eye tide and two mouth which open. Its end result, loo like a photo which is unstable shoot in a condition
This exhibition give one study to society. Because, during the time, society too much influenced by culture hear, good to political business and also political. Many people which do not know the who is its proxy in parliament. " What they know only beautiful artists," Nurkholis said.
Cultural that, word of Nurkholis, also happened in world of senirupa Indonesia in this time. All collector hunt painting not because of consideration of masterpiece quality, " But only merely hearing opinion of others that masterpiece the good A," he said
From 38 participant of exhibition in Tujuhbintang Art this Space, most masterpiece two dimension. There'S only 11 masterpiece three dimension which displaying in new galeri in town of Yogya this. One among masterpiece three interesting dimension, bronze idol entitle Kaki Ke Langit masterpiece of Supar Madiyanto, 45 year
Supar attend a couple of feet as high as ankle. Start from ankle, calf till thigh changed by cassava bar without leaf. Two cassava bar boosting to to the that attributed to three stick in horizontal position which girded upon by both its back part. that Masterpiece detail obtained from cassava bar printed material really
To obtain;get impression grow to boost from under to of, Supar intend to attend cassava bar really. While a couple of feet is something that symbolizing always step on earth. " I am only wishing to say that that earth something that can aim to to to the is," clear of Supar Madiayanto about its masterpiece concept
First exhibition in Tujuhbintang Art this Space of masterpieces display of artist mostly flaging in Indonesia fine arts world, like Entang Wiharso, Nyoman Sukari, Nasirun, S Teddy, Tisna Sanjaya, Ugo Untoro etcetera
Masterpieces which displaying in room exhibit Seven Star of Art Space in fact do not fully express market appetite in this time which tend to to Chinese style realist appetite. " Many name of which insufficient in fact strength in market follow at this exhibition
On the contrary, Kuss see owner of galeri in fact want to be fine arts world transetter in Yogya. Owner do not wish to be trapped by contemporary fine arts tren of Chinese style. That cause, dressy painting of abstraction like masterpiece of Widodo and of Hanafi and also dressy painting of Kindness masterpiece realist of Ubrux, is also attended at this exhibition.
Labels:
Info
Sunday, September 14, 2008
9月14日◇十五夜のセブンスター
Midori Art
聞いたことのないギャラリーから案内状が届いた。 トゥジュ・ビンタン・アート・スペース(Tujuh Bintang Art Space)、「7つ星アートスペース」。案内状にあったサイトを確認したら、こんなにも派手な、ギャラリーってよりはカフェかぃ?ってな写真がある。こんな建物、ぐるぐるジョグジャの街を回ってる私も見たことないなぁ・・・と気になったので、オープニングに行ってみた。 断食月の今、展覧会のオープニングは日没の断食明けに合わせて始まることが多い。普通は午後7時半くらいから始まるところ、今日の展覧会は午後6時、つまり日没に合わせたオープン。私は断食とは無関係だけれど、断食明けならきっとスナック系が用意されているだろうと、弟分のモトを連れて出かけた。 新しいアートスペースは、意外にも私の家から近い場所の、大通りから中に入った場所にあった。入り口に立ってる見たことある顔のオッサンが声をかけてくる。「お~、ミドリ!来てくれたかぃ!」話しながら一生懸命思い出したら、このオッサン、ジョグジャカルタの国立アートセンターで勤めてる人じゃん。どうやらこのオッサンがもう一人の友達と共同で作ったスペースらしい。なるほど、少々センスが悪いのは、オッサン趣味だったんだな・・・ 今日の展覧会がこのスペース始まって2つめの展覧会だそうで、私が通ったISI(国立芸術学院)の卒業生3人のグループ展だった。こっちのオープニングは仰々しく入り口でテープカットしてみたり、オーナーの挨拶だのキュレーターの挨拶だのがあってからようやく会場に入れる。 午後6時にイスラム寺院から断食明けのサイレンが鳴って、スナック2種と紅茶をGET、客は絵を見るどころじゃない。一日食べてなかったから、食べるのに必死。そうしてるうちに、今日のオマケ、ジャズバンドの演奏が始まる。 そんなことしてるから、なかなかオープニングの挨拶が始まらない。ってると、今度は夕方の祈りの時間で、さらに寺院からコーランを詠む声が聞こえてきてジャズ演奏も中断。たかがギャラリーの展覧会を見るのに、午後6時に着いて会場に入れたのは午後7時半だった。 オランダ様式の古い家を改装してギャラリーにした空間は、部屋が入り組んでて天井低くて、ちょっと使いにくそう。そこに3人の作品をごっちゃにして展示してるから、余計に見にくい。いったいこのキュレーターはどんなセンスでこういう展示を考えているんだろうか。わからん・・・。 そういえば今日は十五夜。日本だったらススキと餅で月を愛でる夜か。断食明けにGETした菓子は焼き菓子一個と中華風緑豆のあんこ入り餅だった。これ食べてジャズ聴いて、まん丸お月さんを野外で見て、ジョグジャ版十五夜が楽しめた。気づけば展覧会の内容よりも、この餅の美味さに感動の夜だった。
聞いたことのないギャラリーから案内状が届いた。 トゥジュ・ビンタン・アート・スペース(Tujuh Bintang Art Space)、「7つ星アートスペース」。案内状にあったサイトを確認したら、こんなにも派手な、ギャラリーってよりはカフェかぃ?ってな写真がある。こんな建物、ぐるぐるジョグジャの街を回ってる私も見たことないなぁ・・・と気になったので、オープニングに行ってみた。 断食月の今、展覧会のオープニングは日没の断食明けに合わせて始まることが多い。普通は午後7時半くらいから始まるところ、今日の展覧会は午後6時、つまり日没に合わせたオープン。私は断食とは無関係だけれど、断食明けならきっとスナック系が用意されているだろうと、弟分のモトを連れて出かけた。 新しいアートスペースは、意外にも私の家から近い場所の、大通りから中に入った場所にあった。入り口に立ってる見たことある顔のオッサンが声をかけてくる。「お~、ミドリ!来てくれたかぃ!」話しながら一生懸命思い出したら、このオッサン、ジョグジャカルタの国立アートセンターで勤めてる人じゃん。どうやらこのオッサンがもう一人の友達と共同で作ったスペースらしい。なるほど、少々センスが悪いのは、オッサン趣味だったんだな・・・ 今日の展覧会がこのスペース始まって2つめの展覧会だそうで、私が通ったISI(国立芸術学院)の卒業生3人のグループ展だった。こっちのオープニングは仰々しく入り口でテープカットしてみたり、オーナーの挨拶だのキュレーターの挨拶だのがあってからようやく会場に入れる。 午後6時にイスラム寺院から断食明けのサイレンが鳴って、スナック2種と紅茶をGET、客は絵を見るどころじゃない。一日食べてなかったから、食べるのに必死。そうしてるうちに、今日のオマケ、ジャズバンドの演奏が始まる。 そんなことしてるから、なかなかオープニングの挨拶が始まらない。ってると、今度は夕方の祈りの時間で、さらに寺院からコーランを詠む声が聞こえてきてジャズ演奏も中断。たかがギャラリーの展覧会を見るのに、午後6時に着いて会場に入れたのは午後7時半だった。 オランダ様式の古い家を改装してギャラリーにした空間は、部屋が入り組んでて天井低くて、ちょっと使いにくそう。そこに3人の作品をごっちゃにして展示してるから、余計に見にくい。いったいこのキュレーターはどんなセンスでこういう展示を考えているんだろうか。わからん・・・。 そういえば今日は十五夜。日本だったらススキと餅で月を愛でる夜か。断食明けにGETした菓子は焼き菓子一個と中華風緑豆のあんこ入り餅だった。これ食べてジャズ聴いて、まん丸お月さんを野外で見て、ジョグジャ版十五夜が楽しめた。気づけば展覧会の内容よりも、この餅の美味さに感動の夜だった。
Labels:
Media
The Barongsai
Horse II
The Manado Port
The Photograph Of Village
Not Your Old Boot !
by
Margie Whittington
This is one of nine boot pieces to make
up a newCanvas by Canvas
painting untitled as yet.
It is fun to watch as these
individual paintings
come together to form a large
impressive painting
done by nine different artists.
Go to http://www.canvasbycanvas.com/ and click on the
sneek peek and see other paintings in progress.
Ya'll Come Back !
Not Your Old Boot !
by
Margie Whittington
This is one of nine boot pieces to make
up a newCanvas by Canvas
painting untitled as yet.
It is fun to watch as these
individual paintings
come together to form a large
impressive painting
done by nine different artists.
Go to http://www.canvasbycanvas.com/ and click on the
sneek peek and see other paintings in progress.
Ya'll Come Back !
Tuesday, September 9, 2008
Representasi Ruang Kebudayaan
Oleh: Agus Bing
Majalah Gong
Posisi galeri dalam jagat seni rupa tak sekadar sebagai pemenuh kebutuhan ekonomi, tapi juga media pembelajaran kebudayaan. Bagaimana gagasan mengedepankan kualitas dengan tetap memikirkan pasar sekaligus?
Majalah Gong
Posisi galeri dalam jagat seni rupa tak sekadar sebagai pemenuh kebutuhan ekonomi, tapi juga media pembelajaran kebudayaan. Bagaimana gagasan mengedepankan kualitas dengan tetap memikirkan pasar sekaligus?
Sebagai serambi kesenian, galeri adakalanya tidak beda dengan departement store. Eksistensinya diwarnai aktivitas jual-beli yang bermuara pada perhitungan untung rugi. Kendati pengetrapan sistem mencari ”laba” tidak dilakukan secara terang-terangan, namun tidak dipungkiri bila galeri adalah lahan perburuan uang yang cukup signifikan. Terbukti, tidak sedikit pelukis yang menjadi “kaya raya” akibat jaringan komersialisasi yang diciptakan galeri.
Namun demikian, lepas dari sifatnya yang kapitalistis, galeri pada dasarnya juga difungsikan sebagai ruang pembelajaran kebudayaan, di samping pembelajaran bidang pendidikan, sosial, politik, dan bidang ekonomi itu sendiri. Demi memahami fungsi galeri secara komprehensif, kiranya perlu mencermati pameran seni rupa yang digelar di galeri ”Tujuh Bintang Art Space” pada pertengahan Agustus silam.
Pameran yang diselenggarakan terkait dengan grand opening galeri tersebut tentunya tidak hanya ditujukan untuk menarik minat pembeli (kolektor), tapi juga dijadikan sarana membangun hubungan sosial, tempat mensosialisasikan karya seni yang ideal, ruang pencitraan identitas kebangsaan, serta ajang kajian seni yang apresiatif dan wadah aktualisasi seniman kreatif. Kenyataan ini membuktikan bahwa posisi galeri dalam jagat seni rupa tidak sekadar dijadikan pemenuh kebutuhan ekonomi, tapi juga media pembelajaran kebudayaan yang cukup penting.
Ruang Kebudayaan
Saat memasuki ruang galeri “Tujuh Bintang Art Space”, imajinasi seperti langsung digiring masuk ke dalam lorong kebudayaan nan luas dan dalam. Di mana seluruh lukisan yang dipamerkan, di antaranya karya Nasirun (mengusung tema dekoratif ekspresif) berjudul “Hiasan Pitulasan” (300 cmx200cm, oil on canvas), Gusti Alit Cakra (abstrak) berjudul “Tragedi Tanah yang Hilang” (150cmx180cm, oil, mix media on canvas), Susilo budi Purwanto berjudul “Rock n Roll Hard” (120cmx140cm, acrylic on canvas), Nurcholis,“V Twin Love Machine No.3” (30cmx145cmx2 panel, oil, acrylic on canvas), Koko P, Sancoko “Bunga #16” (150cmx150cm, oil, acrylic, pencil on canvas) dan lain-lain, tidak hanya sekedar menawarkan nilai-nilai estetis, tapi juga nilai-nilai semiotis. Karena, di balik keindahan karya rupa tersebut, secara subtansial mewacanakan nilai-nilai kebudayaan tidak hanya untuk kepentingan owner, seniman, pengamat seni maupun kolektor, tapi juga kepentingan masyarakat universal.
Artinya, melalui media lukisan, baik owner, seniman maupun pemilik modal tidak hanya mendapatkan keuntungan ekonomi, tetapi juga bisa memperluas jaringan kerja, tidak hanya dalam lingkup lokal dan nasional, tapi juga jaringan seni internasional. Sementara seniman, melalui galeri bisa mensosialisasikan karyanya pada masyarakat, dan sebaliknya juga, masyarakat akan mendapatkan informasi mengenai eksistensi seniman-seniman Indonesia sekaligus mengetahui perkembangan dan potensi seni budaya bangsanya. Inilah kira-kira yang penting dipahami terkait fungsi galeri yang tidak sekadar ruang “jualan” berhias sapuan cat warna-warni membentuk model, tekstur dan gaya. Lebih dari itu, juga merupakan sarana membangun hubungan sosial tidak hanya antara perupa dengan perupa, perupa dengan pemilik galeri, perupa dengan kolektor, perupa dengan pengamat seni, maupun perupa dengan masyarakat umum, tapi juga antara perupa dengan masyarakat seni dunia.
Bertolak dari hal tersebut, apa yang disampaikan oleh Saptoadi Nugroho menjadi penting. Bahwa, keberadaan galeri sebagai ruang kebudayaan tidak terbatas untuk kepentingan elemen-elemen yang berkaitan langsung dengan galeri. Tapi juga elemen-elemen lain yang berada di luar galeri, misalnya jaringan seni luar negeri. Oleh karena itu, maka yang penting dilakukan adalah menciptakan jaringan kerja, salah satunya lewat internet. Hal ini untuk mengantisipasi putusnya hubungan komunikasi antara seniman dengan jaringan luar negeri lantaran, tidak semua para perupa memiliki akses langsung. Ini cukup menarik, karena sangat memungkinkan semua negara, khususnya negara Eropa bisa menyaksikan buah karya para perupa Indonesia yang juga dikenal memiliki kapabelitas lumayan. “Jaringan antarseniman tentunya akan berdampak pada penciptaan citra Indonesia yang juga dikenal memiliki maestro seni rupa kelas dunia. Tentun saja, selain menjanjikan keuntungan finansial, hal ini akan menciptakan image positif mengenai eksistensi pelukis-pelukis dalam negeri,” kata Direktur Utama galeri “Tujuh Bintang Art Space” ini saat ditemui di ruang galeri yang penuh sesak pengunjung.
Tak Sekadar Menjual
Menilik peran galeri dan keberadaan lukisan yang dipamerkan, sebagaimana dipaparkan di atas, maka yang terpenting adalah tetap mempertahankan idealisme. Ibarat orang berjualan, barang yang dijual sebisa mungkin harus berkualitas dan memiliki daya jual. Karena hal tersebut bisa menciptakan brand dan gengsi, tidak hanya pada galeri tapi juga seniman yang terlibat. Maka, demi mencapai gagasan itu yang penting dilakukan adalah tetap memikirkan pasar sekaligus juga mengedepankan kwalitas.
Lantaran pemikiran tersebut, dalam memilih lukisan “Tujuh Bintang Art Space” tidak membatasi karya seni tertentu. Semua aliran bebas terlibat sepanjang tetap mengikuti aturan kuratorial. Sebagaimana yang disampaikan Kuss Indarto, bahwa sesungguhnya tidak ada yang khusus dari pameran tersebut. Karena semua karya, (tidak terkecuali yang beraliran realis) boleh ambil bagian dalam setiap pameran. Hanya saja, kurator akan tetap selektif memilih karya yang akan disertakan dalam pameran. Antara lain, track record perupa yang dilibatkan sedikitnya sudah mendapat pengakuan baik secara lokal, nasional, bahkan internasional. Demikian juga dengan karya yang akan dipamerkan, setidaknya harus memiliki visi ke depan, terutama tawaran kreativitasnya harus inovatif. “Lihat saja, karya-karya yang dipamerkan sesungguhnya berasal dari segala genre. Namun demikian yang diutamakan dalam pameran ini bukan semata-semata alirannya, tapi yang lebih penting adalah wacana yang dibangun para perupa,” ujar Kus Indarto di tengah-tengah perhelatan yang juga diramaikan oleh gelaran musik oleh komunitas Malioboro.
Apa yang disampaikan Kuss Indarto, secara implisit menegaskan bahwa dalam mengelola sebuah galeri yang lebih diutamakan sebaiknya kwalitas. Mengingat peran galeri tidak sekadar dijadikan arena “jual” lukisan, melainkan juga ajang mewacanakan nilai-nilai kebudayaan. Maka karya yang dipamerkan sebaikanya tetap menawarkan nilai-nilai karya seni yang appreciated dan qualified. Kalau tidak tentu akan mempersempit daya kreativitas seniman dan membatasi ruang gerak kebudayaan.
Namun demikian, lepas dari sifatnya yang kapitalistis, galeri pada dasarnya juga difungsikan sebagai ruang pembelajaran kebudayaan, di samping pembelajaran bidang pendidikan, sosial, politik, dan bidang ekonomi itu sendiri. Demi memahami fungsi galeri secara komprehensif, kiranya perlu mencermati pameran seni rupa yang digelar di galeri ”Tujuh Bintang Art Space” pada pertengahan Agustus silam.
Pameran yang diselenggarakan terkait dengan grand opening galeri tersebut tentunya tidak hanya ditujukan untuk menarik minat pembeli (kolektor), tapi juga dijadikan sarana membangun hubungan sosial, tempat mensosialisasikan karya seni yang ideal, ruang pencitraan identitas kebangsaan, serta ajang kajian seni yang apresiatif dan wadah aktualisasi seniman kreatif. Kenyataan ini membuktikan bahwa posisi galeri dalam jagat seni rupa tidak sekadar dijadikan pemenuh kebutuhan ekonomi, tapi juga media pembelajaran kebudayaan yang cukup penting.
Ruang Kebudayaan
Saat memasuki ruang galeri “Tujuh Bintang Art Space”, imajinasi seperti langsung digiring masuk ke dalam lorong kebudayaan nan luas dan dalam. Di mana seluruh lukisan yang dipamerkan, di antaranya karya Nasirun (mengusung tema dekoratif ekspresif) berjudul “Hiasan Pitulasan” (300 cmx200cm, oil on canvas), Gusti Alit Cakra (abstrak) berjudul “Tragedi Tanah yang Hilang” (150cmx180cm, oil, mix media on canvas), Susilo budi Purwanto berjudul “Rock n Roll Hard” (120cmx140cm, acrylic on canvas), Nurcholis,“V Twin Love Machine No.3” (30cmx145cmx2 panel, oil, acrylic on canvas), Koko P, Sancoko “Bunga #16” (150cmx150cm, oil, acrylic, pencil on canvas) dan lain-lain, tidak hanya sekedar menawarkan nilai-nilai estetis, tapi juga nilai-nilai semiotis. Karena, di balik keindahan karya rupa tersebut, secara subtansial mewacanakan nilai-nilai kebudayaan tidak hanya untuk kepentingan owner, seniman, pengamat seni maupun kolektor, tapi juga kepentingan masyarakat universal.
Artinya, melalui media lukisan, baik owner, seniman maupun pemilik modal tidak hanya mendapatkan keuntungan ekonomi, tetapi juga bisa memperluas jaringan kerja, tidak hanya dalam lingkup lokal dan nasional, tapi juga jaringan seni internasional. Sementara seniman, melalui galeri bisa mensosialisasikan karyanya pada masyarakat, dan sebaliknya juga, masyarakat akan mendapatkan informasi mengenai eksistensi seniman-seniman Indonesia sekaligus mengetahui perkembangan dan potensi seni budaya bangsanya. Inilah kira-kira yang penting dipahami terkait fungsi galeri yang tidak sekadar ruang “jualan” berhias sapuan cat warna-warni membentuk model, tekstur dan gaya. Lebih dari itu, juga merupakan sarana membangun hubungan sosial tidak hanya antara perupa dengan perupa, perupa dengan pemilik galeri, perupa dengan kolektor, perupa dengan pengamat seni, maupun perupa dengan masyarakat umum, tapi juga antara perupa dengan masyarakat seni dunia.
Bertolak dari hal tersebut, apa yang disampaikan oleh Saptoadi Nugroho menjadi penting. Bahwa, keberadaan galeri sebagai ruang kebudayaan tidak terbatas untuk kepentingan elemen-elemen yang berkaitan langsung dengan galeri. Tapi juga elemen-elemen lain yang berada di luar galeri, misalnya jaringan seni luar negeri. Oleh karena itu, maka yang penting dilakukan adalah menciptakan jaringan kerja, salah satunya lewat internet. Hal ini untuk mengantisipasi putusnya hubungan komunikasi antara seniman dengan jaringan luar negeri lantaran, tidak semua para perupa memiliki akses langsung. Ini cukup menarik, karena sangat memungkinkan semua negara, khususnya negara Eropa bisa menyaksikan buah karya para perupa Indonesia yang juga dikenal memiliki kapabelitas lumayan. “Jaringan antarseniman tentunya akan berdampak pada penciptaan citra Indonesia yang juga dikenal memiliki maestro seni rupa kelas dunia. Tentun saja, selain menjanjikan keuntungan finansial, hal ini akan menciptakan image positif mengenai eksistensi pelukis-pelukis dalam negeri,” kata Direktur Utama galeri “Tujuh Bintang Art Space” ini saat ditemui di ruang galeri yang penuh sesak pengunjung.
Tak Sekadar Menjual
Menilik peran galeri dan keberadaan lukisan yang dipamerkan, sebagaimana dipaparkan di atas, maka yang terpenting adalah tetap mempertahankan idealisme. Ibarat orang berjualan, barang yang dijual sebisa mungkin harus berkualitas dan memiliki daya jual. Karena hal tersebut bisa menciptakan brand dan gengsi, tidak hanya pada galeri tapi juga seniman yang terlibat. Maka, demi mencapai gagasan itu yang penting dilakukan adalah tetap memikirkan pasar sekaligus juga mengedepankan kwalitas.
Lantaran pemikiran tersebut, dalam memilih lukisan “Tujuh Bintang Art Space” tidak membatasi karya seni tertentu. Semua aliran bebas terlibat sepanjang tetap mengikuti aturan kuratorial. Sebagaimana yang disampaikan Kuss Indarto, bahwa sesungguhnya tidak ada yang khusus dari pameran tersebut. Karena semua karya, (tidak terkecuali yang beraliran realis) boleh ambil bagian dalam setiap pameran. Hanya saja, kurator akan tetap selektif memilih karya yang akan disertakan dalam pameran. Antara lain, track record perupa yang dilibatkan sedikitnya sudah mendapat pengakuan baik secara lokal, nasional, bahkan internasional. Demikian juga dengan karya yang akan dipamerkan, setidaknya harus memiliki visi ke depan, terutama tawaran kreativitasnya harus inovatif. “Lihat saja, karya-karya yang dipamerkan sesungguhnya berasal dari segala genre. Namun demikian yang diutamakan dalam pameran ini bukan semata-semata alirannya, tapi yang lebih penting adalah wacana yang dibangun para perupa,” ujar Kus Indarto di tengah-tengah perhelatan yang juga diramaikan oleh gelaran musik oleh komunitas Malioboro.
Apa yang disampaikan Kuss Indarto, secara implisit menegaskan bahwa dalam mengelola sebuah galeri yang lebih diutamakan sebaiknya kwalitas. Mengingat peran galeri tidak sekadar dijadikan arena “jual” lukisan, melainkan juga ajang mewacanakan nilai-nilai kebudayaan. Maka karya yang dipamerkan sebaikanya tetap menawarkan nilai-nilai karya seni yang appreciated dan qualified. Kalau tidak tentu akan mempersempit daya kreativitas seniman dan membatasi ruang gerak kebudayaan.
Labels:
Media
Friday, September 5, 2008
Budi Ubrux’s ‘mediated reality’
NAZLI AZIZ
I appreciate artworks with attention to detail and visual commentary. It reflects dedication, patience and intellectual thought, the three fundamental ingredients (in my opinion) to be successful in anything that you do. During my recent visit to Tujuh Bintang Art Space in Jogjakarta, I came across ‘Merdeka’ by Budi Ubrux.
Budi paints figures that are mummified in ‘daily newspapers’, expressing his concerns that if we were to rely literally on the information carried by our daily newspapers (which are often sensationalised) we will be absorbed into mediated realities, blinding us from the truth and blocking us from a balanced interpretation of the real world.
I marvel at his patience and technical proficiency in meticulously detailing the ‘text lines’ and capturing the light and shadows to project the crumple, crease and irregular folds of the body-wrapped newspaper.
He has also intelligently chose the right headlines and pictures to subtly communicate its sensationalized and dramatic nature.
My interpretation of this work is a group of men posing to celebrate their phenomenal conquest (or success), or what they perceived as such, in mediated reality. The reality or truth is in the fish, who is being conquered and being used as an object of pride and will end up being consumed. (Rwn)
Budi paints figures that are mummified in ‘daily newspapers’, expressing his concerns that if we were to rely literally on the information carried by our daily newspapers (which are often sensationalised) we will be absorbed into mediated realities, blinding us from the truth and blocking us from a balanced interpretation of the real world.
I marvel at his patience and technical proficiency in meticulously detailing the ‘text lines’ and capturing the light and shadows to project the crumple, crease and irregular folds of the body-wrapped newspaper.
He has also intelligently chose the right headlines and pictures to subtly communicate its sensationalized and dramatic nature.
My interpretation of this work is a group of men posing to celebrate their phenomenal conquest (or success), or what they perceived as such, in mediated reality. The reality or truth is in the fish, who is being conquered and being used as an object of pride and will end up being consumed. (Rwn)
Labels:
Media
Subscribe to:
Posts (Atom)