cheap canvas art,cheap canvas art,cheap canvas art prints,cheap canvas art for sale,cheap canvas art supplies,cheap canvas art online,cheap canvas art sets,cheap canvas art uk,cheap canvas art australia,cheap canvas art canada,cheap canvas art brisbane
Wednesday, January 28, 2009
Magritte - The Eternally Inspiring
Viewing Rene Magritte's painting The Eternally Obvious at the Metropolitan Museum in New York, December 2008 (top). This work was the point of departure for The Daughter of Time,1997, linocut on white and grey interfacing, hand stitching, 200 x 76 cm (bottom). Click on images to enlarge.
Work in Progress
Maroondah City Council Art Collection
Saturday, January 24, 2009
Pameran Lukisan Senang-senang
Israel-Palestina, ”Rukun Agawe Santosa”
OlehYuyuk Sugarman
Yogyakarta – Peperangan jelas menyisakan kepedihan, kesengsaraan, dan dendam. Lihat saja apa yang dilakukan Israel di jalur Gaza. Peluru-peluru tajam yang dimuntahkan dari moncong senjata tentara Israel menyebabkan banyak warga Palestina meregang nyawa, kehilangan sanak-saudaramaupun handai taulan. Dalam penyerangan yang membabi buta itu, setidaknya lebih dari 1.300 warga Palestina tewas, termasuk 410 anak-anak dan sekitar seratus perempuan. Sementara yang luka mencapai 5.300 orang (1.855 di antaranya anak-anak dan 795 perempuan).
Berangkat dari peristiwa ini, Wahyu Geiyonk, salah satu perupa Yogyakarta, mencoba mengungkapkan kepedihan dan keprihatinannya lewat lukisannya yang berjudul “Peace Monger”. Di atas kanvas 150x195 cm, Wahyu menggambarkan sosok bayi yang hanya memakai popok.Di punggungnya terdapat sayap, melambaikan tangan, dan mulutnya terbuka seolah mengatakan salam perpisahan kepada orang tuanya atau siapa pun yang mencintainya.Lukisan ini menjadi semakin dramatis ketika Wahyu menorehkan warna merah yang mengesankan darah mengalir di bumi Jalur Gaza yang suci (dimanifestasikan dengan latar belakang warna putih).
Tak hanya itu, mata bayi itu juga ditutup dengan sehelai kain yang berlambang Coexist. Simbol Coexist–yang lantang diteriakkan oleh Bono, vokalis U2 yang baru saja manggung dalam pelantikan Presiden Obama—terdiri dari tiga lambang umum yang mewakili masing-masing agama tersebut. Huruf C yang diganti dengan simbol bulan sabit untuk mewakili Islam, huruf X yang mewakili Yahudi, dan T pada akhir kata ini diganti dengan simbol salib mewakili Kristen.
Sebagaimana diketahui, Coexist ini selalu diteriakkan lantang oleh Bono yang menyerukan isu seputar agama dengan menginginkan agar semua umat di dunia hidup berdampingan dan menciptakan kebersamaan.“Tapi, ternyata Yahudi tak bisa hidup berdampingan dengan agama lain. Untuk itulah saya melukis ini sebagai wujud keprihatinan saya atas agresi Israel,” tutur Wahyu.
Menekan Ego Lukisan Wahyu, lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, kini tengah dipamerkan di Tujuh Bintang Art Space Yogyakarta. Pada pameran tersebut, diikuti oleh sejumlah pelukis ternama, seperti Djoko Pekik, Nasirum, Samuel Indratma, Ong Hari Wahyu, dan lain sebagainya.
Pameran yang bertajuk “Senang-senang” ini berlangsung dari 17 Januari-8 Februari mendatang.Karya yang cukup menarik perhatian publik juga ditampilkan Ong Hari Wahyu (50), jebolan ISI Yogyakarta. Pada karyanya berupa digital print ukuran 95x135 cm tersebut dan berjudul “Rukun Agawe Santosa”, Ong menampilkan sosok personel grup band legendaris Rolling Stones. Namun di depan para personel Rolling Stones yang dimotori Mick Jagger ini, tampil sepasang suami-isteri yangsudah tua renta, Mbah Soma, yang ternyata tetangga Ong di Kampung Nitiprayan.
Di sini Ong melihat kenyataan, kalau orang mau menekan egonya masing-masing dan maumenghargai eksistensi masing-masing pribadi serta ada kemauan untuk menjalanihidup bersama, maka akan langgeng. Buktinya, kata Ong, personel Rolling Stones itu kalau mau jalan sendiri-sendiri juga bisa. Tapi nyatanya, mereka mau menekan ego masing-masing hanya untuk menegakkan prinsip kebersamaan dan menegakkan panji Rolling Stones.
Demikian pula dengan Mbah Soma yang telah mengarungi hidup menjadi suami-isteri lebih dari 70 tahun dan kini telah beranak cucu. “Nah, ternyata kalau rukun, bisa hidup sentosa. Semuanya senang, seperti tema pameran ini,” ujar Ong. Jika ditarik benang merah, pada pameran ini, baik Wahyu mapun Ong, secara tak sengaja menemukan persamaan dalam menyerukan hidup secara damai dengan cara sendiri-sendiri. Sebuah seruan yang mulia, namun banyak orang yang susah menjalankan. Akankah Israel dan Palestina hidup berdampingan secara damai sebagaimana diserukan oleh Bono dan meniru kehidupan Mbah Soma warga Nitiprayan, Yogyakarta? Entahlah.
(Rwn)
OlehYuyuk Sugarman
Yogyakarta – Peperangan jelas menyisakan kepedihan, kesengsaraan, dan dendam. Lihat saja apa yang dilakukan Israel di jalur Gaza. Peluru-peluru tajam yang dimuntahkan dari moncong senjata tentara Israel menyebabkan banyak warga Palestina meregang nyawa, kehilangan sanak-saudaramaupun handai taulan. Dalam penyerangan yang membabi buta itu, setidaknya lebih dari 1.300 warga Palestina tewas, termasuk 410 anak-anak dan sekitar seratus perempuan. Sementara yang luka mencapai 5.300 orang (1.855 di antaranya anak-anak dan 795 perempuan).
Berangkat dari peristiwa ini, Wahyu Geiyonk, salah satu perupa Yogyakarta, mencoba mengungkapkan kepedihan dan keprihatinannya lewat lukisannya yang berjudul “Peace Monger”. Di atas kanvas 150x195 cm, Wahyu menggambarkan sosok bayi yang hanya memakai popok.Di punggungnya terdapat sayap, melambaikan tangan, dan mulutnya terbuka seolah mengatakan salam perpisahan kepada orang tuanya atau siapa pun yang mencintainya.Lukisan ini menjadi semakin dramatis ketika Wahyu menorehkan warna merah yang mengesankan darah mengalir di bumi Jalur Gaza yang suci (dimanifestasikan dengan latar belakang warna putih).
Tak hanya itu, mata bayi itu juga ditutup dengan sehelai kain yang berlambang Coexist. Simbol Coexist–yang lantang diteriakkan oleh Bono, vokalis U2 yang baru saja manggung dalam pelantikan Presiden Obama—terdiri dari tiga lambang umum yang mewakili masing-masing agama tersebut. Huruf C yang diganti dengan simbol bulan sabit untuk mewakili Islam, huruf X yang mewakili Yahudi, dan T pada akhir kata ini diganti dengan simbol salib mewakili Kristen.
Sebagaimana diketahui, Coexist ini selalu diteriakkan lantang oleh Bono yang menyerukan isu seputar agama dengan menginginkan agar semua umat di dunia hidup berdampingan dan menciptakan kebersamaan.“Tapi, ternyata Yahudi tak bisa hidup berdampingan dengan agama lain. Untuk itulah saya melukis ini sebagai wujud keprihatinan saya atas agresi Israel,” tutur Wahyu.
Menekan Ego Lukisan Wahyu, lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, kini tengah dipamerkan di Tujuh Bintang Art Space Yogyakarta. Pada pameran tersebut, diikuti oleh sejumlah pelukis ternama, seperti Djoko Pekik, Nasirum, Samuel Indratma, Ong Hari Wahyu, dan lain sebagainya.
Pameran yang bertajuk “Senang-senang” ini berlangsung dari 17 Januari-8 Februari mendatang.Karya yang cukup menarik perhatian publik juga ditampilkan Ong Hari Wahyu (50), jebolan ISI Yogyakarta. Pada karyanya berupa digital print ukuran 95x135 cm tersebut dan berjudul “Rukun Agawe Santosa”, Ong menampilkan sosok personel grup band legendaris Rolling Stones. Namun di depan para personel Rolling Stones yang dimotori Mick Jagger ini, tampil sepasang suami-isteri yangsudah tua renta, Mbah Soma, yang ternyata tetangga Ong di Kampung Nitiprayan.
Di sini Ong melihat kenyataan, kalau orang mau menekan egonya masing-masing dan maumenghargai eksistensi masing-masing pribadi serta ada kemauan untuk menjalanihidup bersama, maka akan langgeng. Buktinya, kata Ong, personel Rolling Stones itu kalau mau jalan sendiri-sendiri juga bisa. Tapi nyatanya, mereka mau menekan ego masing-masing hanya untuk menegakkan prinsip kebersamaan dan menegakkan panji Rolling Stones.
Demikian pula dengan Mbah Soma yang telah mengarungi hidup menjadi suami-isteri lebih dari 70 tahun dan kini telah beranak cucu. “Nah, ternyata kalau rukun, bisa hidup sentosa. Semuanya senang, seperti tema pameran ini,” ujar Ong. Jika ditarik benang merah, pada pameran ini, baik Wahyu mapun Ong, secara tak sengaja menemukan persamaan dalam menyerukan hidup secara damai dengan cara sendiri-sendiri. Sebuah seruan yang mulia, namun banyak orang yang susah menjalankan. Akankah Israel dan Palestina hidup berdampingan secara damai sebagaimana diserukan oleh Bono dan meniru kehidupan Mbah Soma warga Nitiprayan, Yogyakarta? Entahlah.
(Rwn)
Labels:
Media
Wednesday, January 21, 2009
SSS: Senang-Senang Saja
Batam Event
Senang - senang dalam melihat dan mempresentasikan realita keseharian yang sengaja diangkat untuk thema pameran kali ini dimaksudkan menjaring karya-karya seni yang proses pembuatannya tidak dibebani dengan kosep-konsep rumit dan dengan intelektualitas seni yang berat.
Jogja – Pameran bertajuk ‘Senang-Senang’ yang memajang 35 lukisan dan 2 patung karya 37 perupa ini dikuratori oleh M Dwi Marianto. Digelar di Tujuh Bintang Art Space Yogyakarta, mulai tanggal 17 Januari – 8 Februari 2009, pameran ini layak mendapat apresiasi tinggi. Terlebih ada salah satu perupa yang mengikuti pameran ini berasala dari Jepang yaitu Seiko Kajiura.
Senang - senang dalam melihat dan mempresentasikan realita keseharian yang sengaja diangkat untuk thema pameran kali ini dimaksudkan menjaring karya-karya seni yang proses pembuatannya tidak dibebani dengan kosep-konsep rumit dan dengan intelektualitas seni yang berat.
“Yang penting di sini adalah penggarisbawahan bahwa berkesenian tidak harus dilakukan dengan alis njengkrut dalam suasana hati yang serba serius.” ungkap Kurator M Dwi Marianto.
“Berkreasi dan menjadi kreatif tidak harus berbekal wacana dan kata-kata surgawi yang mengawang-ngawang. Yang dibutuhkan seniman adalah menjalani suatu proses transformative kreatif, dengan komitmen tebal mengejawantahkan nurani dan rasa tertentu yang khas, setelah seniman itu mengamati suatu realita hidup dan menarik, melalui karya seni. Dan salah satunya dengan bekerja menciptakan suatu atmosfer kondusif dimana seniman bisa berfikir dan menyiptakan dengan penuh kesukaan.” paparnya.
“Berkreasi dan menjadi kreatif tidak harus berbekal wacana dan kata-kata surgawi yang mengawang-ngawang. Yang dibutuhkan seniman adalah menjalani suatu proses transformative kreatif, dengan komitmen tebal mengejawantahkan nurani dan rasa tertentu yang khas, setelah seniman itu mengamati suatu realita hidup dan menarik, melalui karya seni. Dan salah satunya dengan bekerja menciptakan suatu atmosfer kondusif dimana seniman bisa berfikir dan menyiptakan dengan penuh kesukaan.” paparnya.
Labels:
Media
Monday, January 19, 2009
37 perupa ikuti pameran "Senang-senang"
Harian Jogja
37 perupa tampil dalam pameran seni dengan tema "Senang-senang", 17 Januari-8 Februari, bertempat di Tujuh Bintang Art Space yang berlokasi Jl. Sukonandi no.7. Perupa asal Jepang Seiko Kajiura juga ikut memamerkan karyanya.
(Rwn)
37 perupa tampil dalam pameran seni dengan tema "Senang-senang", 17 Januari-8 Februari, bertempat di Tujuh Bintang Art Space yang berlokasi Jl. Sukonandi no.7. Perupa asal Jepang Seiko Kajiura juga ikut memamerkan karyanya.
Dalam rilisnya M. Dwi Marianto selaku kurator pameran ini mengatakan makna senang-senang sengaja diangkat untuk merepresentasikan realita keseharian. Hal itu dimaksudkan untuk menjaring karya seni yang proses pembuatannya tidak diberati dengan konsep-konsep rumit dan dengan intelektualitas seni yang berat.
Sementara itu, Lutfia Hanum, staf 7 Bintang Art Space mengatakan, dalam pameran ini pelukis tidak hanya dipatok 1 konsep sehingga lukisan mereka benar-benar harus dikerjakan dengan hati yang senang.
“Jadi perupa mau berkarya seni apa saja terserah mereka. Pameran senang-senang ini memang dimaksudkan supaya karya yang dihasilkan tidak terlalu kaku,” katanya.
Labels:
Media
Sunday, January 18, 2009
A visit to Susanna Heller's studio, Brooklyn, NY
Friday, January 16, 2009
A visit to Harlan and Weaver, New York, NY
23 December 2008. Click onto images to enlarge.
From top:
(1) Printer Maggie Wright with Shane Jones, Kiki Smith etchings
(2) Kiki Smith etchings
(3 & 4) Kiki Smith etchings
(5) Studio view
(6) Louise Bourgeois spider
(7) Maggie Wright with Louise Bourgeois etching
(8) Plan cabinet with Louise Bourgeois etchings
Our thanks to Felix Harlan, Carol Weaver and everyone at Harlan and Weaver, with a special thank you to Maggie Wright for making our visit so memorable and inspiring.
Studio 889, Bronx, NY
Christmas exhibition, 6 December 2008. Click onto images to enlarge.
Top: Studio view with artists and print enthusiasts
Bottom: Deborah Klein.
Thanks to Alejandra Delfin and everyone at Studio 889 for a great exhibition, a wonderful evening, and for making us feel so welcome.
Labels:
Bronx,
NY,
Studio 889
A visit to Crown Point Press, San Francisco
Wednesday, January 14, 2009
Plaster Moth Masks
A work in progress. The artist's studio, January 2009. Click onto images to enlarge.
Photographs by Tim Gresham.
Labels:
Plaster Moth Masks
Thursday, January 8, 2009
Pameran Seni ‘Down – Up’
‘Down-Up: Spirit Membaca Tanda (Spirit Penggalian Impian Atas Tanda)’ itulah judul pameran Seni Kontemporer yang dibuka semalam (7/1) oleh Soewarno Wisetrotomo di Tujuh Bintang Art Space Jalan Sukonandi No. 7. Pameran ini diikuti oleh 14 perupa dari Jogjakarta dan dihadiri oleh para seniman – seniman ternama di Yogyakarta.
Down-Up merupakan sebuah pemahaman risalah waktu (secara virtual dan paling personal) sebagai sebuah penanda bagaimana kita mampu memaknai hidup.
“Ini juga bisa dipandang sebagai sebuah jejaring reportase tanpa kabel yang mampu memaparkan narasi, prestasi, pencapaian, proses kreatif dan sebagainya yang berkaitan dengan aspek-aspek hidup dalam upaya pembacaan ulang maupun evaluasi sementara.” ungkap Rusnoto Susanto dalam pembukaan acara semalam.
“Atau malah, ini adalah spirit kita semua untuk menemukan, mengelola, memakai momentum sesederhana apapun, dan menghargai nilai sekecil apapun yang teraih saat ini. Sebuah perayaan atas waktu yang begitu terbuka peluang dan esensinya.” tambah dia.
Tujuh Bintang Art Space bermaksud menyajikan beberapa alternatif karya seni yang dinilai cukup representatif masuk dalam wacana seni rupa dan layak dipertimbangkan menjadi item koleksi maupun investasi strategis.
“Mudah-mudahan ini segera menyadarkan kita semua atas segala yang begitu menguat akhir-akhir ini dan member kontribusi yang proposional bagi wacana pasar maupun pasar wacana seni rupa untuk menegaskan identitas peta seni rupa Indonesia.” imbuhnya.
Labels:
Media
Wednesday, January 7, 2009
Spirit Membaca Tanda
Pameran Seni Visual ": DOWN-UP : SPIRIT MEMBACA TANDA
(Spirit Penggalian Impian atas Tanda)
Menampilkan 14 seniman ( 29 karya lukis)
PEMBUKAAN PAMERAN
Hari/Tanggal : Rabu, 7 Januari 2009
Pukul : 19.30 WIB
Tempat : Tujuh Bintang Art Space – Jl. Sukonandi No. 7 Yogyakarta
Dibuka oleh : Bapak Soewarno Wisetrotomo
Penulis : Netok Sawiji_Rusnoto Susanto
Perupa :
Ben Hendro | `Dgam' Ardhi Haryo Prastowo | Hamzah | Jabara Abdeen
Mahyar | Meistoria Ve | Netok Sawiji_Rusnoto Susanto
Ramadhani Kurniawan | Riswandi | Rita Sutan Boengsoe | Winarno
Woro Indah L. | Yasrul Sami B. | Yulius Heru Prihono
(Spirit Penggalian Impian atas Tanda)
Menampilkan 14 seniman ( 29 karya lukis)
PEMBUKAAN PAMERAN
Hari/Tanggal : Rabu, 7 Januari 2009
Pukul : 19.30 WIB
Tempat : Tujuh Bintang Art Space – Jl. Sukonandi No. 7 Yogyakarta
Dibuka oleh : Bapak Soewarno Wisetrotomo
Penulis : Netok Sawiji_Rusnoto Susanto
Perupa :
Ben Hendro | `Dgam' Ardhi Haryo Prastowo | Hamzah | Jabara Abdeen
Mahyar | Meistoria Ve | Netok Sawiji_Rusnoto Susanto
Ramadhani Kurniawan | Riswandi | Rita Sutan Boengsoe | Winarno
Woro Indah L. | Yasrul Sami B. | Yulius Heru Prihono
Tak mudah memang melepas sebuah kenangan terindah apalagi begitu bermakna bagi kita dan mencoba masuk ke dalam proses waktu berikutnya yang hampir sebagian orang tidak tahu kepastian apapun kecuali seseorang optimis dengan genggaman impian dan visi. Tak sedikit yang panik dengan peralihan waktu dan momentum hidup di hadapannya yang kadang menciutkan nyali, namun begitu banyak penduduk bumi begitu visioner menggerakan waktu bahkan peluang dengan spirit yang membaja. Sama halnya ketika kali pertama kita mengenal ruang terkecil hidup kita yang begitu baru. Up-Down, dapat diinterpretasikan sebagai representasi frekuensi hidup, kualitas, kuantitas atau semacamnya. Sebuah perubahan rasional atas segala sesuatu yang berkait dengan waktu, peristiwa, fenomena, fakta, dan kehidupan ruang terdalam dari diri kita ketika mempresentasikan hidup sebagai refleksi –intelektualitas, spiritualitas- psikologis.
Up-Down sebuah pemahaman risalah waktu –secara virtual dan paling personal- sebagai sebuah penanda bagaimana kita mampu memaknai hidup. Sebuah jejaring reportase tanpa kabel yang mampu memaparkan narasi, prestasi, pencapaian, proses kreatif dan sebagainya yang berkaitan dengan aspek-aspek hidup dalam upaya pembacaan ulang maupun evaluasi sementara. Atau malah, ini adalah spirit kita semua untuk menemukan, mengelola, memaknai momentum sesederhana apapun, dan menghargai nilai sekecil apapun yang teraih saat ini. Sebuah perayaan atas waktu yang begitu terbuka peluang dan esensinya. Ambil saja contoh sederhana ketika teman-teman bersikeras menentukan tanggal 7 Januari 2009 waktu pembukaan pameran di Tujuh Bintang Art Space di awal tahun bershio Kerbau dengan spirit baru kendati seorang Permadi wanti-wanti; kita mesti lebih cermat dan cerdas dalam persaingan pasar global serta mawas karena karakter kerbau dengan tenaga besar hendaknya lebih inisiatif. Tujuh bagi teman-teman tentu membangun spirit hidup sekaligus reevaluasi dalam seminggu –tujuh hari- penuh untuk proses kreatif dan menggali impian-impian tiap detiknya. Angka tujuh dalam perspektif psikologi merupakan angka sederhana diatas rata-rata, bersahaja, gagah –monumental mirip lekuk patung pancoran- visualnya mirip kurva namun begitu terbuka dan membuka berbagai peluang.
Dalam perspektif agraris meski kental spirit ke-bahari-an masyarakat pesisiran utara angka 7, dapat dimaknai memiliki spirit menggali –visualnya yang mirip cangkul terbalik- tentu mensugesti kita dalam semangat eksplorasi dan penggalian makna itu sendiri. Cangkul terbalik merupakan representasi perjuangan hidup masyarakat Jawa yang acapkali melesatkan metaphor `endhas nggo sikil, sikil nggo endhas' dalam memperjuangkan hidup keluarganya. Bukan sekadar permainan semantik atau penjungkibalikan fakta namun realitas hari ini. Potret sederhana, bagaimana masyarakat kita begitu gigih etos kerja dan dedikasi hidupnya serta bagaimana mereka merekonstruksi spirit dan merayakan makna baru.
Up-Down sebuah pemahaman risalah waktu –secara virtual dan paling personal- sebagai sebuah penanda bagaimana kita mampu memaknai hidup. Sebuah jejaring reportase tanpa kabel yang mampu memaparkan narasi, prestasi, pencapaian, proses kreatif dan sebagainya yang berkaitan dengan aspek-aspek hidup dalam upaya pembacaan ulang maupun evaluasi sementara. Atau malah, ini adalah spirit kita semua untuk menemukan, mengelola, memaknai momentum sesederhana apapun, dan menghargai nilai sekecil apapun yang teraih saat ini. Sebuah perayaan atas waktu yang begitu terbuka peluang dan esensinya. Ambil saja contoh sederhana ketika teman-teman bersikeras menentukan tanggal 7 Januari 2009 waktu pembukaan pameran di Tujuh Bintang Art Space di awal tahun bershio Kerbau dengan spirit baru kendati seorang Permadi wanti-wanti; kita mesti lebih cermat dan cerdas dalam persaingan pasar global serta mawas karena karakter kerbau dengan tenaga besar hendaknya lebih inisiatif. Tujuh bagi teman-teman tentu membangun spirit hidup sekaligus reevaluasi dalam seminggu –tujuh hari- penuh untuk proses kreatif dan menggali impian-impian tiap detiknya. Angka tujuh dalam perspektif psikologi merupakan angka sederhana diatas rata-rata, bersahaja, gagah –monumental mirip lekuk patung pancoran- visualnya mirip kurva namun begitu terbuka dan membuka berbagai peluang.
Dalam perspektif agraris meski kental spirit ke-bahari-an masyarakat pesisiran utara angka 7, dapat dimaknai memiliki spirit menggali –visualnya yang mirip cangkul terbalik- tentu mensugesti kita dalam semangat eksplorasi dan penggalian makna itu sendiri. Cangkul terbalik merupakan representasi perjuangan hidup masyarakat Jawa yang acapkali melesatkan metaphor `endhas nggo sikil, sikil nggo endhas' dalam memperjuangkan hidup keluarganya. Bukan sekadar permainan semantik atau penjungkibalikan fakta namun realitas hari ini. Potret sederhana, bagaimana masyarakat kita begitu gigih etos kerja dan dedikasi hidupnya serta bagaimana mereka merekonstruksi spirit dan merayakan makna baru.
Labels:
Info
Thursday, January 1, 2009
Happy New Year!
Welcome one and all to 2009! We're happy to begin this new year with renewed energy and fresh ideas for upcoming projects.
Because of you, 2008 was a successful year for Canvas by Canvas and we thank each and every one of you for your support, encouragement and patronage. Most importantly, we thank you for your friendship. You're the best.
From each of us, to each of you ... May your lives and the lives of those you love be filled with love, peace and prosperity.
Happy New Year!
Cindy Campbell, Maryann Stephens, Betty Mitchell-Taylor, Margie Whittington, Nancy Standlee, Barbara Hackney, Karen Foster, Cindy Yandell and Connie Michael
Because of you, 2008 was a successful year for Canvas by Canvas and we thank each and every one of you for your support, encouragement and patronage. Most importantly, we thank you for your friendship. You're the best.
From each of us, to each of you ... May your lives and the lives of those you love be filled with love, peace and prosperity.
Happy New Year!
Cindy Campbell, Maryann Stephens, Betty Mitchell-Taylor, Margie Whittington, Nancy Standlee, Barbara Hackney, Karen Foster, Cindy Yandell and Connie Michael
Happy New Year!
Welcome one and all to 2009! We're happy to begin this new year with renewed energy and fresh ideas for upcoming projects.
Because of you, 2008 was a successful year for Canvas by Canvas and we thank each and every one of you for your support, encouragement and patronage. Most importantly, we thank you for your friendship. You're the best.
From each of us, to each of you ... May your lives and the lives of those you love be filled with love, peace and prosperity.
Happy New Year!
Cindy Campbell, Maryann Stephens, Betty Mitchell-Taylor, Margie Whittington, Nancy Standlee, Barbara Hackney, Karen Foster, Cindy Yandell and Connie Michael
Because of you, 2008 was a successful year for Canvas by Canvas and we thank each and every one of you for your support, encouragement and patronage. Most importantly, we thank you for your friendship. You're the best.
From each of us, to each of you ... May your lives and the lives of those you love be filled with love, peace and prosperity.
Happy New Year!
Cindy Campbell, Maryann Stephens, Betty Mitchell-Taylor, Margie Whittington, Nancy Standlee, Barbara Hackney, Karen Foster, Cindy Yandell and Connie Michael
Subscribe to:
Posts (Atom)