OLEH: YUYUK SUGARMAN
Sinar Harapan | Yogyakarta - Lukisan sosok Dewa Siwa disandingkan dengan sosok Ronal McDonald pada pembukaan pameran “The Dream” yang diselenggarakan Galeri Tujuh Bintang di Jogja National Museum Yogyakarta, Sabtu (15/8) malam.
Penampilan dewa Siwa yang dalam lukisan itu memakai kostum berlogo restoran cepat saji yang terkenal di Indonesia, sementara McDonald membawa senjata yang jadi ikon dewa Siwa. Ya. Begitulah I Kadek Agus Ardika menampilkan lukisannya yang berjudul “Tuhan Abad 21 (Tuhanku Saat Ini)”. Di sini sangat jelas Kadek ingin mengungkapkan kegelisahannya terhadap penetrasi kebudayaan global yang meminggirkan atau bahkan mematikan kebudayaan lokal.
Dalam konsep karyanya itu Kadek dengan tegas mengatakan kebanyakan masyarakat kita sekarang ini lebih meyakini sebuah benda yang berasal dari kebudayaan kapitalis untuk dijadikan sebuah simbol gaya hidup dan pencitraan dibanding dengan Tuhan sang penciptanya. Terlebih budaya kapitalis ini secara gencar diiklankan dan dimunculkan di berbagai media. “Akibatnya, masyarakat terpengaruh dan meninggalkan pola pikir lama dari kebudayaan lokal yang mempunyai prinsip kearifan, tenggang rasa, kebersamaan, dan kasih
sayang,” ujarnya.
Memang, lukisan Kadek tak menang dalam kompetisi yang diadakan dalam rangka ulang tahun I Galeri Tujuh Bintang Yogya ini. Toh, lukisan Kadek bisa mengingatkan kita agar selalu mempertahankan budaya lokal. Hal ini sejalan dengan langkah yang dilakukan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang mengumpulkan para pakar dari berbagai universitas di Indonesia dan luar negeri untuk menggali kebijakan lokal yang lantas dikombinasikan sehingga bisa menjadi solusi permasalahan dunia yang tengah kita hadapi saat ini.
Dalam kompetisi yang diikuti sekitar 623 perupa dari seluruh Indonesia dengan total karya mencapai 1.500 lebih ini melibatkan pula beberapa juri, di antaranya Mikke Susanto, Kuss Indarto, Sujud Dartanto, Suwarno W, dan Rusnoto Susanto. Setelah dilakukan penilaian, muncul lima pemenang, yakni Made Wiguna Valasara, Cipto Purnomo, Rudi Hendriatno, Desrat Vianda, dan Syaiful A Rachman. Kelima pemenang ini berhak mendapatkan uang sebesar Rp 5 juta dan sertifikat penghargaan.
“Dalam kehidupan berkesenian, kompetisi ini penting karena bisa mengukur perkembangan kreativitas seniman,” ujar Valasara, salah satu pemenang. Pada kompetisi ini Valasara menghadirkan lukisan yang berjudul “Menyudut”, sementara Syaiful yang mengajukan lukisan berjudul “11:11” sempat mendapat pujian dari Oei Hong Djien, salah satu kolektor dan kurator terkemuka di Indonesia. “Dari segi ide dan penuangannya sangat bagus. Juga artistik,” ujarnya singkat ketika melihat pameran The Dream ini.
Ide yang diajukan Syaiful begitu berkesan dan kuat. Di sini perupa kelahiran Surabaya yang menyajikan sosok orang yang tengah bermain sepakbola ini disusun dengan lukisan orang pula. Menurutnya, orang saat ini menempati posisinya pada level yang sangat mengejutkan dan membangun gerakan baru budaya massa untuk mendapat pengaruh serta dukungan publik. Satu sama lain membentuk struktur yang bersinergi seperti tim kesebelasan.
“Satu sama lain bekerja sama secara tim bagai malam melengkapi siang. Juga mengingatkan kita pada mimpi Nabi Yunus dengan 11 bintang yang bersujud pada beliau,” ungkap Syaiful dalam konsepnya.
Kompetisi
Begitulah beberapa lukisan yang ditampilkan dalam pameran The Dream yang merupakan hasil dari kompetisi yang diadakan Galeri Tujuh Bintang. Sebuah kompetisi yang sengaja diselenggarakan untuk melihat seberapa besar kekuatan para perupa dalam blantika seni rupa saat ini. “Apakah mereka benar-benar kuat atau dikuat-kuatkan, atau bagaimana,” tegas Saptoadi Nugroho, pengelola Galeri Tujuh Bintang.
Hal yang sama diungkapkan Rusnoto, salah satu juri. Dia mengatakan kompetisi ini memang ditujukan bagi para perupa muda setelah dalam kurun waktu 10 tahun lulus dari kungkungan akademis. “Di sini kita bisa melihat seberapa besar kemajuan dan kematangannya,” ujar Rusnoto. Pun, lanjut Rusnoto, kompetisi yang diadakan Tujuh Bintang ini bisa dijadikan rujukan untuk melihat perkembangan seni rupa di Indonesia, tak hanya dari kompetisi yang dilakukan oleh pihak asing.
“Kami tahu banyak kompetisi yang dilakukan orang luar yang dipandang prestisius. Nah, kompetisi yang dilakukan Tujuh Bintang ini berbeda,” tegasnya.
Sinar Harapan | Yogyakarta - Lukisan sosok Dewa Siwa disandingkan dengan sosok Ronal McDonald pada pembukaan pameran “The Dream” yang diselenggarakan Galeri Tujuh Bintang di Jogja National Museum Yogyakarta, Sabtu (15/8) malam.
Penampilan dewa Siwa yang dalam lukisan itu memakai kostum berlogo restoran cepat saji yang terkenal di Indonesia, sementara McDonald membawa senjata yang jadi ikon dewa Siwa. Ya. Begitulah I Kadek Agus Ardika menampilkan lukisannya yang berjudul “Tuhan Abad 21 (Tuhanku Saat Ini)”. Di sini sangat jelas Kadek ingin mengungkapkan kegelisahannya terhadap penetrasi kebudayaan global yang meminggirkan atau bahkan mematikan kebudayaan lokal.
Dalam konsep karyanya itu Kadek dengan tegas mengatakan kebanyakan masyarakat kita sekarang ini lebih meyakini sebuah benda yang berasal dari kebudayaan kapitalis untuk dijadikan sebuah simbol gaya hidup dan pencitraan dibanding dengan Tuhan sang penciptanya. Terlebih budaya kapitalis ini secara gencar diiklankan dan dimunculkan di berbagai media. “Akibatnya, masyarakat terpengaruh dan meninggalkan pola pikir lama dari kebudayaan lokal yang mempunyai prinsip kearifan, tenggang rasa, kebersamaan, dan kasih
sayang,” ujarnya.
Memang, lukisan Kadek tak menang dalam kompetisi yang diadakan dalam rangka ulang tahun I Galeri Tujuh Bintang Yogya ini. Toh, lukisan Kadek bisa mengingatkan kita agar selalu mempertahankan budaya lokal. Hal ini sejalan dengan langkah yang dilakukan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang mengumpulkan para pakar dari berbagai universitas di Indonesia dan luar negeri untuk menggali kebijakan lokal yang lantas dikombinasikan sehingga bisa menjadi solusi permasalahan dunia yang tengah kita hadapi saat ini.
Dalam kompetisi yang diikuti sekitar 623 perupa dari seluruh Indonesia dengan total karya mencapai 1.500 lebih ini melibatkan pula beberapa juri, di antaranya Mikke Susanto, Kuss Indarto, Sujud Dartanto, Suwarno W, dan Rusnoto Susanto. Setelah dilakukan penilaian, muncul lima pemenang, yakni Made Wiguna Valasara, Cipto Purnomo, Rudi Hendriatno, Desrat Vianda, dan Syaiful A Rachman. Kelima pemenang ini berhak mendapatkan uang sebesar Rp 5 juta dan sertifikat penghargaan.
“Dalam kehidupan berkesenian, kompetisi ini penting karena bisa mengukur perkembangan kreativitas seniman,” ujar Valasara, salah satu pemenang. Pada kompetisi ini Valasara menghadirkan lukisan yang berjudul “Menyudut”, sementara Syaiful yang mengajukan lukisan berjudul “11:11” sempat mendapat pujian dari Oei Hong Djien, salah satu kolektor dan kurator terkemuka di Indonesia. “Dari segi ide dan penuangannya sangat bagus. Juga artistik,” ujarnya singkat ketika melihat pameran The Dream ini.
Ide yang diajukan Syaiful begitu berkesan dan kuat. Di sini perupa kelahiran Surabaya yang menyajikan sosok orang yang tengah bermain sepakbola ini disusun dengan lukisan orang pula. Menurutnya, orang saat ini menempati posisinya pada level yang sangat mengejutkan dan membangun gerakan baru budaya massa untuk mendapat pengaruh serta dukungan publik. Satu sama lain membentuk struktur yang bersinergi seperti tim kesebelasan.
“Satu sama lain bekerja sama secara tim bagai malam melengkapi siang. Juga mengingatkan kita pada mimpi Nabi Yunus dengan 11 bintang yang bersujud pada beliau,” ungkap Syaiful dalam konsepnya.
Kompetisi
Begitulah beberapa lukisan yang ditampilkan dalam pameran The Dream yang merupakan hasil dari kompetisi yang diadakan Galeri Tujuh Bintang. Sebuah kompetisi yang sengaja diselenggarakan untuk melihat seberapa besar kekuatan para perupa dalam blantika seni rupa saat ini. “Apakah mereka benar-benar kuat atau dikuat-kuatkan, atau bagaimana,” tegas Saptoadi Nugroho, pengelola Galeri Tujuh Bintang.
Hal yang sama diungkapkan Rusnoto, salah satu juri. Dia mengatakan kompetisi ini memang ditujukan bagi para perupa muda setelah dalam kurun waktu 10 tahun lulus dari kungkungan akademis. “Di sini kita bisa melihat seberapa besar kemajuan dan kematangannya,” ujar Rusnoto. Pun, lanjut Rusnoto, kompetisi yang diadakan Tujuh Bintang ini bisa dijadikan rujukan untuk melihat perkembangan seni rupa di Indonesia, tak hanya dari kompetisi yang dilakukan oleh pihak asing.
“Kami tahu banyak kompetisi yang dilakukan orang luar yang dipandang prestisius. Nah, kompetisi yang dilakukan Tujuh Bintang ini berbeda,” tegasnya.