Yogyakarta - Di tengah hiruk-pikuk perhelatan seni rupa untuk mempersiapkan perhelatan akbar Biennale Jogja X di Yogya belakangan ini, sebuah pameran yang membawa suasana lain muncul di Tujuh Bintang Art Space, Minggu (18/10) malam.
Bambang Darto, seniman yang sudah aktif berkarya pada akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an menampilkan karya-karyanya yang terinspirasi karya lukisan klasik seperti Rembrandt atau Jacques-Louis David (seorang pelukis neoklasik abad 18).
Secara kasat Anda akan dapat melihat karya Bambang Darto, lelaki kelahiran Probolinggo, Jawa Timur, 5 Januari 1956 ini menyajikan karya Rembrandt ataupun David dalam bentuknya yang asli. Meski begitu, secara jelas pun terlihat ada tambahan yang bisa dikatakan elemen baru yang muncul pada–kalau boleh dibilang–karya reproduksi.
“Tapi, yang ia lakukan tidak dengan merusak atau mengacak-acak karya-karya klasik yang diagung-agungkan itu, melainkan dengan menciptakan ulang secara utuh,” terang Wicaksono Adi, kurator pada pameran tunggal Bambang Darto yang bertajuk “Jejak-jejak Mitos” ini. Dengan begitu, lanjut Wicaksono Adi, ia menjadi semacam rekonstruksi dari karya-karya besar sebagai bentuk penghormatan sekaligus personifikasi terbatas terhadap karya-karya tersebut. Dan memang, setelah dipublikasikan selama bertahun-tahun atau berabad-abad, karya-karya besar itu pada akhirnya telah menjadi milik publik. Milik sejarah, tegas Wicaksono.
Pada pameran tersebut, Bambang Darto menyelipkan potret dirinya yang ditempatkan sedemikian rupa sehingga melebur dengan karya klasik yang ia reproduksi dari para maestro tersebut. “Bambang Darto mengambil bagian dalam proses pengabadian mitos tersebut dengan cara memain-mainkan dan ‘menambahi’ bagian-bagian tertentu dari keabadian yang sudah baku tersebut,” tutur Wicaksono Adi lagi.
Begitulah adanya. Kalau kita amati pada lukisan yang berjudul “Bambang Socrates” yang merupakan pengubahan dari lukisan karya Jacques-Louis David yang berjudul The Death of Socrates, hal ini terlihat jelas. Di sini sosok filsuf yang ternama dan mati (Socrates) karena minum racun ini menjelma menjadi sosok Bambang Darto. Sementara itu, lukisan berjudul “Penunggang Kuda” adalah merupakan versi lain dari karya David yang berjudul “Bonaparte Crossing The Saint-Bernard Pass”. Lagi-lagi, sosok Napoleon Bonaparte berubah menjadi sosok Bambang Darto. Demikian pula wajah Bambang Darto tampil dalam lukisan “Selingkuh” yang merupakan versi lain karya David berjudul “The Courtship of Paris and Helen”.
Kalau kita melihat sosok Bambang Darto sendiri juga sudah tak asing di dunia blantika seni rupa. Ia pernah bergabung dalam suatu kelompok yang menamakan diri Kepribadian Apa (PIPA) di Yogya. Tokoh-tokoh yang berada di kelompok ini di antaranya Gendut Riyanto (almarhum), Ronald Manulang, Moelyono, Bonyong Munni Ardi, Dede Eri Supria, Haris Purnomo, Budi Sulistio, dan Hari Budiono. Bambang bersama kelompoknya ini kala itu membawa misi menggugat kemapanan para seniman senior (terutama di ASRI) yang mereka anggap telah mengalami kemandekan. “Mereka beranggapan gagasan dan konsep para senior itu telah mengalami semacam kejumudan sehingga telah menjadi sejenis belenggu kreativitas,” tutur Wicaksono Adi.
Dia menambahkan, kelompok mereka juga menganggap pikiran serta karya-karya para senior itu mereka anggap tidak berkaitan secara langsung dengan realitas kehidupan masyarakat yang ada pada saat itu. Wicaksono Adi juga menjelaskan, kelompok Bambang Darto ini juga melakukan gugatan terhadap situasi sosial-politik, di mana situasi represif terjadi akibat hegemoni dan dominasi negara Orde Baru yang kian meluas. Bagaimana pun pada akhir tahun 1970-an itu rezim Orde Baru sedang berada dalam tahap akhir konsolidasi sehingga negara menjadi pengendali tunggal segala hajat hidup orang banyak. Begitulah Bambang Darto mengekspresikan diri dalam kanvas yang kini dipamerkan di Tujuh Bintang Art Space hingga 31 Oktober mendatang.
Setelah pameran tunggal ini, kata Wicaksono, kita akan menunggu apa yang akan dilakukan Bambang Darto selanjutnya. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ia menyusup lebih dalam di balik tumpukan jejak mitos tersebut. “Ya, kita akan menunggu karya-karya berikutnya, tentu dengan berbagai kemungkinan media yang lebih kaya berikut elemen-elemen visual yang lebih menantang pula. Semoga,” ujar Wicaksono Adi.
Dari Sinar Harapan edisi 21 oktober 2009
Bambang Darto, seniman yang sudah aktif berkarya pada akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an menampilkan karya-karyanya yang terinspirasi karya lukisan klasik seperti Rembrandt atau Jacques-Louis David (seorang pelukis neoklasik abad 18).
Secara kasat Anda akan dapat melihat karya Bambang Darto, lelaki kelahiran Probolinggo, Jawa Timur, 5 Januari 1956 ini menyajikan karya Rembrandt ataupun David dalam bentuknya yang asli. Meski begitu, secara jelas pun terlihat ada tambahan yang bisa dikatakan elemen baru yang muncul pada–kalau boleh dibilang–karya reproduksi.
“Tapi, yang ia lakukan tidak dengan merusak atau mengacak-acak karya-karya klasik yang diagung-agungkan itu, melainkan dengan menciptakan ulang secara utuh,” terang Wicaksono Adi, kurator pada pameran tunggal Bambang Darto yang bertajuk “Jejak-jejak Mitos” ini. Dengan begitu, lanjut Wicaksono Adi, ia menjadi semacam rekonstruksi dari karya-karya besar sebagai bentuk penghormatan sekaligus personifikasi terbatas terhadap karya-karya tersebut. Dan memang, setelah dipublikasikan selama bertahun-tahun atau berabad-abad, karya-karya besar itu pada akhirnya telah menjadi milik publik. Milik sejarah, tegas Wicaksono.
Pada pameran tersebut, Bambang Darto menyelipkan potret dirinya yang ditempatkan sedemikian rupa sehingga melebur dengan karya klasik yang ia reproduksi dari para maestro tersebut. “Bambang Darto mengambil bagian dalam proses pengabadian mitos tersebut dengan cara memain-mainkan dan ‘menambahi’ bagian-bagian tertentu dari keabadian yang sudah baku tersebut,” tutur Wicaksono Adi lagi.
Begitulah adanya. Kalau kita amati pada lukisan yang berjudul “Bambang Socrates” yang merupakan pengubahan dari lukisan karya Jacques-Louis David yang berjudul The Death of Socrates, hal ini terlihat jelas. Di sini sosok filsuf yang ternama dan mati (Socrates) karena minum racun ini menjelma menjadi sosok Bambang Darto. Sementara itu, lukisan berjudul “Penunggang Kuda” adalah merupakan versi lain dari karya David yang berjudul “Bonaparte Crossing The Saint-Bernard Pass”. Lagi-lagi, sosok Napoleon Bonaparte berubah menjadi sosok Bambang Darto. Demikian pula wajah Bambang Darto tampil dalam lukisan “Selingkuh” yang merupakan versi lain karya David berjudul “The Courtship of Paris and Helen”.
Kalau kita melihat sosok Bambang Darto sendiri juga sudah tak asing di dunia blantika seni rupa. Ia pernah bergabung dalam suatu kelompok yang menamakan diri Kepribadian Apa (PIPA) di Yogya. Tokoh-tokoh yang berada di kelompok ini di antaranya Gendut Riyanto (almarhum), Ronald Manulang, Moelyono, Bonyong Munni Ardi, Dede Eri Supria, Haris Purnomo, Budi Sulistio, dan Hari Budiono. Bambang bersama kelompoknya ini kala itu membawa misi menggugat kemapanan para seniman senior (terutama di ASRI) yang mereka anggap telah mengalami kemandekan. “Mereka beranggapan gagasan dan konsep para senior itu telah mengalami semacam kejumudan sehingga telah menjadi sejenis belenggu kreativitas,” tutur Wicaksono Adi.
Dia menambahkan, kelompok mereka juga menganggap pikiran serta karya-karya para senior itu mereka anggap tidak berkaitan secara langsung dengan realitas kehidupan masyarakat yang ada pada saat itu. Wicaksono Adi juga menjelaskan, kelompok Bambang Darto ini juga melakukan gugatan terhadap situasi sosial-politik, di mana situasi represif terjadi akibat hegemoni dan dominasi negara Orde Baru yang kian meluas. Bagaimana pun pada akhir tahun 1970-an itu rezim Orde Baru sedang berada dalam tahap akhir konsolidasi sehingga negara menjadi pengendali tunggal segala hajat hidup orang banyak. Begitulah Bambang Darto mengekspresikan diri dalam kanvas yang kini dipamerkan di Tujuh Bintang Art Space hingga 31 Oktober mendatang.
Setelah pameran tunggal ini, kata Wicaksono, kita akan menunggu apa yang akan dilakukan Bambang Darto selanjutnya. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ia menyusup lebih dalam di balik tumpukan jejak mitos tersebut. “Ya, kita akan menunggu karya-karya berikutnya, tentu dengan berbagai kemungkinan media yang lebih kaya berikut elemen-elemen visual yang lebih menantang pula. Semoga,” ujar Wicaksono Adi.
Dari Sinar Harapan edisi 21 oktober 2009