Sejarah masa lalu, sering menjelma menjadi mitos. Bak cerita mitologi Yunani kuno. Plato, Socrates, Diponegoro bahkan Gus Dur pun –yang sebenarnya bagian dari sejarah— sering dipandang bagai mitos. Di tangan Bambang Darto, semuanya menjadi segar….
ERWAN WIDYARTO, Jogja
ERWAN WIDYARTO, Jogja
Salah satu lukisan Raden Saleh yang sangat terkenal berjudul Penangkapan Diponegoro. Lewat goresan di kanvasnya, Raden Saleh menggambarkan bagaimana Pangeran Diponegoro yangditangkap Belanda di Magelang ‘’ditangisi’’ sejumlah pendukungnya.
Di dalam imajinasi Bambang Darto, komposisi lukisan Raden Saleh itu ‘’direka ulang’’ dengan ‘’mengaktualkan isu. Dengan komposisi lukisanyang mirip, persis, Penangkapan Diponegoro pun menjadi Penangkapan Gus Dur. Gambar Diponegoro di lukisan Raden Saleh ‘’diganti’’ Gus Dur yang melambaikan tangan didampingi Yenni Wahid.
Gambar ini mengingatkan kita saat-saat terakhir Gus Dur sebagai presiden yang dilengserkan MPR. Ia pun memberi salam di depan Istana Presiden dengan hanya bercelana pendek. Teknis realis yang kuat dalam penggarapan lukisan ini, mampu menampakkan detail. Sehingga orang pun akan tersenyum melihat lukisan berukuran sekitar 1 x 2 meter ini.
Itu ‘’mitos’’ dari dalam negeri. Jejak sejarah yang juga menjadi semacam mitos dari masa lalu pun digarap Bambang Darto dengan penuh kesinisan. Salah satunya kisah Socrates. Socrates adalah seorang filosuf Yunani kuno yang hidup dalam rentang masa tahun 470-399 SM.
“Cogito Ergo Sum” begitu Socrates berucap bahwa dengan berpikir maka manusia akan diakui eksistensinya. Prinsip berpikir tiada henti, kritis, mempertanyakan segala sesuatu yang bertentangan dengan kekuasaan masyarakat dengan mengecam segala bentuk ketidakadilan inilah yang akhirnya mengakibatkan Socrates kehilangan nyawanya dengan dipaksa minum racun cemara saat berusia 70-an tahun.
Begitu tegarnya Socrates menghadapi kematian di depan matanya saat detik-detik menjelang ajal pelaksanaan hukuman minum racun. Tapi di tangan Bambang Darto, lukisan ‘’kematian’’ itu dipertanyakan secara kritis. Racun di tangan Socrates diganti dengan secawan minuman ringan yang sebenarnya begitu menguasai: Coca Cola.
Kita diajak berpikir oleh Bambang Darto. Berpikir secara kritis menyikapi gurita perusahaan multinasional yang begitu menguasai negeri ini. Yang, dalam banyak hal, mungkin sudah menjadi semacam racun bagi negeri ini.
Lewat karya-karyanya di pameran Jejak-Jejak Mitos yang digelar di Galeri Tujuh Bintang Artspace 18-21 Oktober di jalan Sukonandi 7 Jogja, Bambang Darto tak sekadar memplesetkan dan mengajak tertawa mitos yang telah ada. Meminjam perkataan kurator pameran ini Wicaksono Adi, Bambang Darto hendak ambil bagian dalam proses pengabadian mitos tersebut dengan cara memain-mainkan lalu ‘’menambahi’’ bagian-bagian tertentu dari keabadian yang sudah baku tersebut.
Memasuki ruang pameran, kita langsung disuguhi dua lukisan besar yang juga bernuansa mitos atau legenda Yunani kuno. Tapi, wajah-wajah tokoh legenda itu sudah diganti dengan wajah milik Bambang Darto sendiri dengan gambar perempuan. Ia beri judul lukisan itu Aku dan Dia.
Lalu, ada pula lukisan dengan memplesetkan Butet Kartaredjasa dan Jadug Feriyanto dalam judul Penjaga Malam #2. Ada Madonna dan sebagainya. Begitulah, dengan kepiawaian teknis melukisnya Bambang Darto memain-mainkan kisah masa lalu itu menjadi menarik dan segar.
Di dalam imajinasi Bambang Darto, komposisi lukisan Raden Saleh itu ‘’direka ulang’’ dengan ‘’mengaktualkan isu. Dengan komposisi lukisanyang mirip, persis, Penangkapan Diponegoro pun menjadi Penangkapan Gus Dur. Gambar Diponegoro di lukisan Raden Saleh ‘’diganti’’ Gus Dur yang melambaikan tangan didampingi Yenni Wahid.
Gambar ini mengingatkan kita saat-saat terakhir Gus Dur sebagai presiden yang dilengserkan MPR. Ia pun memberi salam di depan Istana Presiden dengan hanya bercelana pendek. Teknis realis yang kuat dalam penggarapan lukisan ini, mampu menampakkan detail. Sehingga orang pun akan tersenyum melihat lukisan berukuran sekitar 1 x 2 meter ini.
Itu ‘’mitos’’ dari dalam negeri. Jejak sejarah yang juga menjadi semacam mitos dari masa lalu pun digarap Bambang Darto dengan penuh kesinisan. Salah satunya kisah Socrates. Socrates adalah seorang filosuf Yunani kuno yang hidup dalam rentang masa tahun 470-399 SM.
“Cogito Ergo Sum” begitu Socrates berucap bahwa dengan berpikir maka manusia akan diakui eksistensinya. Prinsip berpikir tiada henti, kritis, mempertanyakan segala sesuatu yang bertentangan dengan kekuasaan masyarakat dengan mengecam segala bentuk ketidakadilan inilah yang akhirnya mengakibatkan Socrates kehilangan nyawanya dengan dipaksa minum racun cemara saat berusia 70-an tahun.
Begitu tegarnya Socrates menghadapi kematian di depan matanya saat detik-detik menjelang ajal pelaksanaan hukuman minum racun. Tapi di tangan Bambang Darto, lukisan ‘’kematian’’ itu dipertanyakan secara kritis. Racun di tangan Socrates diganti dengan secawan minuman ringan yang sebenarnya begitu menguasai: Coca Cola.
Kita diajak berpikir oleh Bambang Darto. Berpikir secara kritis menyikapi gurita perusahaan multinasional yang begitu menguasai negeri ini. Yang, dalam banyak hal, mungkin sudah menjadi semacam racun bagi negeri ini.
Lewat karya-karyanya di pameran Jejak-Jejak Mitos yang digelar di Galeri Tujuh Bintang Artspace 18-21 Oktober di jalan Sukonandi 7 Jogja, Bambang Darto tak sekadar memplesetkan dan mengajak tertawa mitos yang telah ada. Meminjam perkataan kurator pameran ini Wicaksono Adi, Bambang Darto hendak ambil bagian dalam proses pengabadian mitos tersebut dengan cara memain-mainkan lalu ‘’menambahi’’ bagian-bagian tertentu dari keabadian yang sudah baku tersebut.
Memasuki ruang pameran, kita langsung disuguhi dua lukisan besar yang juga bernuansa mitos atau legenda Yunani kuno. Tapi, wajah-wajah tokoh legenda itu sudah diganti dengan wajah milik Bambang Darto sendiri dengan gambar perempuan. Ia beri judul lukisan itu Aku dan Dia.
Lalu, ada pula lukisan dengan memplesetkan Butet Kartaredjasa dan Jadug Feriyanto dalam judul Penjaga Malam #2. Ada Madonna dan sebagainya. Begitulah, dengan kepiawaian teknis melukisnya Bambang Darto memain-mainkan kisah masa lalu itu menjadi menarik dan segar.
Oleh ERWAN WIDYARTO