Monday, October 26, 2009

Tafsir Ugal-ugalan Bambang Darto

BAMBANG DARTO DIKENAL SUKA MELUKISKAN KEMBALI PENJAGA MALAM KARYA REMBRANDT. DI SITU IA MENYUSUPKAN SOSOK DIRINYA SENDIRI SAMPAI TOMMY SOEHARTO.

Penjaga Malam karya Rembrant itu dilukis kembali oleh Bambang Darto dengan teknik realis luar biasa. Itulah pameran tunggal Bambang Darto: “Jejak-jejak Mitos”, di Tujuh Bintang Art Space Yogya, yang berlangsung pada 18-31 Oktober. Kita melihat lukisan itu begitu mirip dengan lukisan Rembrandt. Hanya, gambar orang-orang Eropa di masa lalu itu dia tambahi dengan seseorang berseragam satpam yang membawa sapu warna merah.

Oleh kuratornya, Wicaksono Adi, tokoh berseragam tersebut diinterpretasikan sebagai Tommy Soeharto karena sosoknya mirip. Namun, Bambang bilang lelaki itu benarbenar seorang petugas keamanan yang bekerja di perumahan mewah Kota Wisata, Cibubur, dan bersedia dijadikannya model. Selain satpam, model lokal lainnya adalah Bambang sendiri, yang menyamar atau menyusup menjadi pasukan penjaga malam mengenakan topi tinggi dan menggenggam senjata zaman Rembrandt (1606-1669).



Bambang lahir pada 1956 di Sukapura, tidak jauh dari Gunung Bromo di Jawa Timur. Bukan yang pertama bagi Bambang mengusik mitos Rembrandt, bahkan ini yang ketiga kalinya. Lima tahun silam, dia menggambar Penjaga Malam sesuai dengan yang dilukis Rembrandt, bedanya kali ini mereka bertugas di Republik Dagelan. Tokoh tambahan yang ditampilkan di situ ada dua penjahat masa kini yang diikat dan dibungkam mulutnya, serta seorang badut yang mirip badut-badut di pasar malam. Lukisan karya era 2004 ini ikut dipamerkan di Tujuh Bintang, dengan stempel sudah jadi koleksi Butet Kertaradjasa.

Penyusupan Bambang ke dalam rombongan Penjaga Malam pertama kali dia lakukan pada 1978. Selain melukis ulang karya Rembrandt, di situ dia menggambar seorang demonstran yang tewas tergeletak tertembak aparat. Bambang sendiri ada di mana? Dia memotret dirinya sedang duduk mencangkung bertopang dagu, tanpa bisa berbuat apa-apa. Harap maklum, 1978 adalah masa ketika demonstrasi-demonstrasi mahasiswa marak di mana-mana mencoba melawan rezim Orde Baru dengan korban berjatuhan, utamanya di Yogya dan Bandung. Lukisan ini tidak disertakan dalam pameran, barangkali karena kolektornya tidak bisa dijangkau oleh Bambang.

Apropriasi ala Bambang itu tidak hanya berhenti pada lukisan Rembrandt, tapi juga ke lukisan-lukisan terkenal Eropa lain. Cobalah telisik karya yang berjudul Kudaku Gagah Berani (akrilik di atas kanvas 290 x 180 sentimeter). Aslinya lukisan ini berjudul Bonaparte Crossing the Saint Bernard Pass, dibuat pada 1800-1801 oleh Jacques Louis David (1748-1825), pelukis Prancis yang sempat belajar di Italia dan terkenal dengan karya-karyanya bertema peristiwa penting dalam sejarah.

Dalam Kudaku Gagah Berani, yang naik kuda bukan Napoleon Bonaparte lagi, melainkan Bambang Darto sendiri. Gambarnya pun terdiri atas lebih dari satu sosok dengan komposisi bersusun di satu kanvas, bukan lagi gambar figur tunggal sebagaimana lukisan Bonaparte karya Louis David. Seperti pada lukisanlukisan Bambang lainnya, teknik realis yang dia kuasai dia eksploitasi benar. Hanya, barangkali karena “Bonaparte”-nya dari Jawa, yang tidak pernah terlibat dalam perang, maka ekspresi wajah si penunggang kuda, walaupun berkumis dan mengenakan pakaian ala Napoleon, apa boleh buat, agak mengesankan penunggang kuda lumping dalam pertunjukan jatilan.

Tapi Bambang memang tidak pernah berusaha tampil gagah, apalagi garang seperti serdadu, walaupun dalam kesehariannya kadang-kadang dia suka mengenakan pakaian army look. Bambang lebih mengesankan seorang pengelana soliter, yang gemar memasuki wilayah-wilayah yang tak bertepi, termasuk ke kawasan sensual atau yang dekat dengan pergaulan bersama wanita. Lihat karyanya, Aku dan Purwati (akrilik di atas kanvas 180 x 200 sentimeter, 2009), menampilkan kembali adegan The Courtship of Paris and Helen (1788) karya Louis David. Di situ Bambang tampil nyaris telanjang sebagai Paris yang duduk dengan tangan kiri memegang harpa dan tangan kanan merengkuh lengan Helen yang dianggapnya sebagai Purwati berambut pirang tanpa kutang.

Urusannya dengan perempuan tergambar lagi dalam Aku dan Dia (akrilik di atas kanvas 180 x 200 sentimeter, 2009) sebagai terjemahan atas Telemachus Farewell to Euchario (1818).

Sedangkan dalam Tanslation of Marilyn Monroe (akrilik di atas kanvas 150 x 200 sentimeter, 2009) dia membiarkan Marilyn Monroe seperti hendak bersimpuh di atas gumpalan awan dengan lima malaikat kecil, yang satu di antaranya menyunggi tengkorak.
Lukisan yang tidak menampilkan diri sendiri ini merupakan terjemahan Bambang atas Maria Magdalena karya Joseph de Rivera.

Akan halnya The Death of Mara karya Louis David (1793), oleh Bambang ditampilkan kembali menjadi M 5 (baca: Mo Limo, artinya: maling, madat, madon (main perempuan), main (judi), dan mabuk). Pada karya dengan akrilik di atas kanvas 200 x 180 sentimeter buatan 2009 itu, tampang tokoh yang meninggal lunglai bukan Bambang, melainkan wajah perupa Bonyong Muni Ardhi, teman sejawatnya. Ada dua botol minuman keras teronggok di lantai, sementara tangan kiri si tokoh memegang kertas ramalan judi. Adapun Bonyong masih sehat, hobinya joging, dan makin aktif melukis setelah pensiun sebagai dosen di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo.


Yang menarik, karya Raden Saleh oleh Bambang juga diutak-atik. Dia menggambarkan kembali Hutan Terbakar karya Raden Saleh dengan judul Merah Bantengku (2009). Banteng yang gelisah karena panas hutan dia merahkan ditambah bar code di bokongnya, selayaknya barang dagangan.

Selain itu, ada Penangkapan Gus Dur (2002), yang gambarnya mirip lukisan Raden Saleh yang berjudul Penangkapan Diponegoro, tapi yang tampak dipapah turun dari pendopo adalah Gus Dur yang mengenakan celana pendek dan kaus dalam. Ini mengingatkan adegan ketika Abdurrahman Wahid dimakzulkan dari Istana Kepresidenan pada 2002.

Cara Bambang yang ugal-ugalan dan selalu melakukan interpretasi kembali atas semua kaidah seni rupa sungguh merupakan ciri khas Kelompok Seni Kepribadian Apa (PIPA), yaitu segerombolan seniman lintas matra (ada pelukis, pematung, dan pemusik) yang menggebrak khazanah seni pada 1977, 1978, dan 1999. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam kegiatan tersebut antara lain Haris Purnomo, Dede Eri Supria, Ronald Manullang, Bonyong Muni Ardhi (golongan perupa yang moncer namanya), dan termasuk Sapto Rahardjo (almarhum).

Selain ugal-ugalan, memberontak dengan guyon, ciri khas eksponen PIPA adalah mereka pada bisa menggambar realis dengan baik dan akademis karena mereka semua memperoleh pendidikan formal seni rupa (di ASRI, kini ISI, dan SSRI). Lalu PIPA juga dianggap memberikan pengaruh pada generasi perupa berikutnya sehingga diundang oleh Panitia Biennale X di Yogya, untuk tampil pada 10 Desember 2009 sampai 10 Januari 2010, sebagai kelompok.

MOHAMAD CHOLID
MANTAN REDAKTUR SENI DAN BUDAYA TEMPO


dari Koran Tempo edisi 26 Oktober 2009
Ping your blog, website, or RSS feed for Free
My Ping in TotalPing.com
Feedage Grade B rated
Preview on Feedage: cheap-canvas-art Add to My Yahoo! Add to Google! Add to AOL! Add to MSN
Subscribe in NewsGator Online Add to Netvibes Subscribe in Pakeflakes Subscribe in Bloglines Add to Alesti RSS Reader
Add to Feedage.com Groups Add to Windows Live iPing-it Add to Feedage RSS Alerts Add To Fwicki