APROPRIASI DENGAN MEMBERI MAKNA BARU.
Seorang lelaki berkostum Romawi memeluk gadis buta yang sedang menyorongkan wadah meminta sedekah. Wajah lelaki berkumis pada lukisan berjudul Pengemis itu adalah wajah pelukis Bambang Darto, 53 tahun. Pengemis adalah satu dari 13 lukisan karya Bambang Darto pada pameran tunggal bertajuk “Jejak-jejak Mitos” di Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta, 18-31 Oktober 2009.
Lukisan Pengemis itu sebenarnya adalah “duplikasi” lukisan karya Jacques-Louis David, seorang perupa neoklasik abad ke-18, berjudul Belisarius (1781). Lukisan ini menggambarkan adegan seorang gadis kecil buta bersama seorang lelaki tua sedang mengemis di pinggir jalan.
Bedanya, wajah lelaki tua pada Belisarius itu diganti dengan wajah Bambang Darto pada Pengemis. Toh Darto, panggilannya, lupa akan judul lukisan aslinya. “Itu tak penting. Yang penting makna barunya,” kata dia saat ditemui di sela-sela persiapan pameran kemarin. Ia ingin menyindir situasi Indonesia kini yang masih suka mengemis kepada bangsa lain. Visualisasi masa lalu menjadi aktual lewat simbol peci dan pin merah-putih.
Darto “mencuri” karya David untuk memberi makna baru. Dalam seni rupa, praktek ini disebut apropriasi, yakni praktek menciptakan karya baru dengan cara mengambil ikon seni yang sudah ada sebelumnya. Perupa memperlakukan ikon seni itu sesuai dengan keinginannya. Ikon itu diolah dan dimanipulasi sehingga menjadi karya berbeda, baik dari dari segi visual maupun maknanya.
Dalam sejarah seni rupa, karya Leonardo da Vinci, Monalisa, sering menjadi sasaran apropriasi. Pelukis surealis Salvador Dali mengganti wajah Monalisa dengan potret dirinya berhiaskan kumis melengkung ke atas dan mata melotot. Praktek apropriasi menguat saat pop art merebak pada 1960-an. Di Indonesia, pop art diserap oleh banyak seniman pemberontak lewat Gerakan Seni Rupa Baru pada 1970-an, kemudian dilanjutkan oleh kelompok Kepribadian Apa (PIPA) di Yogyakarta.
Darto tergabung dengan PIPA. Pada 1978, Darto “mencuri” karya Rembrant bertajuk Penjaga Malam, dengan menambahkan tubuh mirip mahasiswa yang mati tertembak terbaring di depan figur asli Penjaga Malam itu. Di antara serdadu yang menonton tubuh mahasiswa itu, ada figur Darto yang sedang termangu.
Pada 2009, ia mencuri kembali Penjaga Malam dengan bentuk berbeda. Pada Penjaga Malam III ini muncul laki-laki berseragam satuan keamanan bersenjatakan sapu di tengah Penjaga Malamnya Rembrant. Wajahnya mirip Tommy Soeharto. “Di sini wibawa itu dilucuti dengan cara menggambarkan sang pangeran berseragam satpam yang tidak memegang bedil, melainkan sapu,” tulis Adi Wicaksono dalam kuratorial pameran.
Sebagian besar lukisan karya Darto adalah apropriasi karya Jacques-Louis David. Ada karya berjudul Bambang Socrates, apropriasi The Death of Socrates. Ilmuwan itu terbelalak matanya di depan perempuan yang tergeletak hanya mengenakan pakaian dalam. Darto juga menyusup dalam karya Raden Saleh lewat karya Merah Bantengku dan Penangkapan Gus Dur.
Koran Tempo 19 Oktober 2009
Lukisan Pengemis itu sebenarnya adalah “duplikasi” lukisan karya Jacques-Louis David, seorang perupa neoklasik abad ke-18, berjudul Belisarius (1781). Lukisan ini menggambarkan adegan seorang gadis kecil buta bersama seorang lelaki tua sedang mengemis di pinggir jalan.
Bedanya, wajah lelaki tua pada Belisarius itu diganti dengan wajah Bambang Darto pada Pengemis. Toh Darto, panggilannya, lupa akan judul lukisan aslinya. “Itu tak penting. Yang penting makna barunya,” kata dia saat ditemui di sela-sela persiapan pameran kemarin. Ia ingin menyindir situasi Indonesia kini yang masih suka mengemis kepada bangsa lain. Visualisasi masa lalu menjadi aktual lewat simbol peci dan pin merah-putih.
Darto “mencuri” karya David untuk memberi makna baru. Dalam seni rupa, praktek ini disebut apropriasi, yakni praktek menciptakan karya baru dengan cara mengambil ikon seni yang sudah ada sebelumnya. Perupa memperlakukan ikon seni itu sesuai dengan keinginannya. Ikon itu diolah dan dimanipulasi sehingga menjadi karya berbeda, baik dari dari segi visual maupun maknanya.
Dalam sejarah seni rupa, karya Leonardo da Vinci, Monalisa, sering menjadi sasaran apropriasi. Pelukis surealis Salvador Dali mengganti wajah Monalisa dengan potret dirinya berhiaskan kumis melengkung ke atas dan mata melotot. Praktek apropriasi menguat saat pop art merebak pada 1960-an. Di Indonesia, pop art diserap oleh banyak seniman pemberontak lewat Gerakan Seni Rupa Baru pada 1970-an, kemudian dilanjutkan oleh kelompok Kepribadian Apa (PIPA) di Yogyakarta.
Darto tergabung dengan PIPA. Pada 1978, Darto “mencuri” karya Rembrant bertajuk Penjaga Malam, dengan menambahkan tubuh mirip mahasiswa yang mati tertembak terbaring di depan figur asli Penjaga Malam itu. Di antara serdadu yang menonton tubuh mahasiswa itu, ada figur Darto yang sedang termangu.
Pada 2009, ia mencuri kembali Penjaga Malam dengan bentuk berbeda. Pada Penjaga Malam III ini muncul laki-laki berseragam satuan keamanan bersenjatakan sapu di tengah Penjaga Malamnya Rembrant. Wajahnya mirip Tommy Soeharto. “Di sini wibawa itu dilucuti dengan cara menggambarkan sang pangeran berseragam satpam yang tidak memegang bedil, melainkan sapu,” tulis Adi Wicaksono dalam kuratorial pameran.
Sebagian besar lukisan karya Darto adalah apropriasi karya Jacques-Louis David. Ada karya berjudul Bambang Socrates, apropriasi The Death of Socrates. Ilmuwan itu terbelalak matanya di depan perempuan yang tergeletak hanya mengenakan pakaian dalam. Darto juga menyusup dalam karya Raden Saleh lewat karya Merah Bantengku dan Penangkapan Gus Dur.