Sunday, December 28, 2008

Memotret Misteri Dunia Anak

Kompas Cetak
Oleh Mohamad Final Daeng

Dunia anak adalah dunia penuh kesenangan. Begitulah pengertian yang selama ini berlaku. Tentu saja yang menuturkan adalah mereka yang pernah menjadi anak-anak. Seorang anak dengan keluguan dan keceriaannya mengisi dunia. Yang ada di hadapannya hanyalah bermain dan bersenang-senang, lepas, dan bebas tanpa beban.

Namun, di balik kesenangan itu, ada pula sisi kelam anak-anak yang mesti ditangkap dan dicermati orangtua. Sisi kelam yang bukan tidak mungkin akan mendominasi sikap sang anak ketika beranjak dewasa nanti. Hal inilah yang diungkap dalam pameran lukisan kontemporer berjudul Off/On karya Wahyu Geiyonk dan Jemi Bilyanto yang digelar di Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta.

Pameran yang menampilkan 20 lukisan itu berlangsung sejak 18 Desember hingga 31 Desember dengan kurator M Dwi Marianto. Wahyu Geiyonk atau yang bernama asli Wahyu Muhartono menampilkan total 17 lukisan dalam pameran ini. Semua lukisannya menggambarkan bayi yang sedang terlelap dengan kupu-kupu.

Inspirasi saya peroleh ketika menyaksikan anak saya tertidur, katanya. Dari situ, ia melihat betapa tenang dan damainya seorang bayi kala terlelap. Ketenangan yang sangat indah dan penuh makna, ujarnya.

Adapun kupu-kupu ia gunakan sebagai simbol perjalanan bayi yang sama dengan metamorfosis kupu-kupu. Ketika kupu-kupu keluar dari kepompongnya, ia mewarnai dunia dengan keelokan tubuhnya, begitu juga dengan kelahiran bayi yang mewarnai kebahagiaan suatu keluarga, tuturnya.

Filosofi kupu-kupu juga dipakai untuk mengingatkan kepada orangtua agar merawat dan membimbing anak dengan baik agar kepompong itu bisa berubah menjadi kupu-kupu dan mewarnai kehidupan dunia.

Salah satu karya yang secara kuat mewakili analogi bayi dan kupu-kupu itu terdapat dalam lukisannya yang berjudul "My Angel". Di lukisan itu, Wahyu menggambarkan bayi yang tertidur pulas dalam posisi duduk dengan sayap kupu-kupu menempel di punggungnya.
Lukisan Jemi lebih banyak menggambarkan dunia anak-anak dengan segala dinamika dan ekspresinya. Jemi menggabungkan teknik melukis dan grafis dalam 13 karya yang dipamerkannya itu.

Menggunakan warna-warna cerah stabilo, Jemi mencoba memotret dunia anak zaman sekarang yang penuh problem akibat kurangnya afeksi orangtua. Seperti yang terungkap dalam salah satu karyanya yang berjudul "Diam untuk Emas". Dalam lukisan ini, Jemi menggambarkan seorang anak yang meletakkan telunjuk di bibirnya pertanda diam. Anak-anak sekarang lebih sering dibungkam oleh orangtuanya ketika ingin bebas berpendapat sehingga mereka terkekang, katanya.

Padahal, Jemi melihat kebebasan berpendapat pada anak justru harus ditumbuhkan karena menyehatkan perkembangan mental dan intelektualitas mereka. Ada pula karya berjudul "Permata Hati" yang melukiskan senyuman tulus seorang anak ketika dihadiahi mahkota bunga kebun sederhana oleh orangtuanya.

Lukisan ini memberi pesan bahwa anak-anak tidak melulu harus dihadiahi mainan yang mahal-mahal untuk membuatnya bahagia. Menurut Jemi, selama ini orangtua cenderung salah kaprah menyamakan kebahagiaan dengan materi dalam membesarkan anak-anak mereka, dan melupakan sentuhan-sentuhan personal. Padahal, kebahagiaan sejati seorang anak adalah ketika orangtua memberinya perhatian tulus, katanya.

(Rwn)

Monday, December 22, 2008

Contemporary Art Exhibition " Off / On "

Dua perupa muda Yogyakarta, Wahyu “Geiyonk” Muhartono dan Jemi Bilyanto memamerkan sejumlah karya yang kaya warna di Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta dengan tajuk “OFF/ON”. Galeri yang baru berusia 4 bulan ini tertarik karena kedua seniman secara kebetulan mengusung tema anak-anak.

Di dalam siaran persnya, Saptoadi Nugroho, pengelola Tujuh Bintang Art Space mengungkapkan karya-karya mereka dapat mewakili ekspresi anak-anak, baik itu perasaan senang, sedih, terkejut, diam, tenang, pulas dan ekspresi lainnya.

M. Dwi Marianto, kurator pameran “OFF/ON” menilai bahwa kedua seniman telah menemukan subjek-subjek yang menurut mereka masing-masing punya permasalahan untuk disampaikan. Anak-anak di kota besar macam Jakarta menurut Jemi perlu disikapi secara komprehensif dengan keterbukaan dan empathy, sebab mereka telah menerima asupan-asupan yang proporsinya tak seimbang. Sementara Geiyong mengatakan bahwa potensi-potensi di otak dan kalbu anak sangat tergantung pada apa-apa yang telah diberikan oleh orang-tua dan lingkungannya.

“Dari sampel karya kedua perupa ini ternyata ada hal penting yang tidak bisa diabaikan yaitu proporsi – perbandingan jumlah, ukuran, dsb. dari berbagai bagian yang akan dipadukan,” ungkap Dwi.

Pameran berlangsung 18-31 Desember 2008 di Tujuh Bintang Art Space, Jl. Sukonandi No. 7 Yogyakarta. (Rwn)

Berita Seni

Sunday, December 14, 2008

Off / On Art Exhibition


Sebagai wujud rasa cinta kepada dunia seni, Tujuh Bintang Art Space kami dirikan. Selain sebagai wadah pengembangan seni, Tujuh Bintang juga difungsikan sebagai tempat untuk berpameran. Usianya memang masih relatif muda, baru sekitar 4 bulan. Bulan Agustus 2008, adalah awal dari kegiatan Tujuh Bintang, diawali dengan pembukaan (Launching) sekaligus pameran pertama “Indonesian Contemporary All Star 2008”. Disusul pameran kedua “Too Much Painting Will Kill You” di bulan September, dan yang baru saja berakhir bulan Oktober lalu, adalah “Contemporary Heroes” sebagai pameran ketiga.


Bulan Desember ini, sekaligus sebagai penutup tahun 2008, ini kami hadirkan tema pameran lukisan : Off/On dengan menghadirkan 2 perupa yaitu Wahyu Geiyonk dan Jemi Bilyanto. Keduanya kami kenal sudah lama melalui pameran-pameran yang diselenggarakan di Jakarta. Beberapa waktu yang lalu kami bertemu dengan mereka, dan dari beberapa karyanya sudah mulai tampak hasilnya, kami lihat semangat berkarya yang cukup tinggi, secara kebetulan mereka sama-sama mengambil tema anak-anak. Wahyu Geiyonk dengan bayi tidur disertai dengan kupu-kupu sedangkan Jemi Bilyanto dengan visual anak-anak.


Bila kita lihat karya-karya yang dihasilkan cukup beraneka warna, rasanya hampir semua warna ada pada karya yang ditampilkan dalam pameran ini. Bayi tidur dengan wajah close up yang disuguhkan oleh Wahyu Geiyonk tampak menarik dan artistik, disana kita dapat melihat kepolosan dan ketenangan. Anak-anak dengan wajah setengah realis dan yang setengah lagi berupa garis dari Jemi Bilyanto, cukup berani untuk menampilkan hal beda. Karya-karya yang disuguhkan dapat mewakili ekspresi anak-anak, baik itu perasaan senang, sedih, terkejut, diam, tenang, pulas dan ekspresi lainnya.


Semoga karya mereka dapat menjadi bagian penting dari perkembangan karir mereka, dan dapat mengisi perkembangan senirupa kontemporer di negeri tercinta Indonesia.

Salam Budaya,
Saptoadi Nugroho
Tujuh Bintang Art Space, Desember 2008

Monday, December 1, 2008

Dari Superman Melayu hingga Pemberantas Korupsi

AntiKorupsi.org
Interpretasi visual kepahlawanan yang lebih terbuka.

Pelukis Yuswantoro Adi, 42 tahun, biasanya memindahkan citra anak-anak dengan teknik realis ke kanvas. Tapi kini ia meminjam tubuh Superman dengan tubuh berotot dililit baju ketat biru berkilat dengan cawat dan jubah merah berkibar. Di dadanya tercetak simbol Superman yang sudah sangat dikenal dengan huruf S berbingkai bentuk geometris pentagon. Tapi huruf S itu dikesankan mata uang dolar Amerika Serikat dengan dua garis di bagian tengah.

Pada karyanya yang bertajuk Superhero 2 ini, ia meminjam wajah pelukis Nyoman Masriadi, seorang pelukis yang karyanya di balai lelang melejit dengan angka yang menakjubkan. Yuswantoro menambahkan teks di dekat citra kepala Masriadi: "Jangan tanya saya, tanya kolektor".

Dari teks itu terlihat arah narasi Yuswantoro, yakni pasar seni rupa. "Bau" lembaran dolar makin kuat dengan garis hitam tipis berbentuk tas yang digenggam tangan superhero yang kukuh. Tas itu sarat uang. "Pahlawan (seni rupa) kontemporer bukan menyangkut wacana, melainkan pasar. Apa boleh buat, leader-nya Masriadi," ujar Yuswantoro.

Kurator Wahyudin-lah yang menyeret Yuswantoro bersama 23 pelukis lainnya dalam pameran bertajuk "Contemporary Heroes" di Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta, pada 15 November hingga 7 Desember ini. "Karya mereka memperlihatkan tafsir yang beragam atas sosok pahlawan atau tema kepahlawanan dalam pameran ini," ujar Wahyudin.

Yuswantoro, misalnya, memparodikan sosok Masriadi sebagai superhero yang sukses meraup rupiah dari karya lukisnya. Ia meminjam nyaris semua teknik, pewarnaan, bahkan judul karya lukis Masriadi untuk menampilkan sosok superhero baru dalam seni rupa kontemporer Indonesia. Agar tubuh superhero itu tampak makin kekar, Yuswantoro menyamakan ukuran badan dengan ukuran kakinya. Tapi yang terjadi justru sang superhero kelihatan bertubuh cebol bak superhero Melayu.

Bagi Wahyudin, karya Yuswantoro merupakan tafsir subversif terhadap kepahlawanan, yakni sosok hero dan anti-hero. Tafsir sejenis muncul pada karya pelukis Hari Budiono berupa potret wajah Artalyta Suryani, pengusaha yang dituduh menyuap jaksa Urip Tri Gunawan.
Hari memberi konteks citra realis Artalyta yang sangat dikenal publik lewat fotonya di ruang pengadilan dengan citra bercorak komik berupa sosok lelaki dengan mulut belepotan warna merah dan perempuan berbikini dengan leher bernoda merah. Karya ini bertajuk Sidang Para Pengisap Darah. "Artalyta oleh sementara orang justru dianggap pahlawan," kata Wahyudin.
Sedangkan karya Yudi Sulistya memberi perspektif perbandingan pahlawan dengan menampilkan idiom lokal dengan idiom global. Yudi meminjam idiom budaya pop Superman yang disandingkan dengan potret diri Jenderal Sudirman. Pelukis lain meminjam simbol budaya pop dalam fiksi superhero lainnya, semisal Batman, RoboCop, atau sosok laki-laki yang sedang terbang dengan sayap di punggung.

Ada yang lebih kontekstual, semisal karya Totok Buchori, yang memakai citra seniman pantomim Jemek Supardi dengan mimik wajah tersenyum yang sedang berusaha menangkap tikus kecil. Tapi di belakangnya ada tikus besar yang mengawasi. Karya ini mengingatkan orang pada penilaian kritis terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi.
RAIHUL FADJRI

(Rwn)

Tuesday, November 11, 2008

Contemporary Heroes

Bazar

Pameran ini mempertunjukkan ke hadapan publik seni rupa perihal “cara pemahaman”, “cara perhubungan”, dan “cara penciptaan” perupa mengenai “hero” yang mengejawantah dalam karya seni rupa. Dengan perkataan lain, pameran ini berkecenderungan memperhelatkan pandangan-pandangan eksistensial, pemikiran personal, dan daya cipta perupa atas “hero” yang berkelana di sekitar mereka itu. Dari sini, kita berharap mendapatkan ruang apresiasi dan refleksi kemanusiaan dalam pusparagam karya seni rupa.

Pameran ini akan menggelar karya-karya seni rupa. Secara praktis, setiap perupa yang diajakserta dalam pameran ini dipersilakan mencerap dan menafsir tema tersebut sesuai dengan pengalaman personal mereka. Selanjutnya, mereka diharapkan dapat mengejawantahkan hasil pencerapan dan penafsiran itu secara konkret dalam bahasa visual yang berkesesuaian dengan kecenderungan bentuk, teknik, ide berkarya seni rupa yang mereka geluti selama ini. Dari situ dibayangkan mereka mampu memberikan refleksi dan perspektif banding yang beragam kepada khalayak seni rupa dalam melihat dan menyikapi tema tersebut sebagai bukan saja persoalan estetika, tapi juga persoalan eksistensial manusia. Selain itu, dengan bayangan tersebut, pameran ini berikhtiar membincangkan tema tersebut dalam bahasa seni rupa yang sesuai dengan kecenderungan praktik wacana budaya yang berkembang belakangan ini

Pameran ini mengikutsertakan 23 perupa yang tinggal dan berkarya di Yogyakarta, Bali, dan Malang. Mereka diminta untuk mengusung 1-2 karya seni rupa baru dengan ukuran yang proposional (kuranglebih 150×200 cm untuk lukisan) dan berkesesuaian dengan tema pameran ini.

Karya-karya apik 24 pelukis ”kreatif” tersebut, hadir dalam sebuah pameran bertajuk ”Contemporary Heroes”. Penyajian karya unik ini siap dinikmati pada 15 November – 7 Desember 2008 di Tujuh Bintang Art Space, Jl. Sukonandi No. 7, Yogyakarta. Dikawal kurator kenamaan Wahyudin karya-karya istimewa mereka siap memberikan pengalaman spiritual seni yang sulit dilupakan. Untuk melengkapi keunikan pameran ini, akan tampil Live Performance dari Hadi Soes, SE, Electone. Rasa penasaran yang pastinya akan menimbulkan pertanyaan ” Seperti apa hasil karya seni mereka para perupa ini?” dapat terjawab di ”Contemporary HEROES, 15 November, 2008, maka tentu saja pameran ini sangat sayang jika dilewatkan.

Jadwal Acara:

Grand Opening : Sabtu, 15 November 2008 Pukul: 19.30.00

Dibuka untuk umum:
16 November - 7 Desember 2008
Senin - Minggu Pukul: 10.00 - 20.00

Untuk Informasi lebih lanjut hubungi:
Tujuh Bintang Art Space
Jl. Sukonandi 7, Yogyakarta
T. +62-274 545577, 583377
M. 0817 267779
email: info@tujuhbintang.com

(Rwn)

Thursday, November 6, 2008

CONTEMPORARY HEROES Exhibition



Pameran ini mempertunjukkan kehadapan publik seni rupa perihal “cara pemahaman”, “cara perhubungan”, dan “cara penciptaan” perupa mengenai “hero” yang mengejawantah dalam karya seni rupa. Dengan perkataan lain, pameran ini berkecenderungan memperhelatkan pandangan-pandangan eksistensial, pemikiran personal, dan daya cipta perupa atas “hero” yang berkelana di sekitar mereka itu. Dari sini, kita berharap mendapatkan ruang apresiasi dan refleksi kemanusiaan dalam pusparagam karya seni rupa.

Pameran ini akan menggelar karya-karya seni rupa. Secara praktis, setiap perupa yang diajakserta dalam pameran ini dipersilakan mencerap dan menafsir tema tersebut sesuai dengan pengalaman personal mereka. Selanjutnya, mereka diharapkan dapat mengejawantahkan hasil pencerapan dan penafsiran itu secara konkret dalam bahasa visual yang berkesesuaian dengan kecenderungan bentuk, teknik, ide berkarya seni rupa yang mereka geluti selama ini. Dari situ dibayangkan mereka mampu memberikan refleksi dan perspektif banding yang beragam kepada khalayak seni rupa dalam melihat dan menyikapi tema tersebut sebagai bukan saja persoalan estetika, tapi juga persoalan eksistensial manusia. Selain itu, dengan bayangan tersebut, pameran ini berikhtiar membincangkan tema tersebut dalam bahasa seni rupa yang sesuai dengan kecenderungan praktik wacana budaya yang berkembang belakangan ini

Pameran ini mengikutsertakan 23 perupa yang tinggal dan berkarya di Yogyakarta, Bali, dan Malang. Mereka diminta untuk mengusung 1-2 karya seni rupa baru dengan ukuran yang proposional (kuranglebih 150x200 cm untuk lukisan) dan berkesesuaian dengan tema pameran ini.

Karya-karya apik 24 pelukis ”kreatif” tersebut, hadir dalam sebuah pameran bertajuk ”Contemporary Heroes ” .Penyajian karya unik ini siap dinikmati pada 15 November – 7 Desember 2008 di Tujuh Bintang Art Space, Jl. Sukonandi No. 7, Yogyakarta. Dikawal kurator kenamaan Wahyudin karya-karya istimewa mereka siap memberikan pengalaman spiritual seni yang sulit dilupakan. Untuk melengkapi keunikan pameran ini, akan tampil Live Performance dari Hadi Soes, SE, Electone. Rasa penasaran yang pastinya akan menimbulkan pertanyaan ” Seperti apa hasil karya seni mereka para perupa ini?” dapat terjawab di ”Contemporary HEROES ” , sabtu, 15 November, 2008, maka tentu saja pameran ini sangat sayang jika dilewatkan.





Katalog Pameran dapat didownload disini.



Jadwal Acara:

Grand Opening :
Sabtu, 15 November 2008
Pukul: 19.30.00

Dibuka untuk umum:
16 November - 7 Desember 2008
Senin - Minggu Pukul: 10.00 - 20.00

Untuk Informasi lebih lanjut hubungi:
Tujuh Bintang Art Space
Jl. Sukonandi 7, Yogyakarta
T. +62-274 545577, 583377 M. 0817 267779
email: info@tujuhbintang.com




The enchanted forest at Shepparton Art Gallery


Installation view of Swarm and Moth Masks, Wednesday 5 November 2008.
Click onto image to enlarge.

Thursday, October 23, 2008

Kesempatan Berkarir

Tujuhbintang ArtSpace Yogyakarta membuka kesempatan berkarir dengan ketentuan sebagai berikut :

Marketing Support
- Perempuan penampilan menarik minimal D3
- Menguasai manajemen pemasaran secara offline dan online
- Menguasai MS Office dan internet
- Diutamakan berpengalaman dibidang marketing atau public relation.

Kasir
- Perempuan penampilan menarik minimal SMA sederajat
- Menguasai MS Office dan internet
- Diutamakan berpengalaman dibidang accounting dan inventory.

Pelayan Cafe
- Perempuan penampilan menarik minimal SMA sederajat
- Siap kerja sampai malam
- Diutamakan berpengalaman di cafe

Artshop Helper
- Laki-laki minimal SMA sederajat
- Trampil mengemudi dan memiliki SIM A
- Diutamakan berpengalaman dibidang inventory

Produksi
- Laki-laki minimal STM Jurusan Bangunan
- Menguasai kerja kayu dengan tangan dan mesin

Office Boy/Girl

Ketentuan Umum :
- Jujur, rajin dan teliti dalam bekerja.
- Bisa bekerja secara tim maupun mandiri
- Siap bekerja overtime dan dibawah tekanan
- Bersedia di tempatkan di Yogyakarta
- Untuk posisi 1, 2 dan 3 harap sertakan foto ukuran 3R pose bebas sopan.

Kirimkan lamaran beserta CV serta posisi dan gaji yang diharapkan ke alamat email : eko@tujuhbintang.com atau melalui pos ke Tujuhbintang ArtSpace Jl Sukonandi 7 Yogyakarta 55166 atau ke PT. Sinar Abadi Communication Jl Asyirot 5 Sukabumi Selatan Kebon Jeruk Jakarta untuk yang domisili di Jakarta dan sekitarnya.

Sertakan alamat email atau nomor telepon yang bisa dihubungi.
Hanya pelamar yang memenuhi syarat yang akan dihubungi.

Thursday, October 16, 2008

Facelift, Tweed River Art Gallery NSW


Installation view, October 11 2008. Left to right: Untitled (Crimson and Scarlet), Point of View and Untitled (Red). Click onto image to enlarge.

Facelift opened on 10 September. The exhibition is timed to coincide with the gallery's 20th birthday celebrations. It is a contemporary rehang of the gallery's Australian Portrait Collection.

Tuesday, October 7, 2008

Best Wishes for Idul Fitri

Eid Mubarak 1429H for everyone
In the month that was full of this blessing it is hoped we always in ALLAH SWT protection...Amien

Thursday, September 25, 2008

The Exquisite Palette 2008


Moth Mask Palette created for the group exhibition The Exquisite Palette, St Luke Artist Colourmen, 25 Smith Street Collingwood, 3065. The exhibition opens on 3 October and runs until 8 November.

Workshops at Warrnambool Art Gallery






Workshops with students from St Brendan's, Coragulac, South Warrnambool Kindergarten, St Patrick's Primary School, Port Fairy and a floor talk for VCE staff and students were held on 25-26 August. These public programs were coordinated by the gallery's Education Service in conjunction with the touring survey exhibition Deborah Klein - Out of the Past 1995-2007. Exhibition dates were 19 July - 31 August 2008.

Wednesday, September 24, 2008

Magnet Tujuh Bintang Art Space Yogya

TEMPO Interaktif
Yogyakarta: Tiga perupa yang tergabung dalam Kelompok Seni Rupa Magnet, menggelar pameran bersama bertajuk Too Much Painting Will Kill You di Tujuh Bintang Art Space, Yogya, 14 September-12 Oktober 2008. Materi pameran adalah buah diskusi bertiga, meski hasil akhirnya tetap mengedepankan gaya masing-masing perupa.

Deddy Sufriadi, 32 tahun, menampilkan lukisan abstrak yang didominasi susunan teks. Deddy memenuhi kanvas dengan teks berhuruf latin. Terkadang ia menorehkan teks dengan guruf kapital ke atas kanvas. Teks-teks berhuruf latin itu kemudian ditumpangi lagi dengan teks-teks berhuruf Arab. Deddy menyebut teknik melukisnya itu sebagai ’sastra rupa’. ”Teks bisa mengambil peran lebih sebagai penerjemah semua pikiran, obsesi dan opini saya tentang segala hal, yang tidak bisa diterjemahkan dengan bahasa gambar,” kata alumnus Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini.

Perupa Yusron Mudhakir, 31 tahun, menampilkan lukisan yang didominasi bidang-bidang geometris seperti kubus dan empat persegi panjang. Di dalam bidang geometris yang tersusun secara ritmis di atas kanvas itu, muncul tekstur, aik yang disengaja maupun yang tidak disengaja akibat sapuan kuas. Pada lukisan Coexist, How to Disapear Obtrusion Series, misalnya, Yusron menghadirkan tekstur bulan sabit, bintang Daud dan salib, di dalam bidang-bidang geometrisnya. Bulan sabit, bintang Daud dan salib adalah lambang-lambang agama monomtheis di dunia.

”Saya membayangkan, suatu saat dunia menganut apa yang dianjurkan oleh Ibnu Arabi sebagai agama cinta, ketika umat muslim berjamaah di Vatikan, para Paus mengadakan liturgi di kuil Sulaiman dan rabi-rabi Yahudi membenturkan keningnya dengan lembut di dinding Kabah. Saya rasa itu akan menjadi pemandangan yang menarik,” kata Yusron.

Karya ini dilhami oleh penampilan Bono, vokalis band U2, yang menutup matanya dengan kain bertuliskan ”Coexist” dan gambar bulan sabit, bintang Daud dan salib. Penampilan nyleneh Bono ini sering menjadi bahan perbincangan dalam diskusi-diskusi Kelompok Seni Rupa Magnet. Terkadang, Yusron juga menorehkan teks di dalam bidang-didang geometrisnya. Namun, teks ini berbeda dengan teks yang dibuat Deddy dalam lukisan-lukisannya.

”Deddy menemukan estetika dalam huruf dan teks-teks yang bertebaran dan mengeksplorasinya menjadi sebuah karya seni. Teks dalam lukisan saya kadang tak mempunyai arti dan tujuan. Itu seperti menulis surat dan kita tidak mempunyai alamat untuk dituju,” jelas Yusron.

Sementara Rocka Radipa alias Sigitblank, 32 tahun, memilih memindahkan siluet tubuhnya dalam lukisan-lukisan yang dipamerkan di Tujuh Bintang Art Space. Siluet dengan berbagai pose itu dipadu dengan garis, bulatan stau bidang-bidang geometris untuk memberi aksen gerak. Rocka memilih menggunakan tubuhnya sendiri, meski dalam bentuk siluet, sebagai medium untuk mengungkapkan pikiran, perasaan dan keinginan, termasuk kegelisahannya menemukan kebesaran Tuhan seperti pada lukisannya yang berjudul Mengutuk Tuhan dengan Hamdallah.

Di sini Rocka menampilkan siluet dirinya yang sedang bersujud dengan kedua tangan di belakang tubuhnya. ”Karya dari ketiga anggota Kelompok Seni Rupa Magnet ini lahir secara individual, namun merupakan hasil saling keterpaduan aneka rupa gagasan di antara mereka. Karya-karya mereka secara tematik saling berbeda,” tulis Mikke Susanto dalam pengantar kuratorialnya.
Heru CN
(Rwn)

Saturday, September 20, 2008

Pameran di Tujuh Bintang Art Space Yogya


Tujuhbintang Art Space. Wajah dua perempuan di atas kanvas itu sebenarnya cantik. Mata indah, hidung mancung dan bibir merah merekah dengan sederet gigi putih dan rapi. Namun, siapapun tak akan tahan menatapnya berlama-lama. Hanya beberapa detik menatap, kepala akan terasa pusing.

Wanita cantik yang membuat pusing itu karya Nurkholis, 39 tahun, berjudul Twin: Love Machine yang sedang dipamerkan di Tujuh Bintang Art Space Jl Sukonandi Yogyakarta. Nurkholis hanyalah satu dari 38 perupa yang menggelar pameran bareng bertajuk Indonesian Contemporary All Star 2008

Rasa pening itu akibat teknik optik yang diadopsi Nurkholis untuk menghasilkan karya lukisnya. Lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta 1994 dengan predikat cum laude itu, menggambar wajah dua wanita cantik yang berhadap-hadapan dengan masing-masing dua pasang mata dan dua mulut yang menganga. Hasil akhirnya, mirip sebuah foto yang dijepret dalam kondisi tidak stabil.

Pameran ini memberi satu pembelajaran kepada masyarakat. Sebab, selama ini, masyarakat terlalu banyak dipengaruhi oleh budaya dengar, baik untuk urusan politik maupun kenegaraan. Banyak rakyat yang tidak tahu siapa wakilnya di parlemen. "Yang mereka tahu hanyalah artis-artis cantik," jelas Nurkholis.

Budaya itu, kata Nurkholis, juga terjadi pada dunia senirupa Indonesia saat ini. Para kolektor berburu lukisan bukan karena pertimbangan kualitas karya, "Namun hanya sekadar mendengar pendapat orang lain bahwa karya si A bagus," ujarnya.

Dari 38 peserta pameran di Tujuh Bintang Art Space ini, sebagian besar karya dua dimensi. Hanya ada 11 karya tiga dimensi yang dipajang di galeri baru di kota Yogya ini. Satu diantara karya tiga dimensi yang menarik adalah, patung perunggu berjudul Kaki ke Langit karya Supar Madiyanto, 45 tahun.

Supar menghadirkan sepasang kaki setinggi mata kaki. Mulai dari pergelangan kaki, betis hingga paha diganti batang singkong tanpa daun. Dua batang singkong yang menjulang ke atas itu dihubungkan dengan tiga buah ranting dalam posisi horisontal yang diikat di kedua ujungnya. Detil karya itu diperoleh dari hasil cetakan batang singkong sungguhan.

Untuk memperoleh kesan tumbuh menjulang dari bawah ke atas, Supar sengaja menghadirkan batang singkong sungguhan. Sedangkan sepasang kaki adalah simbolisasi sesuatu yang selalu menginjak bumi. "Saya hanya ingin mengatakan bahwa sesuatu yang membumi itu bisa bertujuan ke atas," jelas Supar Madiayanto ihwal konsep karyanya.

Pameran pertama di Tujuh Bintang Art Space ini memajang karya-karya perupa yang sebagian besar tengah berkibar di jagad seni rupa Indonesia, seperti Entang Wiharso, Nyoman Sukari, Nasirun, S Teddy, Tisna Sanjaya, Ugo Untoro dan sebagainya.

Karya-karya yang dipajang di ruang pamer Tujuh Bintang Art Space sebenarnya tidak sepenuhnya mencerminkan selera pasar saat ini yang cenderung ke selera realis gaya Cina. "Banyak nama yang sebenarnya tidak cukup kuat di pasar ikut pada pameran ini,"

Sebaliknya, Kuss melihat pemilik galeri sebenarnya ingin menjadi transetter dunia seni rupa di Yogya. Pemilik tidak ingin terjebak pada tren seni rupa kontemporer gaya Cina. Itu sebabnya, lukisan bergaya abstrak seperti karya Widodo dan Hanafi serta lukisan bergaya realis karya Budi Ubrux, juga dihadirkan pada pameran ini.

Exhibitons at Tujuh Bintang Art Space Yogya


Tujuhbintang ArtSpace. Face two woman above that beautiful canvas in fact. Beautiful eye, nose of mancung red lip and do chap with natty and white tooth sederet. But, whoever will not hold up staring at him prolonging. Only some second stare at, head will felt is confused

Beautiful woman that make confused of masterpiece of Nurkholis, 39 year, entitling Twin: Love Machine which being displayed in Tujuhbintang Art Space Jl Sukonandi Yogyakarta. Nurkholis only one from 38 perupa which performing exhibition of bareng have coronet of Indonesian Contemporary All Star 2008

Feeling that dizzy effect of adopted by Nurkholis optic technique to yield its paint masterpiece. Artistic Grad Institute of Indonesia (ISI) Yogyakarta 1994 with that laude cum predikat, drawing face two beautiful woman which vis with each two eye tide and two mouth which open. Its end result, loo like a photo which is unstable shoot in a condition

This exhibition give one study to society. Because, during the time, society too much influenced by culture hear, good to political business and also political. Many people which do not know the who is its proxy in parliament. " What they know only beautiful artists," Nurkholis said.

Cultural that, word of Nurkholis, also happened in world of senirupa Indonesia in this time. All collector hunt painting not because of consideration of masterpiece quality, " But only merely hearing opinion of others that masterpiece the good A," he said

From 38 participant of exhibition in Tujuhbintang Art this Space, most masterpiece two dimension. There'S only 11 masterpiece three dimension which displaying in new galeri in town of Yogya this. One among masterpiece three interesting dimension, bronze idol entitle Kaki Ke Langit masterpiece of Supar Madiyanto, 45 year

Supar attend a couple of feet as high as ankle. Start from ankle, calf till thigh changed by cassava bar without leaf. Two cassava bar boosting to to the that attributed to three stick in horizontal position which girded upon by both its back part. that Masterpiece detail obtained from cassava bar printed material really

To obtain;get impression grow to boost from under to of, Supar intend to attend cassava bar really. While a couple of feet is something that symbolizing always step on earth. " I am only wishing to say that that earth something that can aim to to to the is," clear of Supar Madiayanto about its masterpiece concept

First exhibition in Tujuhbintang Art this Space of masterpieces display of artist mostly flaging in Indonesia fine arts world, like Entang Wiharso, Nyoman Sukari, Nasirun, S Teddy, Tisna Sanjaya, Ugo Untoro etcetera

Masterpieces which displaying in room exhibit Seven Star of Art Space in fact do not fully express market appetite in this time which tend to to Chinese style realist appetite. " Many name of which insufficient in fact strength in market follow at this exhibition

On the contrary, Kuss see owner of galeri in fact want to be fine arts world transetter in Yogya. Owner do not wish to be trapped by contemporary fine arts tren of Chinese style. That cause, dressy painting of abstraction like masterpiece of Widodo and of Hanafi and also dressy painting of Kindness masterpiece realist of Ubrux, is also attended at this exhibition.

Exhibitons at Tujuh Bintang Art Space Yogya


Tujuhbintang ArtSpace. Face two woman above that beautiful canvas in fact. Beautiful eye, nose of mancung red lip and do chap with natty and white tooth sederet. But, whoever will not hold up staring at him prolonging. Only some second stare at, head will felt is confused

Beautiful woman that make confused of masterpiece of Nurkholis, 39 year, entitling Twin: Love Machine which being displayed in Tujuhbintang Art Space Jl Sukonandi Yogyakarta. Nurkholis only one from 38 perupa which performing exhibition of bareng have coronet of Indonesian Contemporary All Star 2008

Feeling that dizzy effect of adopted by Nurkholis optic technique to yield its paint masterpiece. Artistic Grad Institute of Indonesia (ISI) Yogyakarta 1994 with that laude cum predikat, drawing face two beautiful woman which vis with each two eye tide and two mouth which open. Its end result, loo like a photo which is unstable shoot in a condition

This exhibition give one study to society. Because, during the time, society too much influenced by culture hear, good to political business and also political. Many people which do not know the who is its proxy in parliament. " What they know only beautiful artists," Nurkholis said.

Cultural that, word of Nurkholis, also happened in world of senirupa Indonesia in this time. All collector hunt painting not because of consideration of masterpiece quality, " But only merely hearing opinion of others that masterpiece the good A," he said

From 38 participant of exhibition in Tujuhbintang Art this Space, most masterpiece two dimension. There'S only 11 masterpiece three dimension which displaying in new galeri in town of Yogya this. One among masterpiece three interesting dimension, bronze idol entitle Kaki Ke Langit masterpiece of Supar Madiyanto, 45 year

Supar attend a couple of feet as high as ankle. Start from ankle, calf till thigh changed by cassava bar without leaf. Two cassava bar boosting to to the that attributed to three stick in horizontal position which girded upon by both its back part. that Masterpiece detail obtained from cassava bar printed material really

To obtain;get impression grow to boost from under to of, Supar intend to attend cassava bar really. While a couple of feet is something that symbolizing always step on earth. " I am only wishing to say that that earth something that can aim to to to the is," clear of Supar Madiayanto about its masterpiece concept

First exhibition in Tujuhbintang Art this Space of masterpieces display of artist mostly flaging in Indonesia fine arts world, like Entang Wiharso, Nyoman Sukari, Nasirun, S Teddy, Tisna Sanjaya, Ugo Untoro etcetera

Masterpieces which displaying in room exhibit Seven Star of Art Space in fact do not fully express market appetite in this time which tend to to Chinese style realist appetite. " Many name of which insufficient in fact strength in market follow at this exhibition

On the contrary, Kuss see owner of galeri in fact want to be fine arts world transetter in Yogya. Owner do not wish to be trapped by contemporary fine arts tren of Chinese style. That cause, dressy painting of abstraction like masterpiece of Widodo and of Hanafi and also dressy painting of Kindness masterpiece realist of Ubrux, is also attended at this exhibition.

Sunday, September 14, 2008

9月14日◇十五夜のセブンスター

Midori Art

 聞いたことのないギャラリーから案内状が届いた。 トゥジュ・ビンタン・アート・スペース(Tujuh Bintang Art Space)、「7つ星アートスペース」。案内状にあったサイトを確認したら、こんなにも派手な、ギャラリーってよりはカフェかぃ?ってな写真がある。こんな建物、ぐるぐるジョグジャの街を回ってる私も見たことないなぁ・・・と気になったので、オープニングに行ってみた。 断食月の今、展覧会のオープニングは日没の断食明けに合わせて始まることが多い。普通は午後7時半くらいから始まるところ、今日の展覧会は午後6時、つまり日没に合わせたオープン。私は断食とは無関係だけれど、断食明けならきっとスナック系が用意されているだろうと、弟分のモトを連れて出かけた。 新しいアートスペースは、意外にも私の家から近い場所の、大通りから中に入った場所にあった。入り口に立ってる見たことある顔のオッサンが声をかけてくる。「お~、ミドリ!来てくれたかぃ!」話しながら一生懸命思い出したら、このオッサン、ジョグジャカルタの国立アートセンターで勤めてる人じゃん。どうやらこのオッサンがもう一人の友達と共同で作ったスペースらしい。なるほど、少々センスが悪いのは、オッサン趣味だったんだな・・・ 今日の展覧会がこのスペース始まって2つめの展覧会だそうで、私が通ったISI(国立芸術学院)の卒業生3人のグループ展だった。こっちのオープニングは仰々しく入り口でテープカットしてみたり、オーナーの挨拶だのキュレーターの挨拶だのがあってからようやく会場に入れる。 午後6時にイスラム寺院から断食明けのサイレンが鳴って、スナック2種と紅茶をGET、客は絵を見るどころじゃない。一日食べてなかったから、食べるのに必死。そうしてるうちに、今日のオマケ、ジャズバンドの演奏が始まる。 そんなことしてるから、なかなかオープニングの挨拶が始まらない。ってると、今度は夕方の祈りの時間で、さらに寺院からコーランを詠む声が聞こえてきてジャズ演奏も中断。たかがギャラリーの展覧会を見るのに、午後6時に着いて会場に入れたのは午後7時半だった。 オランダ様式の古い家を改装してギャラリーにした空間は、部屋が入り組んでて天井低くて、ちょっと使いにくそう。そこに3人の作品をごっちゃにして展示してるから、余計に見にくい。いったいこのキュレーターはどんなセンスでこういう展示を考えているんだろうか。わからん・・・。 そういえば今日は十五夜。日本だったらススキと餅で月を愛でる夜か。断食明けにGETした菓子は焼き菓子一個と中華風緑豆のあんこ入り餅だった。これ食べてジャズ聴いて、まん丸お月さんを野外で見て、ジョグジャ版十五夜が楽しめた。気づけば展覧会の内容よりも、この餅の美味さに感動の夜だった。

The Barongsai



medium : Painting - Oil on canvas

size : 95 by 45

Price : Please contacted our email

Maker : Frans Towoliu

Horse II



Medium : Painting - Oil On Canvas

size : 59 by 71

Price : Please contacted our email

Maker : Frans Towoliu

The Manado Port



Status : For Sale

Price : Rp 1.500.000

Medium : Paiting - Oil On Canvas

size : 47 by 24

Maker : Frans Towoliu

The Frangipani




Medium : Painting - Oil On Canvas

Price : Rp 500.000

size : 32 by 21

Maker : Frans Towoliu

The Dragon Expression



Medium : Painting - Oil On Canvas

size : 96 by 63.5

Price : Rp 2.000.000

Maker : Frans Towoliu

The Horse I



Medium : Painting - Oil On Canvas

size : 99 by 64

Price : Rp 2.500.000

Maker : Frans Towoliu

The Shawl Dance



medium : Painting - Oil on canvas

size : 63 by 42

Price : Rp. 1.500.000

Maker : Frans Towoliu

The Rose



medium : Painting - Oil on canvas

size : 75 by 60

Price : Rp 1.500.000

Maker : Frans Towoliu

The Remnants Of The Natural Disaster 2007 Sangihe



medium : Painting - Oil on canvas

size : 45 by 52

Price : Rp 1.500.000

Maker : Frans Towoliu

Bunaken



medium : Painting - Oil on canvas

size : 146 by 65

Price : Rp 3.500.000

Maker : Frans Towoliu

Welcomed The Morning




medium : Painting - Oil on canvas

size : 50 by 40

Price : Rp 1.500.000

Maker : Frans Towoliu

The Yellow And Vermillion Canna Flower



medium : Painting - Oil on canvas

size : 70 by 70

Price : Rp 2.000.000

Maker : Frans Towoliu

The Lenso Dance



medium : Painting - Oil on canvas

size : 70 by 45

Price : Rp 1.500.000

Maker : Frans Towoliu

The Rooster II



medium : Painting - Oil on canvas

size : 62 by 48.5

Price : Rp 2.000.000

Maker : Frans Towoliu

The Fisherman's Village



medium : Painting - Oil on canvas

size : 140.5 by 60

Price : Rp 2.000.000

Maker : Frans Towoliu

Wong Cilik



medium : Painting - Oil on canvas

size : 88 by 76

Price : Rp. 2.500.000

Maker : Frans Towoliu

The Frangipani




medium : Painting - Oil on canvas

size : 48 by 39

Price : Rp 1.500.000

Maker : Frans Towoliu

The Photograph Of Village



medium : Painting - Oil on canvas

size : 49 by 40

Price : Please contacted our email

Maker : Frans Towoliu

The Touch Of The Love




medium : Painting - Oil on canvas

size : 71 by 49.5

Price : Rp 2.000.000

Maker : Frans Towoliu

The Rooster



medium : Painting - Oil on canvas

size : 62 by 48.5

Price : Rp 2.000.000

Maker : Frans Towoliu

Title : The Flower Aster

medium : Painting - Oil on canvas

size : 67 by 49

Price : Rp 1.500.000

Maker : Frans Towoliu

Title : The Lenso Dance

medium : Painting - Oil on canvas

size : 30 by 21

Price : Rp 500.000

Maker : Frans Towoliu

Not Your Old Boot !

"BOOT TOE"
by
Margie Whittington
This is one of nine boot pieces to make
up a newCanvas by Canvas
painting untitled as yet.
It is fun to watch as these
individual paintings
come together to form a large
impressive painting
done by nine different artists.
Go to http://www.canvasbycanvas.com/ and click on the
sneek peek and see other paintings in progress.
Ya'll Come Back !

Not Your Old Boot !

"BOOT TOE"
by
Margie Whittington
This is one of nine boot pieces to make
up a newCanvas by Canvas
painting untitled as yet.
It is fun to watch as these
individual paintings
come together to form a large
impressive painting
done by nine different artists.
Go to http://www.canvasbycanvas.com/ and click on the
sneek peek and see other paintings in progress.
Ya'll Come Back !

Tuesday, September 9, 2008

Representasi Ruang Kebudayaan

Oleh: Agus Bing
Majalah Gong

Posisi galeri dalam jagat seni rupa tak sekadar sebagai pemenuh kebutuhan ekonomi, tapi juga media pembelajaran kebudayaan. Bagaimana gagasan mengedepankan kualitas dengan tetap memikirkan pasar sekaligus?

Sebagai serambi kesenian, galeri adakalanya tidak beda dengan departement store. Eksistensinya diwarnai aktivitas jual-beli yang bermuara pada perhitungan untung rugi. Kendati pengetrapan sistem mencari ”laba” tidak dilakukan secara terang-terangan, namun tidak dipungkiri bila galeri adalah lahan perburuan uang yang cukup signifikan. Terbukti, tidak sedikit pelukis yang menjadi “kaya raya” akibat jaringan komersialisasi yang diciptakan galeri.

Namun demikian, lepas dari sifatnya yang kapitalistis, galeri pada dasarnya juga difungsikan sebagai ruang pembelajaran kebudayaan, di samping pembelajaran bidang pendidikan, sosial, politik, dan bidang ekonomi itu sendiri. Demi memahami fungsi galeri secara komprehensif, kiranya perlu mencermati pameran seni rupa yang digelar di galeri ”Tujuh Bintang Art Space” pada pertengahan Agustus silam.

Pameran yang diselenggarakan terkait dengan grand opening galeri tersebut tentunya tidak hanya ditujukan untuk menarik minat pembeli (kolektor), tapi juga dijadikan sarana membangun hubungan sosial, tempat mensosialisasikan karya seni yang ideal, ruang pencitraan identitas kebangsaan, serta ajang kajian seni yang apresiatif dan wadah aktualisasi seniman kreatif. Kenyataan ini membuktikan bahwa posisi galeri dalam jagat seni rupa tidak sekadar dijadikan pemenuh kebutuhan ekonomi, tapi juga media pembelajaran kebudayaan yang cukup penting.

Ruang Kebudayaan
Saat memasuki ruang galeri “Tujuh Bintang Art Space”, imajinasi seperti langsung digiring masuk ke dalam lorong kebudayaan nan luas dan dalam. Di mana seluruh lukisan yang dipamerkan, di antaranya karya Nasirun (mengusung tema dekoratif ekspresif) berjudul “Hiasan Pitulasan” (300 cmx200cm, oil on canvas), Gusti Alit Cakra (abstrak) berjudul “Tragedi Tanah yang Hilang” (150cmx180cm, oil, mix media on canvas), Susilo budi Purwanto berjudul “Rock n Roll Hard” (120cmx140cm, acrylic on canvas), Nurcholis,“V Twin Love Machine No.3” (30cmx145cmx2 panel, oil, acrylic on canvas), Koko P, Sancoko “Bunga #16” (150cmx150cm, oil, acrylic, pencil on canvas) dan lain-lain, tidak hanya sekedar menawarkan nilai-nilai estetis, tapi juga nilai-nilai semiotis. Karena, di balik keindahan karya rupa tersebut, secara subtansial mewacanakan nilai-nilai kebudayaan tidak hanya untuk kepentingan owner, seniman, pengamat seni maupun kolektor, tapi juga kepentingan masyarakat universal.

Artinya, melalui media lukisan, baik owner, seniman maupun pemilik modal tidak hanya mendapatkan keuntungan ekonomi, tetapi juga bisa memperluas jaringan kerja, tidak hanya dalam lingkup lokal dan nasional, tapi juga jaringan seni internasional. Sementara seniman, melalui galeri bisa mensosialisasikan karyanya pada masyarakat, dan sebaliknya juga, masyarakat akan mendapatkan informasi mengenai eksistensi seniman-seniman Indonesia sekaligus mengetahui perkembangan dan potensi seni budaya bangsanya. Inilah kira-kira yang penting dipahami terkait fungsi galeri yang tidak sekadar ruang “jualan” berhias sapuan cat warna-warni membentuk model, tekstur dan gaya. Lebih dari itu, juga merupakan sarana membangun hubungan sosial tidak hanya antara perupa dengan perupa, perupa dengan pemilik galeri, perupa dengan kolektor, perupa dengan pengamat seni, maupun perupa dengan masyarakat umum, tapi juga antara perupa dengan masyarakat seni dunia.

Bertolak dari hal tersebut, apa yang disampaikan oleh Saptoadi Nugroho menjadi penting. Bahwa, keberadaan galeri sebagai ruang kebudayaan tidak terbatas untuk kepentingan elemen-elemen yang berkaitan langsung dengan galeri. Tapi juga elemen-elemen lain yang berada di luar galeri, misalnya jaringan seni luar negeri. Oleh karena itu, maka yang penting dilakukan adalah menciptakan jaringan kerja, salah satunya lewat internet. Hal ini untuk mengantisipasi putusnya hubungan komunikasi antara seniman dengan jaringan luar negeri lantaran, tidak semua para perupa memiliki akses langsung. Ini cukup menarik, karena sangat memungkinkan semua negara, khususnya negara Eropa bisa menyaksikan buah karya para perupa Indonesia yang juga dikenal memiliki kapabelitas lumayan. “Jaringan antarseniman tentunya akan berdampak pada penciptaan citra Indonesia yang juga dikenal memiliki maestro seni rupa kelas dunia. Tentun saja, selain menjanjikan keuntungan finansial, hal ini akan menciptakan image positif mengenai eksistensi pelukis-pelukis dalam negeri,” kata Direktur Utama galeri “Tujuh Bintang Art Space” ini saat ditemui di ruang galeri yang penuh sesak pengunjung.

Tak Sekadar Menjual
Menilik peran galeri dan keberadaan lukisan yang dipamerkan, sebagaimana dipaparkan di atas, maka yang terpenting adalah tetap mempertahankan idealisme. Ibarat orang berjualan, barang yang dijual sebisa mungkin harus berkualitas dan memiliki daya jual. Karena hal tersebut bisa menciptakan brand dan gengsi, tidak hanya pada galeri tapi juga seniman yang terlibat. Maka, demi mencapai gagasan itu yang penting dilakukan adalah tetap memikirkan pasar sekaligus juga mengedepankan kwalitas.

Lantaran pemikiran tersebut, dalam memilih lukisan “Tujuh Bintang Art Space” tidak membatasi karya seni tertentu. Semua aliran bebas terlibat sepanjang tetap mengikuti aturan kuratorial. Sebagaimana yang disampaikan Kuss Indarto, bahwa sesungguhnya tidak ada yang khusus dari pameran tersebut. Karena semua karya, (tidak terkecuali yang beraliran realis) boleh ambil bagian dalam setiap pameran. Hanya saja, kurator akan tetap selektif memilih karya yang akan disertakan dalam pameran. Antara lain, track record perupa yang dilibatkan sedikitnya sudah mendapat pengakuan baik secara lokal, nasional, bahkan internasional. Demikian juga dengan karya yang akan dipamerkan, setidaknya harus memiliki visi ke depan, terutama tawaran kreativitasnya harus inovatif. “Lihat saja, karya-karya yang dipamerkan sesungguhnya berasal dari segala genre. Namun demikian yang diutamakan dalam pameran ini bukan semata-semata alirannya, tapi yang lebih penting adalah wacana yang dibangun para perupa,” ujar Kus Indarto di tengah-tengah perhelatan yang juga diramaikan oleh gelaran musik oleh komunitas Malioboro.

Apa yang disampaikan Kuss Indarto, secara implisit menegaskan bahwa dalam mengelola sebuah galeri yang lebih diutamakan sebaiknya kwalitas. Mengingat peran galeri tidak sekadar dijadikan arena “jual” lukisan, melainkan juga ajang mewacanakan nilai-nilai kebudayaan. Maka karya yang dipamerkan sebaikanya tetap menawarkan nilai-nilai karya seni yang appreciated dan qualified. Kalau tidak tentu akan mempersempit daya kreativitas seniman dan membatasi ruang gerak kebudayaan.

Friday, September 5, 2008

Budi Ubrux’s ‘mediated reality’

NAZLI AZIZ


I appreciate artworks with attention to detail and visual commentary. It reflects dedication, patience and intellectual thought, the three fundamental ingredients (in my opinion) to be successful in anything that you do. During my recent visit to Tujuh Bintang Art Space in Jogjakarta, I came across ‘Merdeka’ by Budi Ubrux.

Budi paints figures that are mummified in ‘daily newspapers’, expressing his concerns that if we were to rely literally on the information carried by our daily newspapers (which are often sensationalised) we will be absorbed into mediated realities, blinding us from the truth and blocking us from a balanced interpretation of the real world.

I marvel at his patience and technical proficiency in meticulously detailing the ‘text lines’ and capturing the light and shadows to project the crumple, crease and irregular folds of the body-wrapped newspaper.

He has also intelligently chose the right headlines and pictures to subtly communicate its sensationalized and dramatic nature.

My interpretation of this work is a group of men posing to celebrate their phenomenal conquest (or success), or what they perceived as such, in mediated reality. The reality or truth is in the fish, who is being conquered and being used as an object of pride and will end up being consumed. (Rwn)

Sunday, August 31, 2008

Blue Velvet 2007


Oil pastel 112 x 76 cm

This work is a finalist in the 2008 Jacaranda Drawing Prize, Grafton Regional Gallery, NSW, 24 October - 7 December 2008.
The exhibition will tour during 2009 - 2010. (At this stage the itinerary may be subject to change).

2008 Jacaranda Acquisitive Drawing Award Tour

University of the Sunshine Coast 26 March - 24 April 2009
Redcliffe Art Gallery 1 June - 4 July 2009
Gympie Regional Gallery 21 July - 30 August 2009
Mosman Regional Gallery 12 September - 11 October 2009
Coffs Harbour Regional Gallery 16 October - 29 November 2009
Latrobe City Gallery 13 December 2009 - 2 February 2010
Hawkesbury Regional Gallery 13 February 2010 - 7April 2010
Port Macquarie Hastings Regional Gallery 15 April 2010 - 9 June 2010

Tuesday, August 26, 2008




Title : The A Pair Of Chicken

medium : Painting - Oil on canvas

size : -

Price : Please contacted our email

Maker : Frans Towoliu


The jago by Frans Towoliu

Status : For Sale

Saturday, August 23, 2008

Swarm 2002


Synthetic polymer paint on 32 oval canvases, paired. Large: 25 x 20 cm each; small: 15 x 20 cm each. Overall dimensions approx. 172 x 194 cm. Click onto image to enlarge.

Installation view from the exhibition the enchanted forest - new gothic storytellers. A Geelong Gallery and NETS Victoria touring exibition. Guest curated by Jazmina Cininas. The exhibition also includes works by James Morrison, Milan Milojevic, Louise Weaver, Louisann Zahra-King and Jazmina Cininas.

Launch venue: Geelong Gallery, then touring to Bendigo Art Gallery, Shepparton Art Gallery, Latrobe Regional Gallery, Swan Hill Regional Art Gallery, Dubbo Regional Gallery and Tweed River Art Gallery during 2008-2009.

Swarm

Once in another time not so very long ago there were 16 sisters.

They lived with their widowed father and younger brother in a fine, respectable townhouse in a fine respectable street in a fine respectable suburb in a fine respectable town. But none of them could honestly say that they were happy or content. You see, while their father and brother were able to venture into the great world outside to study, work for a living and even have wonderful and exciting adventures, they were confined to their home, aside from an occasional shopping trip downtown under the watchful eye of their governess. Until such time as they were able to marry they were expected to oversee the running of the house and always be well presented and polite, especially if called upon to assist their father when he entertained his friends and colleagues. Certainly they had lessons, but their governess was under strict orders that they perfect their cooking and sewing skills (which were frankly appalling) rather than advance their learning in the arts or sciences.

Their father and brother were respected entomologists whose butterfly collection was famous worldwide. The daughters begged their father to let them help with the collection. They longed to venture out and join in the hunt and maybe discover and name some new species, even though they knew the credit would ultimately be given to their father and brother. That’s the way it was in the olden days, you see.

He finally relented and let them come along on a butterfly hunting expedition in the forest not far from their house. They had always longed to go there as they had heard that it was enchanted. When they arrived they had to admit there was indeed something magical and mysterious about it and longed to explore its hidden depths. But they knew they were there for a very specific reason and very soon they were completely engrossed in the task at hand. Their father was grudgingly impressed at their success. Well before the day’s end they had managed to capture a great many butterflies, every one of them a truly magnificent specimen. His daughters were thrilled, as it seemed that he might take them seriously at last.

They carried their prey home in jars with holes drilled in the lids. Late that afternoon, before hurrying off to the monthly meeting of the Entomological Society, their father and brother took the sisters upstairs to their laboratory and explained how to kill and mount their captives.

Thousands of specimens already collected by their father and brother were fastidiously pinned and arranged in a series of glass cases lining a huge room that, along with the laboratory, occupied the entire second storey of their house. With a sudden pang, the sisters had to admit that they felt a certain affinity with them. Their eyes then turned to the butterflies still fluttering gamely in their glass prisons and they knew at once that they couldn’t bear to kill them.

As one they moved to free them, knowing full well that their father would be furious and that in giving these beautiful creatures their freedom, they may have lost the chance to gain their own.

The oldest girl opened the window to their father’s study, and one by one they unscrewed the lids of the jars.

Instead of flying away, however, the butterflies flew madly around the room as if they had completely lost their bearings in the excitement of escape. But soon they gathered together to form a huge fluttering cloud of kaleidoscope colours. It was a marvellous sight. Over the gentle but determined sound of their beating wings, the girls could hear what sounded like a faint voice. They could not believe their ears. Ordinarily it would not have been audible to humans, but spoken collectively its sound was unmistakeable. ‘Join us’ they said. ‘Fly away with us and be free forever.’

The girls exchanged glances and in less time than the single beat of a butterfly’s wings their decision was made. One by one they followed the butterflies through the open window. But instead of plummeting downwards to almost certain death, they were wondrously, miraculously airborne, up, up, up into the orange coloured sky, a fantastical swarm, heading for freedom and happiness in the Enchanted Forest.

Friday, August 22, 2008

Indonesian Contemporary All Star 2008


The exhibition that held by the new gallery Tujuh Bintang Art Space, want to more focused in the contemporary artworks with the special touch in the young style from every artists. The artwork of contemporary fine art are artwork that on thematic can reflection the true situation at now. Painting just not renaissance. Contemporary have more free, more modern, trendy and newest.

Choosing “ Indonesian Contemporary All Star” for the title of this exhibition cause the attendance 38 artists that at this time was becoming “Star” the contemporary Indonesian current, artists that won various contests in and foreign and his work was exhibited also was owned by the collector down to foreign countries. Come from various areas in Indonesia with best artworks that become pride, currently they were ready to put forward best artworks

Their artwork were ready to treat the thirst for the art lovers and the public would best contemporary art on August 17 up to September 6 2008. In this exhibition that became the curator was one of the lovers of art and the famous collector that is Kuss Indarto and the exhibition will be opened by: Drs. Soewarno Wisetrotomo, the exhibition was opened for the public from Monday - on Sunday at 10.00 – 20.00.

Cessna 195 ~ 77 Victor ~ Wendell Eckert posted by Nancy Standlee

77 Victor
Acrylic Painting on canvas 6 9”x12”, framed at 40” x 31.5”


Canvas by Canvas became aware of the Wendell Eckert story because of one of our members, Maryann, and some of her many friends. In fact she knows just about anyone ever mentioned in our conversations, and many times we’ve heard her begin a story or interject into one of ours “They Used To Live In My Neighborhood” and we’ve abbreviated it to “Oh, it’s just one of Maryann’s TUTLIMN’s.”

So Wendell Eckert is known to us by way of a Maryann TUTLIMN. His daughter, Gretchen, gave Maryann a photo of his vintage Cessna 195, built in 1949, as a basis of our painting. The call numbers of the plane were 77 Victor and can be seen on the wing and the numbers are unique to that individual plane. It is the call number the towers use to direct the plane for landing or other orders.
The plane was built in 1949 and was used by Wendell as the lead plane for the US Forest service primarily in the Sequoia forest. His job was to strategically lead the bombers into the forest to drop the fire retardant. The US Forest Service referred to Wendell as the “Voice of the Sequoias” since he was the lead plane for forest fires for thirty years.

An admirer of Wendell, William (Tim) McMaster has a video of one of his flights on YouTube and he’s seen taking a beautiful bride for a celebratory flight. Wendell was 79 years old in this clip and he began flying in college in Wooster, Ohio and flew until the age of 82 in California, flying over 24,000 hours in his career. He died at age 91. He was born in 1916 in Youngstown, Ohio. Wendell’s house and the airport can be seen at the beginning of the clip in black and white and the photo was taken right after the war. When the war came, he was chosen to join the Army Air Corp in California and serve as flight instructor to countless cadets preparing for battle.

Mr. McMaster told Gretchen he put the video on YouTube with hopes she might enjoy it someday. He said “We loved your Dad very much”. The Cessna 195 is unique as it is a radial engine tail dragger and few of the planes have survived the years because the planes are very temperamental and require very experienced pilots.

Watch the video to see Wendell with the Cessna 195 and enjoy some good music with the ride.

http://www.youtube.com/watch?v=txCstdQpeuE

Gretchen and ZoAnn and Tim thank you for providing the information so that CBC could enjoy painting this work and getting to know your story.

Cessna 195 ~ 77 Victor ~ Wendell Eckert posted by Nancy Standlee

77 Victor
Acrylic Painting on canvas 6 9”x12”, framed at 40” x 31.5”


Canvas by Canvas became aware of the Wendell Eckert story because of one of our members, Maryann, and some of her many friends. In fact she knows just about anyone ever mentioned in our conversations, and many times we’ve heard her begin a story or interject into one of ours “They Used To Live In My Neighborhood” and we’ve abbreviated it to “Oh, it’s just one of Maryann’s TUTLIMN’s.”

So Wendell Eckert is known to us by way of a Maryann TUTLIMN. His daughter, Gretchen, gave Maryann a photo of his vintage Cessna 195, built in 1949, as a basis of our painting. The call numbers of the plane were 77 Victor and can be seen on the wing and the numbers are unique to that individual plane. It is the call number the towers use to direct the plane for landing or other orders.
The plane was built in 1949 and was used by Wendell as the lead plane for the US Forest service primarily in the Sequoia forest. His job was to strategically lead the bombers into the forest to drop the fire retardant. The US Forest Service referred to Wendell as the “Voice of the Sequoias” since he was the lead plane for forest fires for thirty years.

An admirer of Wendell, William (Tim) McMaster has a video of one of his flights on YouTube and he’s seen taking a beautiful bride for a celebratory flight. Wendell was 79 years old in this clip and he began flying in college in Wooster, Ohio and flew until the age of 82 in California, flying over 24,000 hours in his career. He died at age 91. He was born in 1916 in Youngstown, Ohio. Wendell’s house and the airport can be seen at the beginning of the clip in black and white and the photo was taken right after the war. When the war came, he was chosen to join the Army Air Corp in California and serve as flight instructor to countless cadets preparing for battle.

Mr. McMaster told Gretchen he put the video on YouTube with hopes she might enjoy it someday. He said “We loved your Dad very much”. The Cessna 195 is unique as it is a radial engine tail dragger and few of the planes have survived the years because the planes are very temperamental and require very experienced pilots.

Watch the video to see Wendell with the Cessna 195 and enjoy some good music with the ride.

http://www.youtube.com/watch?v=txCstdQpeuE

Gretchen and ZoAnn and Tim thank you for providing the information so that CBC could enjoy painting this work and getting to know your story.

Saturday, August 16, 2008

Menjelang Indonesian Contemporary 2008

Persiapan menjelang penyelenggaraan Indonesian Contemporary All Star 2008 mendekati garis finish. Karya-karya perupa ternama sudah mulai memasuki tahap display. Tim kreatif Tujuhbintang Art Space Yogyakarta terus bekerja keras tak kenal waktu.




Kepada insan seni, sekali lagi kami megharap kehadirannya besok malam tanggal 17 Agustus 2008 pukul 20:00 di Jl Sukonandi 7 Yogyakarta. Live Music dari Masanis Brown Sugar akan menghibur acara Grand Launching.
Ping your blog, website, or RSS feed for Free
My Ping in TotalPing.com
Feedage Grade B rated
Preview on Feedage: cheap-canvas-art Add to My Yahoo! Add to Google! Add to AOL! Add to MSN
Subscribe in NewsGator Online Add to Netvibes Subscribe in Pakeflakes Subscribe in Bloglines Add to Alesti RSS Reader
Add to Feedage.com Groups Add to Windows Live iPing-it Add to Feedage RSS Alerts Add To Fwicki