cheap canvas art,cheap canvas art,cheap canvas art prints,cheap canvas art for sale,cheap canvas art supplies,cheap canvas art online,cheap canvas art sets,cheap canvas art uk,cheap canvas art australia,cheap canvas art canada,cheap canvas art brisbane
Monday, October 26, 2009
Geelong Print Prize Exhibition, 2009
Left to right: Angela Cavalieri and Deborah Klein in front of Enchanted Hair Ornament #1 (Red Back Spider).
Angela was awarded the 2009 Geelong Print Prize for her artist's book La citta continue (2009).
The exhibition continues until 29 November, 2009.
Tafsir Ugal-ugalan Bambang Darto
BAMBANG DARTO DIKENAL SUKA MELUKISKAN KEMBALI PENJAGA MALAM KARYA REMBRANDT. DI SITU IA MENYUSUPKAN SOSOK DIRINYA SENDIRI SAMPAI TOMMY SOEHARTO.
MOHAMAD CHOLID
MANTAN REDAKTUR SENI DAN BUDAYA TEMPO
dari Koran Tempo edisi 26 Oktober 2009
Penjaga Malam karya Rembrant itu dilukis kembali oleh Bambang Darto dengan teknik realis luar biasa. Itulah pameran tunggal Bambang Darto: “Jejak-jejak Mitos”, di Tujuh Bintang Art Space Yogya, yang berlangsung pada 18-31 Oktober. Kita melihat lukisan itu begitu mirip dengan lukisan Rembrandt. Hanya, gambar orang-orang Eropa di masa lalu itu dia tambahi dengan seseorang berseragam satpam yang membawa sapu warna merah.
Oleh kuratornya, Wicaksono Adi, tokoh berseragam tersebut diinterpretasikan sebagai Tommy Soeharto karena sosoknya mirip. Namun, Bambang bilang lelaki itu benarbenar seorang petugas keamanan yang bekerja di perumahan mewah Kota Wisata, Cibubur, dan bersedia dijadikannya model. Selain satpam, model lokal lainnya adalah Bambang sendiri, yang menyamar atau menyusup menjadi pasukan penjaga malam mengenakan topi tinggi dan menggenggam senjata zaman Rembrandt (1606-1669).
Bambang lahir pada 1956 di Sukapura, tidak jauh dari Gunung Bromo di Jawa Timur. Bukan yang pertama bagi Bambang mengusik mitos Rembrandt, bahkan ini yang ketiga kalinya. Lima tahun silam, dia menggambar Penjaga Malam sesuai dengan yang dilukis Rembrandt, bedanya kali ini mereka bertugas di Republik Dagelan. Tokoh tambahan yang ditampilkan di situ ada dua penjahat masa kini yang diikat dan dibungkam mulutnya, serta seorang badut yang mirip badut-badut di pasar malam. Lukisan karya era 2004 ini ikut dipamerkan di Tujuh Bintang, dengan stempel sudah jadi koleksi Butet Kertaradjasa.
Penyusupan Bambang ke dalam rombongan Penjaga Malam pertama kali dia lakukan pada 1978. Selain melukis ulang karya Rembrandt, di situ dia menggambar seorang demonstran yang tewas tergeletak tertembak aparat. Bambang sendiri ada di mana? Dia memotret dirinya sedang duduk mencangkung bertopang dagu, tanpa bisa berbuat apa-apa. Harap maklum, 1978 adalah masa ketika demonstrasi-demonstrasi mahasiswa marak di mana-mana mencoba melawan rezim Orde Baru dengan korban berjatuhan, utamanya di Yogya dan Bandung. Lukisan ini tidak disertakan dalam pameran, barangkali karena kolektornya tidak bisa dijangkau oleh Bambang.
Apropriasi ala Bambang itu tidak hanya berhenti pada lukisan Rembrandt, tapi juga ke lukisan-lukisan terkenal Eropa lain. Cobalah telisik karya yang berjudul Kudaku Gagah Berani (akrilik di atas kanvas 290 x 180 sentimeter). Aslinya lukisan ini berjudul Bonaparte Crossing the Saint Bernard Pass, dibuat pada 1800-1801 oleh Jacques Louis David (1748-1825), pelukis Prancis yang sempat belajar di Italia dan terkenal dengan karya-karyanya bertema peristiwa penting dalam sejarah.
Dalam Kudaku Gagah Berani, yang naik kuda bukan Napoleon Bonaparte lagi, melainkan Bambang Darto sendiri. Gambarnya pun terdiri atas lebih dari satu sosok dengan komposisi bersusun di satu kanvas, bukan lagi gambar figur tunggal sebagaimana lukisan Bonaparte karya Louis David. Seperti pada lukisanlukisan Bambang lainnya, teknik realis yang dia kuasai dia eksploitasi benar. Hanya, barangkali karena “Bonaparte”-nya dari Jawa, yang tidak pernah terlibat dalam perang, maka ekspresi wajah si penunggang kuda, walaupun berkumis dan mengenakan pakaian ala Napoleon, apa boleh buat, agak mengesankan penunggang kuda lumping dalam pertunjukan jatilan.
Tapi Bambang memang tidak pernah berusaha tampil gagah, apalagi garang seperti serdadu, walaupun dalam kesehariannya kadang-kadang dia suka mengenakan pakaian army look. Bambang lebih mengesankan seorang pengelana soliter, yang gemar memasuki wilayah-wilayah yang tak bertepi, termasuk ke kawasan sensual atau yang dekat dengan pergaulan bersama wanita. Lihat karyanya, Aku dan Purwati (akrilik di atas kanvas 180 x 200 sentimeter, 2009), menampilkan kembali adegan The Courtship of Paris and Helen (1788) karya Louis David. Di situ Bambang tampil nyaris telanjang sebagai Paris yang duduk dengan tangan kiri memegang harpa dan tangan kanan merengkuh lengan Helen yang dianggapnya sebagai Purwati berambut pirang tanpa kutang.
Urusannya dengan perempuan tergambar lagi dalam Aku dan Dia (akrilik di atas kanvas 180 x 200 sentimeter, 2009) sebagai terjemahan atas Telemachus Farewell to Euchario (1818).
Sedangkan dalam Tanslation of Marilyn Monroe (akrilik di atas kanvas 150 x 200 sentimeter, 2009) dia membiarkan Marilyn Monroe seperti hendak bersimpuh di atas gumpalan awan dengan lima malaikat kecil, yang satu di antaranya menyunggi tengkorak. Lukisan yang tidak menampilkan diri sendiri ini merupakan terjemahan Bambang atas Maria Magdalena karya Joseph de Rivera.
Akan halnya The Death of Mara karya Louis David (1793), oleh Bambang ditampilkan kembali menjadi M 5 (baca: Mo Limo, artinya: maling, madat, madon (main perempuan), main (judi), dan mabuk). Pada karya dengan akrilik di atas kanvas 200 x 180 sentimeter buatan 2009 itu, tampang tokoh yang meninggal lunglai bukan Bambang, melainkan wajah perupa Bonyong Muni Ardhi, teman sejawatnya. Ada dua botol minuman keras teronggok di lantai, sementara tangan kiri si tokoh memegang kertas ramalan judi. Adapun Bonyong masih sehat, hobinya joging, dan makin aktif melukis setelah pensiun sebagai dosen di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo.
Yang menarik, karya Raden Saleh oleh Bambang juga diutak-atik. Dia menggambarkan kembali Hutan Terbakar karya Raden Saleh dengan judul Merah Bantengku (2009). Banteng yang gelisah karena panas hutan dia merahkan ditambah bar code di bokongnya, selayaknya barang dagangan.
Selain itu, ada Penangkapan Gus Dur (2002), yang gambarnya mirip lukisan Raden Saleh yang berjudul Penangkapan Diponegoro, tapi yang tampak dipapah turun dari pendopo adalah Gus Dur yang mengenakan celana pendek dan kaus dalam. Ini mengingatkan adegan ketika Abdurrahman Wahid dimakzulkan dari Istana Kepresidenan pada 2002.
Cara Bambang yang ugal-ugalan dan selalu melakukan interpretasi kembali atas semua kaidah seni rupa sungguh merupakan ciri khas Kelompok Seni Kepribadian Apa (PIPA), yaitu segerombolan seniman lintas matra (ada pelukis, pematung, dan pemusik) yang menggebrak khazanah seni pada 1977, 1978, dan 1999. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam kegiatan tersebut antara lain Haris Purnomo, Dede Eri Supria, Ronald Manullang, Bonyong Muni Ardhi (golongan perupa yang moncer namanya), dan termasuk Sapto Rahardjo (almarhum).
Selain ugal-ugalan, memberontak dengan guyon, ciri khas eksponen PIPA adalah mereka pada bisa menggambar realis dengan baik dan akademis karena mereka semua memperoleh pendidikan formal seni rupa (di ASRI, kini ISI, dan SSRI). Lalu PIPA juga dianggap memberikan pengaruh pada generasi perupa berikutnya sehingga diundang oleh Panitia Biennale X di Yogya, untuk tampil pada 10 Desember 2009 sampai 10 Januari 2010, sebagai kelompok.
Oleh kuratornya, Wicaksono Adi, tokoh berseragam tersebut diinterpretasikan sebagai Tommy Soeharto karena sosoknya mirip. Namun, Bambang bilang lelaki itu benarbenar seorang petugas keamanan yang bekerja di perumahan mewah Kota Wisata, Cibubur, dan bersedia dijadikannya model. Selain satpam, model lokal lainnya adalah Bambang sendiri, yang menyamar atau menyusup menjadi pasukan penjaga malam mengenakan topi tinggi dan menggenggam senjata zaman Rembrandt (1606-1669).
Bambang lahir pada 1956 di Sukapura, tidak jauh dari Gunung Bromo di Jawa Timur. Bukan yang pertama bagi Bambang mengusik mitos Rembrandt, bahkan ini yang ketiga kalinya. Lima tahun silam, dia menggambar Penjaga Malam sesuai dengan yang dilukis Rembrandt, bedanya kali ini mereka bertugas di Republik Dagelan. Tokoh tambahan yang ditampilkan di situ ada dua penjahat masa kini yang diikat dan dibungkam mulutnya, serta seorang badut yang mirip badut-badut di pasar malam. Lukisan karya era 2004 ini ikut dipamerkan di Tujuh Bintang, dengan stempel sudah jadi koleksi Butet Kertaradjasa.
Penyusupan Bambang ke dalam rombongan Penjaga Malam pertama kali dia lakukan pada 1978. Selain melukis ulang karya Rembrandt, di situ dia menggambar seorang demonstran yang tewas tergeletak tertembak aparat. Bambang sendiri ada di mana? Dia memotret dirinya sedang duduk mencangkung bertopang dagu, tanpa bisa berbuat apa-apa. Harap maklum, 1978 adalah masa ketika demonstrasi-demonstrasi mahasiswa marak di mana-mana mencoba melawan rezim Orde Baru dengan korban berjatuhan, utamanya di Yogya dan Bandung. Lukisan ini tidak disertakan dalam pameran, barangkali karena kolektornya tidak bisa dijangkau oleh Bambang.
Apropriasi ala Bambang itu tidak hanya berhenti pada lukisan Rembrandt, tapi juga ke lukisan-lukisan terkenal Eropa lain. Cobalah telisik karya yang berjudul Kudaku Gagah Berani (akrilik di atas kanvas 290 x 180 sentimeter). Aslinya lukisan ini berjudul Bonaparte Crossing the Saint Bernard Pass, dibuat pada 1800-1801 oleh Jacques Louis David (1748-1825), pelukis Prancis yang sempat belajar di Italia dan terkenal dengan karya-karyanya bertema peristiwa penting dalam sejarah.
Dalam Kudaku Gagah Berani, yang naik kuda bukan Napoleon Bonaparte lagi, melainkan Bambang Darto sendiri. Gambarnya pun terdiri atas lebih dari satu sosok dengan komposisi bersusun di satu kanvas, bukan lagi gambar figur tunggal sebagaimana lukisan Bonaparte karya Louis David. Seperti pada lukisanlukisan Bambang lainnya, teknik realis yang dia kuasai dia eksploitasi benar. Hanya, barangkali karena “Bonaparte”-nya dari Jawa, yang tidak pernah terlibat dalam perang, maka ekspresi wajah si penunggang kuda, walaupun berkumis dan mengenakan pakaian ala Napoleon, apa boleh buat, agak mengesankan penunggang kuda lumping dalam pertunjukan jatilan.
Tapi Bambang memang tidak pernah berusaha tampil gagah, apalagi garang seperti serdadu, walaupun dalam kesehariannya kadang-kadang dia suka mengenakan pakaian army look. Bambang lebih mengesankan seorang pengelana soliter, yang gemar memasuki wilayah-wilayah yang tak bertepi, termasuk ke kawasan sensual atau yang dekat dengan pergaulan bersama wanita. Lihat karyanya, Aku dan Purwati (akrilik di atas kanvas 180 x 200 sentimeter, 2009), menampilkan kembali adegan The Courtship of Paris and Helen (1788) karya Louis David. Di situ Bambang tampil nyaris telanjang sebagai Paris yang duduk dengan tangan kiri memegang harpa dan tangan kanan merengkuh lengan Helen yang dianggapnya sebagai Purwati berambut pirang tanpa kutang.
Urusannya dengan perempuan tergambar lagi dalam Aku dan Dia (akrilik di atas kanvas 180 x 200 sentimeter, 2009) sebagai terjemahan atas Telemachus Farewell to Euchario (1818).
Sedangkan dalam Tanslation of Marilyn Monroe (akrilik di atas kanvas 150 x 200 sentimeter, 2009) dia membiarkan Marilyn Monroe seperti hendak bersimpuh di atas gumpalan awan dengan lima malaikat kecil, yang satu di antaranya menyunggi tengkorak. Lukisan yang tidak menampilkan diri sendiri ini merupakan terjemahan Bambang atas Maria Magdalena karya Joseph de Rivera.
Akan halnya The Death of Mara karya Louis David (1793), oleh Bambang ditampilkan kembali menjadi M 5 (baca: Mo Limo, artinya: maling, madat, madon (main perempuan), main (judi), dan mabuk). Pada karya dengan akrilik di atas kanvas 200 x 180 sentimeter buatan 2009 itu, tampang tokoh yang meninggal lunglai bukan Bambang, melainkan wajah perupa Bonyong Muni Ardhi, teman sejawatnya. Ada dua botol minuman keras teronggok di lantai, sementara tangan kiri si tokoh memegang kertas ramalan judi. Adapun Bonyong masih sehat, hobinya joging, dan makin aktif melukis setelah pensiun sebagai dosen di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo.
Yang menarik, karya Raden Saleh oleh Bambang juga diutak-atik. Dia menggambarkan kembali Hutan Terbakar karya Raden Saleh dengan judul Merah Bantengku (2009). Banteng yang gelisah karena panas hutan dia merahkan ditambah bar code di bokongnya, selayaknya barang dagangan.
Selain itu, ada Penangkapan Gus Dur (2002), yang gambarnya mirip lukisan Raden Saleh yang berjudul Penangkapan Diponegoro, tapi yang tampak dipapah turun dari pendopo adalah Gus Dur yang mengenakan celana pendek dan kaus dalam. Ini mengingatkan adegan ketika Abdurrahman Wahid dimakzulkan dari Istana Kepresidenan pada 2002.
Cara Bambang yang ugal-ugalan dan selalu melakukan interpretasi kembali atas semua kaidah seni rupa sungguh merupakan ciri khas Kelompok Seni Kepribadian Apa (PIPA), yaitu segerombolan seniman lintas matra (ada pelukis, pematung, dan pemusik) yang menggebrak khazanah seni pada 1977, 1978, dan 1999. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam kegiatan tersebut antara lain Haris Purnomo, Dede Eri Supria, Ronald Manullang, Bonyong Muni Ardhi (golongan perupa yang moncer namanya), dan termasuk Sapto Rahardjo (almarhum).
Selain ugal-ugalan, memberontak dengan guyon, ciri khas eksponen PIPA adalah mereka pada bisa menggambar realis dengan baik dan akademis karena mereka semua memperoleh pendidikan formal seni rupa (di ASRI, kini ISI, dan SSRI). Lalu PIPA juga dianggap memberikan pengaruh pada generasi perupa berikutnya sehingga diundang oleh Panitia Biennale X di Yogya, untuk tampil pada 10 Desember 2009 sampai 10 Januari 2010, sebagai kelompok.
MOHAMAD CHOLID
MANTAN REDAKTUR SENI DAN BUDAYA TEMPO
dari Koran Tempo edisi 26 Oktober 2009
Labels:
Media
Ketika Bambang Darto Memplesetkan Mitos
Sejarah masa lalu, sering menjelma menjadi mitos. Bak cerita mitologi Yunani kuno. Plato, Socrates, Diponegoro bahkan Gus Dur pun –yang sebenarnya bagian dari sejarah— sering dipandang bagai mitos. Di tangan Bambang Darto, semuanya menjadi segar….
ERWAN WIDYARTO, Jogja
ERWAN WIDYARTO, Jogja
Salah satu lukisan Raden Saleh yang sangat terkenal berjudul Penangkapan Diponegoro. Lewat goresan di kanvasnya, Raden Saleh menggambarkan bagaimana Pangeran Diponegoro yangditangkap Belanda di Magelang ‘’ditangisi’’ sejumlah pendukungnya.
Di dalam imajinasi Bambang Darto, komposisi lukisan Raden Saleh itu ‘’direka ulang’’ dengan ‘’mengaktualkan isu. Dengan komposisi lukisanyang mirip, persis, Penangkapan Diponegoro pun menjadi Penangkapan Gus Dur. Gambar Diponegoro di lukisan Raden Saleh ‘’diganti’’ Gus Dur yang melambaikan tangan didampingi Yenni Wahid.
Gambar ini mengingatkan kita saat-saat terakhir Gus Dur sebagai presiden yang dilengserkan MPR. Ia pun memberi salam di depan Istana Presiden dengan hanya bercelana pendek. Teknis realis yang kuat dalam penggarapan lukisan ini, mampu menampakkan detail. Sehingga orang pun akan tersenyum melihat lukisan berukuran sekitar 1 x 2 meter ini.
Itu ‘’mitos’’ dari dalam negeri. Jejak sejarah yang juga menjadi semacam mitos dari masa lalu pun digarap Bambang Darto dengan penuh kesinisan. Salah satunya kisah Socrates. Socrates adalah seorang filosuf Yunani kuno yang hidup dalam rentang masa tahun 470-399 SM.
“Cogito Ergo Sum” begitu Socrates berucap bahwa dengan berpikir maka manusia akan diakui eksistensinya. Prinsip berpikir tiada henti, kritis, mempertanyakan segala sesuatu yang bertentangan dengan kekuasaan masyarakat dengan mengecam segala bentuk ketidakadilan inilah yang akhirnya mengakibatkan Socrates kehilangan nyawanya dengan dipaksa minum racun cemara saat berusia 70-an tahun.
Begitu tegarnya Socrates menghadapi kematian di depan matanya saat detik-detik menjelang ajal pelaksanaan hukuman minum racun. Tapi di tangan Bambang Darto, lukisan ‘’kematian’’ itu dipertanyakan secara kritis. Racun di tangan Socrates diganti dengan secawan minuman ringan yang sebenarnya begitu menguasai: Coca Cola.
Kita diajak berpikir oleh Bambang Darto. Berpikir secara kritis menyikapi gurita perusahaan multinasional yang begitu menguasai negeri ini. Yang, dalam banyak hal, mungkin sudah menjadi semacam racun bagi negeri ini.
Lewat karya-karyanya di pameran Jejak-Jejak Mitos yang digelar di Galeri Tujuh Bintang Artspace 18-21 Oktober di jalan Sukonandi 7 Jogja, Bambang Darto tak sekadar memplesetkan dan mengajak tertawa mitos yang telah ada. Meminjam perkataan kurator pameran ini Wicaksono Adi, Bambang Darto hendak ambil bagian dalam proses pengabadian mitos tersebut dengan cara memain-mainkan lalu ‘’menambahi’’ bagian-bagian tertentu dari keabadian yang sudah baku tersebut.
Memasuki ruang pameran, kita langsung disuguhi dua lukisan besar yang juga bernuansa mitos atau legenda Yunani kuno. Tapi, wajah-wajah tokoh legenda itu sudah diganti dengan wajah milik Bambang Darto sendiri dengan gambar perempuan. Ia beri judul lukisan itu Aku dan Dia.
Lalu, ada pula lukisan dengan memplesetkan Butet Kartaredjasa dan Jadug Feriyanto dalam judul Penjaga Malam #2. Ada Madonna dan sebagainya. Begitulah, dengan kepiawaian teknis melukisnya Bambang Darto memain-mainkan kisah masa lalu itu menjadi menarik dan segar.
Di dalam imajinasi Bambang Darto, komposisi lukisan Raden Saleh itu ‘’direka ulang’’ dengan ‘’mengaktualkan isu. Dengan komposisi lukisanyang mirip, persis, Penangkapan Diponegoro pun menjadi Penangkapan Gus Dur. Gambar Diponegoro di lukisan Raden Saleh ‘’diganti’’ Gus Dur yang melambaikan tangan didampingi Yenni Wahid.
Gambar ini mengingatkan kita saat-saat terakhir Gus Dur sebagai presiden yang dilengserkan MPR. Ia pun memberi salam di depan Istana Presiden dengan hanya bercelana pendek. Teknis realis yang kuat dalam penggarapan lukisan ini, mampu menampakkan detail. Sehingga orang pun akan tersenyum melihat lukisan berukuran sekitar 1 x 2 meter ini.
Itu ‘’mitos’’ dari dalam negeri. Jejak sejarah yang juga menjadi semacam mitos dari masa lalu pun digarap Bambang Darto dengan penuh kesinisan. Salah satunya kisah Socrates. Socrates adalah seorang filosuf Yunani kuno yang hidup dalam rentang masa tahun 470-399 SM.
“Cogito Ergo Sum” begitu Socrates berucap bahwa dengan berpikir maka manusia akan diakui eksistensinya. Prinsip berpikir tiada henti, kritis, mempertanyakan segala sesuatu yang bertentangan dengan kekuasaan masyarakat dengan mengecam segala bentuk ketidakadilan inilah yang akhirnya mengakibatkan Socrates kehilangan nyawanya dengan dipaksa minum racun cemara saat berusia 70-an tahun.
Begitu tegarnya Socrates menghadapi kematian di depan matanya saat detik-detik menjelang ajal pelaksanaan hukuman minum racun. Tapi di tangan Bambang Darto, lukisan ‘’kematian’’ itu dipertanyakan secara kritis. Racun di tangan Socrates diganti dengan secawan minuman ringan yang sebenarnya begitu menguasai: Coca Cola.
Kita diajak berpikir oleh Bambang Darto. Berpikir secara kritis menyikapi gurita perusahaan multinasional yang begitu menguasai negeri ini. Yang, dalam banyak hal, mungkin sudah menjadi semacam racun bagi negeri ini.
Lewat karya-karyanya di pameran Jejak-Jejak Mitos yang digelar di Galeri Tujuh Bintang Artspace 18-21 Oktober di jalan Sukonandi 7 Jogja, Bambang Darto tak sekadar memplesetkan dan mengajak tertawa mitos yang telah ada. Meminjam perkataan kurator pameran ini Wicaksono Adi, Bambang Darto hendak ambil bagian dalam proses pengabadian mitos tersebut dengan cara memain-mainkan lalu ‘’menambahi’’ bagian-bagian tertentu dari keabadian yang sudah baku tersebut.
Memasuki ruang pameran, kita langsung disuguhi dua lukisan besar yang juga bernuansa mitos atau legenda Yunani kuno. Tapi, wajah-wajah tokoh legenda itu sudah diganti dengan wajah milik Bambang Darto sendiri dengan gambar perempuan. Ia beri judul lukisan itu Aku dan Dia.
Lalu, ada pula lukisan dengan memplesetkan Butet Kartaredjasa dan Jadug Feriyanto dalam judul Penjaga Malam #2. Ada Madonna dan sebagainya. Begitulah, dengan kepiawaian teknis melukisnya Bambang Darto memain-mainkan kisah masa lalu itu menjadi menarik dan segar.
Oleh ERWAN WIDYARTO
Labels:
Media
Wednesday, October 21, 2009
Bambang Darto “Cipta Ulang” Karya Rembrandt
OLEH: YUYUK SUGARMAN
Yogyakarta - Di tengah hiruk-pikuk perhelatan seni rupa untuk mempersiapkan perhelatan akbar Biennale Jogja X di Yogya belakangan ini, sebuah pameran yang membawa suasana lain muncul di Tujuh Bintang Art Space, Minggu (18/10) malam.
Bambang Darto, seniman yang sudah aktif berkarya pada akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an menampilkan karya-karyanya yang terinspirasi karya lukisan klasik seperti Rembrandt atau Jacques-Louis David (seorang pelukis neoklasik abad 18).
Secara kasat Anda akan dapat melihat karya Bambang Darto, lelaki kelahiran Probolinggo, Jawa Timur, 5 Januari 1956 ini menyajikan karya Rembrandt ataupun David dalam bentuknya yang asli. Meski begitu, secara jelas pun terlihat ada tambahan yang bisa dikatakan elemen baru yang muncul pada–kalau boleh dibilang–karya reproduksi.
“Tapi, yang ia lakukan tidak dengan merusak atau mengacak-acak karya-karya klasik yang diagung-agungkan itu, melainkan dengan menciptakan ulang secara utuh,” terang Wicaksono Adi, kurator pada pameran tunggal Bambang Darto yang bertajuk “Jejak-jejak Mitos” ini. Dengan begitu, lanjut Wicaksono Adi, ia menjadi semacam rekonstruksi dari karya-karya besar sebagai bentuk penghormatan sekaligus personifikasi terbatas terhadap karya-karya tersebut. Dan memang, setelah dipublikasikan selama bertahun-tahun atau berabad-abad, karya-karya besar itu pada akhirnya telah menjadi milik publik. Milik sejarah, tegas Wicaksono.
Pada pameran tersebut, Bambang Darto menyelipkan potret dirinya yang ditempatkan sedemikian rupa sehingga melebur dengan karya klasik yang ia reproduksi dari para maestro tersebut. “Bambang Darto mengambil bagian dalam proses pengabadian mitos tersebut dengan cara memain-mainkan dan ‘menambahi’ bagian-bagian tertentu dari keabadian yang sudah baku tersebut,” tutur Wicaksono Adi lagi.
Begitulah adanya. Kalau kita amati pada lukisan yang berjudul “Bambang Socrates” yang merupakan pengubahan dari lukisan karya Jacques-Louis David yang berjudul The Death of Socrates, hal ini terlihat jelas. Di sini sosok filsuf yang ternama dan mati (Socrates) karena minum racun ini menjelma menjadi sosok Bambang Darto. Sementara itu, lukisan berjudul “Penunggang Kuda” adalah merupakan versi lain dari karya David yang berjudul “Bonaparte Crossing The Saint-Bernard Pass”. Lagi-lagi, sosok Napoleon Bonaparte berubah menjadi sosok Bambang Darto. Demikian pula wajah Bambang Darto tampil dalam lukisan “Selingkuh” yang merupakan versi lain karya David berjudul “The Courtship of Paris and Helen”.
Kalau kita melihat sosok Bambang Darto sendiri juga sudah tak asing di dunia blantika seni rupa. Ia pernah bergabung dalam suatu kelompok yang menamakan diri Kepribadian Apa (PIPA) di Yogya. Tokoh-tokoh yang berada di kelompok ini di antaranya Gendut Riyanto (almarhum), Ronald Manulang, Moelyono, Bonyong Munni Ardi, Dede Eri Supria, Haris Purnomo, Budi Sulistio, dan Hari Budiono. Bambang bersama kelompoknya ini kala itu membawa misi menggugat kemapanan para seniman senior (terutama di ASRI) yang mereka anggap telah mengalami kemandekan. “Mereka beranggapan gagasan dan konsep para senior itu telah mengalami semacam kejumudan sehingga telah menjadi sejenis belenggu kreativitas,” tutur Wicaksono Adi.
Dia menambahkan, kelompok mereka juga menganggap pikiran serta karya-karya para senior itu mereka anggap tidak berkaitan secara langsung dengan realitas kehidupan masyarakat yang ada pada saat itu. Wicaksono Adi juga menjelaskan, kelompok Bambang Darto ini juga melakukan gugatan terhadap situasi sosial-politik, di mana situasi represif terjadi akibat hegemoni dan dominasi negara Orde Baru yang kian meluas. Bagaimana pun pada akhir tahun 1970-an itu rezim Orde Baru sedang berada dalam tahap akhir konsolidasi sehingga negara menjadi pengendali tunggal segala hajat hidup orang banyak. Begitulah Bambang Darto mengekspresikan diri dalam kanvas yang kini dipamerkan di Tujuh Bintang Art Space hingga 31 Oktober mendatang.
Setelah pameran tunggal ini, kata Wicaksono, kita akan menunggu apa yang akan dilakukan Bambang Darto selanjutnya. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ia menyusup lebih dalam di balik tumpukan jejak mitos tersebut. “Ya, kita akan menunggu karya-karya berikutnya, tentu dengan berbagai kemungkinan media yang lebih kaya berikut elemen-elemen visual yang lebih menantang pula. Semoga,” ujar Wicaksono Adi.
Dari Sinar Harapan edisi 21 oktober 2009
Bambang Darto, seniman yang sudah aktif berkarya pada akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an menampilkan karya-karyanya yang terinspirasi karya lukisan klasik seperti Rembrandt atau Jacques-Louis David (seorang pelukis neoklasik abad 18).
Secara kasat Anda akan dapat melihat karya Bambang Darto, lelaki kelahiran Probolinggo, Jawa Timur, 5 Januari 1956 ini menyajikan karya Rembrandt ataupun David dalam bentuknya yang asli. Meski begitu, secara jelas pun terlihat ada tambahan yang bisa dikatakan elemen baru yang muncul pada–kalau boleh dibilang–karya reproduksi.
“Tapi, yang ia lakukan tidak dengan merusak atau mengacak-acak karya-karya klasik yang diagung-agungkan itu, melainkan dengan menciptakan ulang secara utuh,” terang Wicaksono Adi, kurator pada pameran tunggal Bambang Darto yang bertajuk “Jejak-jejak Mitos” ini. Dengan begitu, lanjut Wicaksono Adi, ia menjadi semacam rekonstruksi dari karya-karya besar sebagai bentuk penghormatan sekaligus personifikasi terbatas terhadap karya-karya tersebut. Dan memang, setelah dipublikasikan selama bertahun-tahun atau berabad-abad, karya-karya besar itu pada akhirnya telah menjadi milik publik. Milik sejarah, tegas Wicaksono.
Pada pameran tersebut, Bambang Darto menyelipkan potret dirinya yang ditempatkan sedemikian rupa sehingga melebur dengan karya klasik yang ia reproduksi dari para maestro tersebut. “Bambang Darto mengambil bagian dalam proses pengabadian mitos tersebut dengan cara memain-mainkan dan ‘menambahi’ bagian-bagian tertentu dari keabadian yang sudah baku tersebut,” tutur Wicaksono Adi lagi.
Begitulah adanya. Kalau kita amati pada lukisan yang berjudul “Bambang Socrates” yang merupakan pengubahan dari lukisan karya Jacques-Louis David yang berjudul The Death of Socrates, hal ini terlihat jelas. Di sini sosok filsuf yang ternama dan mati (Socrates) karena minum racun ini menjelma menjadi sosok Bambang Darto. Sementara itu, lukisan berjudul “Penunggang Kuda” adalah merupakan versi lain dari karya David yang berjudul “Bonaparte Crossing The Saint-Bernard Pass”. Lagi-lagi, sosok Napoleon Bonaparte berubah menjadi sosok Bambang Darto. Demikian pula wajah Bambang Darto tampil dalam lukisan “Selingkuh” yang merupakan versi lain karya David berjudul “The Courtship of Paris and Helen”.
Kalau kita melihat sosok Bambang Darto sendiri juga sudah tak asing di dunia blantika seni rupa. Ia pernah bergabung dalam suatu kelompok yang menamakan diri Kepribadian Apa (PIPA) di Yogya. Tokoh-tokoh yang berada di kelompok ini di antaranya Gendut Riyanto (almarhum), Ronald Manulang, Moelyono, Bonyong Munni Ardi, Dede Eri Supria, Haris Purnomo, Budi Sulistio, dan Hari Budiono. Bambang bersama kelompoknya ini kala itu membawa misi menggugat kemapanan para seniman senior (terutama di ASRI) yang mereka anggap telah mengalami kemandekan. “Mereka beranggapan gagasan dan konsep para senior itu telah mengalami semacam kejumudan sehingga telah menjadi sejenis belenggu kreativitas,” tutur Wicaksono Adi.
Dia menambahkan, kelompok mereka juga menganggap pikiran serta karya-karya para senior itu mereka anggap tidak berkaitan secara langsung dengan realitas kehidupan masyarakat yang ada pada saat itu. Wicaksono Adi juga menjelaskan, kelompok Bambang Darto ini juga melakukan gugatan terhadap situasi sosial-politik, di mana situasi represif terjadi akibat hegemoni dan dominasi negara Orde Baru yang kian meluas. Bagaimana pun pada akhir tahun 1970-an itu rezim Orde Baru sedang berada dalam tahap akhir konsolidasi sehingga negara menjadi pengendali tunggal segala hajat hidup orang banyak. Begitulah Bambang Darto mengekspresikan diri dalam kanvas yang kini dipamerkan di Tujuh Bintang Art Space hingga 31 Oktober mendatang.
Setelah pameran tunggal ini, kata Wicaksono, kita akan menunggu apa yang akan dilakukan Bambang Darto selanjutnya. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ia menyusup lebih dalam di balik tumpukan jejak mitos tersebut. “Ya, kita akan menunggu karya-karya berikutnya, tentu dengan berbagai kemungkinan media yang lebih kaya berikut elemen-elemen visual yang lebih menantang pula. Semoga,” ujar Wicaksono Adi.
Dari Sinar Harapan edisi 21 oktober 2009
Labels:
Media
Tuesday, October 20, 2009
Mencuri Ikon Lawas
PELUKIS BAMBANG DARTO MEMPRAKTEKKAN
APROPRIASI DENGAN MEMBERI MAKNA BARU.
APROPRIASI DENGAN MEMBERI MAKNA BARU.
Seorang lelaki berkostum Romawi memeluk gadis buta yang sedang menyorongkan wadah meminta sedekah. Wajah lelaki berkumis pada lukisan berjudul Pengemis itu adalah wajah pelukis Bambang Darto, 53 tahun. Pengemis adalah satu dari 13 lukisan karya Bambang Darto pada pameran tunggal bertajuk “Jejak-jejak Mitos” di Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta, 18-31 Oktober 2009.
Lukisan Pengemis itu sebenarnya adalah “duplikasi” lukisan karya Jacques-Louis David, seorang perupa neoklasik abad ke-18, berjudul Belisarius (1781). Lukisan ini menggambarkan adegan seorang gadis kecil buta bersama seorang lelaki tua sedang mengemis di pinggir jalan.
Bedanya, wajah lelaki tua pada Belisarius itu diganti dengan wajah Bambang Darto pada Pengemis. Toh Darto, panggilannya, lupa akan judul lukisan aslinya. “Itu tak penting. Yang penting makna barunya,” kata dia saat ditemui di sela-sela persiapan pameran kemarin. Ia ingin menyindir situasi Indonesia kini yang masih suka mengemis kepada bangsa lain. Visualisasi masa lalu menjadi aktual lewat simbol peci dan pin merah-putih.
Darto “mencuri” karya David untuk memberi makna baru. Dalam seni rupa, praktek ini disebut apropriasi, yakni praktek menciptakan karya baru dengan cara mengambil ikon seni yang sudah ada sebelumnya. Perupa memperlakukan ikon seni itu sesuai dengan keinginannya. Ikon itu diolah dan dimanipulasi sehingga menjadi karya berbeda, baik dari dari segi visual maupun maknanya.
Dalam sejarah seni rupa, karya Leonardo da Vinci, Monalisa, sering menjadi sasaran apropriasi. Pelukis surealis Salvador Dali mengganti wajah Monalisa dengan potret dirinya berhiaskan kumis melengkung ke atas dan mata melotot. Praktek apropriasi menguat saat pop art merebak pada 1960-an. Di Indonesia, pop art diserap oleh banyak seniman pemberontak lewat Gerakan Seni Rupa Baru pada 1970-an, kemudian dilanjutkan oleh kelompok Kepribadian Apa (PIPA) di Yogyakarta.
Darto tergabung dengan PIPA. Pada 1978, Darto “mencuri” karya Rembrant bertajuk Penjaga Malam, dengan menambahkan tubuh mirip mahasiswa yang mati tertembak terbaring di depan figur asli Penjaga Malam itu. Di antara serdadu yang menonton tubuh mahasiswa itu, ada figur Darto yang sedang termangu.
Pada 2009, ia mencuri kembali Penjaga Malam dengan bentuk berbeda. Pada Penjaga Malam III ini muncul laki-laki berseragam satuan keamanan bersenjatakan sapu di tengah Penjaga Malamnya Rembrant. Wajahnya mirip Tommy Soeharto. “Di sini wibawa itu dilucuti dengan cara menggambarkan sang pangeran berseragam satpam yang tidak memegang bedil, melainkan sapu,” tulis Adi Wicaksono dalam kuratorial pameran.
Sebagian besar lukisan karya Darto adalah apropriasi karya Jacques-Louis David. Ada karya berjudul Bambang Socrates, apropriasi The Death of Socrates. Ilmuwan itu terbelalak matanya di depan perempuan yang tergeletak hanya mengenakan pakaian dalam. Darto juga menyusup dalam karya Raden Saleh lewat karya Merah Bantengku dan Penangkapan Gus Dur.
Koran Tempo 19 Oktober 2009
Lukisan Pengemis itu sebenarnya adalah “duplikasi” lukisan karya Jacques-Louis David, seorang perupa neoklasik abad ke-18, berjudul Belisarius (1781). Lukisan ini menggambarkan adegan seorang gadis kecil buta bersama seorang lelaki tua sedang mengemis di pinggir jalan.
Bedanya, wajah lelaki tua pada Belisarius itu diganti dengan wajah Bambang Darto pada Pengemis. Toh Darto, panggilannya, lupa akan judul lukisan aslinya. “Itu tak penting. Yang penting makna barunya,” kata dia saat ditemui di sela-sela persiapan pameran kemarin. Ia ingin menyindir situasi Indonesia kini yang masih suka mengemis kepada bangsa lain. Visualisasi masa lalu menjadi aktual lewat simbol peci dan pin merah-putih.
Darto “mencuri” karya David untuk memberi makna baru. Dalam seni rupa, praktek ini disebut apropriasi, yakni praktek menciptakan karya baru dengan cara mengambil ikon seni yang sudah ada sebelumnya. Perupa memperlakukan ikon seni itu sesuai dengan keinginannya. Ikon itu diolah dan dimanipulasi sehingga menjadi karya berbeda, baik dari dari segi visual maupun maknanya.
Dalam sejarah seni rupa, karya Leonardo da Vinci, Monalisa, sering menjadi sasaran apropriasi. Pelukis surealis Salvador Dali mengganti wajah Monalisa dengan potret dirinya berhiaskan kumis melengkung ke atas dan mata melotot. Praktek apropriasi menguat saat pop art merebak pada 1960-an. Di Indonesia, pop art diserap oleh banyak seniman pemberontak lewat Gerakan Seni Rupa Baru pada 1970-an, kemudian dilanjutkan oleh kelompok Kepribadian Apa (PIPA) di Yogyakarta.
Darto tergabung dengan PIPA. Pada 1978, Darto “mencuri” karya Rembrant bertajuk Penjaga Malam, dengan menambahkan tubuh mirip mahasiswa yang mati tertembak terbaring di depan figur asli Penjaga Malam itu. Di antara serdadu yang menonton tubuh mahasiswa itu, ada figur Darto yang sedang termangu.
Pada 2009, ia mencuri kembali Penjaga Malam dengan bentuk berbeda. Pada Penjaga Malam III ini muncul laki-laki berseragam satuan keamanan bersenjatakan sapu di tengah Penjaga Malamnya Rembrant. Wajahnya mirip Tommy Soeharto. “Di sini wibawa itu dilucuti dengan cara menggambarkan sang pangeran berseragam satpam yang tidak memegang bedil, melainkan sapu,” tulis Adi Wicaksono dalam kuratorial pameran.
Sebagian besar lukisan karya Darto adalah apropriasi karya Jacques-Louis David. Ada karya berjudul Bambang Socrates, apropriasi The Death of Socrates. Ilmuwan itu terbelalak matanya di depan perempuan yang tergeletak hanya mengenakan pakaian dalam. Darto juga menyusup dalam karya Raden Saleh lewat karya Merah Bantengku dan Penangkapan Gus Dur.
Labels:
Media
Monday, October 12, 2009
Pameran Tunggal Bambang Darto
PERS RELEASE
Kurator : Wicaksono Adi
Pembukaan : Minggu, 18 Oktober 2009 pukul 19:30
Tempat : Tujuh Bintang Art Space
Jl. Sukonandi 7 Yogyakarta 55166
Musik : Hadi Soesanto, SE
Pameran : Tanggal 18 - 31 Oktober 2009 - pukul 10:00 – 20:00 WIB
---------------------------------------------------------------------
Pembukaan : Minggu, 18 Oktober 2009 pukul 19:30
Tempat : Tujuh Bintang Art Space
Jl. Sukonandi 7 Yogyakarta 55166
Musik : Hadi Soesanto, SE
Pameran : Tanggal 18 - 31 Oktober 2009 - pukul 10:00 – 20:00 WIB
---------------------------------------------------------------------
Karya-karya Bambang Darto lebih dekat sebagai bentuk permainan visual terbatas dari karya-karya yang telah menjadi klasik. Dan publik mungkin tidak akan tahu dan tidak mengenali bahwa salah satu objek dalam lukisan Bambang Darto adalah sosok si pelukisnya. Bahkan orang akan menyangka bahwa karya-karya itu merupakan duplikat atau semacam reproduksi yang prima, dengan perubahan di sana-sini, dari karya-karya klasik tersebut. Jika dulu orang percaya pada otentisitas dan orisinalitas karya seni sebagai buah cipta seorang genius, kini Bambang Darto justru melanggar anggapan semacam itu. Dan cara yang ia lakukan tidak dengan merusak atau mengacak-acak karya-karya klasik yang diagung-agungkan itu melainkan dengan menciptakan ulang secara utuh.
Personalitas (potret diri) seorang pelukis tidak hadir dalam ruang kosong melainkan hadir dalam haribaan berbagai karya yang sudah ada. Ia dapat hadir dalam karya orang lain yang dapat diperlakukan sebagai karya sendiri. Itulah cara yang ingin saya sebut sebagai permainan dalam ketertiban teknikal dari disiplin konvensional rupawi yang sudah mapan. Maka ia menjadi semacam rekonstruksi dari karya-karya besar sebagai bentuk penghormatan sekaligus personifikasi terbatas terhadap karya-karya tersebut. Dan memang, setelah dipublikasikan selama bertahun-tahun atau berabad-abad, maka karya-karya besar itu pada akhirnya telah menjadi milik publik. Milik sejarah.
Dan tanpa ragu-ragu Bambang Darto ingin hadir dalam sejarah itu. Dia menyusup dengan cara yang halus sehingga orang lupa bahwa dirinya adalah seorang penyusup. (Aku ada di sana, berada di dalam sejarah yang diciptakan oleh orang-orang sebelum diriku). Dan sejarah yang diciptakan oleh para maestro itu terkadang menjelma menjadi semacam mitos yang coba diabadikan oleh generasi-generasi berikutnya sehingga menjadi semacam ”keabadian buatan” pula. Dan kini seorang pelukis bernama Bambang Darto hendak ambil bagian dalam proses pengabadian mitos tersebut dengan cara memain-mainkan lalu dan”menambahi” bagian-bagian tertentu dari keabadian yang sudah baku tersebut.
Itulah personalitas yang dibuat samar-samar hingga nyaris tak terbaca. Suatu cara yang sangat halus untuk membuat tafsir bebas terhadap mitos yang coba terus diabadikan oleh para kreator di zaman yang dipenuhi oleh replika segala hal. Berhadapan dengan karya-karya semacam itu kita dibawa masuk pada berbagai sensasi eksotik dari replika keabadian yang telah menjadi milik siapa saja. Si seniman tak berambisi untuk menciptakan keabadian baru, karena ambisi semacam itu kini juga telah menjadi mitos kosong. Yang ada hanyalah celah-celah kosong di mana orang dapat menyusun ulang personalitas dirinya dalam jejak-jejak mitos. Jejak-jejak sejarah yang terusun oleh berbagai elemen masa silam yang jauh.
More info :
www tujuhbintang.com
Labels:
Info
Monday, October 5, 2009
Banyule City Council Works on Paper Art Award 2009 Exhibition
Friday, October 2, 2009
Penawaran Kerjasama Lelang Lukisan
Mengantisipasi kondisi pasar seni yang cukup mengkhawatirkan akibat libasan krisis ekonomi global saat ini, Tujuh Bintang (Tubi) Art Space bermaksud menawarkan kerjasama pemasaran lukisan melalui balai lelang. Hal ini menjadi sangat krusial karena sejak awal tahun ini, kolektor yang benar-benar pecinta seni mulai banyak menahan diri. Yang masih sering menghadiri pameran adalah kolektor-kolektor yang statusnya pedagang. Akibatnya pembeli karya lebih sensitif terhadap harga karya yang dipamerkan. Yang diburu bukan lagi sekedar karya yang bagus saja. Tapi karya yang bagus dan laku di balai lelang. Ini merupakan masalah bagi galeri dan seniman.
Galeri kesulitan mendapatkan karya seniman yang punya nama di pasar, karena yang memburu banyak. Padahal galeri membutuhkan dana yang cukup besar untuk bisa terus berkontribusi terhadap wacana seni, terutama untuk mendukung seniman-seniman muda yang berkualitas. Agar bisa terus berpameran dengan seniman muda, galeri harus bisa memperkenalkan dulu nama-nama baru itu di balai lelang dan menjaga karya seniman agar terkesan sering masuk balai lelang dan laku di mata kolektor. Sehingga ketika galeri memunculkan nama tersebut di pameran, kolektor sudah punya gambaran tentang pasarnya. Jadi untuk bisa bertahan hidup dalam kondisi ekonomi sekarang, sudah masanya bagi galeri dan seniman untuk bisa hidup di dua alam, yaitu dalam wacana apresiasi melalui pameran dan wacana pasar melalui balai lelang.
Saat ini Tubi telah menjalin kerjasama dan menjadi vendor beberapa balai lelang di Jakarta dan Singapore. Dan Tubi bermaksud untuk mengangkat beberapa seniman muda yang sekiranya bisa bekerjasama saling menguntungkan secara jangka panjang. Yang perlu diingat, kerjasama pemasaran ini bukan kerjasama jangka pendek yang bisa mendapatkan hasil maksimal dalam waktu dekat. Perlu cukup banyak waktu agar nilai pasar karya bisa didongkrak sampai ke titik tertinggi. Draft perjanjian kerjasama beserta penjelasannya kami lampirkan dalam email ini. Apabila merasa berminat atau ada beberapa hal yang belum jelas, silakan hubungi kami di nomor 0274 545577 atau datang langsung ke Tubi cp Lenny.
Sebagai tindak lanjutnya, silakan kirimkan sampel karya melalui email agar bisa kami pilih karya yang akan dimasukan secara bertahap karena keterbatasan kuota vendor ke balai lelang. Setelah karya dipilih kami akan hubungi per telepon dan MoU akan kami kirimkan.
Demikian penawaran dari kami. Atas perhatian dan kerjasamanya yang baik kami ucapkan terima kasih.
Galeri kesulitan mendapatkan karya seniman yang punya nama di pasar, karena yang memburu banyak. Padahal galeri membutuhkan dana yang cukup besar untuk bisa terus berkontribusi terhadap wacana seni, terutama untuk mendukung seniman-seniman muda yang berkualitas. Agar bisa terus berpameran dengan seniman muda, galeri harus bisa memperkenalkan dulu nama-nama baru itu di balai lelang dan menjaga karya seniman agar terkesan sering masuk balai lelang dan laku di mata kolektor. Sehingga ketika galeri memunculkan nama tersebut di pameran, kolektor sudah punya gambaran tentang pasarnya. Jadi untuk bisa bertahan hidup dalam kondisi ekonomi sekarang, sudah masanya bagi galeri dan seniman untuk bisa hidup di dua alam, yaitu dalam wacana apresiasi melalui pameran dan wacana pasar melalui balai lelang.
Saat ini Tubi telah menjalin kerjasama dan menjadi vendor beberapa balai lelang di Jakarta dan Singapore. Dan Tubi bermaksud untuk mengangkat beberapa seniman muda yang sekiranya bisa bekerjasama saling menguntungkan secara jangka panjang. Yang perlu diingat, kerjasama pemasaran ini bukan kerjasama jangka pendek yang bisa mendapatkan hasil maksimal dalam waktu dekat. Perlu cukup banyak waktu agar nilai pasar karya bisa didongkrak sampai ke titik tertinggi. Draft perjanjian kerjasama beserta penjelasannya kami lampirkan dalam email ini. Apabila merasa berminat atau ada beberapa hal yang belum jelas, silakan hubungi kami di nomor 0274 545577 atau datang langsung ke Tubi cp Lenny.
Sebagai tindak lanjutnya, silakan kirimkan sampel karya melalui email agar bisa kami pilih karya yang akan dimasukan secara bertahap karena keterbatasan kuota vendor ke balai lelang. Setelah karya dipilih kami akan hubungi per telepon dan MoU akan kami kirimkan.
Demikian penawaran dari kami. Atas perhatian dan kerjasamanya yang baik kami ucapkan terima kasih.
Labels:
Info
Subscribe to:
Posts (Atom)