Kesejatian, konon akan membawa seseorang pada kreativitas dan agresivitas, yang dalam beberapa hal akan mengusik kesadaran masyarakat pada umumnya. Seorang seniman sejati, akan selalu berupaya menciptakan karya-karya kreatif, dan secara agresif mampu mengomunikasikan gagasan cemerlangnya. Ia juga akan selalu aktif mengikuti perkembangan seni, dan secara agresif turut dalam peta perkembangan tersebut, bahkan bisa jadi akan menjadi trendsetter karena ia memang berupaya ke arah itu. Begitu pula dengan kolektor seni. Seperti kolektor lukisan, kolektor lukisan sejati juga akan aktif dan agresif.
Di Indonesia, misalnya, nama Oei Hong Jien, tentu sudah tak asing lagi. Bandar tembakau dari Magelang yang juga dokter itu, dikenal sebagai kolektor lukisan pelukis Indonesia dari zaman Affandi hingga lukisan kontemporer. Di rumah dan museumnya, konon sudah terkumpul ribuan karya lukis berkelas masterpiece, yang secara finansial bernilai triliunan rupiah. Qua estetetik dan ekonomi, karya-karya yang terkumpul itu bahkan bisa dikatakan melebihi koleksi museum yang dipunyai negara.
Di balik itu, tentu ada semacam kecintaan tinggi, yang membuat Oei Hong Jien menjadi kolektor terkemuka. Kegilaan semacam itu, yang tentu saja memakan waktu dan proses seleksi yang ketat, tidak dipunyai sembarang orang. Di Indonesia mungkin banyak orang kaya, yang bahkan tak berminat terhadap karya lukis, apalagi karya lukis yang terbilang sulit diapresiasi masyarakat awam.
Dalam pemahaman tertentu, kolektor bisa berupa orang atau infrastruktur penting. Keberadaan kolektor, membuat poros kehidupan seni atau seniman saling mengeratkan dan terpaut satu sama lain. Kolektor yang serius tentu harus punya wawasan seni yang tinggi sebagai dasar dalam mengoleksi karya lukis. Kolektor seni sejati umumnya memang mengoleksi karya lukis untuk dimiliki, tetapi ada pula yang menggunakan karya seni sebagai aset masa depan. Ada pula yang menyebutnya kolekdol atau kolektor yang memang berbisnis dalam bidang seni lukis. Ia membeli karya lukis untuk dijual lagi. Kolekdol umumnya membeli lukisan secara borongan agar bisa membeli dengan harga murah dan menjualnya dengan harga tinggi.
Dalam beberapa hal, kolektor bisa pula berfungsi sebagai kritikus. Ia akan menyelia lukisan mana yang menurutnya pantas untuk dikoleksi. Ia tentu dapat menolak lukisan-lukisan tertentu bila menurut selera dan pengetahuannya, karya tersebut tidak layak koleksi, atau memang jauh dari seleranya. Kritik yang kuat dari seorang kolektor terkadang dapat memengaruhi perkembangan pasar seni rupa / lukis. Kita paham, bahwa angka-angka fantastis untuk harga sebuah lukisan di balai lelang misalnya, sangat dipengaruhi sifat kritis kolektornya.
Namun, persoalan mengoleksi juga membuat sebuah tatanan baru, yang pernah disebut Sanento Yuliman sebagai pemasungan karya. Karena memang, setelah dikoleksi secara pribadi, karya lukis tersebut lenyap dari perhatian publik. Karya lukis menjadi terbekukan di wilayah privat.
Maka Edi Sugiri, yang dikenal sebagai kolektor sejati setelah Ciputra dan Oei Hong Jien, di pameran The Peak, bisa dikatakan memecah kebekuan wilayah privat itu. Pameran karya koleksi memang bisa dikatakan jarang, atau bahkan sangat langka. Pada umumnya, kolektor lukisan tak pernah memamerkan lagi karya koleksinya kepada publik. Baik sebagai ekspresi pribadi, apalagi sebagai semacam layanan apresiasi buat publik.
"Saya memang tidak pernah menganggap lukisan-lukisan koleksi saya sebagai barang. Saya tetap menganggapnya sebagai karya. Sesuatu yang harus dijaga dan dipelihara dengan baik. Jika pun saya bangkrut, yang akan saya jual terlebih dahulu adalah barang, bukan karya!" tutur Edi Sugiri.