Thursday, July 31, 2008

Lukisan Kontemporer Abad 20


Setelah bergantinya abad, lukisan kontemporer Norwegia erat dihubungkan dengan Perancis, sebuah hubungan yang berlangsung hingga tahun 1960. Hal ini jelas terlihat dalam karya-karya Thorvald Erichsen, dimana lukisannya yang terang, penuh warna dan bersemangat kemungkinan dipengaruhi oleh Bonnard, sehingga menjadi sangat kontras dengan aliran Realisme Norwegia.

Pelukis penting lainnya, Ludvig Karsten (1876-1926), dikenal oleh para kritikus seni lukis sebagai penganut aliran Impresionis, dibawah pengaruh Perancis tapi juga diinspirasi oleh karya Munch. Pada tahun 1909, beberapa pelukis Norwegia belajar dengan Henri Matisse. Yang menjadi terdepan diantara mereka adalah Henrik Sørensen (1882-1962), yang menterjemahkan kemahirannya dengan cara individu, dan Jean Heiberg (1884-1976), yang di sisi lain berusaha untuk mengembangkan gaya yang lebih akademis. Para murid muda Matisse mewakili keterusan kampanye nasionalis Werenskiold dan sangat kontras dengan para murid Matisse terdahulu seperti Karsten, yang bekerja dalam tradisi Christian Krohg. Perpecahan ini menjadi jelas pada Pameran tahun 1914, yang diselenggarakan di Oslo untuk merayakan hari kemerdekaan nasional. Hanya Christian Krohg yang diserahi tanggung jawab untuk memilih lukisan, yang memicu sebuah kelompok yang dipimpin oleh siswa Matisse untuk lari dari pengaturan resmi dan menyelenggarakan pameran mereka sendiri berjudul ‘The Pavilion of the 14’.

Lukisan abstrak Norwegia yang pertama dihasilkan oleh Thorvald Hellesen (1888-1937), yang selama Perang Dunia I mengembangkan gaya dekoratif dan abstrak yang dipengaruhi oleh Fernand Léger. Murid Legér lainnya pada tahun 1920 termasuk Charlotte Wankel (1888-1969), Ragnhild Kaarbø (1889- 1949) dan Ragnhild Keyser (1889-1943). Pelukis lain yang memantapkan posisi mereka dengan bergantinya abad adalah Axel Revold (1887-1962), Per Krogh (1889-1965), Alf Rolfsen (1895-1979) dan Aksel Waldemar Johannesen (1880-1922), seorang penganut aliran humanis atau kemanusiaan yang melukis kehidupan para masyarakat yang terlupakan. Karya Johannesen baru mulai dikenal setelah kematiannya, sehingga ia sering disebut sebagai ‘artis yang terlupakan’.

Kebanyakan pelukis dari generasi ini mengalami perubahan sikap setelah belajar di Paris. Mereka tidak lagi puas berkonsentrasi pada lukisan yang hanya ditujukan untuk keperluan seni, yang tidak menyukai isi yang dangkal dalam seni dan kehidupan. Lebih lanjut, seperti para pendahulunya, mereka juga merasa memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat. Sebagai hasilnya, lahirlah minat dalam teknik lukisan dinding dalam skala besar, berdasarkan pada kepercayaan bahwa lukisan memiliki tugas untuk tampil dalam masyarakat dan cara yang paling baik adalah dengan menghias gedung-gedung dan tempat umum. Dalam dua decade, sejumlah besar gereja, sekolah dan gedung umum lainnya dihias atau dihias ulang, kebanyakan menggunakan gaya al fresco. Contohnya adalah hiasan fresco karya Axel Revold di Gedung Bursa Efek Bergen (1918-1923), lukisan dinding karya Per Krogh di Sekolah Seamen di Oslo (1921-1924) dan dekorasi karya Alf Rolfsen di Krematorium Baru di Olso (1932-1937). Lukisan untuk Oslo Town Hall juga direncanakan pada saat itu, namun Rolfsen baru menyelesaikannya setelah Perang Dunia II.

Aliran Surealisme diperkenalkan ke pelukis Norwegia oleh Vilhelm Bjerke-Petersen dan sejak tahun 1935, para artis aliran surealis semakin aktif berkarya. Olav Strømme (1909-1978) dan
Alexander Schultz (1901-1981) secara simbolis menterjemahkan kehidupan flora, seksualitas, impian dan kesadaran jiwa; Kai Fjell (1907- 1989) mengembangkan sebuah bentuk dengan tema erotis yang berasal dari kehidupan di area pedesaan; Arne Ekeland (1908-1994) bekerja dengan motif sosial psikologi dan menghubungkan seksualitas dengan sistem kelas; lukisan Harald Kihles (1905-1997) menampilkan reaksi Romantisme terhadap industrialisme dan masyarakat metropolis; Agnes Hiorth (1899-1984) menafsirkan tren baru dalam lukisan pemandangan dan potret; dan Erling Engers (1899-1990) menyajikan kehidupan di pedesaan dengan gaya sindiran, memusatkan perhatian pada kualitas pemandangan alam.

Friday, July 25, 2008

Oei Hong Djien dan Pameran Lukisan

Adalah Oei Hong Djien, seorang kolektor dan kurator lukisan yang amat disegani di negeri ini. Komentar dan ulasannya terhadap lukisan atau perkembangan seni lukis selalu ditunggu-tunggu banyak orang disetiap lelang lukisan. Hong Djien mengenal lukisan sejak masa kanak-kanak. Perkenalan dengan lukisan boleh dibilang akibat tertulari orang tuanya. Maklum, ayahnya termasuk penikmat dan kolektor lukisan. Dinding rumah bagaikan balai lelang lukisan tua peninggalan Belanda. Tak satu pun kerabat Hong Djien yang berbakat menjadi pelukis hebat. Tak terkecuali Hong Djien, "Pelajaran menggambar saya cuma dapat nilai enam," aku pria kelahiran April 1939 ini.

Suguhan lukisan yang setiap waktu di pelupuk matanya, pelan-pelan membakar cinta Hong Djien terhadap lukisan. Hong Djien kerap berpindah-pindah kota dan menumpang tinggal di rumah kerabatnya untuk menempuh pendidikan. Pendidikan dasarnya ditempuh di Semarang, dan melanjutkan kuliahnya di Jakarta. Di mana pun Hong Djien tinggal, selalu saja rumah yang ditempatinya bak balai lelang lukisan.

Minat Hong Djien pada lukisan mulai terlampiaskan manakala ia hijrah ke Jakarta untuk kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ia jadi rajin mengunjungi pameran lukisan serta galeri lukisan yang ada di ibu kota. Namun, calon dokter itu baru sebatas menikmati lukisan tapi tak kuasa membeli. Hong Djien baru benar-benar mampu membeli sebuah lukisan pada 1965, setelah enam tahun menabung sebagian uang saku kiriman orang tuanya.

Hobi bertandang ke galeri lukisan dan pameran lukisan kian menjadi saat melanjutkan kuliah ke negeri Belanda. Ia bahkan makin rajin mengikuti seminar-seminar yang membahas karya seni. Dari situlah pemahaman serta wawasannya terhadap lukisan makin bertambah, dan kian lihai menilai lukisan.

Kesibukan mengelola usaha jual beli tembakau tak menyurutkan kegemarannya mengumpulkan lukisan. Ia tetap saja rajin melihat pameran atau lelang lukisan dan menyambangi galeri untuk memburu lukisan yang diinginkannya. Apalagi kala itu ia sudah punya bekal dana yang cukup. Ia tak mematok hanya pada pelukis ternama, lukisan para pemula juga diborongnya.

Hong Djien berburu lukisan tidak sebatas di pameran lukisan. Ia juga menyambangi langsung seorang pelukis agar mendapatkan lukisan berkualitas. Hong Djien rela berjam-jam menunggui maestro lukis Indonesia, Affandi, yang sedang melukis seraya mengamati goresan tangan Affandi.

Ia juga dikenal berteman dekat dengan pelukis kondang Widayat. Bahkan,Widayat kerap memintanya memberi komentar terhadap lukisan yang sedang dibuatnya. Sebagai imbalannya Widayat menghadiahinya beberapa lukisan. Kedekatannya dengan sejumlah pelukis ternama membuat ketajaman dan keterampilannya menelisik lukisan kian terasah. Inilah cikal-bakal keahliannya sebagai seorang kurator atau penilai lukisan.

Hong Djien pernah berburu lukisan karya Affandi, Sudjojono dan Widayat hingga Rio de Janeiro, Brasil. Ceritanya, ada mantan Duta Besar Brasil yang saat bertugas di Indonesia gemar mengoleksi lukisan seniman ternama Indonesia. Sayang, koleksi yang berada di Rio de Janeiro itu tak terawat dan malah akan dilelang. Jadilah ia terbang ke ibu kota negeri samba dan memborong 20 lukisan koleksi mantan sang duta besar.

Kini koleksi lukisan hasil perburuannya selama 40 tahun sudah mencapai lebih dari 1.000 buah. Mulai dari karya Affandi, S. Sudjojono, Basoeki Abdullah, Lee Man Fong, Hendra Gunawan, serta Widayat. Ia juga mengoleksi karya pelukis muda seperti Nasirun, I Made Djirna, Dadang Christanto, Entang Wiharso serta Ivan Sagito. Semuanya terawat dan tersimpan di sebuah museum lukisan pribadi seluas 200 m2 yang didirikan di Magelang pada 1997 silam. Museum yang tidak dibuka untuk umum itu menjadi salah satu sasaran kunjungan para kolektor lukisan dari luar negeri.

Nama Hong Djien sendiri sekarang sudah melambung dan menjadi jaminan kepatenan seorang kolektor maupun kurator lukisan. Ketenarannya bahkan sudah melampaui batas negara dan benua. Pria kelahiran Magelang 66 tahun silam ini sudah berkali-kali didaulat menjadi kurator dalam berbagai lelang lukisan di mancanegara. Ia juga kerap menjadi pembicara dalam sebuah pameran lukisan atau sekadar menggoreskan tulisan sebagai pengantar sebuah katalog lukisan.

Kegemarannya pada lukisan bukan untuk investasi atau berdagang lukisan. Dia hanya rela menjual jika benar-benar sudah tak cinta lagi pada sebuah lukisannya. Sayangnya itu pun jarang sekali dilakukannya. "Ya, paling-paling untuk hadiah perkawinan atau ulang tahun," ujarnya terkekeh.

Thursday, July 24, 2008

Lelang Lukisan Bugil Kate Moss

Lukisan tanpa busana supermodel Kate Moss yang sedang hamil rupanya menjadi incaran para kolektor. Seorang penawar gelap berhasil mendapatkan lukisan unik tersebut seharga US$ 7,29 juta.

Beberapa tahun lalu, pelukis kondang Lucian Freud meminang Kate Moss untuk menjadi model karya seninya. Moss yang mengenal karya-karya Freud langsung setuju untuk dilukis bugil dalam keadaan hamil besar.

Setelah lukisan tersebut rampung, Freud yang juga keturunan ahli psikologi terkenal Sigmun Freud memutuskan untuk melelangnya. Di balai lelang Christie Inggris, lukisan kontemporer itu akhirnya sanggup menembus angka 3,5 juta pound atau sekitar 67 milyar rupiah oleh seorang penawar lewat telepon.

Sedikit kilas balik lukisan seukuran badan itu dibuat ketika Moss sedang mengandung anaknya, Lila Grace yang kini telah berusia 5 tahun. Proses pembuatannya berlangsung cukup lama, yaitu hampir satu tahun. Proses yang panjang tersebut diakui Moss tak sia-sia karena sudah lama ia ingin dilukis oleh seniman berusia 87 tahun itu.

Moss sendiri tadinya diperkirakan menjadi pembeli potensial lukisan ini. Namun baik Moss maupun sang kekasih Peter Doherty akhirnya harus merelakan lukisan berharga tersebut pada penawar anonim yang lebih tinggi.

Tuesday, July 22, 2008

Museum Seni Lukis Kontemporer Indonesia

Museum Seni Lukis Kontemporer Indonesia (SLKI) Nyoman Gunarsa dibangun atas prakarsa pelukis Nyoman Gunarsa. Pendirian berangkat dari rasa prihatin bahwa Yogyakarta sebagai salah satu pusat perkembangan seni rupa di Indonesia tidak memiliki museum seni rupa yang bersifat umum dan dapat dijadikan ruang pameran hasil karya pelukis Indonesia. Pembangunan gedung museum dimulai pada tahun 1987 dan diresmikan tanggal 31 Maret 1989 oleh Clare Wolfowizt (istri Duta Besar Amerika) dan Sri Paduka Paku Alam VIII.

Bangunan museum menempati tanah seluas 1.000 meter terdiri atas dua bangunan yang bercorak tradisional dan modern. Museum ini mempunyai tiga ruang pameran, yaitu ruang pertemuan/ pendapa, ruang pamer tetap dan ruang kantor.

Museum SLKI Nyoman Gunarsa khusus mendokumentasi karya pelukis-pelukis Indonesia yang berprestasi dan profesional dalam seni lukis, khususnya seni lukis kontemporer Indonesia. Koleksi museum ini berjumlah kurang lebih 500 lukisan. Beberapa koleksi unggulannya antara lain lukisan dengan judul “Subali Sugriwa” dan “Spirit Hamengku Buwono IX”.

Museum buka pada hari Senin – Sabtu jam 08.30 – 15.30 WIB sedangkan hari Minggu tidak menerima kunjungan.


Monday, July 21, 2008

Lelang Lukisan, Adu Kocek dan Syaraf

Balai lelang merupakan tempat para kolektor beradu saraf dan kocek demi memburu lukisan. Mereka pun rela keluar ongkos untuk menyambangi lelang-lelang kelas internasional macam Tujuhbintang, Christie's dan Sotheby's. Tidak mengherankan kalau balai lelang internasional itu kerap mengadakan pameran, terlebih dulu buat memperkenalkan karya yang akan dilelang.

Jika Anda hadir dalam pameran lukisan sebelum lelang, biasanya tercantum harga estimasi lukisan. Misalnya, harga estimasi lukisan Juling karya I Nyoman Masriadi senilai US$ 8.300-US$ 12.200. Angka US$ 8.300 itu disebut harga estimasi bawah. Nah, biasanya lelang akan dibuka di bawah harga estimasi bawah. Bahkan, bisa saja di bawah harga reserve atau harga terendah yang disepakati pemilik karya dan balai lelang.

Kemudian, sang juru lelang baru menaikkan sedikit demi sedikit sesuai permintaan para peserta lelang, sampai akhirnya terjual di harga tertinggi alias hammer price. Si pembeli akan membayar harga palu tersebut plus premium fee untuk balai lelang. Besarnya biasanya 17% dari harga palu diketok.

Satu hal yang perlu Anda lakukan dalam mengikuti lelang, jangan sampai terbawa emosi. Jika tidak, Anda bakal rugi karena terseret harga yang tak masuk akal. Amir Sidharta, pendiri Sidharta Auctioneer, memberi tiga saran.

Pertama, jangan tunjukkan minat Anda terhadap suatu lukisan kepada siapa pun.
Kedua, ikutilah ritme lelang. Jangan terlalu lambat menawar, tapi jangan pula terlihat bernafsu
Ketiga, Anda harus punya batasan harga sendiri sehingga tidak kebablasan.

Dengan cara itu Anda bakal mendapat lukisan dengan harga yang menarik. Karena biasanya harga lukisan yang dilelang itu di bawah harga pasar.


Saturday, July 19, 2008

Seni Lukis dan Visi Seni

Kesejatian, konon akan membawa seseorang pada kreativitas dan agresivitas, yang dalam beberapa hal akan mengusik kesadaran masyarakat pada umumnya. Seorang seniman sejati, akan selalu berupaya menciptakan karya-karya kreatif, dan secara agresif mampu mengomunikasikan gagasan cemerlangnya. Ia juga akan selalu aktif mengikuti perkembangan seni, dan secara agresif turut dalam peta perkembangan tersebut, bahkan bisa jadi akan menjadi trendsetter karena ia memang berupaya ke arah itu. Begitu pula dengan kolektor seni. Seperti kolektor lukisan, kolektor lukisan sejati juga akan aktif dan agresif.

Di Indonesia, misalnya, nama Oei Hong Jien, tentu sudah tak asing lagi. Bandar tembakau dari Magelang yang juga dokter itu, dikenal sebagai kolektor lukisan pelukis Indonesia dari zaman Affandi hingga lukisan kontemporer. Di rumah dan museumnya, konon sudah terkumpul ribuan karya lukis berkelas masterpiece, yang secara finansial bernilai triliunan rupiah. Qua estetetik dan ekonomi, karya-karya yang terkumpul itu bahkan bisa dikatakan melebihi koleksi museum yang dipunyai negara.

Di balik itu, tentu ada semacam kecintaan tinggi, yang membuat Oei Hong Jien menjadi kolektor terkemuka. Kegilaan semacam itu, yang tentu saja memakan waktu dan proses seleksi yang ketat, tidak dipunyai sembarang orang. Di Indonesia mungkin banyak orang kaya, yang bahkan tak berminat terhadap karya lukis, apalagi karya lukis yang terbilang sulit diapresiasi masyarakat awam.

Dalam pemahaman tertentu, kolektor bisa berupa orang atau infrastruktur penting. Keberadaan kolektor, membuat poros kehidupan seni atau seniman saling mengeratkan dan terpaut satu sama lain. Kolektor yang serius tentu harus punya wawasan seni yang tinggi sebagai dasar dalam mengoleksi karya lukis. Kolektor seni sejati umumnya memang mengoleksi karya lukis untuk dimiliki, tetapi ada pula yang menggunakan karya seni sebagai aset masa depan. Ada pula yang menyebutnya kolekdol atau kolektor yang memang berbisnis dalam bidang seni lukis. Ia membeli karya lukis untuk dijual lagi. Kolekdol umumnya membeli lukisan secara borongan agar bisa membeli dengan harga murah dan menjualnya dengan harga tinggi.

Dalam beberapa hal, kolektor bisa pula berfungsi sebagai kritikus. Ia akan menyelia lukisan mana yang menurutnya pantas untuk dikoleksi. Ia tentu dapat menolak lukisan-lukisan tertentu bila menurut selera dan pengetahuannya, karya tersebut tidak layak koleksi, atau memang jauh dari seleranya. Kritik yang kuat dari seorang kolektor terkadang dapat memengaruhi perkembangan pasar seni rupa / lukis. Kita paham, bahwa angka-angka fantastis untuk harga sebuah lukisan di balai lelang misalnya, sangat dipengaruhi sifat kritis kolektornya.

Namun, persoalan mengoleksi juga membuat sebuah tatanan baru, yang pernah disebut Sanento Yuliman sebagai pemasungan karya. Karena memang, setelah dikoleksi secara pribadi, karya lukis tersebut lenyap dari perhatian publik. Karya lukis menjadi terbekukan di wilayah privat.

Maka Edi Sugiri, yang dikenal sebagai kolektor sejati setelah Ciputra dan Oei Hong Jien, di pameran The Peak, bisa dikatakan memecah kebekuan wilayah privat itu. Pameran karya koleksi memang bisa dikatakan jarang, atau bahkan sangat langka. Pada umumnya, kolektor lukisan tak pernah memamerkan lagi karya koleksinya kepada publik. Baik sebagai ekspresi pribadi, apalagi sebagai semacam layanan apresiasi buat publik.

"Saya memang tidak pernah menganggap lukisan-lukisan koleksi saya sebagai barang. Saya tetap menganggapnya sebagai karya. Sesuatu yang harus dijaga dan dipelihara dengan baik. Jika pun saya bangkrut, yang akan saya jual terlebih dahulu adalah barang, bukan karya!" tutur Edi Sugiri.


Friday, July 18, 2008

Lukisan Kontemporer Gorengan

Ada satu fenomena lagi ditehgah melejitnya harga lukisan kontemporer. Sama halnya di bursa saham, di sini juga ada lukisan "gorengan". Ini adalah lukisan kontemporer yang kualitasnya tidak terlalu bagus tapi harganya bisa melejit lantaran ada beberapa pihak yang mengangkat harganya. Misalnya, dengan memborong lukisan itu sehingga tercipta kelangkaan.

Mafia lukisan kontemporer gorengan ini bisa saja melibatkan pelukisnya sendiri, kurator, galeri, hingga balai lelang. "Tapi, seharusnya sekarang spekulan yang memainkan harga sudah makin sedikit karena publik sudah makin memahami lukisan," ujar Amir.

Memang menjadi kolektor lukisan kontemporer butuh dompet tebal. Karena itu, investasi di lukisan memang lebih cocok buat yang ekonominya sudah mapan. "Untuk beli lukisan gunakan uang menganggur. Kalau tidak nganggur, lebih baik beli emas atau valas yang lebih mudah dijual lagi," kata Susanto.

Investasi lukisan bersifat jangka panjang. Anda tak bisa membelinya hari ini, lalu menjual keesokan harinya. "Memang ada orang yang membeli lukisan Rp 400 juta, sebulan kemudian dia bisa jual Rp 450 juta. Tapi, tentu harus ada komunitasnya, sehingga lebih mudah menjualnya. Kalau orang biasa, agak sulit," tutur dia.

Susanto sendiri hingga saat ini jarang sekali menjual koleksinya. Sampai sekarang, misalnya, dia masih menyimpan lukisan kontemporer Hendra yang berbentuk pahatan, yang jarang sekali ada di pasaran. Lukisan itu dia beli empat tahun lalu dengan harga Rp 150 juta. "Sekarang dijual Rp 600 juta pasti banyak yang mau. Kolektor itu biasanya begitu. Meski barangnya sudah mahal, tetap enggak dijual karena sayang," katanya.

Nah, tentunya dengan uang yang cukup, koleksi yang beraneka ragam, dan dan minat seni yang besar, akan lebih nikmat untuk menjadi kolektor ketimbang cuma investor. Dus, Anda tak hanya menikmati keuntungan investasi, tapi juga bisa kenikmatan keindahannya.

Wednesday, July 16, 2008

Contemporary Artist, Sapto Adi Nugroho

SAPTO ADI NUGROHO
Various experience in creative jobs more than 10 year from problem of making of podium, program tv backdrop, grand launching of customer products, and product advertisements make him mature in creations. Every day very bright idea idea always borne for the shake of petrifying client for the promotion of. Jobs date line give excitement in have masterpiece quickly and is accurate. Up to now work of creative area still wrestled assiduously. followed painting exhibitions, trying to give best result of filter composition factor of journey of creative process which during the time have been wrestled with all love to profession. Active be painter at present.

Joint Exhibitions :
Tertegun III Grand Melia Jakarta 2004
Tertegun IV Grand Melia Jakartan 2005
Tertegun V Grand Melia Jakarta 2005
Tertegun VI Grand Melia Jakarta 2007
Tertegun VII WTC Jakarta 2006
Tertegun IX WTC Jakarta 2007
From Jakarta With Love Sahid Jakarta 2007
Senayan City 2008
Dharmawangsa Square 2008
Dinamika Estetika Taman Budaya Yogyakarta 2008
Setelah 20 Mei Jogja Gallery 2008

Single Exhibition :
God Loves Us WTC Jakarta 2006
Award:
Special Award Setelah 20 Mei Jogja Gallery 2008

Profil Pelukis Kontemporer : Sapto Adi Nugroho

SAPTO ADI NUGROHO
Berbagai pengalaman di bidang kreatif lebih dari 10 tahun dari masalah pembuatan panggung, backdrop TV program, grand launching produk, dan iklan-iklan produk membuatnya matang dalam berkreasi. Setiap hari ide ide cemerlang selalu dilahirkan demi membantu klien untuk berpromosi. Date line pekerjaan memberikan rangsangan dalam berkarya secara cepat dan akurat. Hingga kini pekerjaan dibidang kreatif masih digeluti secara tekun. Dengan ikut berpameran lukisan, mencoba memberikan hasil terbaik dari faktor komposisi saringan dari perjalanan proses kreatif yang selama ini telah digeluti dengan segala cinta terhadap profesi. Saat ini aktif melukis.


Pameran Bersama :
Tertegun III Grand Melia Jakarta 2004
Tertegun IV Grand Melia Jakartan 2005
Tertegun V Grand Melia Jakarta 2005
Tertegun VI Grand Melia Jakarta 2006
Tertegun VII WTC Jakarta 2007
Tertegun IX WTC Jakarta 2007
From Jakarta With Love Sahid Jakarta 2007
Senayan City 2008
Dharmawangsa Square 2008
Dinamika Estetika Taman Budaya Yogyakarta 2008
Setelah 20 Mei Jogja Gallery 2008

Pameran Tunggal :
God Loves Us WTC Jakarta 2006

Award:
Penghargaan Khusus Setelah 20 Mei Jogja Gallery 2008


Monday, July 14, 2008

Contemporary Painting in Sensuality

(TujuhBintang ArtSpace) Saptoadi, contemporary artist from TujuhBintang SpaceArt portrays the world of erotic's bodies as fairy with the flyingman. Nearly all his canvases tell tales of erotical angel.

In his rather cramped studio in Kampung Baru, West Jakarta, large canvases are on display, and Saptoadi is chatting in a relaxed and open way with the writer in their office that also serves as his painting studio. "In the Tujuh Bintang ArtSpace launching this August, I was inspired once more by the final project," Sapto says.

All these experiences embedded themselves in the contemporary painter's memory. He like anatomical painting using virtual models, he won many local painting competitions in and around Jogja and Jakarta. He also enjoys going on long journeys on foot, taking his sketchbook to capture the objects he encounters – usually humans.

The exhibition is very exotic: We are invited to explore the imagination of women with erotic bodies. Bright colors and pop motifs compete for our eye's attention. Sapto cleverly distorts the dimensions of the human body, stretched and supple, as if weightless, in zero gravity. Bodies that are minimally clothed in flesh suddenly soar, flying and glancing off lines they pass by. We are entranced, gazing at silhouettes and the dimensions of fabric that extends, wraps and resembles human bodies or is it the reverse?

Here is a beauty, the flyingman holding woman behind. The two are united, forming a certain configuration with their bodies that suddenly changes them like a wave, ready to drown them. This painting is truly enchanting. Sapto loves harmony and composition that please the eye; see how carefully he places the bodies and divides up the space.

Many of the works are quite similar: cute faces bathed in bright colors. But some are a bit different. Sapto gives us a bit of symbolism. Vague, softblue shadowy figures in the background of the "perfect" body of a woman, naked and squirming. Sapto admits, "I enjoy presenting the beauty of women's bodies, these figures; I guess I, and other men, like to explore, or maybe to exploit, women's bodies." Tells us about women and their courage in facing the obstacles of the "social walls" that trap them. The main object is a woman being protect from behind by the flyingman.


Lukisan Kontemporer Sensual Erotis


(TujuhBintang Blog) Lukisan kontemporer Indonesia saat ini mulai sedikit terpengaruh oleh gaya pelukis Jepang yang sensual. Lukisan erotis Jepang kontemporer tentu melahirkan kontroversi yang masih perlu diluruskan. Pengalaman estetis si penikmat seni turut berperan penting di sini. Bisa disimpulkan bahwa seseorang dengan pengalaman estetis yang minim akan cenderung mengaburkan batasan antara seni dan pornografi. Estetika tubuh, dalam hubungannya dengan lukisan sensual erotis perlu dibedakan antara nakedness (kebugilan) dan nudity (kepolosan telanjang).

Seperti yang dikatakan Mudji Sutrisno mengenai hal ini :
“dalam estetika tubuh dengan nakedness atau telanjang bugil, penonjolan erotika, perangsangan sensual birahi yang merangsang pemirsa ditampilkan vulgar. Maka karya seni dengan estetika nakedness dinilai rendah dengan alasan belum diendapkan oleh senimannya untuk ditampilkan dengan “hening reflektif”…sedangkan estetika tubuh nudity atau kepolosan telanjang sudah lewat pengendapan si seniman dan pengheningan nuansa reflektif sehingga tampil polos sama seperti bayi-bayi lahir telanjang polos dan kita semua pernah mempunyai foto-foto semasa bayi polos telanjang” (Mudji Sutrisno, “Estetika Tubuh”, artikel dalam Kompas, minggu 30 Oktober 2005, hal 27).

Apakah lukisan kontemporer itu porno atau tidak tentu saja juga dipengaruhi oleh tempat dimana lukisan itu berada. Selain itu keterangan dari si seniman pun sangat penting untuk mengetahui motif apa yang terkandung di balik lukisannya yang sensual erotis tersebut. Tetapi kita tidak bisa berharap lebih untuk memperoleh keterangan yang memuaskan, karena kita tidak harus sependapat dengan si seniman, karya seninya telah menjadi milik publik, sedangkan si seniman itu telah “mati” dan kita si penikmat seni bebas untuk menafsirkan apa saja.

Secara garis besar soal estetika merinci pembagian keindahan dalam: keindahan Tuhan, keindahan jagat raya, keindahan ketertiban gagasan, keindahan ketertiban moral, keindahan dalam alam, dan keindahan dalam seni. Dua yang disebutkan terakhir merupakan keindahan yang sangat menonjol dalam seni lukis kontemporer sensual erotis Jepang.

Carl Lemcke melakukan pembagian keindahan dalam alam dan dalam seni. Keindahan dalam alam dibagi lagi menjadi lima bagian, dua diantaranya yaitu Beauty of Vegetation (keindahan tumbuh-tumbuhan) dan Beauty of Man . Beauty of Man dapat dipandang dari dua sudut, salah satunya yaitu Considered in Himself (dipandang pada dirinya) : bentuk badan, jenis kelamin, usia bangsa. Bagi F.Th. Vischer keindahan dibagi dalam keindahan obyektif (natural beauty /keindahan alami) dan keindahan subyektif (beauty of imagination /keindahan daya khayal).

Dalam seni lukis kontemporer sensual erotis Jepang keindahan obyektif atau keindahan alami dipadukan ke dalam karya seni. Artinya di dalam lukisan, si seniman ingin mencurahkan perasaan emosionalnya terhadap keindahan alam. Keindahan alam yang dihadirkan di dalam keindahan karya seni tentu sudah tidak bisa disamakan lagi dengan keindahan alam yang langsung dicerap oleh indera manusia tanpa melalui karya seni. Di sini peran si seniman sangat penting dalam mengolah keindahan alam ke dalam karya seni.

Berbeda dengan lukisan-lukisan Jepang yang lain, yang dengan jelas melukiskan keindahan alam seperti bunga-bunga, pohon-pohon, gunung, binatang dan lain-lain. Lukisan sensual erotis menyajikan keindahan alam melalui keindahan tubuh seorang wanita. Mungkin sempat terlintas dalam benak kita apa hubungannya antara tubuh wanita yang sensual erotis dengan keindahan dan keagungan alam? Dibandingkan dengan laik-laki, seorang wanita dianggap memiliki kedekatan yang lebih erat dengan alam. Perempuan dianggap dekat dengan alam, dunia privat, fungsi reproduksi, dan yang paling penting, perempuan selalu dipandang bersama tubuhnya. Bahkan terkadang muncul anggapan bahwa perempuan lebih ditentukan jati dirinya oleh tubuh. Oleh sebab itu mungkin bisa dikatakan benar jika seorang wanita lebih memperhatikan tubuhnya dibandingkan laki-laki. Para genius dari masa lampau menandai kesuburan dan energi kosmik dengan tubuh perempuan telanjang. (artikel dalam Kompas, minggu 26 September 2004, hal 18).

Aristoteles menyepadankan perempuan-perempuan dengan hylo atau materi yang sangat bergantung pada morphe atau bentuk (laki-laki) untuk mewujudkan substansi segala sesuatu. Plato menganggap perempuan sebagai makhluk di antara alam dan budaya karena kedekatannya dengan tubuh. Perempuan seringkali disimbolkan sebagai kesuburan alam seperti Dewi Venus yang dianggap sebagai Dewi Kesuburan. Tubuh perempuan banyak menyimpan simbol-simbol yang berkaitan dengan alam misalnya saja bunga mawar disimbolkan sebagai vagina perempuan, karena memiliki kesamaan bentuk.

Dalam budaya Jepang unsur-unsur sensual dapat kita temukan dalam beberapa karya-karya seni yang dihasilkan. Selain di dalam lukisan, unsur sensual erotis yang sangat khas juga dapat ditemukan dalam karya sastra Jepang. Misalnya dalam novel-novel Yasunari Kawabata, Ryunosuke Akutagawa, Yukio Mishima. Atau pada sastrawan kontemporer Jepang seperti Kenzaburo Oe dan Haruki Murakami, juga ditemukan unsur-unsur sensual erotis. Hal ini menunjukkan bahwa sensualisme merupakan suatu predikat penting dalam penghayatan estetik seniman Jepang.

Dalam sejarahnya lukisan-lukisan erotis atau yang berbau seks di Jepang sudah berlanjut lama. Seni erotis pada masa yang lampau mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi spiritual dan fungsi magis. Seni erotis mempunyai fungsi spiritual untuk pemujaan. Seni erotis yang bercorak religius sering menggambarkan hubungan seks sebagai lambang dari kesuburan. Pada jaman modern ini fungsi spiritual itu sudah tidak lagi, seniman modern menjadikan seni erotis hanya sebagai semacam lelucon untuk membuat orang tersenyum.

Lukisan-lukisan erotis pada jaman Edo tumbuh begitu subur dan dianggap sebagai karya seni kelas bawah yang terkesan murahan. Lukisan-lukisan yang berbau seks, yang dikenal sebutan “lukisan musim semi” pada jaman itu hanyalah sebagai lukisan yang mengacu kepada selera yang paling banyak dimiliki orang. Akibatnya, lukisan-lukisan itu berfokus khususnya pada wilayah-wilayah hiburan.

Porno atau indah, semuanya ada di otak dan perasaan kita sendiri.

Friday, July 11, 2008

Seni Lukis dan Investasi

(TujuhBintang ArtSpace) Perilaku "boros" para kolektor lukisan kadang membuat sebagian orang heran, namun jelas ada alasannya. Sebagian dari mereka adalah kaum tajir yang memang tergila-gila pada seni lukis. Kalau sudah jatuh hati kepada satu lukisan, mereka akan memburunya, tak peduli berapa pun harganya. Tapi, belakangan semakin banyak pula kolektor yang memburu lukisan bukan semata demi nilai seni. Mereka memburu lukisan untuk mengembangkan uangnya. Ya, mereka menggunakan lukisan sebagai alternatif investasi. Maklum, dalam kurun waktu tertentu harga sebuah lukisan yang bagus bisa melambung tinggi.

Di Indonesia jumlah penggila lukisan ini cukup banyak. Salah satu yang terkenal adalah Ciputra, pemilik grup properti Ciputra. Sejak 40 tahun silam, Pak Ci-sapaan akrab Ciputra-telah mengoleksi berbagai lukisan karya Hendra Gunawan, Affandi, Sudjojono, dan Basuki Abdullah. "Saya paling suka Hendra Gunawan, saya mempunyai lebih dari 100 lukisannya," ujar Deborah C Iskandar, Vice President Kantor Perwakilan Christie Indonesia.

Tujuan utama Ciputra mengoleksi lukisan memang bukan untuk berinvestasi. "Saya memang cinta lukisan," imbuh insinyur Arsitektur ITB ini. Meskipun begitu, dia tak menampik, lukisan-lukisan tersebut mendatangkan untung besar. Ambil contoh, 20 tahun lalu, ia pernah membeli satu lukisan Hendra seharga Rp 10 juta. Kini lukisan itu harganya sudah melambung 100 kali lipat (10.000%) menjadi sekitar Rp 1 miliar. Atau, tiap tahun rata-rata naik 500%. Wow...!

Selain Pak Ci, ada kolektor-kolektor terkenal lainnya. Sebut saja Dr. Oei Hong Jin asal Yogyakarta dan perancang kondang Adjie Notonegoro. Dari kalangan eksekutif ada pula nama A.B. Susanto, Managing Partner The Jakarta Consulting Group. Meskipun kebanyakan dari mereka mengaku bukan investor, tapi mereka mengakui mengoleksi lukisan sangat menguntungkan. "Potensi untungnya mulai dari nol persen sampai ratusan persen," cetus Susanto.

Tertarik? Boleh-boleh saja. Tapi, tak semua orang cocok, lo, berinvestasi di lukisan. "Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi terlebih dulu," terang Susanto lagi.

Pertama, Anda harus benar-benar sudah mapan secara keuangan. Duit untuk membeli lukisan harus benar-benar duit menganggur yang tak diperlukan untuk kebutuhan lain. Menurut Deborah, umumnya orang Indonesia baru mengincar lukisan mulai umur 40 tahun, saat ekonominya sudah mapan. Dan, "Lukisan itu sifatnya investasi tambahan saja," timpalnya.

Kedua, Anda harus benar-benar menyukai seni lukis. Dengan begitu, Anda dengan senang hati menyimpan suatu lukisan untuk waktu lama. Kalaupun belakangan harganya merosot, Anda tidak terlalu kecewa karena masih bisa memajangnya di rumah. Jadi, "Lukisan jangan dilihat sebagai investasi murni," pesan Deborah.

Ada dua cara berinvestasi di lukisan, tergantung dari besarnya modal yang Anda miliki. Yaitu:
Modal besar (di atas Rp 100 juta)
Jika modal Anda besar atau bahkan tak terbatas, para pakar menganjurkan Anda mulai dengan membeli lukisan-lukisan para maestro seperti Le Mayeur, Hendra Gunawan, Affandi, Lee Man Fong, Widayat, Sudjojono, dan Jeihan. "Belilah lukisan terbaik yang mampu Anda beli," saran Susanto. Ibarat saham, lukisan-lukisan karya para maestro ini masuk kategori unggulan atau blue chip.

Untuk bisa membelinya, Anda harus menyediakan duit minimal Rp 100 juta. Modalnya memang gede, tapi, "Blue chip tak pernah salah," ujar Deborah. Maksudnya, seperti halnya saham blue chip, potensi kenaikan harga lukisan unggulan ini lebih besar dibandingkan lukisan lain. Bagaimanapun lukisan blue chip sudah memiliki nama, sejarah tersendiri, dan diincar banyak orang. Benar, mungkin saja harga lukisan karya para maestro itu suatu saat turun; tapi tidak akan terlalu dalam. "Jadi, main di lukisan blue chip lebih aman," imbuh Susanto.

Modal kecil (mulai Rp 10 juta)
Jika modal Anda pas-pasan, jangan kecil hati. Anda bisa mulai berinvestasi dengan mengumpulkan lukisan-lukisan karya pelukis muda yang memiliki kualitas bagus. "Harganya masih murah, tapi berpotensi besar untuk naik alias high flyer," ucap Susanto. Yang masuk dalam kategori ini misalnya lukisan Paul Hendro, Hambali, Mis Rukiah, dan Lie Tjoen Tjay.

Pilihan lainnya, menurut Deborah, cobalah membeli lukisan-lukisan kontemporer yang memiliki kualitas tinggi dan memiliki ciri khas. Untuk membelinya, Anda hanya perlu merogoh kantong sekitar Rp 10 juta-Rp 20 juta. "Dengan membelanjakan Rp 20 juta setahun, Anda akan memiliki koleksi yang bagus," ujar Deborah.

Tapi, harap diingat, membeli lukisan seperti ini ibarat membeli saham kelas dua atau saham spekulatif. Beberapa lukisan mungkin harganya kelak akan naik, tapi mungkin pula justru merosot. Karena itu, sebaiknya Anda membuat keranjang portofolio yang berisi lukisan-lukisan karya beberapa pelukis high flyer sekaligus. Dengan begitu, Anda bisa menyebar dan risiko kerugian.

Setelah merasa telah memiliki koleksi lukisan yang cukup-baik kategori blue chip maupun spekulatif-Anda harus mengelola portofolio Anda. Ini tak ubahnya seorang manajer investasi yang harus rajin mengelola portofolio investasinya. "Tujuannya, tentu saja agar nilai lukisan-lukisan Anda semakin tinggi," ujar Susanto. Ada banyak cara yang bisa ditempuh. Misalnya, Anda harus rutin mengikutsertakan lukisan-lukisan Anda dalam berbagai pameran. Kalau perlu, sekali-kali, ikut sertakan dalam lelang-lelang yang berkelas. Dengan begitu reputasi Anda sebagai kolektor juga akan terangkat.

Selain itu, Anda harus ingat, investasi di lukisan bersifat jangka panjang. Anda tak bisa membeli lukisan hari ini, lalu menjualnya keesokan harinya. Menurut Susanto, jangka waktu investasinya minimal lima tahun. Sementara itu, Deborah menganjurkan paling tidak kolektor menyimpan lukisannya selama 10-15 tahun. "Dalam kurun waktu itu, harga lukisan bisa naik dan juga bisa turun," ujarnya.

Tentu saja, saat yang terbaik untuk melepas lukisan Anda adalah saat harganya benar-benar tinggi. Untuk bisa mengetahui kapan saat itu tiba, Anda harus rajin memelototi "pasar" lukisan tersebut. Rajin-rajin pulalah membaca berita seperti di blog TujuhBintang, mengunjungi pameran, galeri, berbagai balai lelang atau ikut di gallery TujuhBintang.

Jika Anda menerapkan jurus ini, Insya Allah, selain mendatangkan kepuasan, koleksi lukisan-lukisan Anda juga akan menghasilkan fulus. Seperti sudah disinggung, potensi keuntungannya tak terbatas. Contoh konkret, harga lukisan Kelinci karya Lee Man Fong, yang dibeli Susanto seharga Rp 50 juta sekitar lima tahun lalu, kini harganya sudah melonjak menjadi sekitar Rp 300 juta.

Christie's memiliki hasil riset yang sangat menarik. Berdasarkan pengamatan balai lelang ini, selama 30-40 tahun terakhir, investasi di lukisan bisa memberikan keuntungan setara dengan keuntungan saham-saham yang ada dalam indeks Standard Poors (S P). "Bisa sekitar 10%-12% setahun," ujar Deborah. Ini keuntungan dalam dolar, lho.

Thursday, July 10, 2008

Contemporary Art, Clours and Light

If the tern Indonesian Contemporary Painting existed, Saptoadi might be the best example for it. Unlike the modern term, his works are far than contradictory and offer harmony in colours and light. explores further

Looking at Saptoadi's contemporary paintings, we immediately find that our minds which the Indonesian scenery was depicted within the free style.

He currently lives in Jakarta and is still inspired by the traditional city, Yogyakarta. He first came to inspired about Yogyakarta through his experience. He coming to the city and build a gallery in Sokanandi street, Tujuh Bintang ArtSpace, launching soon at middle of August.

Though he prefers simpler backgrounds, his paintings’ distinct figurative human forms have become his signature. His earlier works were more within the abstract form; take for instance his painting called Berdoa, in which the figure of the children in a prayer is illustrated into the abstract sculpture-like form.

By a first glimpse, we could easily see that Sapto has meticulous eyes for detail. The backgrounds of his paintings, in his earlier days, illustrated foliages of abstraction Indonesian is rich for. The work is a free version of the contemporary painting. His sense of space at the same time vanishes within the Indonesian's beauty style and emerges within the study of his paintings' light and contrast in colours.

Over the years, Sapto's sensitivity to details emerged as his ambition in Yogjakarta brought him into colourful detailed backgrounds. He spends his working hours painting in his studio, secluded and untouched by anybody. Aside from the daily artistic regime, he could be found wandering around Yogyakarta in his foot capturing the scenery with his mind and later putting them down on canvas.

The lingering quest of identity has answered his who-am-I question as a foreigner, an expatriate, inspiring in Yogyakarta and trying to find his own voice through colours and light. And the term Contemporary Art does not sound postmodernic anymore if we take a closer look on Saptoadi's works.

Wednesday, July 9, 2008

Indonesian contemporary art still unnoticed in global art discourses


Indonesian contemporary art is apparently still unheard of abroad, especially in Europe.




When Friedhelm Huette, the global head of art at Deutsche Bank who manages hundreds of fine art events, came to Jakarta to open "Expose *1", an exhibition of Indonesian contemporary art held by the bank and Nadi Gallery at the Four Seasons Hotel recently, he was virtually speechless over the contemporary art works on display. "I'm learning more and more," he told The Jakarta Post when asked to comment on Indonesian contemporary art. "I have a little bit more knowledge on fine art in China, Singapore and Japan."



Huette's unawareness was reminiscent to what art critic Enin Supriyanto experienced when he was invited to be panelist at a symposium in Germany. "Among the questions asked to me during the symposium was: Why is the contemporary art of Indonesia, one of the biggest countries with the biggest numbers of citizens in Southeast Asia, not often present in significant international art forums relative to its Chinese, Indian or South Korean counterparts?"



He admitted it was hard for him to give an immediate and succinct answer, but he offered two reasons for the "beclouding" of Indonesian contemporary arts.



First, he said, "In a lot of European countries and in the United States, modern and contemporary arts are always seen as cultural practices integral to the cultural and social developments in Europe and the U.S. As Asian art is included in such discourses, it tends to be relegated or rendered as exotic, or even worse, as art works derivative or imitative of what is found in the West."



Second, he continued, "in a lot of cases, the economic development of a country on an international level provides one among the significant factors of international recognition or given works of art. In this last mentioned respect, Indonesia is obviously not noticeable yet."



He said he was initially unsure about the relevance of his answers before Ulli Sigg, one of the most renowned and respected collectors of Chinese contemporary art, told him that he didn't know anything about Indonesian contemporary art.



"I have to tell you frankly, I really don't know anything about Indonesian art," Enin said, quoting the collector.



While art discourses are still dominated by Euro-American views, he said, Asian arts, including Indonesian, paradoxically has enjoyed the boom of an international art market network.



A piece by Balinese painter I Nyoman Mariadi, which was sold for US$360,000 at a Sotheby's auction, epitomizes the "industrial" development and the soaring prices of Indonesian contemporary arts, he added.



The condition is alarming, Enin argued, because the boom of Indonesian arts in the Asian market is happening without "critical reference", putting it in "a fragile position in the face of market speculation that might turn ridiculous".



"It is now the time for Indonesian artists to work professionally and to learn to cooperate with professional partners, be they art brokers, art galleries or curators. A critical mindset in dealing with art market situations will of course help them to avoid or at least minimize the dangers and risks that market speculation might generate," he said.



"Expose *1" aimed to provide opportunities for communication and dialogue between Indonesian artists and galleries with institutions that are attentive and supportive to global art activities. The exhibition presented 13 Indonesian young artists who, Enin said, "have helped shaping, and become significant parts of the development in Indonesian contemporary art, painting, sculpture and installation, in particular."



The artists included Agus Suwage, Aytjoe Christine , Djumaldi Alfi, Handiwirman Saputra, Heri Dono, Eko Nugroho, Dipo Andi, Eddie Hara, S. Teddy, Ugo Untoro, Yuli Prayitno, Yunizar and Yusra Martunus. The event was part of the Deutsche Bank Corporate and Art Day, "which more broadly seeks to introduce the 'Indonesian story' via leading Indonesian companies and artists to local and international investors".



Huette responded positively to Enin's idea to make the global art community more aware of Indonesian contemporary arts. "We talked about it with Enin. About maybe in two to three years we may bring Indonesian artists to Berlin," he said.



Huette said contemporary art was the art of today, thus it is a form of fine art that the Deutsche bank company should go for because it fits its philosophy: Innovative and going for new ideas. And, of course, "for a better surrounding in the work place, art is necessary," Huette said.

Tuesday, July 8, 2008

Lukisan Kontemporer, Prospek Investasi Baru


Harga lukisan kontemporer terus melejit. Kian banyak orang berburu lukisan kontemporer sebagai koleksi sekaligus investasi. Namun untuk menjadi kolektor dan investor lukisan tidak mudah. Ada banyak hal yang harus Anda miliki.

Menilai keindahan sebuah karya seni sebenarnya butuh rasa, bukan angka. Namun, tak bisa dipungkiri, semakin tinggi apresiasi pasar terhadap sebuah karya seni, semakin tinggi pula angka atau harganya.

Bagi para pecinta seni atau kolektor lukisan kontemporer, angka ini bukan perkara besar. "Saya mengoleksi lukisan karena mencintai karya seni. Kalaupun nilainya naik, itu bonus," kata Oei Hong Djien, kolektor dan kurator lukisan ternama dari Magelang. Begitu juga Biantoro Santoso, kolektor lukisan sekaligus pemilik Nadi Gallery. "Saya membeli karena saya suka. Walaupun harganya tidak naik, tidak masalah," timpalnya.

Oei dan Biantoro tak pernah menjual koleksinya. Oei memilih untuk memajang lebih dari 1.000 bingkai lukisannya di museum pribadinya. Karya-karya besar dari Affandi, Basuki Abdullah, Lee Man Fong, Sudjojono, Hendra Gunawan, dan Widayat terpampang di sana bersama karya-karya pelukis muda.

Biantoro juga mengaku jarang menjual lukisan koleksinya. "Saya bisa menjual, misalnya, untuk mendapatkan lukisan lain yang saya inginkan kalau uang saya tidak cukup," ucapnya.

Seperti diungkapkan Saptoadi Nugroho, dari Tubi ArtSpace Yogyakarta yang sedang dalam persiapan launching pertengahan Agustus 2008, "Lukisan kontemporer semakin diminati seiring dengan merebaknya konsep perumahan minimalis terutama di kota-kota besar. Akan sulit diterima bila kita memasang lukisan pemandangan, misalnya sedangkan interior ruangannya berkonsep modern."

Memang, untuk mendapatkan lukisan yang mereka inginkan, para kolektor lukisan bisa sangat "boros". Kalau sudah jatuh cinta sama sebuah lukisan, mereka rela mengeluarkan duit berapa pun. Inilah yang membuat harga lukisan makin membubung.

Sadar akan hal ini, belakangan semakin banyak kolektor yang memburu lukisan bukan semata-mata demi nilai seninya. Mereka mengoleksi lukisan untuk berinvestasi.

Sebagai karya seni, lukisan memang menjadi instrumen investasi yang bernilai tinggi. Dalam kurun waktu tertentu harga lukisan yang bagus bisa melambung tinggi. Semakin banyak diburu, makin terbang nilainya. Apalagi jika itu lukisan maestro yang tak lekang dimakan waktu.

Canadian Contemporary Artist Discovers Indonesia

Mention the name Ken Pattern to most Jakarta contemporary art lovers and you will get a nod of recognition. His intricate pen and ink drawings, documenting the dramatic changes in Jakarta’s cityscape in the 1990s have made him almost a household name.



The chaos of ramshackle houses and city farmland, juxtaposed with the sharp angles of skyscrapers leaves the view of his photo-like art in no doubt that this is a peculiar city.



His everyday scenes show a way of life that was almost erased from the city during the period of frantic building when thousands of homes were demolished. Between 1991 and 1996 he produced more than 80 pen and ink drawings that are a subtle form of social commentary, highlighting a turning point in Jakarta’s social history.



The 61 year old Canadian contemporary artist is less widely known for his colorful paintings of rural landscapes and bright surrealist explorations of Indonesia.



Gallery Kafe Linggar in Kemang, South Jakarta, displayed these aspects of his work over the last month in an exhibition entitled Emerging Expatriates. Pattern’s sketches of Jakarta do not feature in this exhibition, his twelfth in Indonesia in 14 years. These paintings and lithographs (hand made fine art prints) of country scenes surrealist themes have a softer tone, more color.



So has he mellowed out? Not quite. Pattern explains, in a soft Canadian accent, that he is doing what he has always done. He is still a campaigning artist, concerned with environmental and social issues but he is also a landscape artist committed to his art.



“Some Indonesians used to ask why I was always painting in the slums. I reply that I’m just trying to show the many faces of Indonesian that I experience. I was spending as much time painting romantic colored landscapes – not poverty or pollution, just beauty for beauty’s sake,” he recently told The Jakarta Post.



He uses color to create effect in rural landscapes and in surrealist, often allegorical, painting. The latter are heavily influenced by his work in the 1970s as a graphic artist for a grassroots environmental group in Vancouver where he grew up.



“It is very surrealistic symbolic type of art that dealt with the conflict of man and nature and it’s still there – that theme has reoccurred over and over again throughout all these years, though in the meantime I’ve gone off on other tangents and done other things,” he said.



His studies in Sociology at university, which he left a year early to pursue a career in art, have also influenced the themes he has chosen to work on.



The foreigner’s difficulty I understanding Indonesia is one of those themes. Pattern believes that Western logic, with its linear way of looking at things, makes it hard to understand how the country works. The complexity of Indonesia for the outsider, he said, lies in the complexity of Java, which he likens to a labyrinth. His painting Key to the Empire is an attempt to fathom Java from a mental or psychological point of view rather than a visual one. It features a map of Java inside a bright green labyrinth. The map itself is covered in labyrinths and repeats into infinity.



“Even if you discover Java, there are many layers to it and anyone who spends any time here probably realizes that just when you think you’ve started to figure it out, you’ve not really got anywhere yet,” he said, laughing in mock exasperation.



Pattern arrived in Jakarta in 1989 when his wife, a development expert, was posted here. At first his paintings were awash with vivid colors and showed icebergs melting on tropical seas.



“When people asked me how I liked the climate here,” he said, I used to say that I feel like an iceberg melting.”



Fascinated by Jakarta, he spent days exploring the streets, marveling at how a city with more than 10 million people could still have the feeling of a series of connecting villages. His enthusiasm is infectious when he describes his first forays into the city’s kampungs armed with a camera to capture scenes to draw.



“You have all these glass and steel towers hovering above all the little orange roofed buildings which surround them. What an incredible city…I’d been in cities before where all the slums are in one place and the rich people in another. Here it was all just thrown together,” he said with genuine amazement.



Pattern stopped doing pen and ink sketches of the city just before most development ground to a halt with the 1997 financial crisis.



“I felt I’d gone as far as I could with the scenes I was working on. I’d moved on to looking at Indonesia from another perspective”.



Although he does not readily speak out about political issues Pattern’s unique brand of “hyper realistic” and surrealistic art lends itself naturally to political satire.



In 1999 he painted the Indonesian legislature building with a “Toys R US” sign on the roof and a playground in front. He said he never expected to take it out of the closet and only painted it for his own amusement. But when the president Abdurrahman “Gus Dur” Wahid called the assembly a kindergarten six months later he decided to display the piece called Playschool along with some similar satirical work.



“I felt though Suharto had gone and the new government was in power, nothing really had changed,” he said. “It was a legislature full of people just having a good time and it reminded me of a playschool.”



Pattern sees freedom of expression as the single biggest change in Indonesia since the end of the New Order. In particular he appreciates the unfettered access to news sources in the country today. He is scathing when he compares the media in Indonesia to that of North America which he sees as inward looking and almost devoid of any world news.



Lately he has been spending up to five months each year in Vancouver where he works on lithographic prints in a studio he has used for 22 years.



The wanderlust that brought Pattern to Indonesia in the first place also draws him away time and again. He is continuing a world tour he began in his youth and he still prefers backpacking.



“Indonesia for me. I love it and I hate it but I gotta get out of it sometimes. I need some distance. I think I have the best of both worlds being able to work in two places and also have time to travel to other countries.”

Saturday, July 5, 2008

Happy 4th of July ... and Happy Birthday, CBC by Connie Michael

As we celebrate our country's independence today and the birthday of CBC, I'm grateful not only for our independence, but for the fact that as a community of artists we can also take pride in our DEPENDENCE...on each other. With only a few keystrokes we can find (or provide) a helping hand to encourage, advise, praise, critique, share tips and techniques ... anything at all that we need to make us better artists!

This is also our birthday. I love being part of Canvas by Canvas and what the nine of us have come to mean to each other. I love searching the internet for blogs and websites of other artists, and I love leaving them messages and receiving their responses. What artist isn't happy to be noticed and have someone take time to respond to their work? What a great way to meet new friends and see what incredible talent is out there.

The red truck in the photo is the third in a series we've painted of red trucks and it's one of two commissions we've just completed for someone we think is pretty special. Trucks seem to be popular painting subjects for artists and viewers alike. Can you think of anything that has made us more independent that transportation? And to have transportation that's FUN, too ... what more could we ask? Maybe a red truck, a full moon and someone you love to share the fireworks...?

Happy 4th of July ... and Happy Birthday, CBC by Connie Michael

As we celebrate our country's independence today and the birthday of CBC, I'm grateful not only for our independence, but for the fact that as a community of artists we can also take pride in our DEPENDENCE...on each other. With only a few keystrokes we can find (or provide) a helping hand to encourage, advise, praise, critique, share tips and techniques ... anything at all that we need to make us better artists!

This is also our birthday. I love being part of Canvas by Canvas and what the nine of us have come to mean to each other. I love searching the internet for blogs and websites of other artists, and I love leaving them messages and receiving their responses. What artist isn't happy to be noticed and have someone take time to respond to their work? What a great way to meet new friends and see what incredible talent is out there.

The red truck in the photo is the third in a series we've painted of red trucks and it's one of two commissions we've just completed for someone we think is pretty special. Trucks seem to be popular painting subjects for artists and viewers alike. Can you think of anything that has made us more independent that transportation? And to have transportation that's FUN, too ... what more could we ask? Maybe a red truck, a full moon and someone you love to share the fireworks...?

Friday, July 4, 2008

Sejarah Seni Lukis Indonesia

Seni lukis modern Indonesia dimulai dengan masuknya penjajahan Belanda di Indonesia. Kecenderungan seni rupa Eropa Barat pada zaman itu ke aliran romantisme membuat banyak pelukis Indonesia ikut mengembangkan aliran ini. Awalnya pelukis Indonesia lebih sebagai penonton atau asisten, sebab pendidikan kesenian merupakan hal mewah yang sulit dicapai penduduk pribumi. Selain karena harga alat lukis modern yang sulit dicapai penduduk biasa.

Raden Saleh Syarif Bustaman adalah salah seorang asisten yang cukup beruntung bisa mempelajari melukis gaya Eropa yang dipraktekkan pelukis Belanda. Raden Saleh kemudian melanjutkan belajar melukis ke Belanda, sehingga berhasil menjadi seorang pelukis Indonesia yang disegani dan menjadi pelukis istana di beberapa negera Eropa.

Namun seni lukis Indonesia tidak melalui perkembangan yang sama seperti zaman renaisans Eropa, sehingga perkembangannya pun tidak melalui tahapan yang sama.

Era revolusi di Indonesia membuat banyak pelukis Indonesia beralih dari tema-tema romantisme menjadi cenderung ke arah "kerakyatan". Objek yang berhubungan dengan keindahan alam Indonesia dianggap sebagai tema yang mengkhianati bangsa, sebab dianggap menjilat kepada kaum kapitalis yang menjadi musuh ideologi komunisme yang populer pada masa itu. Para pelukis kemudian beralih kepada potret nyata kehidupan masyarakat kelas bawah dan perjuangan menghadapi penjajah.

Selain itu, alat lukis seperti cat dan kanvas yang semakin sulit didapat membuat lukisan Indonesia cenderung ke bentuk-bentuk yang lebih sederhana, sehingga melahirkan abstraksi.

Gerakan Manifesto Kebudayaan yang bertujuan untuk melawan pemaksaan ideologi komunisme membuat pelukis pada masa 1950an lebih memilih membebaskan karya seni mereka dari kepentingan politik tertentu, sehingga era ekspresionisme dimulai. Lukisan tidak lagi dianggap sebagai penyampai pesan dan alat propaganda, namun lebih sebagai sarana ekspresi pembuatnya. Keyakinan tersebut masih dipegang hingga saat ini.

Perjalanan seni lukis kita sejak perintisan R. Saleh sampai awal abad XXI ini, terasa masih terombang-ambing oleh berbagai benturan konsepsi.

Kemapanan seni lukis Indonesia yang belum mencapai tataran keberhasilan sudah diporak-porandakan oleh gagasan modernisme yang membuahkan seni alternatif, dengan munculnya seni konsep (conceptual art): "Contemporary Art", “Installation Art”, dan “Performance Art”, yang pernah menjamur di pelosok kampus perguruan tinggi seni sekitar 1993-1996. Kemudian muncul berbagai alternatif semacam “kolaborasi” sebagai mode 1996/1997. Bersama itu pula seni lukis konvensional dengan berbagai gaya menghiasi galeri-galeri, yang bukan lagi sebagai bentuk apresiasi terhadap masyarakat, tetapi merupakan bisnis alternatif investasi.

Renaissance

Seni lukis zaman Renaissance
Berawal dari kota Firenze. Setelah kekalahan dari Turki, banyak sekali ahli sains dan kebudayaan (termasuk pelukis) yang menyingkir dari Bizantium menuju daerah semenanjung Italia sekarang.

Dukungan dari keluarga deMedici yang menguasai kota Firenze terhadap ilmu pengetahuan modern dan seni membuat sinergi keduanya menghasilkan banyak sumbangan terhadap kebudayaan baru Eropa.

Seni Rupa menemukan jiwa barunya dalam kelahiran kembali seni zaman klasik. Sains di kota ini tidak lagi dianggap sihir, namun sebagai alat baru untuk merebut kembali kekuasaan yang dirampas oleh Turki. Pada akhirnya, pengaruh seni di kota Firenze menyebar ke seluruh Eropa hingga Eropa Timur.

Tokoh yang banyak dikenal dari masa ini adalah:
* Tomassi
* Donatello
* Leonardo da Vinci
* Michaelangelo
* Raphael

Art Nouveau
Revolusi Industri di Inggris telah menyebabkan mekanisasi di dalam banyak hal. Barang-barang dibuat dengan sistem produksi massal dengan ketelitian tinggi. Sebagai dampaknya, keahlian tangan seorang seniman tidak lagi begitu dihargai karena telah digantikan kehalusan buatan mesin.

Sebagai jawabannya, seniman beralih ke bentuk-bentuk yang tidak mungkin dicapai oleh produksi massal (atau jika bisa, akan biaya pembuatannya menjadi sangat mahal). Lukisan, karya-karya seni rupa, dan kriya diarahkan kepada kurva-kurva halus yang kebanyakan terinspirasi dari keindahan garis-garis tumbuhan di alam.

Jaman Klasik dan Pertengahan

Melanjutkan tulisan tentang Sejarah Seni Lukis :

Seni lukis zaman klasik
Seni lukis zaman klasik kebanyakan dimaksudkan untuk tujuan:
* Mistisme (sebagai akibat belum berkembangnya agama)
* Propaganda (sebagai contoh grafiti di reruntuhan kota Pompeii),

Lukisan di reruntuhan kota Pompeii
diambil dari Wikipedia

Di zaman ini lukisan dimaksudkan untuk meniru semirip mungkin bentuk-bentuk yang ada di alam. Hal ini sebagai akibat berkembangnya ilmu pengetahuan dan dimulainya kesadaran bahwa seni lukis mampu berkomunikasi lebih baik daripada kata-kata dalam banyak hal. Selain itu, kemampuan manusia untuk menetap secara sempurna telah memberikan kesadaran pentingnya keindahan di dalam perkembangan peradaban.

Seni lukis zaman pertengahan
Sebagai akibat terlalu kuatnya pengaruh agama di zaman pertengahan, seni lukis mengalami penjauhan dari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dianggap sebagai sihir yang bisa menjauhkan manusia dari pengabdian kepada Tuhan. Akibatnya, seni lukis pun tidak lagi bisa sejalan dengan realitas.

Kebanyakan lukisan di zaman ini lebih berupa simbolisme, bukan realisme. Sehingga sulit sekali untuk menemukan lukisan yang bisa dikategorikan "bagus".

Lukisan pada masa ini digunakan untuk alat propaganda dan religi. Beberapa agama yang melarang penggambaran hewan dan manusia mendorong perkembangan abstrakisme (pemisahan unsur bentuk yang "benar" dari benda).

Namun sebagai akibat pemisahan ilmu pengetahuan dari kebudayaan manusia, perkembangan seni pada masa ini mengalami perlambatan hingga dimulainya masa renaissance.

Sejarah Seni Lukis

Seni lukis adalah salah satu induk dari seni rupa. Dengan dasar pengertian yang sama, seni lukis adalah sebuah pengembangan yang lebih utuh dari drawing. Sejarah Seni Lukis akan kami coba ulas dalam beberapa tulisan, sebagai berikut :

Zaman prasejarah
Secara historis, seni lukis sangat terkait dengan gambar. Peninggalan-peninggalan prasejarah memperlihatkan bahwa sejak ribuan tahun yang lalu, nenek moyang manusia telah mulai membuat gambar pada dinding-dinding gua untuk mencitrakan bagian-bagian penting dari kehidupan mereka.

Semua kebudayaan di dunia mengenal seni lukis. Ini disebabkan karena lukisan atau gambar sangat mudah dibuat. Sebuah lukisan atau gambar bisa dibuat hanya dengan menggunakan materi yang sederhana seperti arang, kapur, atau bahan lainnya. Salah satu teknik terkenal gambar prasejarah yang dilakukan orang-orang gua adalah dengan menempelkan tangan di dinding gua, lalu menyemburnya dengan kunyahan daun-daunan atau batu mineral berwarna.

Hasilnya adalah jiplakan tangan berwana-warni di dinding-dinding gua yang masih bisa dilihat hingga saat ini. Kemudahan ini memungkinkan gambar (dan selanjutnya lukisan) untuk berkembang lebih cepat daripada cabang seni rupa lain seperti seni patung dan seni keramik.

Seperti gambar, lukisan kebanyakan dibuat di atas bidang datar seperti dinding, lantai, kertas, atau kanvas. Dalam pendidikan seni rupa modern di Indonesia, sifat ini disebut juga dengan dwi-matra (dua dimensi, dimensi datar). Seiring dengan perkembangan peradaban, nenek moyang manusia semakin mahir membuat bentuk dan menyusunnya dalam gambar, maka secara otomatis karya-karya mereka mulai membentuk semacam komposisi rupa dan narasi (kisah/cerita) dalam karya-karyanya.

Objek yang sering muncul dalam karya-karya purbakala adalah manusia, binatang, dan obyek-obyek alam lain seperti pohon, bukit, gunung, sungai, dan laut. Bentuk dari obyek yang digambar tidak selalu serupa dengan aslinya. Ini disebut citra dan itu sangat dipengaruhi oleh pemahaman si pelukis terhadap obyeknya. Misalnya, gambar seekor banteng dibuat dengan proporsi tanduk yang luar biasa besar dibandingkan dengan ukuran tanduk asli. Pencitraan ini dipengaruhi oleh pemahaman si pelukis yang menganggap tanduk adalah bagian paling mengesankan dari seekor banteng. Karena itu, citra mengenai satu macam obyek menjadi berbeda-beda tergantung dari pemahaman budaya masyarakat di daerahnya. Pencitraan ini menjadi sangat penting karena juga dipengaruhi oleh imajinasi. Dalam perkembangan seni lukis, imajinasi memegang peranan penting hingga kini.

Pada mulanya, perkembangan seni lukis sangat terkait dengan perkembangan peradaban manusia. Sistem bahasa, cara bertahan hidup (memulung, berburu dan memasang perangkap, bercocok-tanam), dan kepercayaan (sebagai cikal bakal agama) adalah hal-hal yang mempengaruhi perkembangan seni lukis. Pengaruh ini terlihat dalam jenis obyek, pencitraan dan narasi di dalamnya. Pada masa-masa ini, seni lukis memiliki kegunaan khusus, misalnya sebagai media pencatat (dalam bentuk rupa) untuk diulangkisahkan. Saat-saat senggang pada masa prasejarah salah satunya diisi dengan menggambar dan melukis. Cara komunikasi dengan menggunakan gambar pada akhirnya merangsang pembentukan sistem tulisan karena huruf sebenarnya berasal dari simbol-simbol gambar yang kemudian disederhanakan dan dibakukan.

Pada satu titik, ada orang-orang tertentu dalam satu kelompok masyarakat prasejarah yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk menggambar daripada mencari makanan. Mereka mulai mahir membuat gambar dan mulai menemukan bahwa bentuk dan susunan rupa tertentu, bila diatur sedemikian rupa, akan nampak lebih menarik untuk dilihat daripada biasanya. Mereka mulai menemukan semacam cita-rasa keindahan dalam kegiatannya dan terus melakukan hal itu sehingga mereka menjadi semakin ahli. Mereka adalah seniman-seniman yang pertama di muka bumi dan pada saat itulah kegiatan menggambar dan melukis mulai condong menjadi kegiatan seni.


Seni Rupa

Seni rupa adalah cabang seni yang membentuk karya seni dengan media yang bisa ditangkap mata dan dirasakan dengan rabaan. Kesan ini diciptakan dengan mengolah konsep garis, bidang, bentuk, volume, warna, tekstur, dan pencahayaan dengan acuan estetika.

Seni rupa dibedakan ke dalam tiga kategori, yaitu seni rupa murni, kriya, dan desain. Seni rupa murni mengacu kepada karya-karya yang hanya untuk tujuan pemuasan eksresi pribadi, sementara kriya dan desain lebih menitikberatkan fungsi dan kemudahan produksi.

Secara kasar terjemahan seni rupa di dalam Bahasa Inggris adalah fine art. Namun sesuai perkembangan dunia seni modern, istilah fine art menjadi lebih spesifik kepada pengertian seni rupa murni untuk kemudian menggabungkannya dengan desain dan kriya ke dalam bahasan visual arts.

Seni

Seni pada mulanya adalah proses dari manusia, dan oleh karena itu merupakan sinonim dari ilmu. Dewasa ini, seni bisa dilihat dalam intisari ekspresi dari kreatifitas manusia. Seni sangat sulit untuk dijelaskan dan juga sulit dinilai, bahwa masing-masing individu artis memilih sendiri peraturan dan parameter yang menuntunnya atau kerjanya, masih bisa dikatakan bahwa seni adalah proses dan produk dari memilih medium, dan suatu set peraturan untuk penggunaan medium itu, dan suatu set nilai-nilai yang menentukan apa yang pantas dikirimkan dengan ekspresi lewat medium itu, untuk menyampaikan baik kepercayaan, gagasan, sensasi, atau perasaan dengan cara seefektif mungkin untuk medium itu. Sekalipun demikian, banyak seniman mendapat pengaruh dari orang lain masa lalu, dan juga beberapa garis pedoman sudah muncul untuk mengungkap gagasan tertentu lewat simbolisme dan bentuk (seperti bakung yang bermaksud kematian dan mawar merah yang bermaksud cinta).



Thursday, July 3, 2008

Tomasz Morek

Contemporary painter, Tomasz Morek was born in 1967. He graduated from The Gdansk Academy of Fine Arts, The Faculty of Painting and Graphic Art in 1992. The artist specialises in painting and drawing. Unique mood and colouring characterising his output are the main reasons why Tomasz Morek's paintings are chosen by collectors from all over Europe.

It is unusual how Tomasz Morek presents human-beings and animals. This is the main conclusion of Barbara Piórkowska's article about Morek in a popular Polish newspaper "Gazeta Wyborcza": He paints us perversely: people have devil's tails, curly as piggy ones that resemble "nosy" question marks. Above - an aureole like a small cloud, slowly encircling over human's thoughts. (...) Pastel colouring, fuzzy details, transparency, mild line - we stand in front of a painting which tells us that this world is strange. (...) Even an animal is equivocal. A horse aspire after a pegasus, a dog - we are not very sure whether it has a face or a snout, and it also has a piggy tail. A bird - we don't know whether it is a gull or just a shadow or maybe a neckerchief blowing in the wind. (...) All of it reminds us that there is a continuing dialog between a painting and its audience. But in Morek's paintings a sort of "conversation" exists already on the very canvas: we can see that the heroes of a drama are interested in each other indeed"("Gazeta Wyborcza" - "Gazeta Morska" nr 258, z dnia 05.11.2002).

Tomasz Morek is also dealing with interior design and arrangement. He realized his projects in many buildings of sacral architecture (for example churches in Warsaw, Pila and Gdynia) as well as decorated objects of secular architecture (Zamojski Hotel in Zamosc, City-Hall in Wejherowo and many more).


The painter uses wide range of artistic techniques, in particular traditional painting, wall painting (frescos, sgrafitto), mosaic, ceramics and stained glass.


Contemporary Painting by Kandinsky

Subject is not contemporary artists who may claim to be 'influenced' by the early Kandinsky in some way. There are always some of those, and the best of luck to them. I am more interested in what a truly contemporary awareness can make of the early Kandinsky in the light of Tate Modern's recent exhibition. Kandinsky really did believe, in common with others of his generation, that painting could embody the deepest meanings of his time - that 'colours in a certain order' could penetrate the depths of consciousness, deliver perceptual sensations that went right to the heart of cognition and awareness. In this sense he was a modern painter - one who believed that meaning could be embedded in a medium. A century later, we are more likely to see painting reach for quotation, irony or detachment - to wear the consciousness of the 'end of painting' directly on its sleeve. The question is therefore whether contemporary painting has abandoned the mission of modernity or whether modernity in Kandinsky's sense can still be claimed to be the language we speak. On the one hand, most artists today will tell you that modernist depth is no longer achievable - that the medium of painting cannot bear the weight of deep consciousness or revelatory sensation (and that in any case utopias are not to be trusted). On the other hand, Kandinsky's painting is sensuously rich. We need to ask questions about the workings and also about the relevance of its pleasures now.

I want to suggest that the abstractness or objectlessness that is claimed for the early Kandinsky is no longer usefully thought of as a matter of 'veiling' images from Biblical scenes or the lives of the Saints - and that the terminology of 'inner sounds' and 'the epoch of the Great Spiritual' is pretty much exhausted today. I believe that, right from the start, abstractness was never intended to mean the end of pictorial culture as such; rather that what counted as 'the pictorial' and the culture of the pictorial was being put under pressure to change very fast and in some unpredictable ways. We may look at a painting of Kandinsky's pre-Moscow period (before the late part of 1914) and notice that, even though lacking in middle-sized objects bathed in rational light and exhibiting their familiar colour, several other marks of the traditional scheme of painting remain: the sense of a near-ground at the lower edge whose entities are somehow closer to the eye; a turbulent middle distance in which 'something happens'; and a sense of a rear-ground near the picture's upper edge in which the tops of buildings or skies or at any rate 'higher events' occur. Almost all Kandinsky's paintings before 1921 contain something like this spatial scheme - even if the 'events' as I have called them seem to belong, not to the rational spatial continuum of ordinary reality (middle-sized things having a relation to human scale) but to sub-aqueous or cosmic reality (the very small or the very large) where different laws of physics and optics apply. To say that different laws of nature apply is to say that light, colour and movement happen differently in the zones of the minute and the massive respectively. We can see today that these shifts into the aqueous or the cosmic are among the earliest of Kandinsky's major pictorial inventions - even if he refers to them infrequently in his writings of the time. And these scale-effects (as I want to call them) would become important in the light of the path that painting was soon to follow.


Ping your blog, website, or RSS feed for Free
My Ping in TotalPing.com
Feedage Grade B rated
Preview on Feedage: cheap-canvas-art Add to My Yahoo! Add to Google! Add to AOL! Add to MSN
Subscribe in NewsGator Online Add to Netvibes Subscribe in Pakeflakes Subscribe in Bloglines Add to Alesti RSS Reader
Add to Feedage.com Groups Add to Windows Live iPing-it Add to Feedage RSS Alerts Add To Fwicki