cheap canvas art,cheap canvas art,cheap canvas art prints,cheap canvas art for sale,cheap canvas art supplies,cheap canvas art online,cheap canvas art sets,cheap canvas art uk,cheap canvas art australia,cheap canvas art canada,cheap canvas art brisbane
Thursday, December 24, 2009
Some new work to end the old year
Season's Greetings to everyone - and here's hoping for a bright and beautiful 2010.
From top:
Dudgeonea actinias Moth Mask, 2009
Coscinocera hercules Moth Mask, 2009
Hednota bivitella Moth Mask, 2009
All acrylic on canvas, 25 x 20 cm
Thursday, December 3, 2009
Melbourne Launch of 'There was once... The Collected Fairy Tales', Chapman and Bailey Gallery, December 1, 2009
From top 1-3:
Installation details, Chapman and Bailey Gallery
Image 4:
Installation view
Image 5:
Deborah Klein, Mark Chapman and Robert Heather, Manager, Events and Exhibitions, State Library of Victoria, who began his opening address with a show stopping reading of the fairy tale Just Dessert
Images 6-9:
Foreground: Bill Reid, Lisa Sassella and Janet Hillman. Background, far right: Hannah Bertram
Diane Soumilas, Dean Bowen and Angela Cavalieri
Marco Luccio, Deborah Luccio and Alana Kennedy
Deborah Klein, Paul Compton, Priscilla Ambrosini and Liz Walker
Click on images to enlarge
Monday, November 30, 2009
La Musica
CANVAS BY CANVAS
TEXAS CONTEMPORARY ABSTRACT
EXPRESSIONIST DAILY PAINTER
Do you like your Salsa hot and spicy?
Then you’ll love the new SALSA series
by the collaborative artists of Canvas by Canvas.
These abstracts are now available in stunning 12” x 18”
prints with a self border, ready to frame.
Then you’ll love the new SALSA series
by the collaborative artists of Canvas by Canvas.
These abstracts are now available in stunning 12” x 18”
prints with a self border, ready to frame.
To view more art from the collaborative painters of Canvas By Canvas, visit http://www.canvasbycanvas.com/
CANVAS BY CANVAS
TEXAS CONTEMPORARY
ABSTRACT EXPRESSIONIST DAILY PAINTER
La Musica
CANVAS BY CANVAS
TEXAS CONTEMPORARY ABSTRACT
EXPRESSIONIST DAILY PAINTER
Do you like your Salsa hot and spicy?
Then you’ll love the new SALSA series
by the collaborative artists of Canvas by Canvas.
These abstracts are now available in stunning 12” x 18”
prints with a self border, ready to frame.
Then you’ll love the new SALSA series
by the collaborative artists of Canvas by Canvas.
These abstracts are now available in stunning 12” x 18”
prints with a self border, ready to frame.
To view more art from the collaborative painters of Canvas By Canvas, visit http://www.canvasbycanvas.com/
CANVAS BY CANVAS
TEXAS CONTEMPORARY
ABSTRACT EXPRESSIONIST DAILY PAINTER
Monday, November 23, 2009
Seniman Wonosobo Gelar Pameran Face to Face
YOGYA (KRjogja.com) - Beberapa seniman asal Wonosobo yang tergabung dalam Komunitas Air Gunung mengelar pameran bertajuk Face To Face yang menampilkan pulahan karya lukisan. Pameran yang telah dibuka sejak tanggal 21 November dan akan berlangsung hingga 5 Desember 2009 mendatang. Karya-karya seniman Wonosobo ini jelas mengambil jalur representasional dan menghadapi karya-karya lukisan semacam itu penonton diajak untuk menyelami makna berdasarkan elemen-elemen yang muncul di kanvas lalu dihimbau untuk mencari acuan-acuan referensial yang umum.
"Yang patut dihargai dari para pelukis Wonosobo ini adalah pilihannya untuk menggunakan teknik representasional melalui cara kerja melukis realistik. Kita ingat bahwa dalam seni rupa atau seni visual secara umum lazim dikenal pembedaan antara jenis seni rupa representasional dengan seni rupa non-representasional. Seni rupa representasional lahir dari kemungkinan visual yang berkaitan dengan dunia yang nampak dan berada di luar diri si seniman, penampilan dari dunia eksterior sehingga pembacaan atasnya tak dapat dilepaskan dari bagaimana proses terbentuknya kenyataan yang ditampilkan tersebut," ujar Kurator pameran Peace Face to Face, Wicaksono Adi saat ditemui di Tujuh Bintang Art Space, Jalan Sukonandi No 7 Yogyakarta, Senin (23/11)
Selanjutnya Wicaksono menjelaskan tentang suatu karya artistik di mana proses pemaknaannya masih dapat dikaitkan secara langsung maupun tidak langsung dengan sesuatu yang kurang lebih “objektif” - sekalipun kenyataan “objektif” tersebut telah mengalami deformasi - tapi ia masih dapat diidentifikasi dengan dunia eksterior. "Gampangnya, seni rupa representasional adalah suatu seni yang memiliki “objek”, seperti gambar dari hasil bidikan kamera yang memotret sasaran sasaran tertentu di luar dirinya. Ia dapat membidik dan merefleksikan apa saja kecuali dirinya sendiri,"katanya.
Berbeda dengan seni rupa representasional, seni non-representasional dapat ditandai minimal oleh dua hal. Pertama, ketiadaan objek yang merupakan akibat dari ketiadaan objek ini maka kamera tidak mungkin diarahkan ke dunia eksterior, melainkan cenderung ditujukan kepada dirinya, pada wilayah interior. Kedua, karena kamera mengarah ke wilayah interior maka hal itu akan menghilangkan syarat munculnya persepsi, sehingga persepsi akan bermain dalam wilayah fenomenologis “tertentu”. Dikatakan “tertentu” karena setiap persepsi mengandaikan adanya objek, sementara jika objek itu tidak ada, maka ia akan menjadikan dirinya menjadi sasaran perseps dan disitu kita mengenal karya-karya seni rupa abstrak dan abstrak-ekspresionistik.
"Orang mengenal Bill Gates sebagai kampiun dunia komputer, Gandhi, Dalai Lama dan Aung San Suu Kyi sebagai pejuang kemanusiaan. Kita diajak untuk memberi makna baru dari acuan tersebut melalui elemen-elemen tambahan yang dilekatkan di sana. Ada elemen hijau daun rerumputan pada wajah Bill Gates dan Suu Kyi, ada batu-batu yang menyusun wajah Gandhi, gambar cicak yang menggambarkan kekonyolan sirkus hukum yang dipertontonkan sebagian elite di Indonesia yang akhir-akhir ini poluler dengan ungkapan ”buaya melawan cicak”, pada lukisan Mr. Bean, dan seterusnya. Selain lukisan berobjek individu-individu besar, kita juga menemukan lukisan yang menggambarkan dunia jungkir balik kota besar yang agak menakutkan," pungkas Wicaksono. (Fir)
"Yang patut dihargai dari para pelukis Wonosobo ini adalah pilihannya untuk menggunakan teknik representasional melalui cara kerja melukis realistik. Kita ingat bahwa dalam seni rupa atau seni visual secara umum lazim dikenal pembedaan antara jenis seni rupa representasional dengan seni rupa non-representasional. Seni rupa representasional lahir dari kemungkinan visual yang berkaitan dengan dunia yang nampak dan berada di luar diri si seniman, penampilan dari dunia eksterior sehingga pembacaan atasnya tak dapat dilepaskan dari bagaimana proses terbentuknya kenyataan yang ditampilkan tersebut," ujar Kurator pameran Peace Face to Face, Wicaksono Adi saat ditemui di Tujuh Bintang Art Space, Jalan Sukonandi No 7 Yogyakarta, Senin (23/11)
Selanjutnya Wicaksono menjelaskan tentang suatu karya artistik di mana proses pemaknaannya masih dapat dikaitkan secara langsung maupun tidak langsung dengan sesuatu yang kurang lebih “objektif” - sekalipun kenyataan “objektif” tersebut telah mengalami deformasi - tapi ia masih dapat diidentifikasi dengan dunia eksterior. "Gampangnya, seni rupa representasional adalah suatu seni yang memiliki “objek”, seperti gambar dari hasil bidikan kamera yang memotret sasaran sasaran tertentu di luar dirinya. Ia dapat membidik dan merefleksikan apa saja kecuali dirinya sendiri,"katanya.
Berbeda dengan seni rupa representasional, seni non-representasional dapat ditandai minimal oleh dua hal. Pertama, ketiadaan objek yang merupakan akibat dari ketiadaan objek ini maka kamera tidak mungkin diarahkan ke dunia eksterior, melainkan cenderung ditujukan kepada dirinya, pada wilayah interior. Kedua, karena kamera mengarah ke wilayah interior maka hal itu akan menghilangkan syarat munculnya persepsi, sehingga persepsi akan bermain dalam wilayah fenomenologis “tertentu”. Dikatakan “tertentu” karena setiap persepsi mengandaikan adanya objek, sementara jika objek itu tidak ada, maka ia akan menjadikan dirinya menjadi sasaran perseps dan disitu kita mengenal karya-karya seni rupa abstrak dan abstrak-ekspresionistik.
"Orang mengenal Bill Gates sebagai kampiun dunia komputer, Gandhi, Dalai Lama dan Aung San Suu Kyi sebagai pejuang kemanusiaan. Kita diajak untuk memberi makna baru dari acuan tersebut melalui elemen-elemen tambahan yang dilekatkan di sana. Ada elemen hijau daun rerumputan pada wajah Bill Gates dan Suu Kyi, ada batu-batu yang menyusun wajah Gandhi, gambar cicak yang menggambarkan kekonyolan sirkus hukum yang dipertontonkan sebagian elite di Indonesia yang akhir-akhir ini poluler dengan ungkapan ”buaya melawan cicak”, pada lukisan Mr. Bean, dan seterusnya. Selain lukisan berobjek individu-individu besar, kita juga menemukan lukisan yang menggambarkan dunia jungkir balik kota besar yang agak menakutkan," pungkas Wicaksono. (Fir)
Labels:
Media
Peace | FaceToFace
Pesan pesan dunia yang masih damai seniman Wonosobo
Judul tulisan ini, ingin menunjukkan pameran seni kontemporer kelompok seniman Wonosobo yang sedang berpameran di ibukota seni rupa Indonesia, Yogyakarta. Sebanyak 19 seniman Wonosobo sejak 21 November-5 Desember 2009 memamerkan karya-karya lukisnya di Tujuh Bintang Art Space.
Seniman Wonosobo seperti ingin memperlihatkan sinyal-sinyal eksistensi berkesenian dalam tema “Peace/ Face To Face” kepada publik Yogyakarta. Apa yang mereka tampilkan dalam dua puluhan karya lukis yang mereka pamerkan ini, menunjukkan Wonosobo boleh saja menjadi daerah kecil tapi menyimpan potensi karya seni rupa yang tidak kalah dengan kota lain seperti “kota besar seni rupa”, Yogyakarta.
Lihat saja sosok-sosok internasional yang ditampilkan dalam lukisan-lukisan para seniman Wonosobo ini seperti Bill Gates, Dalai Lama, Lady Di dan Aung San Syu Kyi. Ada lagi sosok artis seperti Merlyn Monroe, aktris Hollywood dari China Zhang Zi Yi, Mr. Bean, dan Michael Jackson.Para seniman Wonosobo ini juga menampilkan realitas-realitas global seperti penyerangan terhadap mantan Presiden Amerika Serikat (AS) dengan menggunakan sepatu oleh seorang wartawan Irak. Ada juga realitas anak-anak Palestina yang terjebak dalam perang hasil permainan politik global.
Sosok internasional atau realitas satir global tersebut menunjukkan atau bahkan mewakili dari kondisi well informed masyarakat Wonosobo. Sebuah kondisi yang sering kali diidentikan milik masyarakat kota besar.
Secara teknis, karya seni lukis seniman-seniman Wonosobo ini juga patut diacungi jempol. Kurator pameran, Wicaksono Adi mengatakan, teknis berkarya yang ditampilkan dalam pameran ini bagus dan potensial untuk dikembangkan.
Hal yang patut dihargai adalah teknik representasional melalui cara kerja melukis realistis. Representasional adalah wujud-wujud visual yang berkaitan dengan dunia yang nampak dan berada di luar diri seniman.
Artinya, seniman-seniman Wonosobo telah masuk dalam realitas zaman kontemporer. “Mereka bekerja dengan menyusun berbagai serpihan teks (visual) menjadi karya baru,” ujar Adi.
“Jika jaman dulu pelukis menggambar obyek harus berhadapan langsung dengan apa yang di gambar, sekarang ia dapat memungut bahan-bahan dari mana saja dari majalah atau internet dan mengubahnya dengan potongan gambar lain,” jelas kurator yang tinggal di Jakarta ini.
Dipilihnya Yogyakarta oleh seniman-seniman Wonosobo karena alasan-alasan positif tentang kondusifnya dunia seni rupa Yogyakarta bagi seniman-seniman muda Wonosobo ini. Manajer kelompok seniman Wonosobo ini, Agus Muryanto mengatakan Yogyakarta telah menjadi tolak ukur (barometer) berkesenian dan berkebudayaan.
“Yogyakarta mempunyai banyak perupa-perupa hebat sehingga bisa menjadi bahan eksplorasi, sekaligus bisa memberi masukan seniman Wonosobo, ” kata Agus sembari menambahkan, pihaknya ingin menjalin kerjasama lebih erat dengan Tujuh Bintang Art Space sebagai galeri yang sangat intens memamerkan karya seni rupa.
Pertanyaan yang muncul adalah kenapa mereka melukis para tokoh yang nun jauh disana dan tidak melukis manusia-manusia yang mereka kenal dekat?
Bagi Adi, realitas atau persoalan global bisa didekati dengan sentuhan berbeda yang lebih dekat dengan kehidupan sekitar. Realitas dalam lukisan harus didekatkan dengan Wonosobo. Seandainya harus menggunakan sosok-sosok impor bisa saja diganti dengan figur lokal semisal KD atau Rhoma Irama.
“Yang perlu dipertanyakan adalah pengayaan idenya. Harus didekatkan dengan sentuhan berbeda. Ini yang belum nampak,” kritik Adi. “ KD dengan Bill Gates bagi warga Wonosobo lebih terkenal mana? KD,” ujarnya lagi.
Menurut Wicaksono Adi, penggambaran tokoh-tokoh besar seperti Bill Gates dalam “Gates on Grass” atau Dalai Lama dalam”The New Leader serta Lady Di dalam “Remembering Ladi Di” adalah sebagai upaya mengawetkan ingatan kita terhadap individu luar biasa yang dapat mengubah sejarah (dalam derajat berbeda-beda).
Bill Gates yang digambar dengan rerumputan mengandung makna ekologis baru yang ditampilkan perupa Wonosobo. Belum ada yang menggambar seperti itu. Bill Gates adalah tokoh besar dunia yang mendonasikan 40 Persen penghasilannya untuk orang lain. “Ini adalah sesuatu yang besar. Sesuatu yang positif,” ujar Adi
Teks visual ironi yang tajam muncul pada lukisan Arianto yang menggambarkan tokoh kemanusiaan Dalai Lama yang mengenakan topi Mao Zedong dan memegang sebutir peluru. Lukisan ini begitu jelas ingin menunjukkan perbedaan antara nilai-nilai perdamaian yang diperjuangkan Dalai Lama melaluai kelembutannya dengan sikap militerisme pemerintah China sebagai ‘lawan” si pejuang.
“Sebagian dari individu itu memang telah mati tapi mereka harus tetap dihidupkan agar nilai-nilai yang diperjuangkan tidak lenyap tertimbun hingar bingar citra visual yang datang dan pergi begitu cepatnya,” ujar Adi.
Boleh jadi akan tampak sia-sia ketika menciptakan nilai-nilai ditengah banjir informasi yang remeh temeh. Namun setiap orang memerlukan pahlawannya sendiri-sendiri. Dan pahlawan itu tidak hanya dilahirkan tapi juga harus diciptakan dengan mereproduksi dan mempromosikan secara berkelanjutan agar tidak lenyap dari memori kolektif.
Dan perupa-perupa dari Wonosobo yang berpameran itu tampak begitu cerdas membuat sesuatu, berupa tokoh, selebritis, realitas sosial global, agar memiliki arti dan makna.
Mereka mengajak kita untuk melihat kembali bahwa dunia kita tak sesuram yang disangka sebagian orang karena masih ada individu-individu besar yang terus dapat kita jadikan inspirasi, tulis Wicaksono Adi. (The Real Jogja/joe)
Labels:
Media
Wednesday, November 18, 2009
Pers Release Peace | FaceToFace
PEACE | FACETOFACE
Pameran Komunitas Air Gunung
Kurator :
Wicaksono Adi
Pembukaan :
Sabtu, 21 Nopember 2009 pukul 19:30
Dibuka Oleh :
Syakieb A. Sungkar
Tempat :
Tujuh Bintang Art Space
Jl. Sukonandi 7 Yogyakarta 55166
Musik :
Rames Band & Primitive Democration
Performance :
Fashion Show “Batik Kembang Keli”
Batik Kertek Wonosobo
Karya Yohanes Wiera
Pameran :
Tanggal 21 Nopember – 5 Desember 2009 - pukul 10:00 – 20:00 WIB
------------------------------------------------------------------------------------------
Pameran Komunitas Air Gunung
Kurator :
Wicaksono Adi
Pembukaan :
Sabtu, 21 Nopember 2009 pukul 19:30
Dibuka Oleh :
Syakieb A. Sungkar
Tempat :
Tujuh Bintang Art Space
Jl. Sukonandi 7 Yogyakarta 55166
Musik :
Rames Band & Primitive Democration
Performance :
Fashion Show “Batik Kembang Keli”
Batik Kertek Wonosobo
Karya Yohanes Wiera
Pameran :
Tanggal 21 Nopember – 5 Desember 2009 - pukul 10:00 – 20:00 WIB
------------------------------------------------------------------------------------------
Yang patut dihargai dari para pelukis Wonosobo ini adalah pilihannya untuk menggunakan teknik representasional melalui cara kerja melukis realistik. Kita ingat bahwa dalam seni rupa atau seni visual secara umum lazim dikenal pembedaan antara jenis seni rupa representasional dengan seni rupa non-representasional. Seni rupa representasional lahir dari kemungkinan visual yang berkaitan dengan dunia yang nampak dan berada di luar diri si seniman, penampilan dari dunia eksterior sehingga pembacaan atasnya tak dapat dilepaskan dari bagaimana proses terbentuknya kenyataan yang ditampilkan tersebut. Yaitu suatu karya artistik di mana proses pemaknaannya masih dapat dikaitkan secara langsung maupun tidak langsung dengan sesuatu yang kurang lebih “objektif” - sekalipun kenyataan “objektif” tersebut telah mengalami deformasi - tapi ia masih dapat diidentifikasi dengan dunia eksterior. Gampangnya, seni rupa representasional adalah suatu seni yang memiliki “objek”, seperti gambar dari hasil bidikan kamera yang memotret sasaran sasaran tertentu di luar dirinya. Ia dapat membidik dan merefleksikan apa saja kecuali dirinya sendiri.
Berbeda dengan seni rupa representasional, seni non-representasional dapat ditandai minimal oleh dua hal. Pertama, ketiadaan objek. Akibat dari ketiadaan objek ini maka kamera tidak mungkin diarahkan ke dunia eksterior, melainkan cenderung ditujukan kepada dirinya, pada wilayah interior. Kedua, karena kamera mengarah ke wilayah interior maka hal itu akan menghilangkan syarat munculnya persepsi, sehingga persepsi akan bermain dalam wilayah fenomenologis “tertentu”. Dikatakan “tertentu” karena setiap persepsi mengandaikan adanya objek, sementara jika objek itu tidak ada, maka ia akan menjadikan dirinya menjadi sasaran persepsi. Di situ kita mengenal karya-karya seni rupa abstrak dan abstrak-ekspresionistik.
Karya-karya seniman Wonosobo ini jelas mengambil jalur representasional. Dan menghadapi karya-karya lukisan semacam itu penonton diajak untuk menyelami makna berdasarkan elemen-elemen yang muncul di kanvas lalu dihimbau untuk mencari acuan-acuan referensial yang umum. Orang mengenal Bill Gates sebagai kampiun dunia komputer, Gandhi, Dalai Lama dan Aung San Suu Kyi sebagai pejuang kemanusiaan. Kita diajak untuk memberi makna baru dari acuan tersebut melalui elemen-elemen tambahan yang dilekatkan di sana. Ada elemen hijau daun rerumputan pada wajah Bill Gates dan Suu Kyi, ada batu-batu yang menyusun wajah Gandhi, gambar cicak (yang menggambarkan kekonyolan sirkus hukum yang dipertontonkan sebagian elite di Indonesia yang akhir-akhir ini poluler dengan ungkapan ”buaya melawan cicak”) pada lukisan Mr. Bean, dan seterusnya. Selain lukisan berobjek individu-individu besar, kita juga menemukan lukisan yang menggambarkan dunia jungkir balik kota besar yang agak menakutkan (Metropolis, karya Agus Handoko).
More info :
www tujuhbintang.com
Berbeda dengan seni rupa representasional, seni non-representasional dapat ditandai minimal oleh dua hal. Pertama, ketiadaan objek. Akibat dari ketiadaan objek ini maka kamera tidak mungkin diarahkan ke dunia eksterior, melainkan cenderung ditujukan kepada dirinya, pada wilayah interior. Kedua, karena kamera mengarah ke wilayah interior maka hal itu akan menghilangkan syarat munculnya persepsi, sehingga persepsi akan bermain dalam wilayah fenomenologis “tertentu”. Dikatakan “tertentu” karena setiap persepsi mengandaikan adanya objek, sementara jika objek itu tidak ada, maka ia akan menjadikan dirinya menjadi sasaran persepsi. Di situ kita mengenal karya-karya seni rupa abstrak dan abstrak-ekspresionistik.
Karya-karya seniman Wonosobo ini jelas mengambil jalur representasional. Dan menghadapi karya-karya lukisan semacam itu penonton diajak untuk menyelami makna berdasarkan elemen-elemen yang muncul di kanvas lalu dihimbau untuk mencari acuan-acuan referensial yang umum. Orang mengenal Bill Gates sebagai kampiun dunia komputer, Gandhi, Dalai Lama dan Aung San Suu Kyi sebagai pejuang kemanusiaan. Kita diajak untuk memberi makna baru dari acuan tersebut melalui elemen-elemen tambahan yang dilekatkan di sana. Ada elemen hijau daun rerumputan pada wajah Bill Gates dan Suu Kyi, ada batu-batu yang menyusun wajah Gandhi, gambar cicak (yang menggambarkan kekonyolan sirkus hukum yang dipertontonkan sebagian elite di Indonesia yang akhir-akhir ini poluler dengan ungkapan ”buaya melawan cicak”) pada lukisan Mr. Bean, dan seterusnya. Selain lukisan berobjek individu-individu besar, kita juga menemukan lukisan yang menggambarkan dunia jungkir balik kota besar yang agak menakutkan (Metropolis, karya Agus Handoko).
More info :
www tujuhbintang.com
Labels:
Info
Thursday, November 12, 2009
"CALIENTE"
CALIENTE
Do you like your Salsa hot and spicy? Then you’ll love the new SALSA series by the collaborative artists of Canvas by Canvas. These abstracts are now available in stunning 12” x 18” prints with a self border, ready to frame.
To view more abstract art from the painters of Canvas By Canvas, visit http://www.canvasbycanvas.com/Abstracts.html or contact the artists.
"CALIENTE"
CALIENTE
Do you like your Salsa hot and spicy? Then you’ll love the new SALSA series by the collaborative artists of Canvas by Canvas. These abstracts are now available in stunning 12” x 18” prints with a self border, ready to frame.
To view more abstract art from the painters of Canvas By Canvas, visit http://www.canvasbycanvas.com/Abstracts.html or contact the artists.
Belle Arti - Chapman and Bailey Art Award 2009
Cressida cressida 2009 (acrylic on linen, 36 x 36 cm) is included in this exhibition.
Chapman and Bailey
350 Johnston Street
Abbotsford Vic 3067
Ph: 9415 8666
The exhibition runs from 12 November - 28 November 2009.
Labels:
Chapman and Bailey
Monday, November 9, 2009
"OVER ICE" by Canvas by Canvas Artists
©canvasbycanvas
"OVER ICE"
12" x 18" - $20 plus $5 shipping
click on the "Buy Now" button, fill in the title of the poster, and follow
the instructions for payment
or send us an email describing which print
or send us an email describing which print
you'd like to purchase: canvasbycanvas@gmail.com
View other abstracts done by the Canvas by Canvas artists
IMAGINE . . . each square of every painting is done by a different artist!
Canvas by Canvas is a group of Texas artists who share a love
of painting and have a unique friendship. Their individual painting styles are as
different as their signatures but they unite their painting
voices to produce dramatic art.Each square of every painting is
done by a different Canvas by Canvas artist, and the
charm of the finished painting lies in the individuality of style found in each section.
Each canvas is initialed on the front and signed on the side by the artist
who painted it. The front of the painting is also
signed with the Canvas by Canvas group signature.
Contact: canvasbycanvas@gmail.com
http://www.canvasbycanvas.com/
This post by Margie Whittington
"OVER ICE" by Canvas by Canvas Artists
©canvasbycanvas
"OVER ICE"
12" x 18" - $20 plus $5 shipping
click on the "Buy Now" button, fill in the title of the poster, and follow
the instructions for payment
or send us an email describing which print
or send us an email describing which print
you'd like to purchase: canvasbycanvas@gmail.com
View other abstracts done by the Canvas by Canvas artists
IMAGINE . . . each square of every painting is done by a different artist!
Canvas by Canvas is a group of Texas artists who share a love
of painting and have a unique friendship. Their individual painting styles are as
different as their signatures but they unite their painting
voices to produce dramatic art.Each square of every painting is
done by a different Canvas by Canvas artist, and the
charm of the finished painting lies in the individuality of style found in each section.
Each canvas is initialed on the front and signed on the side by the artist
who painted it. The front of the painting is also
signed with the Canvas by Canvas group signature.
Contact: canvasbycanvas@gmail.com
http://www.canvasbycanvas.com/
This post by Margie Whittington
New Acquisitions Exhibition and Artist's Talk at Tweed River Art Galley
Sunday, November 8, 2009
Monday, October 26, 2009
Geelong Print Prize Exhibition, 2009
Tafsir Ugal-ugalan Bambang Darto
BAMBANG DARTO DIKENAL SUKA MELUKISKAN KEMBALI PENJAGA MALAM KARYA REMBRANDT. DI SITU IA MENYUSUPKAN SOSOK DIRINYA SENDIRI SAMPAI TOMMY SOEHARTO.
MOHAMAD CHOLID
MANTAN REDAKTUR SENI DAN BUDAYA TEMPO
dari Koran Tempo edisi 26 Oktober 2009
Penjaga Malam karya Rembrant itu dilukis kembali oleh Bambang Darto dengan teknik realis luar biasa. Itulah pameran tunggal Bambang Darto: “Jejak-jejak Mitos”, di Tujuh Bintang Art Space Yogya, yang berlangsung pada 18-31 Oktober. Kita melihat lukisan itu begitu mirip dengan lukisan Rembrandt. Hanya, gambar orang-orang Eropa di masa lalu itu dia tambahi dengan seseorang berseragam satpam yang membawa sapu warna merah.
Oleh kuratornya, Wicaksono Adi, tokoh berseragam tersebut diinterpretasikan sebagai Tommy Soeharto karena sosoknya mirip. Namun, Bambang bilang lelaki itu benarbenar seorang petugas keamanan yang bekerja di perumahan mewah Kota Wisata, Cibubur, dan bersedia dijadikannya model. Selain satpam, model lokal lainnya adalah Bambang sendiri, yang menyamar atau menyusup menjadi pasukan penjaga malam mengenakan topi tinggi dan menggenggam senjata zaman Rembrandt (1606-1669).
Bambang lahir pada 1956 di Sukapura, tidak jauh dari Gunung Bromo di Jawa Timur. Bukan yang pertama bagi Bambang mengusik mitos Rembrandt, bahkan ini yang ketiga kalinya. Lima tahun silam, dia menggambar Penjaga Malam sesuai dengan yang dilukis Rembrandt, bedanya kali ini mereka bertugas di Republik Dagelan. Tokoh tambahan yang ditampilkan di situ ada dua penjahat masa kini yang diikat dan dibungkam mulutnya, serta seorang badut yang mirip badut-badut di pasar malam. Lukisan karya era 2004 ini ikut dipamerkan di Tujuh Bintang, dengan stempel sudah jadi koleksi Butet Kertaradjasa.
Penyusupan Bambang ke dalam rombongan Penjaga Malam pertama kali dia lakukan pada 1978. Selain melukis ulang karya Rembrandt, di situ dia menggambar seorang demonstran yang tewas tergeletak tertembak aparat. Bambang sendiri ada di mana? Dia memotret dirinya sedang duduk mencangkung bertopang dagu, tanpa bisa berbuat apa-apa. Harap maklum, 1978 adalah masa ketika demonstrasi-demonstrasi mahasiswa marak di mana-mana mencoba melawan rezim Orde Baru dengan korban berjatuhan, utamanya di Yogya dan Bandung. Lukisan ini tidak disertakan dalam pameran, barangkali karena kolektornya tidak bisa dijangkau oleh Bambang.
Apropriasi ala Bambang itu tidak hanya berhenti pada lukisan Rembrandt, tapi juga ke lukisan-lukisan terkenal Eropa lain. Cobalah telisik karya yang berjudul Kudaku Gagah Berani (akrilik di atas kanvas 290 x 180 sentimeter). Aslinya lukisan ini berjudul Bonaparte Crossing the Saint Bernard Pass, dibuat pada 1800-1801 oleh Jacques Louis David (1748-1825), pelukis Prancis yang sempat belajar di Italia dan terkenal dengan karya-karyanya bertema peristiwa penting dalam sejarah.
Dalam Kudaku Gagah Berani, yang naik kuda bukan Napoleon Bonaparte lagi, melainkan Bambang Darto sendiri. Gambarnya pun terdiri atas lebih dari satu sosok dengan komposisi bersusun di satu kanvas, bukan lagi gambar figur tunggal sebagaimana lukisan Bonaparte karya Louis David. Seperti pada lukisanlukisan Bambang lainnya, teknik realis yang dia kuasai dia eksploitasi benar. Hanya, barangkali karena “Bonaparte”-nya dari Jawa, yang tidak pernah terlibat dalam perang, maka ekspresi wajah si penunggang kuda, walaupun berkumis dan mengenakan pakaian ala Napoleon, apa boleh buat, agak mengesankan penunggang kuda lumping dalam pertunjukan jatilan.
Tapi Bambang memang tidak pernah berusaha tampil gagah, apalagi garang seperti serdadu, walaupun dalam kesehariannya kadang-kadang dia suka mengenakan pakaian army look. Bambang lebih mengesankan seorang pengelana soliter, yang gemar memasuki wilayah-wilayah yang tak bertepi, termasuk ke kawasan sensual atau yang dekat dengan pergaulan bersama wanita. Lihat karyanya, Aku dan Purwati (akrilik di atas kanvas 180 x 200 sentimeter, 2009), menampilkan kembali adegan The Courtship of Paris and Helen (1788) karya Louis David. Di situ Bambang tampil nyaris telanjang sebagai Paris yang duduk dengan tangan kiri memegang harpa dan tangan kanan merengkuh lengan Helen yang dianggapnya sebagai Purwati berambut pirang tanpa kutang.
Urusannya dengan perempuan tergambar lagi dalam Aku dan Dia (akrilik di atas kanvas 180 x 200 sentimeter, 2009) sebagai terjemahan atas Telemachus Farewell to Euchario (1818).
Sedangkan dalam Tanslation of Marilyn Monroe (akrilik di atas kanvas 150 x 200 sentimeter, 2009) dia membiarkan Marilyn Monroe seperti hendak bersimpuh di atas gumpalan awan dengan lima malaikat kecil, yang satu di antaranya menyunggi tengkorak. Lukisan yang tidak menampilkan diri sendiri ini merupakan terjemahan Bambang atas Maria Magdalena karya Joseph de Rivera.
Akan halnya The Death of Mara karya Louis David (1793), oleh Bambang ditampilkan kembali menjadi M 5 (baca: Mo Limo, artinya: maling, madat, madon (main perempuan), main (judi), dan mabuk). Pada karya dengan akrilik di atas kanvas 200 x 180 sentimeter buatan 2009 itu, tampang tokoh yang meninggal lunglai bukan Bambang, melainkan wajah perupa Bonyong Muni Ardhi, teman sejawatnya. Ada dua botol minuman keras teronggok di lantai, sementara tangan kiri si tokoh memegang kertas ramalan judi. Adapun Bonyong masih sehat, hobinya joging, dan makin aktif melukis setelah pensiun sebagai dosen di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo.
Yang menarik, karya Raden Saleh oleh Bambang juga diutak-atik. Dia menggambarkan kembali Hutan Terbakar karya Raden Saleh dengan judul Merah Bantengku (2009). Banteng yang gelisah karena panas hutan dia merahkan ditambah bar code di bokongnya, selayaknya barang dagangan.
Selain itu, ada Penangkapan Gus Dur (2002), yang gambarnya mirip lukisan Raden Saleh yang berjudul Penangkapan Diponegoro, tapi yang tampak dipapah turun dari pendopo adalah Gus Dur yang mengenakan celana pendek dan kaus dalam. Ini mengingatkan adegan ketika Abdurrahman Wahid dimakzulkan dari Istana Kepresidenan pada 2002.
Cara Bambang yang ugal-ugalan dan selalu melakukan interpretasi kembali atas semua kaidah seni rupa sungguh merupakan ciri khas Kelompok Seni Kepribadian Apa (PIPA), yaitu segerombolan seniman lintas matra (ada pelukis, pematung, dan pemusik) yang menggebrak khazanah seni pada 1977, 1978, dan 1999. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam kegiatan tersebut antara lain Haris Purnomo, Dede Eri Supria, Ronald Manullang, Bonyong Muni Ardhi (golongan perupa yang moncer namanya), dan termasuk Sapto Rahardjo (almarhum).
Selain ugal-ugalan, memberontak dengan guyon, ciri khas eksponen PIPA adalah mereka pada bisa menggambar realis dengan baik dan akademis karena mereka semua memperoleh pendidikan formal seni rupa (di ASRI, kini ISI, dan SSRI). Lalu PIPA juga dianggap memberikan pengaruh pada generasi perupa berikutnya sehingga diundang oleh Panitia Biennale X di Yogya, untuk tampil pada 10 Desember 2009 sampai 10 Januari 2010, sebagai kelompok.
Oleh kuratornya, Wicaksono Adi, tokoh berseragam tersebut diinterpretasikan sebagai Tommy Soeharto karena sosoknya mirip. Namun, Bambang bilang lelaki itu benarbenar seorang petugas keamanan yang bekerja di perumahan mewah Kota Wisata, Cibubur, dan bersedia dijadikannya model. Selain satpam, model lokal lainnya adalah Bambang sendiri, yang menyamar atau menyusup menjadi pasukan penjaga malam mengenakan topi tinggi dan menggenggam senjata zaman Rembrandt (1606-1669).
Bambang lahir pada 1956 di Sukapura, tidak jauh dari Gunung Bromo di Jawa Timur. Bukan yang pertama bagi Bambang mengusik mitos Rembrandt, bahkan ini yang ketiga kalinya. Lima tahun silam, dia menggambar Penjaga Malam sesuai dengan yang dilukis Rembrandt, bedanya kali ini mereka bertugas di Republik Dagelan. Tokoh tambahan yang ditampilkan di situ ada dua penjahat masa kini yang diikat dan dibungkam mulutnya, serta seorang badut yang mirip badut-badut di pasar malam. Lukisan karya era 2004 ini ikut dipamerkan di Tujuh Bintang, dengan stempel sudah jadi koleksi Butet Kertaradjasa.
Penyusupan Bambang ke dalam rombongan Penjaga Malam pertama kali dia lakukan pada 1978. Selain melukis ulang karya Rembrandt, di situ dia menggambar seorang demonstran yang tewas tergeletak tertembak aparat. Bambang sendiri ada di mana? Dia memotret dirinya sedang duduk mencangkung bertopang dagu, tanpa bisa berbuat apa-apa. Harap maklum, 1978 adalah masa ketika demonstrasi-demonstrasi mahasiswa marak di mana-mana mencoba melawan rezim Orde Baru dengan korban berjatuhan, utamanya di Yogya dan Bandung. Lukisan ini tidak disertakan dalam pameran, barangkali karena kolektornya tidak bisa dijangkau oleh Bambang.
Apropriasi ala Bambang itu tidak hanya berhenti pada lukisan Rembrandt, tapi juga ke lukisan-lukisan terkenal Eropa lain. Cobalah telisik karya yang berjudul Kudaku Gagah Berani (akrilik di atas kanvas 290 x 180 sentimeter). Aslinya lukisan ini berjudul Bonaparte Crossing the Saint Bernard Pass, dibuat pada 1800-1801 oleh Jacques Louis David (1748-1825), pelukis Prancis yang sempat belajar di Italia dan terkenal dengan karya-karyanya bertema peristiwa penting dalam sejarah.
Dalam Kudaku Gagah Berani, yang naik kuda bukan Napoleon Bonaparte lagi, melainkan Bambang Darto sendiri. Gambarnya pun terdiri atas lebih dari satu sosok dengan komposisi bersusun di satu kanvas, bukan lagi gambar figur tunggal sebagaimana lukisan Bonaparte karya Louis David. Seperti pada lukisanlukisan Bambang lainnya, teknik realis yang dia kuasai dia eksploitasi benar. Hanya, barangkali karena “Bonaparte”-nya dari Jawa, yang tidak pernah terlibat dalam perang, maka ekspresi wajah si penunggang kuda, walaupun berkumis dan mengenakan pakaian ala Napoleon, apa boleh buat, agak mengesankan penunggang kuda lumping dalam pertunjukan jatilan.
Tapi Bambang memang tidak pernah berusaha tampil gagah, apalagi garang seperti serdadu, walaupun dalam kesehariannya kadang-kadang dia suka mengenakan pakaian army look. Bambang lebih mengesankan seorang pengelana soliter, yang gemar memasuki wilayah-wilayah yang tak bertepi, termasuk ke kawasan sensual atau yang dekat dengan pergaulan bersama wanita. Lihat karyanya, Aku dan Purwati (akrilik di atas kanvas 180 x 200 sentimeter, 2009), menampilkan kembali adegan The Courtship of Paris and Helen (1788) karya Louis David. Di situ Bambang tampil nyaris telanjang sebagai Paris yang duduk dengan tangan kiri memegang harpa dan tangan kanan merengkuh lengan Helen yang dianggapnya sebagai Purwati berambut pirang tanpa kutang.
Urusannya dengan perempuan tergambar lagi dalam Aku dan Dia (akrilik di atas kanvas 180 x 200 sentimeter, 2009) sebagai terjemahan atas Telemachus Farewell to Euchario (1818).
Sedangkan dalam Tanslation of Marilyn Monroe (akrilik di atas kanvas 150 x 200 sentimeter, 2009) dia membiarkan Marilyn Monroe seperti hendak bersimpuh di atas gumpalan awan dengan lima malaikat kecil, yang satu di antaranya menyunggi tengkorak. Lukisan yang tidak menampilkan diri sendiri ini merupakan terjemahan Bambang atas Maria Magdalena karya Joseph de Rivera.
Akan halnya The Death of Mara karya Louis David (1793), oleh Bambang ditampilkan kembali menjadi M 5 (baca: Mo Limo, artinya: maling, madat, madon (main perempuan), main (judi), dan mabuk). Pada karya dengan akrilik di atas kanvas 200 x 180 sentimeter buatan 2009 itu, tampang tokoh yang meninggal lunglai bukan Bambang, melainkan wajah perupa Bonyong Muni Ardhi, teman sejawatnya. Ada dua botol minuman keras teronggok di lantai, sementara tangan kiri si tokoh memegang kertas ramalan judi. Adapun Bonyong masih sehat, hobinya joging, dan makin aktif melukis setelah pensiun sebagai dosen di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo.
Yang menarik, karya Raden Saleh oleh Bambang juga diutak-atik. Dia menggambarkan kembali Hutan Terbakar karya Raden Saleh dengan judul Merah Bantengku (2009). Banteng yang gelisah karena panas hutan dia merahkan ditambah bar code di bokongnya, selayaknya barang dagangan.
Selain itu, ada Penangkapan Gus Dur (2002), yang gambarnya mirip lukisan Raden Saleh yang berjudul Penangkapan Diponegoro, tapi yang tampak dipapah turun dari pendopo adalah Gus Dur yang mengenakan celana pendek dan kaus dalam. Ini mengingatkan adegan ketika Abdurrahman Wahid dimakzulkan dari Istana Kepresidenan pada 2002.
Cara Bambang yang ugal-ugalan dan selalu melakukan interpretasi kembali atas semua kaidah seni rupa sungguh merupakan ciri khas Kelompok Seni Kepribadian Apa (PIPA), yaitu segerombolan seniman lintas matra (ada pelukis, pematung, dan pemusik) yang menggebrak khazanah seni pada 1977, 1978, dan 1999. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam kegiatan tersebut antara lain Haris Purnomo, Dede Eri Supria, Ronald Manullang, Bonyong Muni Ardhi (golongan perupa yang moncer namanya), dan termasuk Sapto Rahardjo (almarhum).
Selain ugal-ugalan, memberontak dengan guyon, ciri khas eksponen PIPA adalah mereka pada bisa menggambar realis dengan baik dan akademis karena mereka semua memperoleh pendidikan formal seni rupa (di ASRI, kini ISI, dan SSRI). Lalu PIPA juga dianggap memberikan pengaruh pada generasi perupa berikutnya sehingga diundang oleh Panitia Biennale X di Yogya, untuk tampil pada 10 Desember 2009 sampai 10 Januari 2010, sebagai kelompok.
MOHAMAD CHOLID
MANTAN REDAKTUR SENI DAN BUDAYA TEMPO
dari Koran Tempo edisi 26 Oktober 2009
Labels:
Media
Ketika Bambang Darto Memplesetkan Mitos
Sejarah masa lalu, sering menjelma menjadi mitos. Bak cerita mitologi Yunani kuno. Plato, Socrates, Diponegoro bahkan Gus Dur pun –yang sebenarnya bagian dari sejarah— sering dipandang bagai mitos. Di tangan Bambang Darto, semuanya menjadi segar….
ERWAN WIDYARTO, Jogja
ERWAN WIDYARTO, Jogja
Salah satu lukisan Raden Saleh yang sangat terkenal berjudul Penangkapan Diponegoro. Lewat goresan di kanvasnya, Raden Saleh menggambarkan bagaimana Pangeran Diponegoro yangditangkap Belanda di Magelang ‘’ditangisi’’ sejumlah pendukungnya.
Di dalam imajinasi Bambang Darto, komposisi lukisan Raden Saleh itu ‘’direka ulang’’ dengan ‘’mengaktualkan isu. Dengan komposisi lukisanyang mirip, persis, Penangkapan Diponegoro pun menjadi Penangkapan Gus Dur. Gambar Diponegoro di lukisan Raden Saleh ‘’diganti’’ Gus Dur yang melambaikan tangan didampingi Yenni Wahid.
Gambar ini mengingatkan kita saat-saat terakhir Gus Dur sebagai presiden yang dilengserkan MPR. Ia pun memberi salam di depan Istana Presiden dengan hanya bercelana pendek. Teknis realis yang kuat dalam penggarapan lukisan ini, mampu menampakkan detail. Sehingga orang pun akan tersenyum melihat lukisan berukuran sekitar 1 x 2 meter ini.
Itu ‘’mitos’’ dari dalam negeri. Jejak sejarah yang juga menjadi semacam mitos dari masa lalu pun digarap Bambang Darto dengan penuh kesinisan. Salah satunya kisah Socrates. Socrates adalah seorang filosuf Yunani kuno yang hidup dalam rentang masa tahun 470-399 SM.
“Cogito Ergo Sum” begitu Socrates berucap bahwa dengan berpikir maka manusia akan diakui eksistensinya. Prinsip berpikir tiada henti, kritis, mempertanyakan segala sesuatu yang bertentangan dengan kekuasaan masyarakat dengan mengecam segala bentuk ketidakadilan inilah yang akhirnya mengakibatkan Socrates kehilangan nyawanya dengan dipaksa minum racun cemara saat berusia 70-an tahun.
Begitu tegarnya Socrates menghadapi kematian di depan matanya saat detik-detik menjelang ajal pelaksanaan hukuman minum racun. Tapi di tangan Bambang Darto, lukisan ‘’kematian’’ itu dipertanyakan secara kritis. Racun di tangan Socrates diganti dengan secawan minuman ringan yang sebenarnya begitu menguasai: Coca Cola.
Kita diajak berpikir oleh Bambang Darto. Berpikir secara kritis menyikapi gurita perusahaan multinasional yang begitu menguasai negeri ini. Yang, dalam banyak hal, mungkin sudah menjadi semacam racun bagi negeri ini.
Lewat karya-karyanya di pameran Jejak-Jejak Mitos yang digelar di Galeri Tujuh Bintang Artspace 18-21 Oktober di jalan Sukonandi 7 Jogja, Bambang Darto tak sekadar memplesetkan dan mengajak tertawa mitos yang telah ada. Meminjam perkataan kurator pameran ini Wicaksono Adi, Bambang Darto hendak ambil bagian dalam proses pengabadian mitos tersebut dengan cara memain-mainkan lalu ‘’menambahi’’ bagian-bagian tertentu dari keabadian yang sudah baku tersebut.
Memasuki ruang pameran, kita langsung disuguhi dua lukisan besar yang juga bernuansa mitos atau legenda Yunani kuno. Tapi, wajah-wajah tokoh legenda itu sudah diganti dengan wajah milik Bambang Darto sendiri dengan gambar perempuan. Ia beri judul lukisan itu Aku dan Dia.
Lalu, ada pula lukisan dengan memplesetkan Butet Kartaredjasa dan Jadug Feriyanto dalam judul Penjaga Malam #2. Ada Madonna dan sebagainya. Begitulah, dengan kepiawaian teknis melukisnya Bambang Darto memain-mainkan kisah masa lalu itu menjadi menarik dan segar.
Di dalam imajinasi Bambang Darto, komposisi lukisan Raden Saleh itu ‘’direka ulang’’ dengan ‘’mengaktualkan isu. Dengan komposisi lukisanyang mirip, persis, Penangkapan Diponegoro pun menjadi Penangkapan Gus Dur. Gambar Diponegoro di lukisan Raden Saleh ‘’diganti’’ Gus Dur yang melambaikan tangan didampingi Yenni Wahid.
Gambar ini mengingatkan kita saat-saat terakhir Gus Dur sebagai presiden yang dilengserkan MPR. Ia pun memberi salam di depan Istana Presiden dengan hanya bercelana pendek. Teknis realis yang kuat dalam penggarapan lukisan ini, mampu menampakkan detail. Sehingga orang pun akan tersenyum melihat lukisan berukuran sekitar 1 x 2 meter ini.
Itu ‘’mitos’’ dari dalam negeri. Jejak sejarah yang juga menjadi semacam mitos dari masa lalu pun digarap Bambang Darto dengan penuh kesinisan. Salah satunya kisah Socrates. Socrates adalah seorang filosuf Yunani kuno yang hidup dalam rentang masa tahun 470-399 SM.
“Cogito Ergo Sum” begitu Socrates berucap bahwa dengan berpikir maka manusia akan diakui eksistensinya. Prinsip berpikir tiada henti, kritis, mempertanyakan segala sesuatu yang bertentangan dengan kekuasaan masyarakat dengan mengecam segala bentuk ketidakadilan inilah yang akhirnya mengakibatkan Socrates kehilangan nyawanya dengan dipaksa minum racun cemara saat berusia 70-an tahun.
Begitu tegarnya Socrates menghadapi kematian di depan matanya saat detik-detik menjelang ajal pelaksanaan hukuman minum racun. Tapi di tangan Bambang Darto, lukisan ‘’kematian’’ itu dipertanyakan secara kritis. Racun di tangan Socrates diganti dengan secawan minuman ringan yang sebenarnya begitu menguasai: Coca Cola.
Kita diajak berpikir oleh Bambang Darto. Berpikir secara kritis menyikapi gurita perusahaan multinasional yang begitu menguasai negeri ini. Yang, dalam banyak hal, mungkin sudah menjadi semacam racun bagi negeri ini.
Lewat karya-karyanya di pameran Jejak-Jejak Mitos yang digelar di Galeri Tujuh Bintang Artspace 18-21 Oktober di jalan Sukonandi 7 Jogja, Bambang Darto tak sekadar memplesetkan dan mengajak tertawa mitos yang telah ada. Meminjam perkataan kurator pameran ini Wicaksono Adi, Bambang Darto hendak ambil bagian dalam proses pengabadian mitos tersebut dengan cara memain-mainkan lalu ‘’menambahi’’ bagian-bagian tertentu dari keabadian yang sudah baku tersebut.
Memasuki ruang pameran, kita langsung disuguhi dua lukisan besar yang juga bernuansa mitos atau legenda Yunani kuno. Tapi, wajah-wajah tokoh legenda itu sudah diganti dengan wajah milik Bambang Darto sendiri dengan gambar perempuan. Ia beri judul lukisan itu Aku dan Dia.
Lalu, ada pula lukisan dengan memplesetkan Butet Kartaredjasa dan Jadug Feriyanto dalam judul Penjaga Malam #2. Ada Madonna dan sebagainya. Begitulah, dengan kepiawaian teknis melukisnya Bambang Darto memain-mainkan kisah masa lalu itu menjadi menarik dan segar.
Oleh ERWAN WIDYARTO
Labels:
Media
Wednesday, October 21, 2009
Bambang Darto “Cipta Ulang” Karya Rembrandt
OLEH: YUYUK SUGARMAN
Yogyakarta - Di tengah hiruk-pikuk perhelatan seni rupa untuk mempersiapkan perhelatan akbar Biennale Jogja X di Yogya belakangan ini, sebuah pameran yang membawa suasana lain muncul di Tujuh Bintang Art Space, Minggu (18/10) malam.
Bambang Darto, seniman yang sudah aktif berkarya pada akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an menampilkan karya-karyanya yang terinspirasi karya lukisan klasik seperti Rembrandt atau Jacques-Louis David (seorang pelukis neoklasik abad 18).
Secara kasat Anda akan dapat melihat karya Bambang Darto, lelaki kelahiran Probolinggo, Jawa Timur, 5 Januari 1956 ini menyajikan karya Rembrandt ataupun David dalam bentuknya yang asli. Meski begitu, secara jelas pun terlihat ada tambahan yang bisa dikatakan elemen baru yang muncul pada–kalau boleh dibilang–karya reproduksi.
“Tapi, yang ia lakukan tidak dengan merusak atau mengacak-acak karya-karya klasik yang diagung-agungkan itu, melainkan dengan menciptakan ulang secara utuh,” terang Wicaksono Adi, kurator pada pameran tunggal Bambang Darto yang bertajuk “Jejak-jejak Mitos” ini. Dengan begitu, lanjut Wicaksono Adi, ia menjadi semacam rekonstruksi dari karya-karya besar sebagai bentuk penghormatan sekaligus personifikasi terbatas terhadap karya-karya tersebut. Dan memang, setelah dipublikasikan selama bertahun-tahun atau berabad-abad, karya-karya besar itu pada akhirnya telah menjadi milik publik. Milik sejarah, tegas Wicaksono.
Pada pameran tersebut, Bambang Darto menyelipkan potret dirinya yang ditempatkan sedemikian rupa sehingga melebur dengan karya klasik yang ia reproduksi dari para maestro tersebut. “Bambang Darto mengambil bagian dalam proses pengabadian mitos tersebut dengan cara memain-mainkan dan ‘menambahi’ bagian-bagian tertentu dari keabadian yang sudah baku tersebut,” tutur Wicaksono Adi lagi.
Begitulah adanya. Kalau kita amati pada lukisan yang berjudul “Bambang Socrates” yang merupakan pengubahan dari lukisan karya Jacques-Louis David yang berjudul The Death of Socrates, hal ini terlihat jelas. Di sini sosok filsuf yang ternama dan mati (Socrates) karena minum racun ini menjelma menjadi sosok Bambang Darto. Sementara itu, lukisan berjudul “Penunggang Kuda” adalah merupakan versi lain dari karya David yang berjudul “Bonaparte Crossing The Saint-Bernard Pass”. Lagi-lagi, sosok Napoleon Bonaparte berubah menjadi sosok Bambang Darto. Demikian pula wajah Bambang Darto tampil dalam lukisan “Selingkuh” yang merupakan versi lain karya David berjudul “The Courtship of Paris and Helen”.
Kalau kita melihat sosok Bambang Darto sendiri juga sudah tak asing di dunia blantika seni rupa. Ia pernah bergabung dalam suatu kelompok yang menamakan diri Kepribadian Apa (PIPA) di Yogya. Tokoh-tokoh yang berada di kelompok ini di antaranya Gendut Riyanto (almarhum), Ronald Manulang, Moelyono, Bonyong Munni Ardi, Dede Eri Supria, Haris Purnomo, Budi Sulistio, dan Hari Budiono. Bambang bersama kelompoknya ini kala itu membawa misi menggugat kemapanan para seniman senior (terutama di ASRI) yang mereka anggap telah mengalami kemandekan. “Mereka beranggapan gagasan dan konsep para senior itu telah mengalami semacam kejumudan sehingga telah menjadi sejenis belenggu kreativitas,” tutur Wicaksono Adi.
Dia menambahkan, kelompok mereka juga menganggap pikiran serta karya-karya para senior itu mereka anggap tidak berkaitan secara langsung dengan realitas kehidupan masyarakat yang ada pada saat itu. Wicaksono Adi juga menjelaskan, kelompok Bambang Darto ini juga melakukan gugatan terhadap situasi sosial-politik, di mana situasi represif terjadi akibat hegemoni dan dominasi negara Orde Baru yang kian meluas. Bagaimana pun pada akhir tahun 1970-an itu rezim Orde Baru sedang berada dalam tahap akhir konsolidasi sehingga negara menjadi pengendali tunggal segala hajat hidup orang banyak. Begitulah Bambang Darto mengekspresikan diri dalam kanvas yang kini dipamerkan di Tujuh Bintang Art Space hingga 31 Oktober mendatang.
Setelah pameran tunggal ini, kata Wicaksono, kita akan menunggu apa yang akan dilakukan Bambang Darto selanjutnya. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ia menyusup lebih dalam di balik tumpukan jejak mitos tersebut. “Ya, kita akan menunggu karya-karya berikutnya, tentu dengan berbagai kemungkinan media yang lebih kaya berikut elemen-elemen visual yang lebih menantang pula. Semoga,” ujar Wicaksono Adi.
Dari Sinar Harapan edisi 21 oktober 2009
Bambang Darto, seniman yang sudah aktif berkarya pada akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an menampilkan karya-karyanya yang terinspirasi karya lukisan klasik seperti Rembrandt atau Jacques-Louis David (seorang pelukis neoklasik abad 18).
Secara kasat Anda akan dapat melihat karya Bambang Darto, lelaki kelahiran Probolinggo, Jawa Timur, 5 Januari 1956 ini menyajikan karya Rembrandt ataupun David dalam bentuknya yang asli. Meski begitu, secara jelas pun terlihat ada tambahan yang bisa dikatakan elemen baru yang muncul pada–kalau boleh dibilang–karya reproduksi.
“Tapi, yang ia lakukan tidak dengan merusak atau mengacak-acak karya-karya klasik yang diagung-agungkan itu, melainkan dengan menciptakan ulang secara utuh,” terang Wicaksono Adi, kurator pada pameran tunggal Bambang Darto yang bertajuk “Jejak-jejak Mitos” ini. Dengan begitu, lanjut Wicaksono Adi, ia menjadi semacam rekonstruksi dari karya-karya besar sebagai bentuk penghormatan sekaligus personifikasi terbatas terhadap karya-karya tersebut. Dan memang, setelah dipublikasikan selama bertahun-tahun atau berabad-abad, karya-karya besar itu pada akhirnya telah menjadi milik publik. Milik sejarah, tegas Wicaksono.
Pada pameran tersebut, Bambang Darto menyelipkan potret dirinya yang ditempatkan sedemikian rupa sehingga melebur dengan karya klasik yang ia reproduksi dari para maestro tersebut. “Bambang Darto mengambil bagian dalam proses pengabadian mitos tersebut dengan cara memain-mainkan dan ‘menambahi’ bagian-bagian tertentu dari keabadian yang sudah baku tersebut,” tutur Wicaksono Adi lagi.
Begitulah adanya. Kalau kita amati pada lukisan yang berjudul “Bambang Socrates” yang merupakan pengubahan dari lukisan karya Jacques-Louis David yang berjudul The Death of Socrates, hal ini terlihat jelas. Di sini sosok filsuf yang ternama dan mati (Socrates) karena minum racun ini menjelma menjadi sosok Bambang Darto. Sementara itu, lukisan berjudul “Penunggang Kuda” adalah merupakan versi lain dari karya David yang berjudul “Bonaparte Crossing The Saint-Bernard Pass”. Lagi-lagi, sosok Napoleon Bonaparte berubah menjadi sosok Bambang Darto. Demikian pula wajah Bambang Darto tampil dalam lukisan “Selingkuh” yang merupakan versi lain karya David berjudul “The Courtship of Paris and Helen”.
Kalau kita melihat sosok Bambang Darto sendiri juga sudah tak asing di dunia blantika seni rupa. Ia pernah bergabung dalam suatu kelompok yang menamakan diri Kepribadian Apa (PIPA) di Yogya. Tokoh-tokoh yang berada di kelompok ini di antaranya Gendut Riyanto (almarhum), Ronald Manulang, Moelyono, Bonyong Munni Ardi, Dede Eri Supria, Haris Purnomo, Budi Sulistio, dan Hari Budiono. Bambang bersama kelompoknya ini kala itu membawa misi menggugat kemapanan para seniman senior (terutama di ASRI) yang mereka anggap telah mengalami kemandekan. “Mereka beranggapan gagasan dan konsep para senior itu telah mengalami semacam kejumudan sehingga telah menjadi sejenis belenggu kreativitas,” tutur Wicaksono Adi.
Dia menambahkan, kelompok mereka juga menganggap pikiran serta karya-karya para senior itu mereka anggap tidak berkaitan secara langsung dengan realitas kehidupan masyarakat yang ada pada saat itu. Wicaksono Adi juga menjelaskan, kelompok Bambang Darto ini juga melakukan gugatan terhadap situasi sosial-politik, di mana situasi represif terjadi akibat hegemoni dan dominasi negara Orde Baru yang kian meluas. Bagaimana pun pada akhir tahun 1970-an itu rezim Orde Baru sedang berada dalam tahap akhir konsolidasi sehingga negara menjadi pengendali tunggal segala hajat hidup orang banyak. Begitulah Bambang Darto mengekspresikan diri dalam kanvas yang kini dipamerkan di Tujuh Bintang Art Space hingga 31 Oktober mendatang.
Setelah pameran tunggal ini, kata Wicaksono, kita akan menunggu apa yang akan dilakukan Bambang Darto selanjutnya. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ia menyusup lebih dalam di balik tumpukan jejak mitos tersebut. “Ya, kita akan menunggu karya-karya berikutnya, tentu dengan berbagai kemungkinan media yang lebih kaya berikut elemen-elemen visual yang lebih menantang pula. Semoga,” ujar Wicaksono Adi.
Dari Sinar Harapan edisi 21 oktober 2009
Labels:
Media
Tuesday, October 20, 2009
Mencuri Ikon Lawas
PELUKIS BAMBANG DARTO MEMPRAKTEKKAN
APROPRIASI DENGAN MEMBERI MAKNA BARU.
APROPRIASI DENGAN MEMBERI MAKNA BARU.
Seorang lelaki berkostum Romawi memeluk gadis buta yang sedang menyorongkan wadah meminta sedekah. Wajah lelaki berkumis pada lukisan berjudul Pengemis itu adalah wajah pelukis Bambang Darto, 53 tahun. Pengemis adalah satu dari 13 lukisan karya Bambang Darto pada pameran tunggal bertajuk “Jejak-jejak Mitos” di Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta, 18-31 Oktober 2009.
Lukisan Pengemis itu sebenarnya adalah “duplikasi” lukisan karya Jacques-Louis David, seorang perupa neoklasik abad ke-18, berjudul Belisarius (1781). Lukisan ini menggambarkan adegan seorang gadis kecil buta bersama seorang lelaki tua sedang mengemis di pinggir jalan.
Bedanya, wajah lelaki tua pada Belisarius itu diganti dengan wajah Bambang Darto pada Pengemis. Toh Darto, panggilannya, lupa akan judul lukisan aslinya. “Itu tak penting. Yang penting makna barunya,” kata dia saat ditemui di sela-sela persiapan pameran kemarin. Ia ingin menyindir situasi Indonesia kini yang masih suka mengemis kepada bangsa lain. Visualisasi masa lalu menjadi aktual lewat simbol peci dan pin merah-putih.
Darto “mencuri” karya David untuk memberi makna baru. Dalam seni rupa, praktek ini disebut apropriasi, yakni praktek menciptakan karya baru dengan cara mengambil ikon seni yang sudah ada sebelumnya. Perupa memperlakukan ikon seni itu sesuai dengan keinginannya. Ikon itu diolah dan dimanipulasi sehingga menjadi karya berbeda, baik dari dari segi visual maupun maknanya.
Dalam sejarah seni rupa, karya Leonardo da Vinci, Monalisa, sering menjadi sasaran apropriasi. Pelukis surealis Salvador Dali mengganti wajah Monalisa dengan potret dirinya berhiaskan kumis melengkung ke atas dan mata melotot. Praktek apropriasi menguat saat pop art merebak pada 1960-an. Di Indonesia, pop art diserap oleh banyak seniman pemberontak lewat Gerakan Seni Rupa Baru pada 1970-an, kemudian dilanjutkan oleh kelompok Kepribadian Apa (PIPA) di Yogyakarta.
Darto tergabung dengan PIPA. Pada 1978, Darto “mencuri” karya Rembrant bertajuk Penjaga Malam, dengan menambahkan tubuh mirip mahasiswa yang mati tertembak terbaring di depan figur asli Penjaga Malam itu. Di antara serdadu yang menonton tubuh mahasiswa itu, ada figur Darto yang sedang termangu.
Pada 2009, ia mencuri kembali Penjaga Malam dengan bentuk berbeda. Pada Penjaga Malam III ini muncul laki-laki berseragam satuan keamanan bersenjatakan sapu di tengah Penjaga Malamnya Rembrant. Wajahnya mirip Tommy Soeharto. “Di sini wibawa itu dilucuti dengan cara menggambarkan sang pangeran berseragam satpam yang tidak memegang bedil, melainkan sapu,” tulis Adi Wicaksono dalam kuratorial pameran.
Sebagian besar lukisan karya Darto adalah apropriasi karya Jacques-Louis David. Ada karya berjudul Bambang Socrates, apropriasi The Death of Socrates. Ilmuwan itu terbelalak matanya di depan perempuan yang tergeletak hanya mengenakan pakaian dalam. Darto juga menyusup dalam karya Raden Saleh lewat karya Merah Bantengku dan Penangkapan Gus Dur.
Koran Tempo 19 Oktober 2009
Lukisan Pengemis itu sebenarnya adalah “duplikasi” lukisan karya Jacques-Louis David, seorang perupa neoklasik abad ke-18, berjudul Belisarius (1781). Lukisan ini menggambarkan adegan seorang gadis kecil buta bersama seorang lelaki tua sedang mengemis di pinggir jalan.
Bedanya, wajah lelaki tua pada Belisarius itu diganti dengan wajah Bambang Darto pada Pengemis. Toh Darto, panggilannya, lupa akan judul lukisan aslinya. “Itu tak penting. Yang penting makna barunya,” kata dia saat ditemui di sela-sela persiapan pameran kemarin. Ia ingin menyindir situasi Indonesia kini yang masih suka mengemis kepada bangsa lain. Visualisasi masa lalu menjadi aktual lewat simbol peci dan pin merah-putih.
Darto “mencuri” karya David untuk memberi makna baru. Dalam seni rupa, praktek ini disebut apropriasi, yakni praktek menciptakan karya baru dengan cara mengambil ikon seni yang sudah ada sebelumnya. Perupa memperlakukan ikon seni itu sesuai dengan keinginannya. Ikon itu diolah dan dimanipulasi sehingga menjadi karya berbeda, baik dari dari segi visual maupun maknanya.
Dalam sejarah seni rupa, karya Leonardo da Vinci, Monalisa, sering menjadi sasaran apropriasi. Pelukis surealis Salvador Dali mengganti wajah Monalisa dengan potret dirinya berhiaskan kumis melengkung ke atas dan mata melotot. Praktek apropriasi menguat saat pop art merebak pada 1960-an. Di Indonesia, pop art diserap oleh banyak seniman pemberontak lewat Gerakan Seni Rupa Baru pada 1970-an, kemudian dilanjutkan oleh kelompok Kepribadian Apa (PIPA) di Yogyakarta.
Darto tergabung dengan PIPA. Pada 1978, Darto “mencuri” karya Rembrant bertajuk Penjaga Malam, dengan menambahkan tubuh mirip mahasiswa yang mati tertembak terbaring di depan figur asli Penjaga Malam itu. Di antara serdadu yang menonton tubuh mahasiswa itu, ada figur Darto yang sedang termangu.
Pada 2009, ia mencuri kembali Penjaga Malam dengan bentuk berbeda. Pada Penjaga Malam III ini muncul laki-laki berseragam satuan keamanan bersenjatakan sapu di tengah Penjaga Malamnya Rembrant. Wajahnya mirip Tommy Soeharto. “Di sini wibawa itu dilucuti dengan cara menggambarkan sang pangeran berseragam satpam yang tidak memegang bedil, melainkan sapu,” tulis Adi Wicaksono dalam kuratorial pameran.
Sebagian besar lukisan karya Darto adalah apropriasi karya Jacques-Louis David. Ada karya berjudul Bambang Socrates, apropriasi The Death of Socrates. Ilmuwan itu terbelalak matanya di depan perempuan yang tergeletak hanya mengenakan pakaian dalam. Darto juga menyusup dalam karya Raden Saleh lewat karya Merah Bantengku dan Penangkapan Gus Dur.
Labels:
Media
Monday, October 12, 2009
Pameran Tunggal Bambang Darto
PERS RELEASE
Kurator : Wicaksono Adi
Pembukaan : Minggu, 18 Oktober 2009 pukul 19:30
Tempat : Tujuh Bintang Art Space
Jl. Sukonandi 7 Yogyakarta 55166
Musik : Hadi Soesanto, SE
Pameran : Tanggal 18 - 31 Oktober 2009 - pukul 10:00 – 20:00 WIB
---------------------------------------------------------------------
Pembukaan : Minggu, 18 Oktober 2009 pukul 19:30
Tempat : Tujuh Bintang Art Space
Jl. Sukonandi 7 Yogyakarta 55166
Musik : Hadi Soesanto, SE
Pameran : Tanggal 18 - 31 Oktober 2009 - pukul 10:00 – 20:00 WIB
---------------------------------------------------------------------
Karya-karya Bambang Darto lebih dekat sebagai bentuk permainan visual terbatas dari karya-karya yang telah menjadi klasik. Dan publik mungkin tidak akan tahu dan tidak mengenali bahwa salah satu objek dalam lukisan Bambang Darto adalah sosok si pelukisnya. Bahkan orang akan menyangka bahwa karya-karya itu merupakan duplikat atau semacam reproduksi yang prima, dengan perubahan di sana-sini, dari karya-karya klasik tersebut. Jika dulu orang percaya pada otentisitas dan orisinalitas karya seni sebagai buah cipta seorang genius, kini Bambang Darto justru melanggar anggapan semacam itu. Dan cara yang ia lakukan tidak dengan merusak atau mengacak-acak karya-karya klasik yang diagung-agungkan itu melainkan dengan menciptakan ulang secara utuh.
Personalitas (potret diri) seorang pelukis tidak hadir dalam ruang kosong melainkan hadir dalam haribaan berbagai karya yang sudah ada. Ia dapat hadir dalam karya orang lain yang dapat diperlakukan sebagai karya sendiri. Itulah cara yang ingin saya sebut sebagai permainan dalam ketertiban teknikal dari disiplin konvensional rupawi yang sudah mapan. Maka ia menjadi semacam rekonstruksi dari karya-karya besar sebagai bentuk penghormatan sekaligus personifikasi terbatas terhadap karya-karya tersebut. Dan memang, setelah dipublikasikan selama bertahun-tahun atau berabad-abad, maka karya-karya besar itu pada akhirnya telah menjadi milik publik. Milik sejarah.
Dan tanpa ragu-ragu Bambang Darto ingin hadir dalam sejarah itu. Dia menyusup dengan cara yang halus sehingga orang lupa bahwa dirinya adalah seorang penyusup. (Aku ada di sana, berada di dalam sejarah yang diciptakan oleh orang-orang sebelum diriku). Dan sejarah yang diciptakan oleh para maestro itu terkadang menjelma menjadi semacam mitos yang coba diabadikan oleh generasi-generasi berikutnya sehingga menjadi semacam ”keabadian buatan” pula. Dan kini seorang pelukis bernama Bambang Darto hendak ambil bagian dalam proses pengabadian mitos tersebut dengan cara memain-mainkan lalu dan”menambahi” bagian-bagian tertentu dari keabadian yang sudah baku tersebut.
Itulah personalitas yang dibuat samar-samar hingga nyaris tak terbaca. Suatu cara yang sangat halus untuk membuat tafsir bebas terhadap mitos yang coba terus diabadikan oleh para kreator di zaman yang dipenuhi oleh replika segala hal. Berhadapan dengan karya-karya semacam itu kita dibawa masuk pada berbagai sensasi eksotik dari replika keabadian yang telah menjadi milik siapa saja. Si seniman tak berambisi untuk menciptakan keabadian baru, karena ambisi semacam itu kini juga telah menjadi mitos kosong. Yang ada hanyalah celah-celah kosong di mana orang dapat menyusun ulang personalitas dirinya dalam jejak-jejak mitos. Jejak-jejak sejarah yang terusun oleh berbagai elemen masa silam yang jauh.
More info :
www tujuhbintang.com
Labels:
Info
Monday, October 5, 2009
Banyule City Council Works on Paper Art Award 2009 Exhibition
Friday, October 2, 2009
Penawaran Kerjasama Lelang Lukisan
Mengantisipasi kondisi pasar seni yang cukup mengkhawatirkan akibat libasan krisis ekonomi global saat ini, Tujuh Bintang (Tubi) Art Space bermaksud menawarkan kerjasama pemasaran lukisan melalui balai lelang. Hal ini menjadi sangat krusial karena sejak awal tahun ini, kolektor yang benar-benar pecinta seni mulai banyak menahan diri. Yang masih sering menghadiri pameran adalah kolektor-kolektor yang statusnya pedagang. Akibatnya pembeli karya lebih sensitif terhadap harga karya yang dipamerkan. Yang diburu bukan lagi sekedar karya yang bagus saja. Tapi karya yang bagus dan laku di balai lelang. Ini merupakan masalah bagi galeri dan seniman.
Galeri kesulitan mendapatkan karya seniman yang punya nama di pasar, karena yang memburu banyak. Padahal galeri membutuhkan dana yang cukup besar untuk bisa terus berkontribusi terhadap wacana seni, terutama untuk mendukung seniman-seniman muda yang berkualitas. Agar bisa terus berpameran dengan seniman muda, galeri harus bisa memperkenalkan dulu nama-nama baru itu di balai lelang dan menjaga karya seniman agar terkesan sering masuk balai lelang dan laku di mata kolektor. Sehingga ketika galeri memunculkan nama tersebut di pameran, kolektor sudah punya gambaran tentang pasarnya. Jadi untuk bisa bertahan hidup dalam kondisi ekonomi sekarang, sudah masanya bagi galeri dan seniman untuk bisa hidup di dua alam, yaitu dalam wacana apresiasi melalui pameran dan wacana pasar melalui balai lelang.
Saat ini Tubi telah menjalin kerjasama dan menjadi vendor beberapa balai lelang di Jakarta dan Singapore. Dan Tubi bermaksud untuk mengangkat beberapa seniman muda yang sekiranya bisa bekerjasama saling menguntungkan secara jangka panjang. Yang perlu diingat, kerjasama pemasaran ini bukan kerjasama jangka pendek yang bisa mendapatkan hasil maksimal dalam waktu dekat. Perlu cukup banyak waktu agar nilai pasar karya bisa didongkrak sampai ke titik tertinggi. Draft perjanjian kerjasama beserta penjelasannya kami lampirkan dalam email ini. Apabila merasa berminat atau ada beberapa hal yang belum jelas, silakan hubungi kami di nomor 0274 545577 atau datang langsung ke Tubi cp Lenny.
Sebagai tindak lanjutnya, silakan kirimkan sampel karya melalui email agar bisa kami pilih karya yang akan dimasukan secara bertahap karena keterbatasan kuota vendor ke balai lelang. Setelah karya dipilih kami akan hubungi per telepon dan MoU akan kami kirimkan.
Demikian penawaran dari kami. Atas perhatian dan kerjasamanya yang baik kami ucapkan terima kasih.
Galeri kesulitan mendapatkan karya seniman yang punya nama di pasar, karena yang memburu banyak. Padahal galeri membutuhkan dana yang cukup besar untuk bisa terus berkontribusi terhadap wacana seni, terutama untuk mendukung seniman-seniman muda yang berkualitas. Agar bisa terus berpameran dengan seniman muda, galeri harus bisa memperkenalkan dulu nama-nama baru itu di balai lelang dan menjaga karya seniman agar terkesan sering masuk balai lelang dan laku di mata kolektor. Sehingga ketika galeri memunculkan nama tersebut di pameran, kolektor sudah punya gambaran tentang pasarnya. Jadi untuk bisa bertahan hidup dalam kondisi ekonomi sekarang, sudah masanya bagi galeri dan seniman untuk bisa hidup di dua alam, yaitu dalam wacana apresiasi melalui pameran dan wacana pasar melalui balai lelang.
Saat ini Tubi telah menjalin kerjasama dan menjadi vendor beberapa balai lelang di Jakarta dan Singapore. Dan Tubi bermaksud untuk mengangkat beberapa seniman muda yang sekiranya bisa bekerjasama saling menguntungkan secara jangka panjang. Yang perlu diingat, kerjasama pemasaran ini bukan kerjasama jangka pendek yang bisa mendapatkan hasil maksimal dalam waktu dekat. Perlu cukup banyak waktu agar nilai pasar karya bisa didongkrak sampai ke titik tertinggi. Draft perjanjian kerjasama beserta penjelasannya kami lampirkan dalam email ini. Apabila merasa berminat atau ada beberapa hal yang belum jelas, silakan hubungi kami di nomor 0274 545577 atau datang langsung ke Tubi cp Lenny.
Sebagai tindak lanjutnya, silakan kirimkan sampel karya melalui email agar bisa kami pilih karya yang akan dimasukan secara bertahap karena keterbatasan kuota vendor ke balai lelang. Setelah karya dipilih kami akan hubungi per telepon dan MoU akan kami kirimkan.
Demikian penawaran dari kami. Atas perhatian dan kerjasamanya yang baik kami ucapkan terima kasih.
Labels:
Info
Thursday, September 24, 2009
2009 Silk Cut Award Exhibition at Glen Eira Arts Centre
Top: Enchanted Hair Ornament # 4 Gomphus vulgatissimus (Dragonfly) 2009, Linocut hand coloured 30.5 x 23.5 cm
Bottom (Left to right): Installation view of works by finalists Rona Green, Rew Hanks, Jazmina Cininas, Penny Volkofsky, Deborah Klein, Heather Shimmen, John Ryrie (2009 Silk Cut Award winner) and Jennifer Marshall
Sunday, September 13, 2009
Recent Acquisitions, The Art Gallery of Ballarat
Works acquired for the permanent collection of the Art Gallery of Ballarat.
From top:
Aviator 1997, Linocut 46 x 30 cm
Eyes Everywhere 1996 Linocut 46 x 30 cm
Topiary Face 1997 Linocut 44.5 x 31 cm
Needlework Face Linocut 1997 46 x 31 cm
Ducking for Apples 1997 Linocut 46 x 30 cm
Woman at the Door 1996 Linocut 61 x 31 cm
Watching You Watching Me 1996 Linocut 46 x 31cm
Woman on the Beach 1996 Linocut 46 x 31 cm
Mildred Pierce on St. Kilda Pier 1995 Linocut 65 x 46 cm 1995 Linocut 65 x 46 cm
Anonyme 1998 Linocut 73 x 62 cm
Muse 1998, Linocut 73 x 62 cm
Ex Votive Offerings 2002 Screenprint on silk with needle threaders 120 x 40 cm
Ladies Glisten 2002 Screen Print on sized Chinese silk, needle threaders 120 x 40 cm
Subscribe to:
Posts (Atom)