cheap canvas art,cheap canvas art,cheap canvas art prints,cheap canvas art for sale,cheap canvas art supplies,cheap canvas art online,cheap canvas art sets,cheap canvas art uk,cheap canvas art australia,cheap canvas art canada,cheap canvas art brisbane
Monday, March 29, 2010
35% off all images at The Stamping Boutique!
I'm having a sale to go along with my blog candy. Use coupon code, "candy" for a 35% off discount. It will go on until April 20, 2010.
I've managed a new image even with my banged up thumb, but boy am I paying the price? LOL It's killing me! I'm going to call this one something about "Always there for you" or "Needing a lift from a friend" I haven't decided yet.
I wish everyone a wonderful Monday! It's going to be 80 degrees by the end of the week!!!!!!!!!!!
Saturday, March 27, 2010
Sunny Baby with a hat...
Hi everyone,
I hope you are all enjoying the sunshine! We have one more day of it here in Indiana, then tomorrow the rain comes...:(
I'm a little out of sorts. I slipped on some ice yesterday and broke my right thumb,so now my drawing in very much hindered. I've found a way to do it, but it's tough. It takes about 4x as long to draw something than normal, but I'm just so thankful that I'm drawing at all. I hope you all are enjoying your weekend and finding some time for crafting. Happy creating!
Tracey
Wednesday, March 24, 2010
Memanfaatkan Teknologi untuk Berkarya
Oleh : YUYUK SUGARMAN
Dari : Sinar Harapan
Dari : Sinar Harapan
Yogyakarta – Seorang perempuan agak tua dan bergigi tonggos tengah menabuh genderang. Di dekatnya terdapat tulisan “and justice for all”.
Itulah lukisan Totok Buchori, Ketua Sanggar Bambu, yang tengah dipamerkan di Tujuh Bintang Art Space dengan tajuk “Adopt!Adapt!” yang akan berlangsung 17-27 Maret. Lukisan Totok Buchori yang berjudul “Smiling People” memang menjadi semakin penting bila dikaitkan dengan situasi akhir-akhir ini ketika persoalan hukum semakin mencuat.
Di sinilah lewat kepekaannya, Totok menyadarkan kepada semua orang, bangsa ini, agar hukum benar-benar ditegakkan tanpa tebang pilih dan mengedepankan keadilan. Bagi Totok, keadilan masih jauh dari jangkauan rakyat kecil. Karenanya, ia mencoba menyuarakan hal ini dengan sosok perempuan yang berpenampilan sederhana (bersahaja).
Kenapa?
Totok melihat bangsa kita adalah bangsa yang ramah, mudah tersenyum. “Tapi kalau keadilan tak bisa mereka nikmati, bisa saja mereka akan bertindak anarkistis dan menabuh genderang perang. Untuk mencegah ini perlulah pemerintah bersungguh-sungguh menegakkan keadilan tanpa pandang bulu,” ungkapnya dalam percakapannya dengan SH, Senin (22/3) pagi.
Terlepas dari makna yang terkandung di dalamnya, ada sesuatu yang menarik pada lukisan Totok. Betapa tidak, wajah dari perempuan itu pernah pula dipakai oleh perupa Sigit Santoso ketika berpameran di Bentara Budaya beberapa waktu lalu. “Memang benar wajah itu pernah dipinjam oleh sahabat saya Sigit. Kala itu Sigit meminjam foto perempuan itu lantas diambil wajahnya saja. Hal semacam ini sah-sah saja, tak menjadi soal, yang penting adalah makna dari lukisan itu sendiri,” ungkap Totok.
Diakui Totok, kala melukis “Smiling People” ini dirinya menggunakan Photoshop. Artinya, ia menggunakan kemajuan teknologi untuk berkarya, yakni mempercepat pembuatan sketsa. Dengan begitu, menurut pengakuan Totok, akan lebih memudahkan dirinya melukis realis. “Melukis realis itu tak mudah. Kalau saya menggunakan teknologi Photoshop itu hanyalah untuk mempercepat pembuatan sketsa. Kemajuan teknologi ini sangat membantu saya dalam berkarya,” kata Totok.
Memang, sebagaimana juga diungkapkan oleh Kuss Indarto, kurator dalam pameran ini, adanya kemajuan teknologi itu pada akhirnya tidak sekadar menjadi alat bantu, namun juga telah menjadi cara pandang kreatif dalam menelurkan karya-karya estetik lainnya yang lebih kreatif. “Namun teknologi bukan segala-segalanya bagi perupa,” tegas Kuss.
Beradaptasi
Pendekatan para seniman terhadap perkembangan teknologi inilah, yang dinilai Kuss, bertemu dalam satu titik bernama adaptasi. Kemampuan beradaptasi adalah situasi dalam diri seniman untuk menyesuai`kan atau berdamai dengan kebaruan yang berasal dari dunia eksternal mereka.
“Teknologi adalah salah satu yang memungkinkan untuk diserap dan diadaptasi untuk memberi tantangan bagi laju progresivitas kreatif mereka,” ujarnya seraya menambahkan gejala mengadopsi atau memungut (to adopt) ini banyak muncul pada lukisan-lukisan di seluruh Indonesia.
Namun, menurut Kuss, pada kesempatan yang sama, pada kerumunan persoalan gairah seniman yang memacu progresivitas kreatifnya dengan mendayagunakan teknologi, ada persoalan lain yang juga agenda permasalahan bagi sebagian seniman untuk terus diadopsi, yakni problem penggalian nilai-nilai “identitas kebudayaan”.
Persoalan adapt dan adopt ini tentu bisa kita lihat dalam pameran yang tengah digelar di Tujuh Bintang Art Space. Selain Totok Buchori, masih ada 22 seniman yang memamerkan karya-karya mereka. Sebut saja perupa Yuli Kodo dengan tajuk karya “Spirit of Java” (200x150 cm, oil on canvas, 2010) yang memvisualisasikan sosok seorang tokoh pengamat dan kurator seni rupa Indonesia Suwarno Wisetrotomo.
Ada pula perupa Wilman Syahnur yang belakangan ini mencuat namanya dalam Biennale Jogja X yang membuat “Becak Obama”. Namun dalam pameran ini, Wilman menyertakan lukisannya yang berjudul “Wrestling With The Angel”.
Di sinilah lewat kepekaannya, Totok menyadarkan kepada semua orang, bangsa ini, agar hukum benar-benar ditegakkan tanpa tebang pilih dan mengedepankan keadilan. Bagi Totok, keadilan masih jauh dari jangkauan rakyat kecil. Karenanya, ia mencoba menyuarakan hal ini dengan sosok perempuan yang berpenampilan sederhana (bersahaja).
Kenapa?
Totok melihat bangsa kita adalah bangsa yang ramah, mudah tersenyum. “Tapi kalau keadilan tak bisa mereka nikmati, bisa saja mereka akan bertindak anarkistis dan menabuh genderang perang. Untuk mencegah ini perlulah pemerintah bersungguh-sungguh menegakkan keadilan tanpa pandang bulu,” ungkapnya dalam percakapannya dengan SH, Senin (22/3) pagi.
Terlepas dari makna yang terkandung di dalamnya, ada sesuatu yang menarik pada lukisan Totok. Betapa tidak, wajah dari perempuan itu pernah pula dipakai oleh perupa Sigit Santoso ketika berpameran di Bentara Budaya beberapa waktu lalu. “Memang benar wajah itu pernah dipinjam oleh sahabat saya Sigit. Kala itu Sigit meminjam foto perempuan itu lantas diambil wajahnya saja. Hal semacam ini sah-sah saja, tak menjadi soal, yang penting adalah makna dari lukisan itu sendiri,” ungkap Totok.
Diakui Totok, kala melukis “Smiling People” ini dirinya menggunakan Photoshop. Artinya, ia menggunakan kemajuan teknologi untuk berkarya, yakni mempercepat pembuatan sketsa. Dengan begitu, menurut pengakuan Totok, akan lebih memudahkan dirinya melukis realis. “Melukis realis itu tak mudah. Kalau saya menggunakan teknologi Photoshop itu hanyalah untuk mempercepat pembuatan sketsa. Kemajuan teknologi ini sangat membantu saya dalam berkarya,” kata Totok.
Memang, sebagaimana juga diungkapkan oleh Kuss Indarto, kurator dalam pameran ini, adanya kemajuan teknologi itu pada akhirnya tidak sekadar menjadi alat bantu, namun juga telah menjadi cara pandang kreatif dalam menelurkan karya-karya estetik lainnya yang lebih kreatif. “Namun teknologi bukan segala-segalanya bagi perupa,” tegas Kuss.
Beradaptasi
Pendekatan para seniman terhadap perkembangan teknologi inilah, yang dinilai Kuss, bertemu dalam satu titik bernama adaptasi. Kemampuan beradaptasi adalah situasi dalam diri seniman untuk menyesuai`kan atau berdamai dengan kebaruan yang berasal dari dunia eksternal mereka.
“Teknologi adalah salah satu yang memungkinkan untuk diserap dan diadaptasi untuk memberi tantangan bagi laju progresivitas kreatif mereka,” ujarnya seraya menambahkan gejala mengadopsi atau memungut (to adopt) ini banyak muncul pada lukisan-lukisan di seluruh Indonesia.
Namun, menurut Kuss, pada kesempatan yang sama, pada kerumunan persoalan gairah seniman yang memacu progresivitas kreatifnya dengan mendayagunakan teknologi, ada persoalan lain yang juga agenda permasalahan bagi sebagian seniman untuk terus diadopsi, yakni problem penggalian nilai-nilai “identitas kebudayaan”.
Persoalan adapt dan adopt ini tentu bisa kita lihat dalam pameran yang tengah digelar di Tujuh Bintang Art Space. Selain Totok Buchori, masih ada 22 seniman yang memamerkan karya-karya mereka. Sebut saja perupa Yuli Kodo dengan tajuk karya “Spirit of Java” (200x150 cm, oil on canvas, 2010) yang memvisualisasikan sosok seorang tokoh pengamat dan kurator seni rupa Indonesia Suwarno Wisetrotomo.
Ada pula perupa Wilman Syahnur yang belakangan ini mencuat namanya dalam Biennale Jogja X yang membuat “Becak Obama”. Namun dalam pameran ini, Wilman menyertakan lukisannya yang berjudul “Wrestling With The Angel”.
Labels:
Media
Tuesday, March 23, 2010
Blog candy with Copic glitter markers!
Want a chance to win a set of Copic atyou Spica's?
Leave a comment and link back to this post on your blog. That's it to enter!If you want to up your chances of winning,become a follower and your name will be entered twice. Just leave another comment to let me know. Blog candy runs from now until April 20,2010.
1.12 color set of atyou Spica Copic markers.
2.Making Memories metal flowers.
3. Me & My Big Ideas album kit.
4. K & Co. Grand adhesions.
5. K & Co. pillow stickers.
6. Jolee's Boutique dimensional stickers.
7. Thickers- white glitter
8. Entire set of My Little Shoebox's brand new line, "Imaginary Friends" (including diecut cardstock)
9. 2 sheets of Bassill matching cardstock.
Toksoid Kyre
Kau tau tentang racun? Pasti! Bahkan di dalam tubuhmu, juga tubuh kita semua, bersemayam racun akibat dari pola dan gaya hidup kita hari ini; lingkungan, udara, makanan yang masuk ke tubuh kita. Seberapa jauh racun itu terkelola dengan baik atau tidak, tentu tergantung kualitas kesehatan ginjal. Dalam terminologi ilmu kimia, racun dijelaskan sebagai berikut, “zat yang mengubah metabolisme yang normal dari organisme yang merugikan kesehatan dan dapat mematikan bila sedikit zat ini dimakan atau bersentuhan dengan organisme itu”. Racun disebut pula toksin.
Racun mendatangi tubuh kita dari manapun dan dari sumber apapun. Dalam tubuh Kyre, saya duga juga dalam jiwa dan pikirannya, terdapat gugusan toksin atau racun, yang mula-mula datang dari luar dirinya, dan kemudian, sadar atau tidak, diproduksi oleh tubuh dan jiwanya. Seserius itukah? Tentu saja, Anda atau kita semua boleh menyangsikannya.
Oh ya, siapakah Kyre? Dia perupa muda yang gelisah, yang memiliki nama unik Oky Rey Montha Bukit a.k.a Kyre Tempatkencink. Perhatikan nama sapaannya itu, kelihatan bengal ya? Orang muda ini dilahirkan di Yogyakarta, 3 Januari 1986, tetapi tumbuh dan besar di Kabanjahe, Sumatera Utara, sampai akhirnya kembali lagi ke Yogyakarta untuk kuliah di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta. Minat utama yang diambil Desain Komunikasi Visual. Hobinya membaca dan membuat komik. Ia membuat komunitas yang diberi nama Tempatkencink Visual Art Comunity Yogyakarta, yang (secara narsis...!) menerbitkan buku komiknya sendiri dengan judul “One Day Mystique 2009” – Kyre Illustration pocket book (2009). Dalam buku itu, Kyre menulis pengantar pendek (ia menyebutnya INTRO – setali tiga uang), antara lain mengatakan, “Apa yang dicari setiap orang ketika udara yang bersimpang siur di dalam tubuhnya masih dapat berrotasi dengan sempurna? Sel-sel darah merah masih bergejolak, syaraf-syaraf otak masih berfungsi sebagaimana mestinya? Bohong kalau dia tidak mencari sebuah kenikmatan. Kaya raya, terkenal, uang, kedudukan, bahkan menenggak sebotol anggur cap orang tua pun adalah sebuah bentuk kenikmatan yang dicari manusia. Salah satu bentuk kenikmatan lain yang lebih sial adalah fantasi. Kebiasaan berfantasi dapat menimbulkan berbagai macam efek samping yang kadang merugikan makhluk-makhluk di sekitarnya”. Saya kira tulisan itu lebih menunjukkan endapan bawah sadar Kyre dalam memahami perilakunya sendiri. Setidak-tidaknya adalah problematika, bagaimana ia memamahi dirinya sendiri, terkait dengan urusan gelegak fantasi, memori rasa sakit, amarah, dan upaya membebaskan dirinya dari kepungan kisah yang menikam-nikam.
Saya baru bertemu muka dan ngobrol dengan Kyre dua kali. Cara dan gaya bicaranya pelan, sering tampak ragu-ragu, juga tampak menyimpan banyak kisah yang (sepertinya) tak membuatnya nyaman (itu yang saya sebut sebagai “kisah yang menikam-nikam”). Dia juga bilang, agak nervous ketemu saya (mungkin itu yang membuatnya bicara pelan dan tak begitu mengalir?). Namun toh, akhirnya Kyre bicara juga, terutama menjawab sejumlah kesangsian dan pertanyaanku (sebenarnya bukan pertanyaan, tetapi lebih sebagai upaya melakukan konfirmasi-konfirmasi, sembari melihat karya-karya lukisannya).
Inti kisah, Kyre di masa lalunya, masa kanak-kanak dan remaja, sewaktu masih tinggal di Medan, berada dalam situasi ‘di bawah tekanan’ kedua orang tuanya. Maksud orang tuanya, tentu, mengajari Kyre (sebagai si sulung) untuk kerja keras, memberikan contoh, dan bertanggungjawab atas kedua adiknya. Akibatnya, waktunya habis untuk merawat kelinci-kelinci piaraan adik atau keluarganya, juga habis untuk mengurus sebagian pekerjaan rumah tangga. Ia merasa tak memiliki waktu untuk bermain lepas, seperti halnya anak-anak seusianya. “Hanya seperti itu, kau sudah merasa tertekan dan depresi?” saya menyergah memotong ceritanya (dalam hati, saya menyimpan kata yang lebih tajam, tapi tak terucapkan, tepatnya prasangka, yakni, “cengeng amat kau...!”). Kyre seperti tergagap, kemudian melanjutkan, “aku sering diperlakukan kasar oleh orang tuaku....!”. “Oh.... sory” jawab saya cepat. Ia juga mengatakan, bahwa betapa terbatasnya komunikasi yang terbangun antara dirinya dengan orang tuanya. Kata kunci dari kisahnya adalah “perlakuan kasar”, dan kemudian membekas mengiringi pertumbuhan – tubuh dan jiwa – dirinya.
Kata kunci itu cukup jelas. Maksudku tak perlu diurai detailnya, dan sudah bisa digunakan sebagai pintu masuk untuk memahami Kyre dan karya-karyanya, juga aktivitas-aktivitasnya.
Apakah Kyre, melalui karya-karyanya, tengah mempersoalkan mind, body, soul; pikiran, tubuh, dan jiwa? Mengapa karya-karya Kyre begitu ornamentik dengan warna-warna menyala, padahal seluruh karyanya bertolak dari kisah getir masa lalunya? Itulah pertanyaan saya, mungkin juga pertanyaan kita, ketika berhadapan dengan karya-karya Kyre.
Estetisasi Toksin
Toksoid: toksin yang telah kehilangan sifat-sifat toksinnya sebagai akibat dinaturasi atau modifikasi kimia, namun sifat-sifat antigennya masih dipertahankan.
Pameran tunggal Kyre yang pertama ini bertajuk “EVORAH (Evil of Rabbit Head)”. Tajuk ini juga digunakan sebagai judul sebuah novel debutan karya Sukma Swarga Tiba (sssst... dia pacar Kyre....!), 33 halaman kwarto, yang kisahnya juga bertolak dari riwayat hidup Kyre. Kira-kira, novel ini berbasis kisah nyata, yang diolah dan diramu menjadi beraroma fiksi. Lalu, bagaimana hubungan antara novel dengan lukisan-lukisan Kyre? Yang pasti, keduanya bertolak dari sumber yang sama, dan dikreasi oleh orang yang berbeda. Bisa terhubung, bisa juga (dianggap) terpisah. Maksud saya, setidak-tidaknya sampai hari ini, mereka yang membaca novel Sukma dan berupaya mengerti, tak harus mengamati karya-karya lukisan Kyre sampai paham. Demikian pula sebaliknya, mereka yang mengamati dan berupaya mengerti karya-karya Kyre tak harus membaca novel Sukma. Maksud saya berikutnya, bahwa kedua karya itu bisa sangat otonom, dan pada kesempatan berikutnya berpotensi dapat saling memperkaya.
Kembali pada karya-karya Kyre, memang terasa paradoks. Bersumber dari pengalaman dirinya yang buram, karya-karya itu justru ditampilkan secara hingar-bingar, dengan ornamentasi yang riuh dengan warna-warna pastel cerah, dan lembut. Itulah yang saya singgung sejak awal dalam tulisan ini, yakni tentang racun, toksin, dan kemudian toksoid. Pengalaman buram itulah yang terakumulasi menjadi “racun”, yang berpotensi destruktif, baik yang terekspresikan dalam perilaku/tindakan, maupun yang tersimpan dalam kepala dan hatinya. Keduanya merupakan daya perusak yang efektif, dan sanggup menghancurkan (kepribadian, gaya hidup, karier, dll).
Racun harus dikeluarkan dari tubuh, setidaknya dijinakkan, atau dalam istilah kimia disebut detaksikasi, yakni proses membuat zat beracun menjadi tak berbahaya. Racun yang sudah di-detaksikasi tidak lagi menjadi perusak. Dalam konteks proses kreatif Kyre, gumpalan-gumpalan “racun” pada dirinya itu di-detaksikasi melalui corat-coret komik, gambar-gambar fantasi, yang akhirnya menjadi karya-karya lukisan.
Pengalaman-pengalaman buram itu ditumpahkan melalui gambar. Di sana, di bidang gambar itu, Kyre masih bisa mengumpat, meledek, berguman, atau bergurau. Warna-warni yang meriah, dan bentuk-bentuk yang kartunal (deformasi, stilisasi, dan ornamentasi) merupakan bahan dan adonan yang efektif dalam proses detaksikasi, proses reduksi agar racun menjadi tawar. Tajuk “Evil of Rabbit Head” adalah ekspresi umpatan, ledekan, gumam, dan gurauannya.
“Setan Berkepala Kelinci” adalah pengalaman personal, bahkan merupakan personifikasi dirinya. Tajuk itu juga menyiratkan sikap paradoks; meski “setan”, tetapi kalau berkepala “kelinci” akan tereduksi wujud dan watak seramnya. Mungkin itulah yang akan dikatakan Kyre, bahwa dirinya tetap “manis, lucu, menggemaskan” bak “kelinci”, meski menyimpan nafsu setan. Semua kecenderungan “setan” dalam dirinya, ia taklukkan dengan kemasan yang menggemaskan. Perhatikan karya dengan judul “Between Luck, Faith, and Dangerous” (2010); yang menyimpan kemarahan, atau kisah tentang pertarungan hidup yang berbahaya. Namun toh karya ini tetap sedap dipandang mata. Juga karya “Trip of Trap” (2010); sebuah panorama surealistik, sang “setan berkepala kelinci” sedang mengendalikan ‘kereta bertanduk rusa’ (seperti cerita Sinterklas?) dengan seorang penumpang ‘gadis berkacamata’ tengah melintasi langit, di atas ombak (seperti grafis klasik Hokusai?), terdapat bulan penuh, jembatan, dan bangunan kuil (seperti kisah Musashi?). Perjalanan menuju jebakan? Saya duga, kisah yang tersembunyi di balik karya ini cukup getir, tetapi tetap indah bukan? Bahkan mengingatkan pada banyak karya atau kisah yang lain? Atau karya “Hard Decision” (2010); seperti judulnya, kira-kira karya ini berkisah tentang keputusan-keputusan sulit, rumit, dan beresiko, yang harus diambil oleh Kyre. Tetapi, sekali lagi, karya ini tetap terasa jinak, disebabkan oleh bentuk dan warna-warnanya.
Saya ingin pula menyebut proses ini sebagai “estetisasi toksin”, yang di dalamnya tentu terjadi “toksoid”. Kyre berhasil “menjinakkan racun-racun” intangible; racun tak berwujud, tak teraba, tetapi sangat terasa (bagi dirinya). Karena itulah saya mengatakan pada Kyre, “kau beruntung punya kisah masa lalu yang pahit”.
Catatan Kritis
Suatu pilihan ‘bahasa ekspresi’ bisa menjadi jebakan. Kyre bisa terjebak pada bahasa yang ia pilih, dan kemudian membawanya pada bahasa yang stereotipe yang akan berujung pada kemacetan (stagnasi). Indikasi terjadi kemacetan adalah larut dan tenggelam dalam pengulangan-pengulangan, dan itu berarti pula terjadi kemacetan dan ketumpulan gagasan. Jika ini terjadi, maka frustrasi baru segera menghadang dan melanda dirinya, serta sangat mungkin lebih menyakitkan.
Tak mudah untuk menghindar dari ancaman seperti itu. Kecuali Kyre memperkaya diri dengan referensi, mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan cara dan teknik bahasa ekspresi, serta mencari makna baru atas kisah-kisah dirinya sendiri. Kalau ia masih terpesona dengan kepahitan kisah dirinya dengan cara yang sama, maka kemacetan kreativitas sudah tinggal sejengkal di hadapannya.
Hal lain yang harus Kyre lihat dengan lebih terbuka adalah, bahwa karya-karya dengan genre semacam ini sudah cukup banyak. Misalnya karya-karya Bambang “Toko” Witjaksono, Nano Warsono, Wedhar Riyadi, Agus Yulianto, Andre Tanama, Uji “Hahan” Handoko, Tera Bajraghosa, Tulus Rahadi, dan beberapa nama lainnya. Terdapat pula nama Bae Yoo Hwan (perupa Korea, yang suka menghadirkan sosok kelinci dalam karyanya), dan Thukral & Tagra (lengkapnya Jinten Thukral dan Sumir Tagra, perupa kelahiran Punjab, India, yang bekerja bersama/berkolaborasi dengan karyanya yang rapi, surealistik ornamentik). Tentu saja karya-karya itu digubah dengan aneka alasan dan argumentasi masing-masing. Mereka, dengan problematika (jebakan dan posisi) yang hampir sama, namun sudah on the map, tentu dengan resepsi publik (kritikus, kurator, pencinta seni, kolektor, art dealer, atau siapapun dan apapun namanya) yang beragam.
Yang membedakan antara karya perupa yang satu dengan yang lainnya adalah argumentasi dan upaya-upaya memosisikan diri (positioning) dalam panggung seni rupa. Dengan kata lain, tantangan Kyre tak sederhana. Di samping harus menghindari “jebakan stagnasi” (gagasan dan visualisasi), juga harus berupaya menempatkan diri dalam peta seni rupa (Indonesia dan dunia) pada posisi yang meyakinkan. Dengan modal “Toksoid ala Kyre”, saya kira ia punya peluang besar. ***
Suwarno Wisetrotomo
Kritikus Seni Rupa
Dosen di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta
Racun mendatangi tubuh kita dari manapun dan dari sumber apapun. Dalam tubuh Kyre, saya duga juga dalam jiwa dan pikirannya, terdapat gugusan toksin atau racun, yang mula-mula datang dari luar dirinya, dan kemudian, sadar atau tidak, diproduksi oleh tubuh dan jiwanya. Seserius itukah? Tentu saja, Anda atau kita semua boleh menyangsikannya.
Oh ya, siapakah Kyre? Dia perupa muda yang gelisah, yang memiliki nama unik Oky Rey Montha Bukit a.k.a Kyre Tempatkencink. Perhatikan nama sapaannya itu, kelihatan bengal ya? Orang muda ini dilahirkan di Yogyakarta, 3 Januari 1986, tetapi tumbuh dan besar di Kabanjahe, Sumatera Utara, sampai akhirnya kembali lagi ke Yogyakarta untuk kuliah di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta. Minat utama yang diambil Desain Komunikasi Visual. Hobinya membaca dan membuat komik. Ia membuat komunitas yang diberi nama Tempatkencink Visual Art Comunity Yogyakarta, yang (secara narsis...!) menerbitkan buku komiknya sendiri dengan judul “One Day Mystique 2009” – Kyre Illustration pocket book (2009). Dalam buku itu, Kyre menulis pengantar pendek (ia menyebutnya INTRO – setali tiga uang), antara lain mengatakan, “Apa yang dicari setiap orang ketika udara yang bersimpang siur di dalam tubuhnya masih dapat berrotasi dengan sempurna? Sel-sel darah merah masih bergejolak, syaraf-syaraf otak masih berfungsi sebagaimana mestinya? Bohong kalau dia tidak mencari sebuah kenikmatan. Kaya raya, terkenal, uang, kedudukan, bahkan menenggak sebotol anggur cap orang tua pun adalah sebuah bentuk kenikmatan yang dicari manusia. Salah satu bentuk kenikmatan lain yang lebih sial adalah fantasi. Kebiasaan berfantasi dapat menimbulkan berbagai macam efek samping yang kadang merugikan makhluk-makhluk di sekitarnya”. Saya kira tulisan itu lebih menunjukkan endapan bawah sadar Kyre dalam memahami perilakunya sendiri. Setidak-tidaknya adalah problematika, bagaimana ia memamahi dirinya sendiri, terkait dengan urusan gelegak fantasi, memori rasa sakit, amarah, dan upaya membebaskan dirinya dari kepungan kisah yang menikam-nikam.
Saya baru bertemu muka dan ngobrol dengan Kyre dua kali. Cara dan gaya bicaranya pelan, sering tampak ragu-ragu, juga tampak menyimpan banyak kisah yang (sepertinya) tak membuatnya nyaman (itu yang saya sebut sebagai “kisah yang menikam-nikam”). Dia juga bilang, agak nervous ketemu saya (mungkin itu yang membuatnya bicara pelan dan tak begitu mengalir?). Namun toh, akhirnya Kyre bicara juga, terutama menjawab sejumlah kesangsian dan pertanyaanku (sebenarnya bukan pertanyaan, tetapi lebih sebagai upaya melakukan konfirmasi-konfirmasi, sembari melihat karya-karya lukisannya).
Inti kisah, Kyre di masa lalunya, masa kanak-kanak dan remaja, sewaktu masih tinggal di Medan, berada dalam situasi ‘di bawah tekanan’ kedua orang tuanya. Maksud orang tuanya, tentu, mengajari Kyre (sebagai si sulung) untuk kerja keras, memberikan contoh, dan bertanggungjawab atas kedua adiknya. Akibatnya, waktunya habis untuk merawat kelinci-kelinci piaraan adik atau keluarganya, juga habis untuk mengurus sebagian pekerjaan rumah tangga. Ia merasa tak memiliki waktu untuk bermain lepas, seperti halnya anak-anak seusianya. “Hanya seperti itu, kau sudah merasa tertekan dan depresi?” saya menyergah memotong ceritanya (dalam hati, saya menyimpan kata yang lebih tajam, tapi tak terucapkan, tepatnya prasangka, yakni, “cengeng amat kau...!”). Kyre seperti tergagap, kemudian melanjutkan, “aku sering diperlakukan kasar oleh orang tuaku....!”. “Oh.... sory” jawab saya cepat. Ia juga mengatakan, bahwa betapa terbatasnya komunikasi yang terbangun antara dirinya dengan orang tuanya. Kata kunci dari kisahnya adalah “perlakuan kasar”, dan kemudian membekas mengiringi pertumbuhan – tubuh dan jiwa – dirinya.
Kata kunci itu cukup jelas. Maksudku tak perlu diurai detailnya, dan sudah bisa digunakan sebagai pintu masuk untuk memahami Kyre dan karya-karyanya, juga aktivitas-aktivitasnya.
Apakah Kyre, melalui karya-karyanya, tengah mempersoalkan mind, body, soul; pikiran, tubuh, dan jiwa? Mengapa karya-karya Kyre begitu ornamentik dengan warna-warna menyala, padahal seluruh karyanya bertolak dari kisah getir masa lalunya? Itulah pertanyaan saya, mungkin juga pertanyaan kita, ketika berhadapan dengan karya-karya Kyre.
Estetisasi Toksin
Toksoid: toksin yang telah kehilangan sifat-sifat toksinnya sebagai akibat dinaturasi atau modifikasi kimia, namun sifat-sifat antigennya masih dipertahankan.
Pameran tunggal Kyre yang pertama ini bertajuk “EVORAH (Evil of Rabbit Head)”. Tajuk ini juga digunakan sebagai judul sebuah novel debutan karya Sukma Swarga Tiba (sssst... dia pacar Kyre....!), 33 halaman kwarto, yang kisahnya juga bertolak dari riwayat hidup Kyre. Kira-kira, novel ini berbasis kisah nyata, yang diolah dan diramu menjadi beraroma fiksi. Lalu, bagaimana hubungan antara novel dengan lukisan-lukisan Kyre? Yang pasti, keduanya bertolak dari sumber yang sama, dan dikreasi oleh orang yang berbeda. Bisa terhubung, bisa juga (dianggap) terpisah. Maksud saya, setidak-tidaknya sampai hari ini, mereka yang membaca novel Sukma dan berupaya mengerti, tak harus mengamati karya-karya lukisan Kyre sampai paham. Demikian pula sebaliknya, mereka yang mengamati dan berupaya mengerti karya-karya Kyre tak harus membaca novel Sukma. Maksud saya berikutnya, bahwa kedua karya itu bisa sangat otonom, dan pada kesempatan berikutnya berpotensi dapat saling memperkaya.
Kembali pada karya-karya Kyre, memang terasa paradoks. Bersumber dari pengalaman dirinya yang buram, karya-karya itu justru ditampilkan secara hingar-bingar, dengan ornamentasi yang riuh dengan warna-warna pastel cerah, dan lembut. Itulah yang saya singgung sejak awal dalam tulisan ini, yakni tentang racun, toksin, dan kemudian toksoid. Pengalaman buram itulah yang terakumulasi menjadi “racun”, yang berpotensi destruktif, baik yang terekspresikan dalam perilaku/tindakan, maupun yang tersimpan dalam kepala dan hatinya. Keduanya merupakan daya perusak yang efektif, dan sanggup menghancurkan (kepribadian, gaya hidup, karier, dll).
Racun harus dikeluarkan dari tubuh, setidaknya dijinakkan, atau dalam istilah kimia disebut detaksikasi, yakni proses membuat zat beracun menjadi tak berbahaya. Racun yang sudah di-detaksikasi tidak lagi menjadi perusak. Dalam konteks proses kreatif Kyre, gumpalan-gumpalan “racun” pada dirinya itu di-detaksikasi melalui corat-coret komik, gambar-gambar fantasi, yang akhirnya menjadi karya-karya lukisan.
Pengalaman-pengalaman buram itu ditumpahkan melalui gambar. Di sana, di bidang gambar itu, Kyre masih bisa mengumpat, meledek, berguman, atau bergurau. Warna-warni yang meriah, dan bentuk-bentuk yang kartunal (deformasi, stilisasi, dan ornamentasi) merupakan bahan dan adonan yang efektif dalam proses detaksikasi, proses reduksi agar racun menjadi tawar. Tajuk “Evil of Rabbit Head” adalah ekspresi umpatan, ledekan, gumam, dan gurauannya.
“Setan Berkepala Kelinci” adalah pengalaman personal, bahkan merupakan personifikasi dirinya. Tajuk itu juga menyiratkan sikap paradoks; meski “setan”, tetapi kalau berkepala “kelinci” akan tereduksi wujud dan watak seramnya. Mungkin itulah yang akan dikatakan Kyre, bahwa dirinya tetap “manis, lucu, menggemaskan” bak “kelinci”, meski menyimpan nafsu setan. Semua kecenderungan “setan” dalam dirinya, ia taklukkan dengan kemasan yang menggemaskan. Perhatikan karya dengan judul “Between Luck, Faith, and Dangerous” (2010); yang menyimpan kemarahan, atau kisah tentang pertarungan hidup yang berbahaya. Namun toh karya ini tetap sedap dipandang mata. Juga karya “Trip of Trap” (2010); sebuah panorama surealistik, sang “setan berkepala kelinci” sedang mengendalikan ‘kereta bertanduk rusa’ (seperti cerita Sinterklas?) dengan seorang penumpang ‘gadis berkacamata’ tengah melintasi langit, di atas ombak (seperti grafis klasik Hokusai?), terdapat bulan penuh, jembatan, dan bangunan kuil (seperti kisah Musashi?). Perjalanan menuju jebakan? Saya duga, kisah yang tersembunyi di balik karya ini cukup getir, tetapi tetap indah bukan? Bahkan mengingatkan pada banyak karya atau kisah yang lain? Atau karya “Hard Decision” (2010); seperti judulnya, kira-kira karya ini berkisah tentang keputusan-keputusan sulit, rumit, dan beresiko, yang harus diambil oleh Kyre. Tetapi, sekali lagi, karya ini tetap terasa jinak, disebabkan oleh bentuk dan warna-warnanya.
Saya ingin pula menyebut proses ini sebagai “estetisasi toksin”, yang di dalamnya tentu terjadi “toksoid”. Kyre berhasil “menjinakkan racun-racun” intangible; racun tak berwujud, tak teraba, tetapi sangat terasa (bagi dirinya). Karena itulah saya mengatakan pada Kyre, “kau beruntung punya kisah masa lalu yang pahit”.
Catatan Kritis
Suatu pilihan ‘bahasa ekspresi’ bisa menjadi jebakan. Kyre bisa terjebak pada bahasa yang ia pilih, dan kemudian membawanya pada bahasa yang stereotipe yang akan berujung pada kemacetan (stagnasi). Indikasi terjadi kemacetan adalah larut dan tenggelam dalam pengulangan-pengulangan, dan itu berarti pula terjadi kemacetan dan ketumpulan gagasan. Jika ini terjadi, maka frustrasi baru segera menghadang dan melanda dirinya, serta sangat mungkin lebih menyakitkan.
Tak mudah untuk menghindar dari ancaman seperti itu. Kecuali Kyre memperkaya diri dengan referensi, mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan cara dan teknik bahasa ekspresi, serta mencari makna baru atas kisah-kisah dirinya sendiri. Kalau ia masih terpesona dengan kepahitan kisah dirinya dengan cara yang sama, maka kemacetan kreativitas sudah tinggal sejengkal di hadapannya.
Hal lain yang harus Kyre lihat dengan lebih terbuka adalah, bahwa karya-karya dengan genre semacam ini sudah cukup banyak. Misalnya karya-karya Bambang “Toko” Witjaksono, Nano Warsono, Wedhar Riyadi, Agus Yulianto, Andre Tanama, Uji “Hahan” Handoko, Tera Bajraghosa, Tulus Rahadi, dan beberapa nama lainnya. Terdapat pula nama Bae Yoo Hwan (perupa Korea, yang suka menghadirkan sosok kelinci dalam karyanya), dan Thukral & Tagra (lengkapnya Jinten Thukral dan Sumir Tagra, perupa kelahiran Punjab, India, yang bekerja bersama/berkolaborasi dengan karyanya yang rapi, surealistik ornamentik). Tentu saja karya-karya itu digubah dengan aneka alasan dan argumentasi masing-masing. Mereka, dengan problematika (jebakan dan posisi) yang hampir sama, namun sudah on the map, tentu dengan resepsi publik (kritikus, kurator, pencinta seni, kolektor, art dealer, atau siapapun dan apapun namanya) yang beragam.
Yang membedakan antara karya perupa yang satu dengan yang lainnya adalah argumentasi dan upaya-upaya memosisikan diri (positioning) dalam panggung seni rupa. Dengan kata lain, tantangan Kyre tak sederhana. Di samping harus menghindari “jebakan stagnasi” (gagasan dan visualisasi), juga harus berupaya menempatkan diri dalam peta seni rupa (Indonesia dan dunia) pada posisi yang meyakinkan. Dengan modal “Toksoid ala Kyre”, saya kira ia punya peluang besar. ***
Suwarno Wisetrotomo
Kritikus Seni Rupa
Dosen di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta
Labels:
Info
Monday, March 22, 2010
Sunny babies for Squigglefly!
This new image is going to released Saturday at Squigglefly.com
I hope you all like these little girls. They remind me of when mine were little. I had so much fun drawing the fat, little legs. LOL
Well, as I said it won't be available here, but at Squigglefly. (my second home)
Have a wonderful day everyone!
EVORAH
(Evil of Rabbit Head) – Setan Berkepala Kelinci!.
Membaca judul ini, setidaknya membuat kita mengeryitkan dahi atau bergumam dalam hati, “opo tho maksude?” apa maksudnya? Dari judul itu, seolah terbaca dua makhluk yang saling bertolak belakang di”kawin”kan pada satu situasi. Setan dan Kelinci, tentu mempunyai perbedaan yang sangat jauh bertentangan, dari sifat, fisik sampai alam hidupnya, jelas bertolak 180 derajat. Namun, sebenarnya bukan pada bagian itu fokus kita, tapi bagaimana penciptaan karya-karya mengagumkan dari seorang Kyre yang terbungkus dalam pameran tunggal bertitle “EVORAH (Evil of Rabbit Head)” dapat tersaji manis dihadapan kita, itulah yang menjadi sentral perhatian.
Kyre?
Siapa Kyre? Ialah Oky Rey Montha Bukit, seorang perupa muda yang menekuni ilmu Desain Komunikasi Visual di ISI Yogyakarta, juga penggiat komunitas seni Tempatkencink Visual Art Comunity Yogyakarta yang gemar membaca dan membuat komik. Selain namanya yang unik, kegiatan, minat studi dan hobi pemuda ini nampak biasa saja. Namun jangan dulu salah menerka, kesemua hal yang biasa dari dirinya itu menyimpan berbagai hal luar biasa. Hal-hal yang muncul dari dalam diri, melalui pengaruh luar, lingkungan, keluarga, atau pengalamannya. Semua hal itulah yang kemudian menjalari tiap nadi, syaraf ataupun pikiran dan hati orang muda ini sebagai “Racun”. Ya, racun yang baik, racun positive yang membawanya pada akumulasi ide brilliant.
Kembali pada EVORAH, mengapa kemudian Kyre menamai pameran tunggalnya ini dengan sebutan demikian? Tak banyak yang tahu masa kelam Kyre belasan tahun dibelakang, masa dimana ia merasakan tekanan-tekanan, tekanan yang mengakumulasi terus-menerus dimasa lalunya itu berpuncak pada “perlakuan kasar” orang-orang terdekatnya. Mungkin disitulah tolak awalnya, perlakuan kasar itulah yang meracuni karya-karya Kyre. Dalam karya-karyanya, Kyre ingin melontarkan umpatan, ledekan, gumam, bahkan gurauannya pada masa silamnya yang kelam. Tapi kenapa bentuk demonstrasi hati bernada protes ditampilkan dengan warna-warna pastel yang cerah, lembut dan penuh hingar bingar? pengemasan ekspresi seperti itu sebagai rangkaian proses detaksikasi (proses membuat racun menjadi netral) dan tereduksi menjadi tawar, tak berbahaya. Sehingga seorang Kyre bebas membuat penegasan realisasi dirinya dalam karya, bahwa saat kemarahan “Setan” disajikannya diatas kanvas, dia ingin tetap menjadi kelinci yang menggemaskan, makhluk jenaka yang mampu menghibur siapa saja. Sungguh percikan ide yang luar biasa! Mari kita sama-sama selami kedalaman fikiran dan hati orang muda ini melalui deretan karya-karya istimewanya. Dan silakan bermain dengan fantasi Anda masing-masing.
Selamat Berpameran!
Saptoadi Nugroho
Tujuh Bintang Art Space
Membaca judul ini, setidaknya membuat kita mengeryitkan dahi atau bergumam dalam hati, “opo tho maksude?” apa maksudnya? Dari judul itu, seolah terbaca dua makhluk yang saling bertolak belakang di”kawin”kan pada satu situasi. Setan dan Kelinci, tentu mempunyai perbedaan yang sangat jauh bertentangan, dari sifat, fisik sampai alam hidupnya, jelas bertolak 180 derajat. Namun, sebenarnya bukan pada bagian itu fokus kita, tapi bagaimana penciptaan karya-karya mengagumkan dari seorang Kyre yang terbungkus dalam pameran tunggal bertitle “EVORAH (Evil of Rabbit Head)” dapat tersaji manis dihadapan kita, itulah yang menjadi sentral perhatian.
Kyre?
Siapa Kyre? Ialah Oky Rey Montha Bukit, seorang perupa muda yang menekuni ilmu Desain Komunikasi Visual di ISI Yogyakarta, juga penggiat komunitas seni Tempatkencink Visual Art Comunity Yogyakarta yang gemar membaca dan membuat komik. Selain namanya yang unik, kegiatan, minat studi dan hobi pemuda ini nampak biasa saja. Namun jangan dulu salah menerka, kesemua hal yang biasa dari dirinya itu menyimpan berbagai hal luar biasa. Hal-hal yang muncul dari dalam diri, melalui pengaruh luar, lingkungan, keluarga, atau pengalamannya. Semua hal itulah yang kemudian menjalari tiap nadi, syaraf ataupun pikiran dan hati orang muda ini sebagai “Racun”. Ya, racun yang baik, racun positive yang membawanya pada akumulasi ide brilliant.
Kembali pada EVORAH, mengapa kemudian Kyre menamai pameran tunggalnya ini dengan sebutan demikian? Tak banyak yang tahu masa kelam Kyre belasan tahun dibelakang, masa dimana ia merasakan tekanan-tekanan, tekanan yang mengakumulasi terus-menerus dimasa lalunya itu berpuncak pada “perlakuan kasar” orang-orang terdekatnya. Mungkin disitulah tolak awalnya, perlakuan kasar itulah yang meracuni karya-karya Kyre. Dalam karya-karyanya, Kyre ingin melontarkan umpatan, ledekan, gumam, bahkan gurauannya pada masa silamnya yang kelam. Tapi kenapa bentuk demonstrasi hati bernada protes ditampilkan dengan warna-warna pastel yang cerah, lembut dan penuh hingar bingar? pengemasan ekspresi seperti itu sebagai rangkaian proses detaksikasi (proses membuat racun menjadi netral) dan tereduksi menjadi tawar, tak berbahaya. Sehingga seorang Kyre bebas membuat penegasan realisasi dirinya dalam karya, bahwa saat kemarahan “Setan” disajikannya diatas kanvas, dia ingin tetap menjadi kelinci yang menggemaskan, makhluk jenaka yang mampu menghibur siapa saja. Sungguh percikan ide yang luar biasa! Mari kita sama-sama selami kedalaman fikiran dan hati orang muda ini melalui deretan karya-karya istimewanya. Dan silakan bermain dengan fantasi Anda masing-masing.
Selamat Berpameran!
Saptoadi Nugroho
Tujuh Bintang Art Space
Labels:
Info
Pameran Karya Seni Teknologi
Yogyakarta (ANTARA News)
Sebanyak 23 seniman dari berbagai kota menggelar pameran yang menampilkan karya seni rupa bertajuk "Adopt,Adapt" di Tujuh Bintang Art Space Yogyakarta.
"Dalam pameran itu praktik berkesenian bagi seniman telah masuk dalam babak baru, di mana teknologi memiliki peran yang cukup penting," kata kurator pameran "Adopt, Adapt", Kuss Indarto di Yogyakarta,Sabtu.
Ke-23 seniman yang ambil bagian dalam pameran yang berlangsung hingga 27 Maret 2010 antara lain Agung Tato, Amrianis, Bambang Prasetyo, Dadang Imawan, Hadi Soesanto, Ekwan, I Nyoman Agus Wijaya, Iwan Sri Hartoko, Martono, M Sinnie, Mujiharjo.
Selanjutnya, Nur Khamim, Nico Siswanto, Rocka Radipa, Tato Kastareja,Totok Buchori, Yudi Sulistyo, Yoyok Sahaja, Wilman Syahnur, YuliKodo, Danny Ardiyanto, Klowor, dan Bonny Setiawan.
Ia mengatakan, dalam praktik berkesenian bagi seniman, teknologi digunakan sebagai perangkat pembantu dalam proses kreatif. Dalam hal ini, seniman mencoba mengembangkan kecenderungan kreatif yang selama ini telah dijalaninya.
"Dalam konteks itu, mereka memasukkan peran perangkat teknologi sebagai salah satu bagian dalam proses berkreasi. Teknologi menjadi perangkat utama dalam penciptaan karya, sehingga dari situ karya yang dihasilkan itu berasal," katanya.
Pada seniman seperti itu, menurut dia, kedudukan teknologi dalam kaitan dengan proses kreatifnya menjadi ideologis karena mendasarkan yang nyaris seluruh berkaryanya dengan bantuan perangkat teknologi.
Ia mengatakan, teknologi sebagai alat bantu untuk mendukung dalam menajamkan tema yang telah menjadi pilihan mereka. Namun, teknologi bukan segala-segalanya bagi perupa semacam itu.
"Kemampuan seniman untuk beradaptasi, menyesuaikan, dan menyelaraskan dengan kebaruan teknologi yang ada di lingkungannya juga menjadi sesuatu yang penting dalam proses kreatif," katanya. (B015/K004)
Sebanyak 23 seniman dari berbagai kota menggelar pameran yang menampilkan karya seni rupa bertajuk "Adopt,Adapt" di Tujuh Bintang Art Space Yogyakarta.
"Dalam pameran itu praktik berkesenian bagi seniman telah masuk dalam babak baru, di mana teknologi memiliki peran yang cukup penting," kata kurator pameran "Adopt, Adapt", Kuss Indarto di Yogyakarta,Sabtu.
Ke-23 seniman yang ambil bagian dalam pameran yang berlangsung hingga 27 Maret 2010 antara lain Agung Tato, Amrianis, Bambang Prasetyo, Dadang Imawan, Hadi Soesanto, Ekwan, I Nyoman Agus Wijaya, Iwan Sri Hartoko, Martono, M Sinnie, Mujiharjo.
Selanjutnya, Nur Khamim, Nico Siswanto, Rocka Radipa, Tato Kastareja,Totok Buchori, Yudi Sulistyo, Yoyok Sahaja, Wilman Syahnur, YuliKodo, Danny Ardiyanto, Klowor, dan Bonny Setiawan.
Ia mengatakan, dalam praktik berkesenian bagi seniman, teknologi digunakan sebagai perangkat pembantu dalam proses kreatif. Dalam hal ini, seniman mencoba mengembangkan kecenderungan kreatif yang selama ini telah dijalaninya.
"Dalam konteks itu, mereka memasukkan peran perangkat teknologi sebagai salah satu bagian dalam proses berkreasi. Teknologi menjadi perangkat utama dalam penciptaan karya, sehingga dari situ karya yang dihasilkan itu berasal," katanya.
Pada seniman seperti itu, menurut dia, kedudukan teknologi dalam kaitan dengan proses kreatifnya menjadi ideologis karena mendasarkan yang nyaris seluruh berkaryanya dengan bantuan perangkat teknologi.
Ia mengatakan, teknologi sebagai alat bantu untuk mendukung dalam menajamkan tema yang telah menjadi pilihan mereka. Namun, teknologi bukan segala-segalanya bagi perupa semacam itu.
"Kemampuan seniman untuk beradaptasi, menyesuaikan, dan menyelaraskan dengan kebaruan teknologi yang ada di lingkungannya juga menjadi sesuatu yang penting dalam proses kreatif," katanya. (B015/K004)
Labels:
Media
Sunday, March 21, 2010
Menyelaraskan teknologi & seni
Bentuk karya seni saat ini semakin banyak jenisnya. Salah satunya dengan menggunakan teknologi. Perpaduan teknologi dan seni ini bisa dilihat dalam pameran Adopt! Adapt! di Tujuh Bintang Art Space, Jogja, Rabu (18/3)
Seniman yang terlibat dalam pameran ini adalah Agung Tato, Amrianis, Bambang BP Prasetyo, Dadang Imawan, Hadi Soesanto, Ekwan, I Nyoman Agus Wijaya, Iwan Sri Hartoko, Martono, M Sinnie, Mujiharto, Nur Khamim, Nico Siswato, Rocka Radipa, Tato Kastareja, Totok Buchori, Yudi Sulistyo, Yoyok Sahaja, Wilman Syahnur, Yuli Kodo, Danny Ardiyanto, Klowor serta Bonny Setiawan.
Kurator pameran Adopt! Adapt!, Kuss Indarto, menungkapkan para seniman yang berpameran kali ini menjadikan teknologi sebagai perangkat utama dalam penciptaan karyanya. Sehingga dari teknologi inilah karya seni rupa berasal.
Proses bekerja dengan bantuan teknologi dimaksudkan dalam kata adopt yang menjadi tema pameran ini. “Kedudukan teknologi bagi para seniman yang berpameran ini akhirnya menjadi ideologis dan menjadi babakan baru penciptaan karya seni rupa,” kata Kuss.
Selain menjadi ideologi, menurut Kuss, teknologi bagi para seniman yang berpameran kali ini dihadirkan sebagai perangkat pembantu dalam proses kreatif mereka. Teknologi sebagai alat bantu untuk mendukung dan menajamkan tema yang telah jadi pilihannya.
“Karya-karya yang dipamerkan ini juga berasal dari kemampuan seniman beradaptasi atau menyesuaikan atau juga menyelaraskan dengan kebaruan-kebaruan teknologi yang ada di lingkungannya,” ungkap Kuss menambahkan.
Yang kemudian terjadi menurut, Kuss Indarto, publik penikmat seni yang sulit. Karya seniman Jogja, bisa jadi sangat jauh dari identitas Jogja dan Jawa mereka. Begitu pula dengan karya perupa dari minang ataupun Wonosobo.
Dua aspek menarik ini, proses adaptasi (gejala kemajuan teknologi) serta mengadopsi (melihat gejala visual yang melampaui lokalitas). Karya-karya yang hadir berasal dari problem-problem kebudayan lokal yang kemudian dikembangkan sebagai lintas lokal, lintas geografi.
Salah satu karya seni yang dipamerkan adalah instalasi berupa Vespa milik Agung Tato. Instalasi ini juga diberinama Vespa. Casis bagian depan tengah dan belakang Vespa milik Agung Tato ini kemudian diubah sedemikian rupa menyerupai bentuk daun kering yang penuh lobang termakan ulat.
Melihat instalasi Vespa karya Agung Tato ini, imajinasi menjadi terbawa pada persoalan pemanasan global akibat polusi udara yang dikeluarkan dari transportasi sehingga membuat lapisan ozon penahan panas matahari bolong-bolong.
Sedangkan dalam karya milik Sumartono yang berjudul Antaboga Sang Arsitek, pengunjung bisa menyimak ingatan tentang figur wayang purwa yaitu tokoh Antaboga. Imaji tentang wayang dalam kerangka pandang seniman ini telah diubah dalam kerangka visual yang mengedepankan pencitraan aspek waktu kekinian.
Antaboga oleh Sumartono dihadirkan dengan memakai kacamata dan memegang handphone dan memakai kaos. Latar belakang sosok Antaboga ini adalah gambar wajah-wajah pemimpin dunia yang menjadi arsitek negara mereka masing-masing.
Persoalan lokalitas berupa peran domestik wanita dihadirkan Danny Ardhiyanto dalam judul Yu’Mona”. Danny yang juga mahasiswa ISI Jogja ini menghadirkan realitas ibu menyusui sebagai bagian dari peran domestik. Wanita meminjam wajah serta senyum Monalisa yang sedang menggendong dan menyusui anaknya.
Oleh Joko Nugroho
HARIAN JOGJA
Seniman yang terlibat dalam pameran ini adalah Agung Tato, Amrianis, Bambang BP Prasetyo, Dadang Imawan, Hadi Soesanto, Ekwan, I Nyoman Agus Wijaya, Iwan Sri Hartoko, Martono, M Sinnie, Mujiharto, Nur Khamim, Nico Siswato, Rocka Radipa, Tato Kastareja, Totok Buchori, Yudi Sulistyo, Yoyok Sahaja, Wilman Syahnur, Yuli Kodo, Danny Ardiyanto, Klowor serta Bonny Setiawan.
Kurator pameran Adopt! Adapt!, Kuss Indarto, menungkapkan para seniman yang berpameran kali ini menjadikan teknologi sebagai perangkat utama dalam penciptaan karyanya. Sehingga dari teknologi inilah karya seni rupa berasal.
Proses bekerja dengan bantuan teknologi dimaksudkan dalam kata adopt yang menjadi tema pameran ini. “Kedudukan teknologi bagi para seniman yang berpameran ini akhirnya menjadi ideologis dan menjadi babakan baru penciptaan karya seni rupa,” kata Kuss.
Selain menjadi ideologi, menurut Kuss, teknologi bagi para seniman yang berpameran kali ini dihadirkan sebagai perangkat pembantu dalam proses kreatif mereka. Teknologi sebagai alat bantu untuk mendukung dan menajamkan tema yang telah jadi pilihannya.
“Karya-karya yang dipamerkan ini juga berasal dari kemampuan seniman beradaptasi atau menyesuaikan atau juga menyelaraskan dengan kebaruan-kebaruan teknologi yang ada di lingkungannya,” ungkap Kuss menambahkan.
Yang kemudian terjadi menurut, Kuss Indarto, publik penikmat seni yang sulit. Karya seniman Jogja, bisa jadi sangat jauh dari identitas Jogja dan Jawa mereka. Begitu pula dengan karya perupa dari minang ataupun Wonosobo.
Dua aspek menarik ini, proses adaptasi (gejala kemajuan teknologi) serta mengadopsi (melihat gejala visual yang melampaui lokalitas). Karya-karya yang hadir berasal dari problem-problem kebudayan lokal yang kemudian dikembangkan sebagai lintas lokal, lintas geografi.
Salah satu karya seni yang dipamerkan adalah instalasi berupa Vespa milik Agung Tato. Instalasi ini juga diberinama Vespa. Casis bagian depan tengah dan belakang Vespa milik Agung Tato ini kemudian diubah sedemikian rupa menyerupai bentuk daun kering yang penuh lobang termakan ulat.
Melihat instalasi Vespa karya Agung Tato ini, imajinasi menjadi terbawa pada persoalan pemanasan global akibat polusi udara yang dikeluarkan dari transportasi sehingga membuat lapisan ozon penahan panas matahari bolong-bolong.
Sedangkan dalam karya milik Sumartono yang berjudul Antaboga Sang Arsitek, pengunjung bisa menyimak ingatan tentang figur wayang purwa yaitu tokoh Antaboga. Imaji tentang wayang dalam kerangka pandang seniman ini telah diubah dalam kerangka visual yang mengedepankan pencitraan aspek waktu kekinian.
Antaboga oleh Sumartono dihadirkan dengan memakai kacamata dan memegang handphone dan memakai kaos. Latar belakang sosok Antaboga ini adalah gambar wajah-wajah pemimpin dunia yang menjadi arsitek negara mereka masing-masing.
Persoalan lokalitas berupa peran domestik wanita dihadirkan Danny Ardhiyanto dalam judul Yu’Mona”. Danny yang juga mahasiswa ISI Jogja ini menghadirkan realitas ibu menyusui sebagai bagian dari peran domestik. Wanita meminjam wajah serta senyum Monalisa yang sedang menggendong dan menyusui anaknya.
Oleh Joko Nugroho
HARIAN JOGJA
Labels:
Media
Saturday, March 20, 2010
Menjumput Menyelaraskan Teknologi & Karya Seni
Sepertinya sudah tidak ada yang bisa menghindar dari teknologi, bahkan bagi seniman sekalipun. Dulu seniman harus menyelenggarakan aneka bentuk “ritual” untuk mendapatkan inspirasi penciptaan karya seninya, Sekarang dengan menggunakan teknologi, bentuk karya seni bisa tercipta.
Itulah yang sekarang sedang dialami oleh seniman-seniman Yogyakarta; mengadopsi teknologi untuk berpraktek kesenian. Hasilnya pun mereka pamerkan bersama-sama di sebuah galery yang mengawali beberapa pameran yang dilangsungkan di galeri tersebut selalu menghadirkan sisi teknologi serta penciptaan karya seni begitu luasnya.
Galeri itu adalag Tujuh Bintang Ars Space yang berada di Jalan. Seniman-seniman ini mengusung tema “Adopt! Adapt” yang sekali lagi meneguhkan keterlibatan teknologi dalam penciptaan karya seni para seniman tersebut.
Para seniman tersebut adalah Agung Tato, Amrianis, Bambang “BP” Prasetyo, Dadang Imawan, Hadi Soesanto, Ekwan, I Nyoman Agus Wijaya, Iwan Sri Hartoko, Martono, M Sinnie, Mujiharto, Nur Khamim, Nico Siswato, Rocka Radipa, Tato Kastareja, Totok Buchori, Yudi Sulistyo, Yoyok Sahaja, Wilman Syahnur, Yuli Kodo, Danny Ardiyanto, Klowor serta Bonny Setiawan.
Kurator pameran Adopt Adapt, Kuss Indarto mengatakan, para seniman yang berpameran kali ini menjadikan teknologi sebagai perangkat utama dalam penciptaannya sehingga dari teknologi inilah karya seni rupa berasal.
Proses bekerja dengan bantuan teknologi inilah yang dimaksudkan dengan “adopt” yang menjadi tema pameran ini. “ Kedudukan teknologi bagi para seniman yang berpameran ini akhirnya menjadi ideologis dan menjadi babakan baru penciptaan karya seni rupa,” kata Kuss.
Selain menjadi ideologi, teknologi bagi para seniman yang berpameran kali ini dihadirkan sebagai perangkat pembantu dalam proses kreatif mereka. Teknologi sebagai alat bantu untuk mendukung dan menajamkan tema yang telah jadi pilihannya.
Dalam pemahaman tersebut, seniman telah melakukan proses “adapt” yang juga menjadi tema pameran ini. Namun dalam hal ini, teknologi kemudian bukan menjadi satu-satunya alat bagi perupa yang berpameran. “Karya-karya yang dipamerkan ini juga berasal dari kemampuan seiniman beradaptasi atau menyesuaikan atau juga menyelaraskan dengan kebaruan-kebaruan teknologi yang ada di lingkungannya,” terang Kuss Indarto.
Yang kemudian terjadi menurut, Kuss Indarto, publik penikmat seni sulit membuat identifikasi personal atau kelompok untuk melihat sebuah karya seni rupa. Karya seniman Yogyakarta, bisa jadi sangat jauh dari identitas Yogyakarta atau Jawa mereka. Begitu pula dengan karya perupa dari minang ataupun Wonosobo.
Dua aspek menarik ini, proses adaptasi (gejala kemajuan teknologi) serta mengadopsi (melihat gejala visual yang melampaui lokalitas). Karya-karya yang hadir berasal dari problem-problem kebudayan lokal yang kemudian dikembangkan sebagai “lintas lokal”, “lintas geografi”.
Kuss Indarto memberi contoh pada karya Sumartono berjudul “Antaboga Sang Arsitek”, penonton bisa menyimak ingatan tentang figur wayang purwa yaitu tokoh Antaboga. Imaji tentang wayang dalam kerangka pandang seniman ini telah diubah dalam kerangka visual yang mengedepankan pencitraan aspek waktu kekinian.
Antaboga oleh Sumartono dihadirkan dengan memakai kacamata dan memegang handphone dan memakai kaos. Latar belakang sosok Antaboga ini adalah gambar wajah-wajah pemimpin dunia yang menjadi “arsitek” negara mereka masing-masing.
Persoalan lokalitas berupa peran domestik wanita dihadirkan Danny Ardhiyanto dalam judul Yu’Mona”. Danny yang mahasiswa ISI Yogyakarta ini menghadirkan realitas ibu menyusui sebagai bagian dari peran domestik wanita dengan meminjam wajah serta senyum Monalisa yang sedang menggendong dan menyusui anaknya.
Instalasi berupa Vespa dipamerkan Agung Tato denga judul instalasi sama seperti namanya. Chasis bagian depan tengah dan belakang Vespa milik Agung Tato ini kemudian diubah sedemikian rupa menyerupai bentuk daun kering sudah penuh lobang termakan ulat.
Melihat instalasi “Vespa” karya Agung Tato ini, imajinasi menjadi terbawa pada persoalan pemanasan global akibat polusi udara yang dikeluarkan dari transportasi sehingga membuat lapisan ozon penahan panas matahari bolong-bolong.
Ikon visual yang berangkat dari persoalan gender dicoba dimunculkan Hadi Susanto dalam lukisannya, Drill With Girl yang menampilkan seorang wanita muda dengan rupa lokal tapi berpakaian global bertato dan memegang mesin bor.
Sosok wanita muda ini mengingatkan pada sosok bintang film wanita yang berpakaian seksi berperan menjadi tokoh jagoan dimana biasanya tokoh-tokoh jagoan itu dimainkan laki-laki. Lukisan Hadi Soesanto ini bisa dimaknai sebagai persoalan emansipasi dalam konteks dunia modern saat ini dengan salah satu persoalannya, persamaan hak dan peran antara wanita dan laki-laki.
Sementara itu, Yudi Sulistya hadir dalam karyanya, “Bangkitnya Roh”. Di sini Yudi menghadirkan sosok robot besar yang tiba-tiba hidup karena rohnya telah kembali.Robot itu bisa berdiri tegak dengan sorot pada bagian wajahnya berwarna merah. Ia berdiri diantara rongsokan-rongsokan robot rusak.
Karya-karya yang dipamerkan para seniman kali ini menyimpulkan satu hal, seperti yang dikatakan Direktur Tujuh Bintang Art Space, Saptoadi Nugroho, seni adalah makhluk dinamis yang lahir melalui proses, jadi melahirkan karya-karya yang mengadopsi karya orang lain kemudian diadaptasi dengan gaya masing-masing. (The Real Jogja/joe)
dari JogjaNews
Itulah yang sekarang sedang dialami oleh seniman-seniman Yogyakarta; mengadopsi teknologi untuk berpraktek kesenian. Hasilnya pun mereka pamerkan bersama-sama di sebuah galery yang mengawali beberapa pameran yang dilangsungkan di galeri tersebut selalu menghadirkan sisi teknologi serta penciptaan karya seni begitu luasnya.
Galeri itu adalag Tujuh Bintang Ars Space yang berada di Jalan. Seniman-seniman ini mengusung tema “Adopt! Adapt” yang sekali lagi meneguhkan keterlibatan teknologi dalam penciptaan karya seni para seniman tersebut.
Para seniman tersebut adalah Agung Tato, Amrianis, Bambang “BP” Prasetyo, Dadang Imawan, Hadi Soesanto, Ekwan, I Nyoman Agus Wijaya, Iwan Sri Hartoko, Martono, M Sinnie, Mujiharto, Nur Khamim, Nico Siswato, Rocka Radipa, Tato Kastareja, Totok Buchori, Yudi Sulistyo, Yoyok Sahaja, Wilman Syahnur, Yuli Kodo, Danny Ardiyanto, Klowor serta Bonny Setiawan.
Kurator pameran Adopt Adapt, Kuss Indarto mengatakan, para seniman yang berpameran kali ini menjadikan teknologi sebagai perangkat utama dalam penciptaannya sehingga dari teknologi inilah karya seni rupa berasal.
Proses bekerja dengan bantuan teknologi inilah yang dimaksudkan dengan “adopt” yang menjadi tema pameran ini. “ Kedudukan teknologi bagi para seniman yang berpameran ini akhirnya menjadi ideologis dan menjadi babakan baru penciptaan karya seni rupa,” kata Kuss.
Selain menjadi ideologi, teknologi bagi para seniman yang berpameran kali ini dihadirkan sebagai perangkat pembantu dalam proses kreatif mereka. Teknologi sebagai alat bantu untuk mendukung dan menajamkan tema yang telah jadi pilihannya.
Dalam pemahaman tersebut, seniman telah melakukan proses “adapt” yang juga menjadi tema pameran ini. Namun dalam hal ini, teknologi kemudian bukan menjadi satu-satunya alat bagi perupa yang berpameran. “Karya-karya yang dipamerkan ini juga berasal dari kemampuan seiniman beradaptasi atau menyesuaikan atau juga menyelaraskan dengan kebaruan-kebaruan teknologi yang ada di lingkungannya,” terang Kuss Indarto.
Yang kemudian terjadi menurut, Kuss Indarto, publik penikmat seni sulit membuat identifikasi personal atau kelompok untuk melihat sebuah karya seni rupa. Karya seniman Yogyakarta, bisa jadi sangat jauh dari identitas Yogyakarta atau Jawa mereka. Begitu pula dengan karya perupa dari minang ataupun Wonosobo.
Dua aspek menarik ini, proses adaptasi (gejala kemajuan teknologi) serta mengadopsi (melihat gejala visual yang melampaui lokalitas). Karya-karya yang hadir berasal dari problem-problem kebudayan lokal yang kemudian dikembangkan sebagai “lintas lokal”, “lintas geografi”.
Kuss Indarto memberi contoh pada karya Sumartono berjudul “Antaboga Sang Arsitek”, penonton bisa menyimak ingatan tentang figur wayang purwa yaitu tokoh Antaboga. Imaji tentang wayang dalam kerangka pandang seniman ini telah diubah dalam kerangka visual yang mengedepankan pencitraan aspek waktu kekinian.
Antaboga oleh Sumartono dihadirkan dengan memakai kacamata dan memegang handphone dan memakai kaos. Latar belakang sosok Antaboga ini adalah gambar wajah-wajah pemimpin dunia yang menjadi “arsitek” negara mereka masing-masing.
Persoalan lokalitas berupa peran domestik wanita dihadirkan Danny Ardhiyanto dalam judul Yu’Mona”. Danny yang mahasiswa ISI Yogyakarta ini menghadirkan realitas ibu menyusui sebagai bagian dari peran domestik wanita dengan meminjam wajah serta senyum Monalisa yang sedang menggendong dan menyusui anaknya.
Instalasi berupa Vespa dipamerkan Agung Tato denga judul instalasi sama seperti namanya. Chasis bagian depan tengah dan belakang Vespa milik Agung Tato ini kemudian diubah sedemikian rupa menyerupai bentuk daun kering sudah penuh lobang termakan ulat.
Melihat instalasi “Vespa” karya Agung Tato ini, imajinasi menjadi terbawa pada persoalan pemanasan global akibat polusi udara yang dikeluarkan dari transportasi sehingga membuat lapisan ozon penahan panas matahari bolong-bolong.
Ikon visual yang berangkat dari persoalan gender dicoba dimunculkan Hadi Susanto dalam lukisannya, Drill With Girl yang menampilkan seorang wanita muda dengan rupa lokal tapi berpakaian global bertato dan memegang mesin bor.
Sosok wanita muda ini mengingatkan pada sosok bintang film wanita yang berpakaian seksi berperan menjadi tokoh jagoan dimana biasanya tokoh-tokoh jagoan itu dimainkan laki-laki. Lukisan Hadi Soesanto ini bisa dimaknai sebagai persoalan emansipasi dalam konteks dunia modern saat ini dengan salah satu persoalannya, persamaan hak dan peran antara wanita dan laki-laki.
Sementara itu, Yudi Sulistya hadir dalam karyanya, “Bangkitnya Roh”. Di sini Yudi menghadirkan sosok robot besar yang tiba-tiba hidup karena rohnya telah kembali.Robot itu bisa berdiri tegak dengan sorot pada bagian wajahnya berwarna merah. Ia berdiri diantara rongsokan-rongsokan robot rusak.
Karya-karya yang dipamerkan para seniman kali ini menyimpulkan satu hal, seperti yang dikatakan Direktur Tujuh Bintang Art Space, Saptoadi Nugroho, seni adalah makhluk dinamis yang lahir melalui proses, jadi melahirkan karya-karya yang mengadopsi karya orang lain kemudian diadaptasi dengan gaya masing-masing. (The Real Jogja/joe)
dari JogjaNews
Labels:
Media
Friday, March 19, 2010
Missing you...
This is actually titled, "Alone". I've just been feeling lonely this week. I love working from home, but sometimes it gets lonely. Maybe I'll get out and go see my friends and my horse at the stable. I think my horse is my best friend.LOL. She makes me happier than anyone.
I subtitled this, "Missing You" because I thought it would make a good "Missing You" or "Thinking of You" card. Well, now I've got my Sassy on my mind so I'd better go get my boots on. My love to all of you...
Christy's little guy...
Wednesday, March 17, 2010
Pameran Seni Rupa Adopt! Adapt!
Pameran Seni Rupa Adopt! Adapt!: Menjumput dan Menyelaraskan
TEMPO Interaktif, Jakarta - Mulai Rabu besok, Tujuh Bintang Art Space di Jalan Sukonandi, Kusumanegara, Yogyakarta, akan menggelar pameran seni rupa bertajuk “Adopt! Adapt!”. Pameran yang akan berlangsung hingga 27 Maret mendatang itu menampilkan karya-karya perupa, antara lain, Agung Tato, Amrianis, Bambang “BP” Prasetyo, I Nyoman Agus Wijaya, Nico Siswanto, Totok Buchori, Bonny Setiawan. adopt adapt
Dalam situs www.tujuhbintang.com, kurator pameran Kuss Indarto menyatakan, praktik berkesenian bagi banyak kalangan perupa di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, telah masuk dalam babakan dimana teknologi memiliki peran sangat penting.
Pertama, teknologi menjadi perangkat utama dalam penciptaan karya, sehingga dari sanalah asal karya yang dihasilkan. Kedudukan teknologi dalam kaitan dengan proses kreatifnya menjadi ideologis karena mendasarkan hampir seluruh karyanya dengan bantuan perangkat teknologi.
Kedua, teknologi sebagai perangkat pembantu dalam proses kreatif. Di sini para perupa mencoba mengembangkan kecenderungan kreatif yang selama ini telah dilakoninya, dan memasukkan peran perangkat teknologi sebagai salah satu bagian dalam proses berkreasi. Teknologi sebagai alat bantu untuk mendukung dalam menajamkan tema yang telah jadi pilihannya. Namun teknologi bukan segala-segalanya. Kemampuan seniman untuk beradaptasi atau menyesuaikan atau menyelaraskan (to adapt) dengan kebaruan-kebaruan teknologi yang ada di lingkungannya.
Gejala lain yang juga berkembang belakangan ini adalah publik sulit sekali membuat identifikasi personal atau komunal untuk melihat sebuah karya seni rupa. Misalnya, karya seniman yang berasal dari Yogyakarta, bisa sangat jauh dari “identitas keyogyaan/kejawaannya”. Begitu juga dengan karya perupa dari Ranah Minang bisa tak beda jauh “identitas visualnya” dari karya seniman Eropa.
Gejala ini mengemuka di mana-mana, dan menjadi bagian penting dari kerja kreatif seniman yang imajinasinya tak seutuhnya didukung dan bersumber dari ide-ide lokal. Lokalitas terkadang seperti diingkari secara visual, meski secara konseptual hal ini masih belum beranjak jauh.
Menurut Kuss, gejala ini dapat ditengarai sebagai sebuah cara seniman dalam bersiasat untuk memperbarui dunia gagasan dan implementasinya di medan kreatifnya, di atas kanvasnya. Saya kira gejala mengadopsi atau memungut (to adopt) ini banyak muncul pada lukisan-lukisan di seluruh Indonesia.
Aspek yang menarik dalam pameran ini adalah proses mengadaptasi (gejala kemajuan teknologi) dan mengadopsi (gejala visual yang melampaui problem lokalitas). Ikon-ikon visual yang berangkat dari problem kebudayaan lokal bisa lebih jauh digali dan dikembangkan menjadi lintas lokal, lintas geografis, lintas etnik.
Nurdin Kalim
Dalam situs www.tujuhbintang.com, kurator pameran Kuss Indarto menyatakan, praktik berkesenian bagi banyak kalangan perupa di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, telah masuk dalam babakan dimana teknologi memiliki peran sangat penting.
Pertama, teknologi menjadi perangkat utama dalam penciptaan karya, sehingga dari sanalah asal karya yang dihasilkan. Kedudukan teknologi dalam kaitan dengan proses kreatifnya menjadi ideologis karena mendasarkan hampir seluruh karyanya dengan bantuan perangkat teknologi.
Kedua, teknologi sebagai perangkat pembantu dalam proses kreatif. Di sini para perupa mencoba mengembangkan kecenderungan kreatif yang selama ini telah dilakoninya, dan memasukkan peran perangkat teknologi sebagai salah satu bagian dalam proses berkreasi. Teknologi sebagai alat bantu untuk mendukung dalam menajamkan tema yang telah jadi pilihannya. Namun teknologi bukan segala-segalanya. Kemampuan seniman untuk beradaptasi atau menyesuaikan atau menyelaraskan (to adapt) dengan kebaruan-kebaruan teknologi yang ada di lingkungannya.
Gejala lain yang juga berkembang belakangan ini adalah publik sulit sekali membuat identifikasi personal atau komunal untuk melihat sebuah karya seni rupa. Misalnya, karya seniman yang berasal dari Yogyakarta, bisa sangat jauh dari “identitas keyogyaan/kejawaannya”. Begitu juga dengan karya perupa dari Ranah Minang bisa tak beda jauh “identitas visualnya” dari karya seniman Eropa.
Gejala ini mengemuka di mana-mana, dan menjadi bagian penting dari kerja kreatif seniman yang imajinasinya tak seutuhnya didukung dan bersumber dari ide-ide lokal. Lokalitas terkadang seperti diingkari secara visual, meski secara konseptual hal ini masih belum beranjak jauh.
Menurut Kuss, gejala ini dapat ditengarai sebagai sebuah cara seniman dalam bersiasat untuk memperbarui dunia gagasan dan implementasinya di medan kreatifnya, di atas kanvasnya. Saya kira gejala mengadopsi atau memungut (to adopt) ini banyak muncul pada lukisan-lukisan di seluruh Indonesia.
Aspek yang menarik dalam pameran ini adalah proses mengadaptasi (gejala kemajuan teknologi) dan mengadopsi (gejala visual yang melampaui problem lokalitas). Ikon-ikon visual yang berangkat dari problem kebudayaan lokal bisa lebih jauh digali dan dikembangkan menjadi lintas lokal, lintas geografis, lintas etnik.
Nurdin Kalim
Labels:
Media
Monday, March 15, 2010
TSB forum is back and is for everyone...
TSB's forum is back and ready for some action. We want to see what's on your mind. Want to start a Copic group? Want to start a group for your store? Want to start a group to discuss parenting toddlers? politics? The sky's the limit ladies. The gallery is open to share all types of art from all companies and all mediums. This forum is about all of us sharing ideas and crossing boundaries to develop friendships. I so hope you'll join us.
Store owners-feel free to advertise your store and any sales or promotions. I would also love to see your cards/projects in the gallery.
I'm so excited about this and I can't wait to make new friendships!!!:)
(please pass along this post to as many people as you can)
Store owners-feel free to advertise your store and any sales or promotions. I would also love to see your cards/projects in the gallery.
I'm so excited about this and I can't wait to make new friendships!!!:)
(please pass along this post to as many people as you can)
23 Seniman ISI gelar pameran Adopt! Adapt!
Senin, 15/03/2010 13:45:25 WIB
Oleh: Herry Suhendra
JAKARTA (Bisnis.com): Sebanyak 23 seniman dari berbagai kota di Indonesia yang menempuh pendidikan di ISI Yogyakarta, menyelenggarakan pameran bersama dengan tema Adopt! Adapt! di Tujuh Bintang Art Space Yogyakarta pada 17 Maret.
"Praktik berkesenian bagi banyak kalangan perupa di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, telah masuk dalam babakan di mana teknologi memiliki peran yang teramat penting," kata kurator Kuss Indarto, hari ini.
Menurut dia, teknologi menjadi perangkat utama dalam penciptaan karya sehingga dari sanalah karya yang dihasilkan itu berasal. Pada seniman jenis ini, kedudukan teknologi dalam kaitan dengan proses kreatifnya menjadi ideologis karena mendasarkan (nyaris) seluruh berkaryanya dengan bantuan perangkat teknologi.
"Teknologi juga sebagai perangkat pembantu dalam proses kreatif. Di sini para perupa mencoba mengembangkan kecenderungan kreatif yang selama ini telah dilakoninya, dan memasukkan peran perangkat teknologi sebagai salah satu bagian dalam proses berkreasi."
Teknologi, tambahnya, sebagai alat bantu untuk mendukung dalam menajamkan tema yang telah jadi pilihannya. Namun, teknologi bukan segala-segalanya bagi perupa semacam ini.
Kemampuan seniman untuk beradaptasi atau menyesuaikan atau menyelaraskan [to adapt] dengan kebaruan-kebaruan teknologi yang ada di lingkungannya. Di sisi lain, jelasnya, saat ini publik sulit sekali membuat identifikasi personal atau komunal untuk melihat sebuah karya seni rupa.
"Misalnya, karya seniman yang berasal dari Yogyakarta, bisa sangat jauh dari identitas keyogyaan atua kejawaannya."
Begitu juga dengan karya perupa dari Ranah Minang bisa tak beda jauh 'identitas visualnya' dari karya seniman Eropa. Gejala ini mengemuka dimana-mana, dan menjadi bagian penting dari kerja kreatif seniman yang imajinasinya tidak seutuhnya didukung dan bersumber dari ide-ide lokal.
"Lokalitas terkadang seperti diingkari secara visual, meski secara konseptual hal ini masih belum beranjak jauh. Gejala ini saya kira dapat ditengarai sebagai sebuah cara seniman dalam bersiasat untuk memperbarui dunia gagasan dan implementasinya di medan kreatifnya, di atas kanvasnya," kata Kuss Indarto.
Para seniman yang ikut pameran adalah Agung Tato, Amrianis, Bambang 'BP' Prasetyo, Dadang Imawan, Hadi Soesanto, Ekwan, I Nyoman Agus Wijaya, Iwan Sri Hartoko, Martono, M. Sinnie, Mujiharjo, Nur Khamim, Nico Siswanto, Rocka Radipa, Tato Kastareja, Totok Buchori, Yudi Sulistyo, Yoyok Sahaja, Wilman Syahnur, Yuli Kodo, Danny Ardiyanto, Klowor, dan Bonny Setiawan.(yn)
Oleh: Herry Suhendra
JAKARTA (Bisnis.com): Sebanyak 23 seniman dari berbagai kota di Indonesia yang menempuh pendidikan di ISI Yogyakarta, menyelenggarakan pameran bersama dengan tema Adopt! Adapt! di Tujuh Bintang Art Space Yogyakarta pada 17 Maret.
"Praktik berkesenian bagi banyak kalangan perupa di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, telah masuk dalam babakan di mana teknologi memiliki peran yang teramat penting," kata kurator Kuss Indarto, hari ini.
Menurut dia, teknologi menjadi perangkat utama dalam penciptaan karya sehingga dari sanalah karya yang dihasilkan itu berasal. Pada seniman jenis ini, kedudukan teknologi dalam kaitan dengan proses kreatifnya menjadi ideologis karena mendasarkan (nyaris) seluruh berkaryanya dengan bantuan perangkat teknologi.
"Teknologi juga sebagai perangkat pembantu dalam proses kreatif. Di sini para perupa mencoba mengembangkan kecenderungan kreatif yang selama ini telah dilakoninya, dan memasukkan peran perangkat teknologi sebagai salah satu bagian dalam proses berkreasi."
Teknologi, tambahnya, sebagai alat bantu untuk mendukung dalam menajamkan tema yang telah jadi pilihannya. Namun, teknologi bukan segala-segalanya bagi perupa semacam ini.
Kemampuan seniman untuk beradaptasi atau menyesuaikan atau menyelaraskan [to adapt] dengan kebaruan-kebaruan teknologi yang ada di lingkungannya. Di sisi lain, jelasnya, saat ini publik sulit sekali membuat identifikasi personal atau komunal untuk melihat sebuah karya seni rupa.
"Misalnya, karya seniman yang berasal dari Yogyakarta, bisa sangat jauh dari identitas keyogyaan atua kejawaannya."
Begitu juga dengan karya perupa dari Ranah Minang bisa tak beda jauh 'identitas visualnya' dari karya seniman Eropa. Gejala ini mengemuka dimana-mana, dan menjadi bagian penting dari kerja kreatif seniman yang imajinasinya tidak seutuhnya didukung dan bersumber dari ide-ide lokal.
"Lokalitas terkadang seperti diingkari secara visual, meski secara konseptual hal ini masih belum beranjak jauh. Gejala ini saya kira dapat ditengarai sebagai sebuah cara seniman dalam bersiasat untuk memperbarui dunia gagasan dan implementasinya di medan kreatifnya, di atas kanvasnya," kata Kuss Indarto.
Para seniman yang ikut pameran adalah Agung Tato, Amrianis, Bambang 'BP' Prasetyo, Dadang Imawan, Hadi Soesanto, Ekwan, I Nyoman Agus Wijaya, Iwan Sri Hartoko, Martono, M. Sinnie, Mujiharjo, Nur Khamim, Nico Siswanto, Rocka Radipa, Tato Kastareja, Totok Buchori, Yudi Sulistyo, Yoyok Sahaja, Wilman Syahnur, Yuli Kodo, Danny Ardiyanto, Klowor, dan Bonny Setiawan.(yn)
Labels:
Media
Spirit Of Java
Yuli Kodo
Pendidikan:
SMSR Yogyakarta
Pameran Bersama (4 tahun terakhir):
2010 - 'Adopt! Adapt!', Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta
- 'Paramitra', MonDecor Galeri, Jakarta
- Pameran Persatuan Paguyuban 'Matahari', Taman Budaya Yogyakarta
2009 - 'Persatuan Paguyuban', Taman Budaya Yogyakarta
- 'Seniku Tak Berhenti Lama', Taman Budaya Yogyakarta
- '50 Tahun Sanggar Bambu', Taman Budaya Yogyakarta
- 'New Wave, New Power', Malinda Art Gallery, Jakarta
- 'Menilik Akar', Galeri Nasional Indonesia, Jakarta
- 'Presiden-Presiden', Galeri Biasa Yogyakarta
- 'Up & Hope', D'Peak Art Space, Jakarta
- 'Anti Teror', Galeri Roommate Visual Art Curatorial Lab Yogyakarta
- 'Biennale X', Yogyakarta
- 'Un Area', Galeri Biasa Yogyakarta
2006 - Menjadi salah satu seniman Indonesia dalam tulisan ilmiah “Indonesia Sakit: Indonesian Disorders and the Subjective Experience and Interpretative Politic of Contemporary Indonesian Artists” by Mary-Jo DelVecchio Good and Byron J. Good, dalam Journal Postcolonial Disorders. University of California Press 2008
Labels:
Galeri
Bangkitnya Roh
Yudi Sulistya
Pendidikan:
Diskomvis, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta Indonesia
Penghargaan:
2007 Kosasih Award, TEKYAN Komik Terbaik Satu Decade
2003 Finalis Indofood Jakarta, Indonesia
1999 - Juara Harapan I Lomba Komik, Lomba Cergam Nasional 5 (Komik Tekyan) Depdikbud Pusat Jakarta
- Juara I Lomba Komik Nasional LIMPAD Semarang
1998 - Juara II Lomba Komik, Lomba Cergam Nasional 4 (Komik Tropas) Depdikbud Pusat Jakarta
- Juara I Lomba Komik, Lomba Cergam Nasional 4 (Komik Si Ican) Depdikbud Pusat Jakarta
1997 Juara I Lomba Komik, Lomba Cergam Nasional 3 (Komik Kecoa) Depdikbud Pusat Jakarta
Pameran Bersama (5 tahun terakhir):
2010 'Adopt! Adapt!', Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta
- 'Biennale Jogja X-2009' Jogja Jamming, Taman Budaya Yogyakarta
- 25 Tahun ISI Yogyakarta 'Exposigns', Jogja Expo Center
- Spacing Contemporary JAF #2, Taman Budaya Yogyakarta
- Biennale Sastra ke 5 'Traversing Merandai', Galery Salihara Jakarta
- 'Up & Hope', D'Peak Art Space, Jakarta
- Invitation C8 Art Talks Ii& C-Arts Show, Jakarta
- 'Heroisme', Gallery MonDecor, Jakarta
- 'Senang-Senang', Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta
2008 - 'Homo Homini Lupus', Galery MonDecor, Jakarta
- 'HERO', Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta
- 'Utopia Negativa' Langgeng Galeri Magelang
- 'Narrations of a Nation', Galeri MonDécor, Jakarta
- 'Manifesto', Galery Nasional Jakarta
- 'Setelah Kebangkitan 20 Mei', Jogja Galery, Yogyakarta
- 'Manifesto', Galery Nasional Jakarta
- Biennale Jogja 'Neo Nation', Jogja Museum Yogyakarta
2007 - 'Insert Character', Kedai Kebun, Indonesia
- 'Tribute to Young Artist', Sangkring Art Space, Yogyakarta
- 1001 Cover Concept, Indonesia
2005 - Pameran Comic, Rumah Seni Yaitu, Semarang
- 'Bali Biennale', Ubud Bali
- Pra Bali Biennale, V-Art Galleri dan Museum Affandi
- 'Ruang Per Ruang #2' Inside Out, Via-Via Café Yogyakarta
- 'Ruang Per Ruang', Rumah Michele Yogyakarta
Labels:
Galeri
+(.............)
Yoyok Sahaja
Malang, 3 Mei 1980
Pameran Bersama (4 tahun terakhir):
2010 - 'Adopt! Adapt!', Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta
- “Memo Art” di Arslonga Gallery Yogyakarta
2009 - 'Subjects Expose [S]', Art Longa Jakarta, Pure Art Space, City Plaza UG #2 Jakarta
- Pameran Seni Rupa & Batik 'Petruk Nagih Janji' bersama kelompok Hitam Manis, Bentara Budaya Yogyakarta
- Rai Gedheg' Kelompok Hitam Manis, Bentara Budaya Yogyakarta, Bentara Budaya Jakarta, Perpustakaan Umum Malang & Gallery Orasis Surabaya
- 'How Art Lives' FKY XXI 2009, Museum Benteng Vredeburg
- 'Meeting People is (not) easy', Roommate Yogyakarta
- C Art Show, Art Fair Jakarta, Grand Indonesia Jakarta
- 'Presiden-Presiden', Gallery Biasa Yogyakarta
- 'I Report, I Decide', Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta
- 'Spring Up' Pameran Kelompok Art Kring, V-Art Gallery Café Yogyakarta
- Art Fair Jakarta, CG Art Space, Plaza Indonesia
2008 - 'Seniku Tak Berhenti Lama', Taman Budaya Yogyakarta
- 'Spirit of Souls' of Arslonga [ruang seni], Yogyakarta
- JAF #1, Taman Budaya Yogyakarta
- 'Looking Inward', Elegence Art Space Jakarta
2007 - 'Demi Mas(s)a', Nusantara Gallery Nasional Jakarta
- Gelar Akbar Jawa Timur dalam Pra Biennale Jawa Timur,
Dewan Kesenian Malang
2006 - 'Eksplorasi Estetika' Perupa Jawa Timur, Cak Durasim Surabaya
- 'Biennale Jawa Timur (Cityscape)', Balai Pemuda Surabaya
- 'Semiotika Kata Rupa', Kelompok Senitorium X, Ubud Art Bali
Labels:
Galeri
Freeing the fairy...
Good afternoon everyone. These next additions to the "Enchantment" line are going to be mix and match. They're going to be available already put together for my friends who don't like to manipulate the images themselves. They will also be available individually for those who like to put them together their own way. I'm also in the process of drawing an "Enchanted forest" background for this set.
I hope everyone has enjoyed their weekend as much as I have. My very biggest hugs to all of you!!!! :)
Sunday, March 14, 2010
”Adopt! Adapt!”
dari Kompas cetak
Sejumlah seniman berpameran bersama dengan tajuk ”Adopt! Adapt!” di Tujuh Bintang Art Space, Jalan Sukonandi 7, Yogyakarta, 17-27 Maret. Pesertanya antara lain Agung Tato, Amrianis, Bambang ”BP” Prasetyo, I Nyoman Agus Wijaya, M Sinnie, Nur khamim, Nico Siswanto, Totok Buchori, Wilman Syahnur, Danny Ardiyanto, dan Bonny Setiawan. Pameran dengan kurator Kuss Indarto itu bakal dibuka pada hari Rabu (17/3) pukul 19.30 dengan dimeriahkan pentas musik Jasmine Akustik. Menurut Kuss, pameran memperlihatkan upaya seniman untuk mengadaptasi (gejala kemajuan teknologi) dan mengadopsi (gejala visual melampaui problem lokalitas).
Sejumlah seniman berpameran bersama dengan tajuk ”Adopt! Adapt!” di Tujuh Bintang Art Space, Jalan Sukonandi 7, Yogyakarta, 17-27 Maret. Pesertanya antara lain Agung Tato, Amrianis, Bambang ”BP” Prasetyo, I Nyoman Agus Wijaya, M Sinnie, Nur khamim, Nico Siswanto, Totok Buchori, Wilman Syahnur, Danny Ardiyanto, dan Bonny Setiawan. Pameran dengan kurator Kuss Indarto itu bakal dibuka pada hari Rabu (17/3) pukul 19.30 dengan dimeriahkan pentas musik Jasmine Akustik. Menurut Kuss, pameran memperlihatkan upaya seniman untuk mengadaptasi (gejala kemajuan teknologi) dan mengadopsi (gejala visual melampaui problem lokalitas).
Labels:
Media
Wrestling With The Angel #2
Wrestling With The Angel #2
146x177 Cm, Oil On Canvas, 2009
146x177 Cm, Oil On Canvas, 2009
Wilman Syahnur
Bandung, 23 juni 1973
Pendidikan:
1991 Belajar menggambar bersama pelukis Bpk. Barli Sasmita Winata di Bandung
1992-2000 Fakultas Seni Rupa, Program Studi Seni Patung ISI Yogyakarta
Pameran Bersama (6 tahun terakhir):
2010 'Adopt! Adapt!', Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta
2009 - Jogja Jamming Biennale Jogja X 'Public On The Move” Yogyakarta
- Jogja Art Fair #2 “Spacing Contemporary”, Taman Budaya Yogyakarta
- 'Up & Hope', D'Peak Art Space, Jakarta
- 'Menilik Akar', Galeri Nasional Indonesia, Jakarta
2008 - 'YASIN - The Untranslatable', Jogja Gallery, Yogyakarta
- AMAA 2008 'Expanding Contemporary Realism', Akili Museum of Art, Jakarta
- Wedding Art “Loro Blonyo Kontemporer”, Gedung Tribakti Magelang
2007 - Jogja Biennale “Neo Nation” Kolaborasi: Eddi Prabandono & Wilman Syahnur, Contemplation Performance: Made Surya Darma, Eddi Prabandono, Wilman Syahnur, Sangkring Art Space Yogyakarta
- Global Warning, Lokal Warming', GWK Cultural Park, Jimbaran Bali
- 200 th Raden Saleh “Ilusi-Ilusi Nasionalisme”, Jogja Gallery, Yogyakarta
- Optimis # 2', Galeri Biasa, Yogyakarta
2006 - 'Homage 2 Homesite', Jogja National Museum, Yogyakarta
- 'Art For Jogja', Taman Budaya Yogyakarta
2004 - Pameran Patung 'Anugrah Adipura Citra Raya 2004” Lobby WTC, Jakarta
- Lomba Patung National 'Anugrah Adipura Citra Raya 2004'
Labels:
Galeri
Smelling People
Totok Buchori
Probolinggo, 2 Februari 1959
Pendidikan:
1977 SMSR (Sekolah Menengah Seni Rupa) Yogyakarta
1981 - STSRI-ASRI/ISI (Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia) Yogyakarta
- Anggota Sanggar Bambu Yogyakarta
Penghargaan:
1995 Penghargaan Biennale Art Yogyakarta
1992 Penghargaan Mentri P&K dalam Pameran Pelukis Muda Pilihan
1991 Penghargaan Seniman Yogyakarta
1990 Penghargaan 'The Best 5 Biennale II' Yogyakarta
1988 Penghargaan 'Asian Islamic Art'
1983 'The Best Of Oil Color' STSRI - ASRI Yogyakarta
1982 'The Best Water Color' STSRI - ASRI Yogyakarta
1981 'The Best Sketch' STSRI - ASRI Yogyakarta
1980 'Pratita Adhi Karya' Project SMSR - SSRI Yogyakarta
'Hard Board Cut' SMSR - SSRI Yogyakarta
1979 - 'Pratita Adhi Karya' Oil On Canvas SMSR - SSRI Yogyakarta
- 'Pratita Adhi Karya' Kramik SMSR - SSRI Yogyakarta
1978 'Pratita Adhi Karya' Ornament, 15th SMSR - SSRI Yogyakarta
Pameran Tunggal:
'Megaphonology', MD Art Space, Jakarta
Pameran Bersama:
- 'Adopt! Adapt!', Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta
- 'Freedom', Mon Decor Painting Festival, Taman Budaya Yogyakarta & Gallery Nasional, Jakarta
- 'Heroes', Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta
- Pameran 3 Kota 'Beautiful Dead', Bentara Budaya Yogyakarta, Denpasar & Malang
- Harlah H. Widayat, Mungkid Magelang
- 'Figuratif', Andi's Gallery, Jakarta
- 'Exhibition Sosok Wanita II'', Andi's Gallery, Jakarta
- Pameran 50 Seniman 'SEKATA', Gedung Pameran Seni Rupa Depdikbud Jakarta
- 'Hetero Dua Tiga', Shini Art Gallery, Ubud Bali
- 'Festival Kesenian Yogyakarta', Benteng Vredenburg Yogyakarta
- Pameran Seniman Muda Terpilih, Plaza Depdikbud, Jakarta
- 'Biennale Yogyakarta II', Taman Budaya Yogyakarta
- 'Pameran Sanggar Bambu', Seni Sono, Yogyakarta
- 'Dies Natalis Institut Seni Indonesia (ISI)', Yogyakarta
- 'Biennale VI 1985, Seniman Muda Indonesia', Taman Ismail Marzuki, Jakarta
Labels:
Galeri
Cyberman
Tato Kastareja
Cilacap, 26 Juni 1967
Penghargaan:
2005
- Pemenang 5 Besar karya terbaik pada kompetisi Golden Palette.
- Dan satu karya ke-2 sebagai Finalis pada kompetisi Golden Palette
2008 Finalis Kompetisi Seni Lukis Nasional 'Jakarta Art Award'
Pameran Tunggal:
Awal tahun 2006
Pameran Bersama :
2010
- 'Adopt! Adapt!', Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta
- 'The Second God', Galeri Nasional Jakarta
2009
- Pameran Seleksi Nusantara, Galeri Nasional Jakarta
2008
- 'NEO HIPTA 2008', Galeri Cipta 2, Jakarta
- 'Manifesto', Galeri Nasional Jakarta
- 'A Love Letter in The Twelfth Moon', O'House Gallery Jakarta
- 'Indonesia-Jepang', O'House Gallery Jakarta
2007 Pameran Seleksi Nusantara, Galeri Nasional Jakarta
Labels:
Galeri
Sumartono
Sumartono
Pendidikan:
ISI Yogyakarta
Pameran Tunggal:
Pameran Tunggal di Hotel Aris, Yogyakarta
Pameran Bersama (5 tahun terakhir):
2010
- 'Adopt! Adapt!', Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta
- 'Imagination', Vanessa Art Links Jakarta
2009
- 'Composing Image', Pure Art Space Jakarta
- 'Up & Hope', D'Peak Art Space Jakarta
- 'Urban Behavior', Philo Art Space Jakarta
- 'Anti Teror', Roomate Yogyakarta
- 'Jogja Art Fair #2', Taman Budaya Yogyakarta
- 'Paramitra', Mondecor Gallery Jakarta
- 'Bienale X', Taman Budaya Yogyakarta
2008 Pameran Seniman Pinggiran, Taman Budaya Yogyakarta
2007 'Kepala Berisi', Rumah Budaya Tembi, Yogyakarta
2006 'Beautiful', Green Art Space Western, Australia
2005 Pameran Bertiga 'JAGO', Erasmus Huis, Jakarta
Labels:
Galeri
Saturday, March 13, 2010
Negosiasu
Sinik
Tembilahan Riau, 1968
Pendidikan:
1988-2000 ISI Yogyakarta
Pengharagaan:
1990
- Penghargaan Karya Lukis Terbaik Cat Minyak FSR ISI Yogyakarta
- Penghargaan Gambar Bentuk Terbaik FSR ISI Yogyakarta
- Penghargaan Sketsa Terbaik FSR ISI Yogyakarta
Pameran Bersama :
2010
- 'Adopt! Adapt!', Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta
- 'Mata Hari', Persatuan Paguyuban, Taman Budaya Yogyakarta
2009
- Pameran Kelompok Paguyuban, Taman Budaya Yogyakarta
- Pameran Seni Rupa di Arslonga Yogyakarta
- 'Keretaku Tidak Berhenti Lama', Taman Budaya Yogyakarta
2008 Pameran Seni Rupa di Amuntai Kalimantan Selatan
2007 Pameran Bersama Anak Kalimantan di Yogyakarta
2006 'Kembali ke Gampingan' Yogyakarta
2005 Pameran Menggalang Dana Tsunami Aceh, Krapyak Yogyakarta
Labels:
Galeri
Cosmic Essence
Cosmic Essence
200x200 Cm, Brass Etching Mixed Media, 2010
200x200 Cm, Brass Etching Mixed Media, 2010
Rocka Radipa
Paninggaran, 22 Maret 1976
Pendidikan:
Institut Seni Indonesia Fakultas Seni
Penghargaan/Prestasi:
- Pemenang The Best 10 Philip Morris Indonesia Art Awards 2001
- GOLD Award Pinasthika Widyawara Award 2003 Untuk Creative Cover “Age of Ecodesign” (Blank Magazine edisi VI )
- Guest Artis untuk Art on carpet EGE CARPET Denmark
- Gues Artis pada Even Minority Report Arhus-Denmark
- Creator All Media Branding dan mendapat penghargaan sebagai The Best Even dari majalah Art forum
- Talk Show TV2 Denmark
Pameran Bersama (6 tahun terakhir):
2010
- 'Adopt! Adapt!', Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta
- 'Diorama Kedamaian', Lana Gallery Hotel Melia Purosani Yogyakarta
2009
- 'Exposigns', Jogja Expo Centre
- 'JAF#2 (Jogja Art Fair)', Taman Budaya Yogyakarta
- 'How Art Lives-Festival Kesenian Yogyakarta', Benteng Vredeburg
- 'Pameran Nusantara-Menilik Akar', Galeri Nasional Jakarta
- Citra Classic Gallery, Magelang
2008
- 'Vivid Animamix', Jogja Gallery, Yogyakarta
- 'Too Much Painting Will Kill You', Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta
- 'JAF (Jogja Art Fair)', Taman Budaya Yogyakarta
- “Setelah 20 Mei”, Jogja Gallery, Yogyakarta
2007 'Insert Character', Kedai Kebun Jogja
2004 'Minority Report' Visual Art on Carpet, Arhus Denmark
Labels:
Galeri
Sebuah Eksistensi
Nur Khamim
Temanggung, 12 Juli 1962
Pameran Tunggal:
1990 'Eksodus', Art Gallery, Temanggung
Pameran Bersama:
2009
- 'Borderless World', 2nd Anniversary of Srisasanti Gallery, Yogyakarta
- 'Up & Hope', D'peak Art Space, Jakarta
2008
- 'Celebrating The Differences', Elegance Art Space, Jakarta
- Pameran Bersama pelukis CATEC, Temanggung
- 'Freedom', Mon Decor Painting
- Festival di TBY Yogyakarta & Galeri Nasional Jakarta
- 'Tanda-Tanda Zaman', Galeri Mon Decor, Jakarta
- 'From Zero Two Zero', Kampung Seni Lerep, Ungaran Semarang
2003 Pameran Bersama Perupa 3 Kota, Temanggung
2002 'Open Air Gallery', Borobudur International Festival, Magelang
1998 Pameran Bersama Pelukis Yogyakarta, Bali & Mancanegara di Hotel Melia Purosani, Yogyakarta
1995 Pameran CATEC di Gedung P&K, Temanggung
1993 Pameran Bersama di Gedung Wanita, Magelang
Labels:
Galeri
Subscribe to:
Posts (Atom)