cheap canvas art,cheap canvas art,cheap canvas art prints,cheap canvas art for sale,cheap canvas art supplies,cheap canvas art online,cheap canvas art sets,cheap canvas art uk,cheap canvas art australia,cheap canvas art canada,cheap canvas art brisbane
Friday, April 30, 2010
35% off all images at The Stamping Boutique!
Hello friends!
We're having a little sale here at The Stamping Boutique. Use coupon code, "TSB"
This image is one of my new summer images to be released during Rhonda's blog hop May 30th.
Well, enough store stuff. I'm so stoked about this beautiful weather. I'm going to be spending lots of time with my Sassy. (My horse) I went to see her the other day and she was so bad. She actually bit another horse that was trying to get my attention! I could have killed her. You'd think with 2 monster teenagers to deal with that I'd get a break with my horse, but nope. LOL! But, I love them all! What would I do without them?
Thursday, April 29, 2010
Mother's Day roses.
Tuesday, April 27, 2010
The Stamping Boutique is looking for new designers.
The Boutique is accepting applications for new designers from now until May 20.
Please e-mail your application to:
Tracey Malnofski at traceydawnn@msn.com and
Christy Dillman at micahzane@yahoo.com.
We will need your contact info. as well as a short bio. about yourself. Please let us know about your experience with digital images and any other DT's you are on and a link to your blog.
The new designers will be announced on May 20. The term is from June 1- August 31, 2010.
May 21-May 31 will be set aside for training purposes.
What is expected of Boutique designers:
1. Complete at least 1 project weekly, whether it be for challenges we are sponsoring or your own projects. (minimum requirement is 4 projects per month)
2. Post comments and photos on SNR/PCP/SCS and other social networking sites to promote TSB.
3. You will also be required to leave comments on blogs for TSB followers/fans that participate in our challenges and leave love on fellow DT gals/guys blogs.
4. Participate in TSB events (blogs, digi days, etc) where sufficient notice is given.
What you'll receive:
1. The exclusive TSB designers badge for your blog.
2. 4 digital images at no cost per month to use in your projects.
3. A 40% discount on all digital images the entire time you are a TSB designer.
We look forward to adding our new designers and are very excited about the months ahead!
The best of luck to everyone!
Tracey and Christy
A couple of summer images...
Monday, April 26, 2010
Katirin Meringkus Waktu
OLEH: YUYUK SUGARMAN
dari SINAR HARAPAN
Yogyakarta - Katirin, salah satu perupa yang tinggal di Yogya,mempunyai pandangan tersendiri untuk memahami sosok manusia (termasuk dirinya sendiri) dalam mengarungi kehidupan sehari-hari yang penuh misteri.
“Manusia dalam kehidupan sehari-hari merupakan rangkaian gerak-gerik sepanjang pergulatannya dengan hidup. Hidup yang tak pernah terdefinisikan dan senantiasa luput dari genggaman pemahamannya. Maka, kepada setiap manusia selalu saya temukan perasaan ketidakberdayaan, tetapi sekaligus juga rasa kesanggupan untuk menempuh itu dengan ikhlas, dan semua itu bagi diri saya sungguh memukau serta penuh misteri.”
Berangkat dari pemahamannya itulah Katirin, lelaki kelahiran Banyuwangi 17 September 1968, mencoba menuangkannya dalam kanvas serta karya tiga dimensi (patung) yang kini dipamerkan di Tujuh Bintang Art Space Yogya sejak 17 April hingga 2 Mei mendatang. “Meringkus Waktu”, begitulah tema yang diusung.
“Sesungguhnya realitas tak pernah telanjang dan selalu terbingkai oleh narasi yang rumit dan panjang. Saya menolak setiap ilusi yang mengaku telah mampu memindahkan seluruh realitas ke dalam visualisasi. Ia tak pernah nyata kecuali samar-samar,” ujar Katirin.
Menurut Soewarno Wisetrotomo, kurator pameran ini, karya-karya Katirin yang terbaru dalam pameran kali ini mengungkapkan perihal “menunggu” – sesuatu yang terkait erat dengan waktu. Yang segera bisa ditangkap dari gejala visualnya adalah pose-pose atau gestur figur (simbolis) yang mencitrakan posisi menunggu. “Katirin juga melakukan eksplorasi material, tak hanya dengan cat dan kanvas, tetapi juga menggunakan kertas untuk menghasilkan tekstur, dan menggunakan kayu-kayu bekas untuk menggubah patung,” kata Soewarno.
Memang ketika melihat karya-karya Katirin yang dipamerkan saat ini bisa kita lihat secara nyata menggambarkan figur-figur yang tengah menunggu.
Tengok saja pada lukisan “Waiting for Your Love”.
Karyanya ini menunjukkan sosok perempuan yang tengah duduk di kursi kayu berwarna merah. Melihat cara duduk perempuan tersebut dengan kedua kakinya mekangkang dan salah satu tangannya berada di tengah-tengah dua kaki yang memegang ujung kursi terasa jelas memperlihatkan dia begitu gelisah dengan apa yang ditunggu-tunggu. Bahkan, pose ini ditambah dengan kepalanya yang miring dengan raut wajah yang menunjukkan nuansa penantian.
Hal yang sama ditunjukkan pada karyanya yang berjudul “Dreams of Freshness”. Lukisan ini memperlihatkan sosok wanita yang terbaring tanpa mengenakan sehelai pakaian pun. Sementara di sisi atas, Katirin menambahkan lukisan beberapa irisan buah semangka.
“Artistik dan Naif” ala Katirin
Dua lukisan di atas merupakan contoh dari beberapa lukisan Katirin yang tengah dipamerkan dan begitu artistik, meski warna-warna lukisannya cenderung sephia. Namun di sisi lain, agaknya Katirin terjebak pada gambaran yang begitu “telanjang” atau katakanlah naif.
Betapa tidak, hal ini bisa dilihat dari karyanya “Waiting for The President Call”. Karyanya tersebut menunjukkan sosok wanita berkepala pesawat telepon. Di sini, agaknya Katirin ingin menunjukkan kegelisahan seorang perempuan yang tengah menunggu panggilan dari presiden yang barangkali akan ditunjuk untuk menduduki kursi menteri atau penasihat. Demikian pula dengan lukisan “Waiting # 3” yang menunjukkan sosok perempuan berkepala jam yang tengah termangu bersandar pada pinggiran
sofa panjang.
Terlepas dari itu, karya Katirin memang banyak menyita “perhatian”. Salah satu indikatornya adalah, hanya dalam sehari ada tujuh karyanya yang sudah terjual (salah satunya adalah “Waiting for Your love”). Barangkali dalam beberapa hari ke depan karyanya akan lebih banyak lagi terjual.
Selamat.
dari SINAR HARAPAN
Yogyakarta - Katirin, salah satu perupa yang tinggal di Yogya,mempunyai pandangan tersendiri untuk memahami sosok manusia (termasuk dirinya sendiri) dalam mengarungi kehidupan sehari-hari yang penuh misteri.
“Manusia dalam kehidupan sehari-hari merupakan rangkaian gerak-gerik sepanjang pergulatannya dengan hidup. Hidup yang tak pernah terdefinisikan dan senantiasa luput dari genggaman pemahamannya. Maka, kepada setiap manusia selalu saya temukan perasaan ketidakberdayaan, tetapi sekaligus juga rasa kesanggupan untuk menempuh itu dengan ikhlas, dan semua itu bagi diri saya sungguh memukau serta penuh misteri.”
Berangkat dari pemahamannya itulah Katirin, lelaki kelahiran Banyuwangi 17 September 1968, mencoba menuangkannya dalam kanvas serta karya tiga dimensi (patung) yang kini dipamerkan di Tujuh Bintang Art Space Yogya sejak 17 April hingga 2 Mei mendatang. “Meringkus Waktu”, begitulah tema yang diusung.
“Sesungguhnya realitas tak pernah telanjang dan selalu terbingkai oleh narasi yang rumit dan panjang. Saya menolak setiap ilusi yang mengaku telah mampu memindahkan seluruh realitas ke dalam visualisasi. Ia tak pernah nyata kecuali samar-samar,” ujar Katirin.
Menurut Soewarno Wisetrotomo, kurator pameran ini, karya-karya Katirin yang terbaru dalam pameran kali ini mengungkapkan perihal “menunggu” – sesuatu yang terkait erat dengan waktu. Yang segera bisa ditangkap dari gejala visualnya adalah pose-pose atau gestur figur (simbolis) yang mencitrakan posisi menunggu. “Katirin juga melakukan eksplorasi material, tak hanya dengan cat dan kanvas, tetapi juga menggunakan kertas untuk menghasilkan tekstur, dan menggunakan kayu-kayu bekas untuk menggubah patung,” kata Soewarno.
Memang ketika melihat karya-karya Katirin yang dipamerkan saat ini bisa kita lihat secara nyata menggambarkan figur-figur yang tengah menunggu.
Tengok saja pada lukisan “Waiting for Your Love”.
Karyanya ini menunjukkan sosok perempuan yang tengah duduk di kursi kayu berwarna merah. Melihat cara duduk perempuan tersebut dengan kedua kakinya mekangkang dan salah satu tangannya berada di tengah-tengah dua kaki yang memegang ujung kursi terasa jelas memperlihatkan dia begitu gelisah dengan apa yang ditunggu-tunggu. Bahkan, pose ini ditambah dengan kepalanya yang miring dengan raut wajah yang menunjukkan nuansa penantian.
Hal yang sama ditunjukkan pada karyanya yang berjudul “Dreams of Freshness”. Lukisan ini memperlihatkan sosok wanita yang terbaring tanpa mengenakan sehelai pakaian pun. Sementara di sisi atas, Katirin menambahkan lukisan beberapa irisan buah semangka.
“Artistik dan Naif” ala Katirin
Dua lukisan di atas merupakan contoh dari beberapa lukisan Katirin yang tengah dipamerkan dan begitu artistik, meski warna-warna lukisannya cenderung sephia. Namun di sisi lain, agaknya Katirin terjebak pada gambaran yang begitu “telanjang” atau katakanlah naif.
Betapa tidak, hal ini bisa dilihat dari karyanya “Waiting for The President Call”. Karyanya tersebut menunjukkan sosok wanita berkepala pesawat telepon. Di sini, agaknya Katirin ingin menunjukkan kegelisahan seorang perempuan yang tengah menunggu panggilan dari presiden yang barangkali akan ditunjuk untuk menduduki kursi menteri atau penasihat. Demikian pula dengan lukisan “Waiting # 3” yang menunjukkan sosok perempuan berkepala jam yang tengah termangu bersandar pada pinggiran
sofa panjang.
Terlepas dari itu, karya Katirin memang banyak menyita “perhatian”. Salah satu indikatornya adalah, hanya dalam sehari ada tujuh karyanya yang sudah terjual (salah satunya adalah “Waiting for Your love”). Barangkali dalam beberapa hari ke depan karyanya akan lebih banyak lagi terjual.
Selamat.
Labels:
Galeri
Saturday, April 24, 2010
‘MERINGKUS WAKTU’ ;Kejutan Ide Kreatif dan Variatif Katirin
PAMERAN seni rupa tunggal bertajuk ‘Meringkus Waktu’ karya perupa Katirin di Tujuh Bintang Art Space Jalan Sukonandi 7 Yogya, dibuka Kepala Taman Budaya Yogyakarta, Dra Dyan Anggraini Rais, Sabtu (17/4) malam.
Eloknya, sejumlah lukisan karya Katirin malam itu langsung laku dibeli 8 kolektor lukisan.
Salah satu kolektor lukisan, Dr Oei Hong Djien, setelah mengamati karya Katirin secara spontan langsung pesan lukisan berjudul ‘Waiting for Your Love’ ukuran 120 X 145 cm, bahan cat acrylic dan kanvas dibuat 2009. Pameran seni rupa ‘Meringkus Waktu’ bertema menunggu memajang puluhan lukisan dan patung kayu masih berlangsung hingga 2 Mei 2010 mendatang. Di antaranya, berjudul ‘Waiting #1’,’Waiting #2’, ‘Waiting #3’, ‘Waiting for The President Call’, ‘The Legend’ dan lukisan lainnya.
Dr Oi Hong Djien mengungkapkan, lukisan karya Katirin yang dipajang luar bisa kejutan dan ada kemajuan mulai dari gagasan, konsep hingga teknik divisualkan karyanya kreatif dan variatif. ”Salah satunya, lukisan ‘Waiting for Your Love’ sangat bagus dan tanpa pikir panjang langsung kupesan untuk dikoleksi di museumku. Aku melihat pameran seni rupa tunggal karya Katirin sangat bagus layak diapresiasi,” tandas Oi Hong Djien.
Katirin mengisahkan, puluhan lukisan yang digelar semua karya terbaru dikerjakan tahun 2009 dan 2010. Dr Oi Hong Djien mengoleksi 1 lukisan kali pertama tahun 2004. ”Kini, dalam momentum saya pameran tunggal kembali mengoleksi 1 lukisan. Tentu saja, aku senang pameran lukisan tunggal mendapat respons positif dan laku dikoleksi kolektor. Termasuk, Dr Oi Hong Djien tergoda mengoleksi lukisan karyaku lagi,” kata Katirin. (Cil)-s
dari Harian Kedaulatan Rakyat
Eloknya, sejumlah lukisan karya Katirin malam itu langsung laku dibeli 8 kolektor lukisan.
Salah satu kolektor lukisan, Dr Oei Hong Djien, setelah mengamati karya Katirin secara spontan langsung pesan lukisan berjudul ‘Waiting for Your Love’ ukuran 120 X 145 cm, bahan cat acrylic dan kanvas dibuat 2009. Pameran seni rupa ‘Meringkus Waktu’ bertema menunggu memajang puluhan lukisan dan patung kayu masih berlangsung hingga 2 Mei 2010 mendatang. Di antaranya, berjudul ‘Waiting #1’,’Waiting #2’, ‘Waiting #3’, ‘Waiting for The President Call’, ‘The Legend’ dan lukisan lainnya.
Dr Oi Hong Djien mengungkapkan, lukisan karya Katirin yang dipajang luar bisa kejutan dan ada kemajuan mulai dari gagasan, konsep hingga teknik divisualkan karyanya kreatif dan variatif. ”Salah satunya, lukisan ‘Waiting for Your Love’ sangat bagus dan tanpa pikir panjang langsung kupesan untuk dikoleksi di museumku. Aku melihat pameran seni rupa tunggal karya Katirin sangat bagus layak diapresiasi,” tandas Oi Hong Djien.
Katirin mengisahkan, puluhan lukisan yang digelar semua karya terbaru dikerjakan tahun 2009 dan 2010. Dr Oi Hong Djien mengoleksi 1 lukisan kali pertama tahun 2004. ”Kini, dalam momentum saya pameran tunggal kembali mengoleksi 1 lukisan. Tentu saja, aku senang pameran lukisan tunggal mendapat respons positif dan laku dikoleksi kolektor. Termasuk, Dr Oi Hong Djien tergoda mengoleksi lukisan karyaku lagi,” kata Katirin. (Cil)-s
dari Harian Kedaulatan Rakyat
Labels:
Media
Perburuan Hong Djien berlanjut...
JOGJA: Setelah gagal membeli karya-karya yang dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta, kolektor seni, Oei Hong Djien, melangkah ke Tujuh Bintang Art Space Gallery. Di sana dirinya menemukan sebuah karya milik Katirin berjudul Waiting for Your Love.
“Wah, ini harus masuk museum lukisan saya. Benar-benar Katirin sudah berubah, karyanya semakin menarik saja. Saya beli yang ini ya,” tiru Katirin mengulang percakapannya dengan Oei Hong Djien saat pembukaan pameran lukisan Meringkus Waktu karya Katirin di Tujuh Bintang Art Space Gallery, Senin (19/4).
Bagi Katirin tentu hal ini menjadi kebanggaan tersendiri. Bukan sekadar terjual namun lebih dari itu, Oei Hong Djien ternyata memuji karyakarya terakhirnya ini. Karya bertajuk Waiting for Your Love ini melukisn seorang perempuan yang menunggu dan duduk di atas kursi. Lamanya menunggu hingga kaki perempuan itu menyatu dengan kaki kursi.
Sebenarnya karya yang dipamerkan oleh Katirin di galeri ini bercerita tentang aktivitas menunggu. Di sana terlukiskan kemunculan hasrat untuk meringkus sang waktu, ingin mempercepat laju atau mempelambatnya.
“Semuanya berhubungan dengan waktu. Namun saya menvisualkan dalam pose-pose figur pencitraan seseorang dalam posisi menunggu,” ungkap Katirin.
Seperti halnya lukisannya yang bertajuk Waiting I sesosok dalam pose duduk, tangan kanannya memegang sebatang rokok. Sedangkan kepalanya sudah bermetamorfosa menjadi jendela kayu, tampak kuno dengan cat yang mengelupas. Bahkan jerujinya sebagian lepas dan berlubang.
Sedikit berbeda dengan karya Waiting III. Di sini digambarkan sesosok perempuan, yang dibagian kepalanya berbentuk arloji. Dia duduk berbalut baju terusan kekuningan yang sedang duduk di bangku panjang berwarna merah. Sesosok ini duduk di ujung bangku paling kanan, sementara bangku kiri seperti tak berujung.
Bahkan Katirin mencoba mengeksplorasi sebuah tema yang tak mungkin terjadi berjudul Waiting for The President Call. Di sana digambarkan seorang perempuan yang sedang duduk di atas kursi merah. Sedangkan kepala perempuan itu telah berganti wujud menjadi sebuah telepon berwarna hitam.
Pameran yang rencananya akan berakhir pada Minggu (2/5) ini menyuguhkan sekitar 20 karya Katirin. “Untuk saat ini yang sudah laku ada 7 lukisan,” ujar Katirin.
Oleh Joko Nugroho
HARIANJOGJA
“Wah, ini harus masuk museum lukisan saya. Benar-benar Katirin sudah berubah, karyanya semakin menarik saja. Saya beli yang ini ya,” tiru Katirin mengulang percakapannya dengan Oei Hong Djien saat pembukaan pameran lukisan Meringkus Waktu karya Katirin di Tujuh Bintang Art Space Gallery, Senin (19/4).
Bagi Katirin tentu hal ini menjadi kebanggaan tersendiri. Bukan sekadar terjual namun lebih dari itu, Oei Hong Djien ternyata memuji karyakarya terakhirnya ini. Karya bertajuk Waiting for Your Love ini melukisn seorang perempuan yang menunggu dan duduk di atas kursi. Lamanya menunggu hingga kaki perempuan itu menyatu dengan kaki kursi.
Sebenarnya karya yang dipamerkan oleh Katirin di galeri ini bercerita tentang aktivitas menunggu. Di sana terlukiskan kemunculan hasrat untuk meringkus sang waktu, ingin mempercepat laju atau mempelambatnya.
“Semuanya berhubungan dengan waktu. Namun saya menvisualkan dalam pose-pose figur pencitraan seseorang dalam posisi menunggu,” ungkap Katirin.
Seperti halnya lukisannya yang bertajuk Waiting I sesosok dalam pose duduk, tangan kanannya memegang sebatang rokok. Sedangkan kepalanya sudah bermetamorfosa menjadi jendela kayu, tampak kuno dengan cat yang mengelupas. Bahkan jerujinya sebagian lepas dan berlubang.
Sedikit berbeda dengan karya Waiting III. Di sini digambarkan sesosok perempuan, yang dibagian kepalanya berbentuk arloji. Dia duduk berbalut baju terusan kekuningan yang sedang duduk di bangku panjang berwarna merah. Sesosok ini duduk di ujung bangku paling kanan, sementara bangku kiri seperti tak berujung.
Bahkan Katirin mencoba mengeksplorasi sebuah tema yang tak mungkin terjadi berjudul Waiting for The President Call. Di sana digambarkan seorang perempuan yang sedang duduk di atas kursi merah. Sedangkan kepala perempuan itu telah berganti wujud menjadi sebuah telepon berwarna hitam.
Pameran yang rencananya akan berakhir pada Minggu (2/5) ini menyuguhkan sekitar 20 karya Katirin. “Untuk saat ini yang sudah laku ada 7 lukisan,” ujar Katirin.
Oleh Joko Nugroho
HARIANJOGJA
Labels:
Media
Meringkus Waktu, Pameran Rangkaian Pergulatan Hidup
Kapanlagi.com - Seniman Katirin menampilkan 26 karyanya dalam pameran tunggal bertajuk "Meringkus Waktu" yang menggambarkan rangkaian pergulatan hidup manusia sepanjang waktu.
"Ke-26 karya yang saya pamerkan hingga 2 Mei 2010 itu terdiri atas 20 lukisan dan enam karya tiga dimensi," kata Katirin di sela pameran `Meringkus Waktu` di Tujuh Bintang Art Space Yogyakarta, Selasa.
Ia mengatakan dirinya mencoba untuk menuangkan pergulatan hidup manusia ke dalam lukisan dengan tetap membiarkan sebagian di antaranya terbungkus dalam misteri kehidupan.
"Dengan latar belakang itu saya mencoba memberikan kekuatan dan tenaga pada objek lewat sapuan, warna, garis, tekstur, serta goresan. Selanjutnya, membiarkan karya-karya tersebut `berbicara` sendiri," katanya.
Hal itu, menurut dia berangkat dari hidup yang tidak pernah terdefinisikan dan selalu lepas dari genggaman pemahaman serta penuh misteri.
Ia mengatakan pemahaman kata terhadap objek adalah perjalanannya dalam "diam", sehingga sepanjang itu dirinya seperti sedang menelusuri mata dan lekukan batin sendiri.
"Semua itu untuk menangkap makna yang hanya bisa digapai dengan mengembangkan segenap rasa simpati, dan melibatkan diri dengan seluruh emosi," katanya.
Menurut dia, realita tidak pernah "telanjang", dan selalu terbingkai oleh narasi yang rumit dan panjang, sehingga perlu diterjemahkan melalui visualisasi dalam bentuk lukisan serta karya tiga dimensi.
"Oleh karena itu, menolak setiap ilusi yang mengaku telah memindahkan seluruh realita ke dalam visualisasi akan membuat realita tidak pernah nyata, dan hanya samar-samar," katanya. (ant/npy)
"Ke-26 karya yang saya pamerkan hingga 2 Mei 2010 itu terdiri atas 20 lukisan dan enam karya tiga dimensi," kata Katirin di sela pameran `Meringkus Waktu` di Tujuh Bintang Art Space Yogyakarta, Selasa.
Ia mengatakan dirinya mencoba untuk menuangkan pergulatan hidup manusia ke dalam lukisan dengan tetap membiarkan sebagian di antaranya terbungkus dalam misteri kehidupan.
"Dengan latar belakang itu saya mencoba memberikan kekuatan dan tenaga pada objek lewat sapuan, warna, garis, tekstur, serta goresan. Selanjutnya, membiarkan karya-karya tersebut `berbicara` sendiri," katanya.
Hal itu, menurut dia berangkat dari hidup yang tidak pernah terdefinisikan dan selalu lepas dari genggaman pemahaman serta penuh misteri.
Ia mengatakan pemahaman kata terhadap objek adalah perjalanannya dalam "diam", sehingga sepanjang itu dirinya seperti sedang menelusuri mata dan lekukan batin sendiri.
"Semua itu untuk menangkap makna yang hanya bisa digapai dengan mengembangkan segenap rasa simpati, dan melibatkan diri dengan seluruh emosi," katanya.
Menurut dia, realita tidak pernah "telanjang", dan selalu terbingkai oleh narasi yang rumit dan panjang, sehingga perlu diterjemahkan melalui visualisasi dalam bentuk lukisan serta karya tiga dimensi.
"Oleh karena itu, menolak setiap ilusi yang mengaku telah memindahkan seluruh realita ke dalam visualisasi akan membuat realita tidak pernah nyata, dan hanya samar-samar," katanya. (ant/npy)
Labels:
Media
New Work
Sword-grass Brown Winged Woman, 2010, acrylic on linen, 36 x 36 cm
This work will be included in the forthcoming solo exhibition Natural Histories at Chrysalis Gallery, which will run from 7 - 30 October, 2010.
Photograph by Tim Gresham. Click on image to enlarge.
Friday, April 23, 2010
Ekspresi Melalui Kayu
JOGJA: Perupa asal Jogja, Katirin, mencoba mendefi nisikan kehidupan yang penuh misteri pada karyakaryanya yang dipajang di Tujuh Bintang Art Space dalam pameran tunggal bertajuk Meringkus Waktu hingga 2 Mei mendatang.
Dalam pameran ini, Katirin menghadirkan 20 lukisan dan enam karya tiga dimensi berupa patung dari kayu bekas. Karya-karya Katirin ini menggambarkan aktivitas yang berdimensi sosial sekaligus spiritual.
Beliau mewujudkan manusia kayu yang sedang menunggu sambil bisa duduk, berdiri, atau mondar-mandir namun mengeluarkan banyak perasaan, mulai dari marah, jengkel, hingga frustrasi.
“Sebenarnya karya ini adalah karya setelah saya stagnan setahun lalu. Saya biasanya mengeksplorasi bentuk tubuh saja,” ungkap Katirin di Tujuh Bintang Art Space, Jalan Sukonandi No.7 Jogja, Senin (19/4).
Sebagai seorang ekspresionis, Katirin mengaku untuk menggarap satu karya hanya dibutuhkan waktu dua hari. Sedangkan yang lama adalah mengendapkan sebuah objek dalam batin dan pikirannya.
“Untuk sapuan, warna, garis, tekstur dan goresan mungkin hanya butuh dua hari, yang lama mengendapkan obyek dalam otak dan batin ini. Teknik bagi saya hanya pendukung karena sifatnya eksploratif saja. Dan, selebihnya membiarkan karya-karyanya berbicara sendiri,” ungkapnya.
Karya-karya Katirin yang terbaru dalam pameran kali ini, mengungkapkan perihal ‘menunggu’. Yang segera bisa ditangkap dari gejala visualnya adalah pose-pose atau gestur fi gur (simbolis) yang mencitrakan posisi menunggu.
Ia juga melakukan eksplorasi material, tak hanya dengan cat dan kanvas, tetapi juga menggunakan kertas untuk menghasilkan tekstur, dan menggunakan kayu-kayu bekas untuk menggubah patung.
Di sini dia tak hanya menyuguhkan tema menunggu, namun juga sebaliknya. Sepert dalam karya berjudul Go Home. Gambar seorang tengah pulang (mengayuh sampan) ingin segera menemui sesosok sedang berpose teronggok di balkon rumah.
Kesenangan yang meluap dihadirkan Katirin dalam karyanya Have Fun Go Mad. Ekspresi kehidupan malam antara dua pemuda dan tiga pemudi yang terlihat sedang menikmati pesta pora. Kegembiraan lebih lanjut terlihat dalam Building Memory yang memuat dua orang lawan jenis tengah berciuman.
Mereka memegang sebuah penggaris lipat yang berbentuk rumah. Seolah mereka sedang membicarakan merajut mimpi, membangun sarang tempat menampung segala ingatan.(jon)
dari Harian Jogja
Dalam pameran ini, Katirin menghadirkan 20 lukisan dan enam karya tiga dimensi berupa patung dari kayu bekas. Karya-karya Katirin ini menggambarkan aktivitas yang berdimensi sosial sekaligus spiritual.
Beliau mewujudkan manusia kayu yang sedang menunggu sambil bisa duduk, berdiri, atau mondar-mandir namun mengeluarkan banyak perasaan, mulai dari marah, jengkel, hingga frustrasi.
“Sebenarnya karya ini adalah karya setelah saya stagnan setahun lalu. Saya biasanya mengeksplorasi bentuk tubuh saja,” ungkap Katirin di Tujuh Bintang Art Space, Jalan Sukonandi No.7 Jogja, Senin (19/4).
Sebagai seorang ekspresionis, Katirin mengaku untuk menggarap satu karya hanya dibutuhkan waktu dua hari. Sedangkan yang lama adalah mengendapkan sebuah objek dalam batin dan pikirannya.
“Untuk sapuan, warna, garis, tekstur dan goresan mungkin hanya butuh dua hari, yang lama mengendapkan obyek dalam otak dan batin ini. Teknik bagi saya hanya pendukung karena sifatnya eksploratif saja. Dan, selebihnya membiarkan karya-karyanya berbicara sendiri,” ungkapnya.
Karya-karya Katirin yang terbaru dalam pameran kali ini, mengungkapkan perihal ‘menunggu’. Yang segera bisa ditangkap dari gejala visualnya adalah pose-pose atau gestur fi gur (simbolis) yang mencitrakan posisi menunggu.
Ia juga melakukan eksplorasi material, tak hanya dengan cat dan kanvas, tetapi juga menggunakan kertas untuk menghasilkan tekstur, dan menggunakan kayu-kayu bekas untuk menggubah patung.
Di sini dia tak hanya menyuguhkan tema menunggu, namun juga sebaliknya. Sepert dalam karya berjudul Go Home. Gambar seorang tengah pulang (mengayuh sampan) ingin segera menemui sesosok sedang berpose teronggok di balkon rumah.
Kesenangan yang meluap dihadirkan Katirin dalam karyanya Have Fun Go Mad. Ekspresi kehidupan malam antara dua pemuda dan tiga pemudi yang terlihat sedang menikmati pesta pora. Kegembiraan lebih lanjut terlihat dalam Building Memory yang memuat dua orang lawan jenis tengah berciuman.
Mereka memegang sebuah penggaris lipat yang berbentuk rumah. Seolah mereka sedang membicarakan merajut mimpi, membangun sarang tempat menampung segala ingatan.(jon)
dari Harian Jogja
Labels:
Media
Wednesday, April 21, 2010
A whole lotta scrappin' goin' on...
Well if I can't draw, I can sure scrapbook. I doesn't hurt my broken thumb nearly as much. So the first thing I scrapped was my thumb splint. No not a page of my splint, the splint itself! LOL! If I have to wear it, it might as well look cool!
I used my brand new "Pink Ninja Addicts" kit. I adore these kits! They are so much fun to play with.I also did a page for my store's challenge blog. I guess I should go make dinner now. (Booooooo!) But after that, more scrappin' Have a wonderful evening dear ones.
I used my brand new "Pink Ninja Addicts" kit. I adore these kits! They are so much fun to play with.I also did a page for my store's challenge blog. I guess I should go make dinner now. (Booooooo!) But after that, more scrappin' Have a wonderful evening dear ones.
Tuesday, April 20, 2010
Blog candy winner!!!!!!!!
AJ and Audrey are graduating!
Sunday, April 18, 2010
"Latte's for Two"
Hello everyone,
I've managed a new Jennifer Latte even with this rotten broken thumb. It wasn't easy. I hope you all like her as she's a little controversial. LOL! My husband's convinced she's politically incorrect being pregnant and drinking a latte. Well husband, "She's not real!!!" LOL! I don't think an occasional latte is a big deal when preggie anyway. Oh well. I had my thumb scanned yesterday and it's still completely broken. :(
It's going to be another 3-4 weeks of "immobility" Which means no drawing, but I have to draw. So there goes that. I hope everyone has super fantastic Suday!!
Hugz to all my wonderful blogger friends out there,
Tracey
Artists’ Ink: Printmaking from the Warrnambool Art Gallery Collection 1970–2001
Curated by Anne Virgo, Director, Australian Print Workshop, this selection of prints is drawn from the collection of the Warrnambool Art Gallery and documents thirty years of Australian printmaking. Over 170 printmaking artists are represented in the Warrnambool Art Gallery Collection. The works selected for the exhibition at Deakin University represent a diversity of styles and approaches to the print medium. Also included in the exhibition are works by Yvonne Boag, Dean Bowen, John Coburn, Tim Jones, Graeme Peebles, Geoff Ricardo, Deborah Williams, Marion Manifold, Deborah Walker, Rona Green and many others.
The exhibition runs from 14 April to 22 May.
Deakin Art Collection and Galleries
221 Burwood Highway Burwood, Victoria 3125 Australia
General enquiries: +61 3 9244 5344
Images from top:
Deborah Klein, Untitled, 1999, relief print, 73 x 62 cm
Installation view: works by Guan Wei, Rona Green, Hertha Kluge-Pott, Tate Adams and Deborah Klein
Pictured with participating artist Deborah Walker (centre) and Artist's Ink curator Anne Virgo (on right.) In background: triptych by Marion Manifold)
Labels:
Artists' ink
Professional Development Day at Camberwell Grammar
Pictured (on far right) at lunch with some of the Camberwell Grammar Art Department following my presentation as part of the school's Professional Development Day on Monday 12 April.
From left to right: art teacher Marita Kelly, unidentified Camberwell Grammar staff member, ceramics teacher Kevin Boyd, art teacher Anne Walters, Art Department technician Brian McManus, and David Williamson, Director of Art, Camberwell Grammar School. Photograph by Shane Jones.
Saturday, April 17, 2010
Euphoria
Kegembiraan yang meluap juga sebuah momentum yang ditunggu-tunggu.
Karya “Euphoria” yang melukiskan kerumunan, dengan ekspresi bingar. Perhatikan tulisan didinding itu, Great Sale. Sedang ada obral besar, dan Katirin membidiknya dari sisi dalam. Spirit memburu obral besar, adalah spirit yang ada dalam kondisi menungu-nunggu.
Dalam kata great sale, terkonstruksi makna murah. Itulah mantra kapitalisme, sebagai bagian dari jurus bujuk rayu kepada konsumken. Maka, bagi sang konsumen, great sale adalah momentum kegembiraan untuk melampiaskan syahwat konsumsinya.
Karya “Euphoria” yang melukiskan kerumunan, dengan ekspresi bingar. Perhatikan tulisan didinding itu, Great Sale. Sedang ada obral besar, dan Katirin membidiknya dari sisi dalam. Spirit memburu obral besar, adalah spirit yang ada dalam kondisi menungu-nunggu.
Dalam kata great sale, terkonstruksi makna murah. Itulah mantra kapitalisme, sebagai bagian dari jurus bujuk rayu kepada konsumken. Maka, bagi sang konsumen, great sale adalah momentum kegembiraan untuk melampiaskan syahwat konsumsinya.
Labels:
Galeri
Friday, April 16, 2010
Coming Home
Lalu apa yang terjadi dengan “ditunggu”?
Subyek pelaku antara yang “menunggu” dan yang “ditunggu” berbeda secara tajam. Menunggu adalah pengalaman “penderitaan”, sementara “ditunggu” adalah pengalaman kekuasaan. Ia, sebagai sang “ditunggu” memiliki kuasa ‘memainkan’ pihak yang “menunggu”; yang berakhir mengecewakan atau membahagiakan.
Karya “Coming Home” bagi saya menyodorkan pengalaman semacam itu; tegangan yang berbeda antara yang menunggu dan yang ditunggu, dan berujung pada pertemuan. Seseorang tengah pulang (mengayuh sampan) ingin segera menemui seseorang yang memeluk rindu dalam pose teronggok di balkon rumahnya.
Subyek pelaku antara yang “menunggu” dan yang “ditunggu” berbeda secara tajam. Menunggu adalah pengalaman “penderitaan”, sementara “ditunggu” adalah pengalaman kekuasaan. Ia, sebagai sang “ditunggu” memiliki kuasa ‘memainkan’ pihak yang “menunggu”; yang berakhir mengecewakan atau membahagiakan.
Karya “Coming Home” bagi saya menyodorkan pengalaman semacam itu; tegangan yang berbeda antara yang menunggu dan yang ditunggu, dan berujung pada pertemuan. Seseorang tengah pulang (mengayuh sampan) ingin segera menemui seseorang yang memeluk rindu dalam pose teronggok di balkon rumahnya.
Labels:
Galeri
Waiting for The President Call
Katirin juga bergurau, atau tepatnya meledek tentang saat-saat menunggu. Karyanya “Waiting Presiden Call”, seperti menyindir ritual lima tahunan, ketika banyak orang yang merasa penting dan mampu, menunggu telpon dari Istana, siapa tahu ditunjuk menjadi “pembantu” Presiden.
Sesosok perempuan, duduk dengan gestur seronok, jari-jari tangan kanan menjepit sebatang rokok, tangan kiri menopang dagu, tetapi bentuk seluruh kepala itu sudah menjadi pesawat telepon.
Apakah Katirin menyembunyikan ‘komentar sosial’ dalam karya itu? Jangan-jangan sejumlah orang yang merasa penting dan mampu, dan akhirnya benar-benar menerima telepon dari Presiden, tak lebih hanya mereka yang sesungguhnya ‘seronok’ kualitasnya?
Dapat dibayangkan, betapa sepanjang waktu, isi kepala seseorang itu hanya tentang telepon.
Sesosok perempuan, duduk dengan gestur seronok, jari-jari tangan kanan menjepit sebatang rokok, tangan kiri menopang dagu, tetapi bentuk seluruh kepala itu sudah menjadi pesawat telepon.
Apakah Katirin menyembunyikan ‘komentar sosial’ dalam karya itu? Jangan-jangan sejumlah orang yang merasa penting dan mampu, dan akhirnya benar-benar menerima telepon dari Presiden, tak lebih hanya mereka yang sesungguhnya ‘seronok’ kualitasnya?
Dapat dibayangkan, betapa sepanjang waktu, isi kepala seseorang itu hanya tentang telepon.
Labels:
Galeri
Thursday, April 15, 2010
Waiting Series
Karya yang juga menghentak adalah karya-karya tiga dimensional, yang ia bentuk dengan pecahan kayu-kayu (kayu jati; tectonia grandis) bekas, mirip potongan-potongan kayu bakar, yang disusun atau ditata, membentuk figur-figur dalam bentuk atau gestur (pose) tengah menunggu (semua karya itu bertajuk “Waiting”).
Karya-karya ini menjadi terasa pekat, karena menyerupai fosil; mengingatkan peristiwa menunggu yang lama, hingga diri ini terasa membeku, menjadi fosil, mengayu, menjadi kayu. Terdapat perasaan yang ringsek, yang rapuh, tampak berkeping-keping. Menunggu, disamping terasa absurd (perhatikan lukisan yang mengungkapkan kursi panjang, atau karya tiga dimensional yang duduk di sebuah kursi panjang tanpa ujung), juga berpeluang menjadi sang korban.
Katirin kembali menghadirkan ‘kenyataan’ menunggu yang membeku; sesosok samar-samar berwarna kekuningan, duduk dikursi kayu berwarna merah, dengan wajah yang loyo. Perhatikan kedua kakinya; sudah mengayu – menjadi kayu – dan menyatu ke dalam kaki kursi. Warna pastel yang mengitarinya, menambah suasana nglangut.
Sudah berapa lama ia menunggu di kursi itu?
Karya itu tentang kesabaran, kenaifan, atau kesetiaan?
Karya-karya ini menjadi terasa pekat, karena menyerupai fosil; mengingatkan peristiwa menunggu yang lama, hingga diri ini terasa membeku, menjadi fosil, mengayu, menjadi kayu. Terdapat perasaan yang ringsek, yang rapuh, tampak berkeping-keping. Menunggu, disamping terasa absurd (perhatikan lukisan yang mengungkapkan kursi panjang, atau karya tiga dimensional yang duduk di sebuah kursi panjang tanpa ujung), juga berpeluang menjadi sang korban.
Katirin kembali menghadirkan ‘kenyataan’ menunggu yang membeku; sesosok samar-samar berwarna kekuningan, duduk dikursi kayu berwarna merah, dengan wajah yang loyo. Perhatikan kedua kakinya; sudah mengayu – menjadi kayu – dan menyatu ke dalam kaki kursi. Warna pastel yang mengitarinya, menambah suasana nglangut.
Sudah berapa lama ia menunggu di kursi itu?
Karya itu tentang kesabaran, kenaifan, atau kesetiaan?
Labels:
Galeri
Waiting #2
Penghayatan yang berbeda terdapat pada karya “Waiting II”.
Sesosok perempuan, yang dibagian kepalanya berbentuk arloji duduk dengan dua alarm di bagian atasnya, berbalut baju terusan kekuningan, duduk di bangku panjang berwarna merah. Sesosok itu duduk tepat di ujung bangku sebelah kanan, sementara arah bangku ke kiri seperti tak berujung (karena langsung habis di tepi kanvas). Bidang lukisan itu didominasi warna kebiruan.
Absurditas dalam karya ini dibangun oleh kode yang berlapis-lapis; “arloji kepala” itu masih menunjukkan pukul 06.25. Gestur perempuan itu masih tampak semangat (mungkin baru saja duduk). Suasana tampak cerah; biru cerah, bangku merah yang cerah, juga baju kuning yang tampak terang. Saya berkesimpulan berdasarkan tafsir atas kode-kode itu, peristiwa itu terjadi pada pagi hari. Tapi saya tak yakin, seberapa pendek atau seberapa lama perempuan itu akan menunggu di sana.
Sesosok perempuan, yang dibagian kepalanya berbentuk arloji duduk dengan dua alarm di bagian atasnya, berbalut baju terusan kekuningan, duduk di bangku panjang berwarna merah. Sesosok itu duduk tepat di ujung bangku sebelah kanan, sementara arah bangku ke kiri seperti tak berujung (karena langsung habis di tepi kanvas). Bidang lukisan itu didominasi warna kebiruan.
Absurditas dalam karya ini dibangun oleh kode yang berlapis-lapis; “arloji kepala” itu masih menunjukkan pukul 06.25. Gestur perempuan itu masih tampak semangat (mungkin baru saja duduk). Suasana tampak cerah; biru cerah, bangku merah yang cerah, juga baju kuning yang tampak terang. Saya berkesimpulan berdasarkan tafsir atas kode-kode itu, peristiwa itu terjadi pada pagi hari. Tapi saya tak yakin, seberapa pendek atau seberapa lama perempuan itu akan menunggu di sana.
Labels:
Galeri
Wednesday, April 14, 2010
TSB farmer blog hop!!!
Well, there's just one hop.
Please hop on over to Rhonda's blog to see the cards created by the DT for this hop. One lucky commenter will receive 4 of the farm images from The Stamping Boutique. While you are there, vote for the card you like the best! The designer with the most votes wins a special prize from our blog hop queen herself, Rhonda! Good luck to all my DT members! I hope you all have a blessed day today and thanks for stopping in to see me. :D
Tracey
Please hop on over to Rhonda's blog to see the cards created by the DT for this hop. One lucky commenter will receive 4 of the farm images from The Stamping Boutique. While you are there, vote for the card you like the best! The designer with the most votes wins a special prize from our blog hop queen herself, Rhonda! Good luck to all my DT members! I hope you all have a blessed day today and thanks for stopping in to see me. :D
Tracey
Waiting #1
Akan tetapi apakah tema ‘menunggu’ ini dapat dibaca sebagai ‘narasi tentang kesabaran dan daya tahan’ seseorang terhadap apa yang ditunggu? Bukankah memang, persoalan menunggu adalah persoalan ‘daya tahan’ dan ujian tentang ‘kesabaran’?
Karya lukisannya yang bertajuk “Waiting I”, sesosok dalam pose duduk, tangan kanannya memegang sebatang rokok, dan pada kepalanya sudah bermetamorfosa menjadi jendela kayu, tampak kuno, catnya mengelupas, dan jerujinya (krepyak: sebutan di Jawa) sebagian lepas dan bolong. Warna dalam lukisan itu, termasuk figur yang menjadi jendela itu kemerahan.
Jendela tua itu juga tertutup, gestur tubuhnya seperti menyerah pasrah (nglokro: istilah Jawa). Dominasi kemerahan itu seperti akumulasi dari marah dan menyerah. Apakah karya ini mengisyaratkan tentang batas kesabaran, dan berujung pada kesia-siaan?
Karya lukisannya yang bertajuk “Waiting I”, sesosok dalam pose duduk, tangan kanannya memegang sebatang rokok, dan pada kepalanya sudah bermetamorfosa menjadi jendela kayu, tampak kuno, catnya mengelupas, dan jerujinya (krepyak: sebutan di Jawa) sebagian lepas dan bolong. Warna dalam lukisan itu, termasuk figur yang menjadi jendela itu kemerahan.
Jendela tua itu juga tertutup, gestur tubuhnya seperti menyerah pasrah (nglokro: istilah Jawa). Dominasi kemerahan itu seperti akumulasi dari marah dan menyerah. Apakah karya ini mengisyaratkan tentang batas kesabaran, dan berujung pada kesia-siaan?
Labels:
Galeri
Tuesday, April 13, 2010
Meringkus Waktu oleh Suwarno Wisetrotomo
Meringkus Waktu ...!
Catatan: Suwarno Wisetrotomo
Aktivitas sederhana tetapi berdimensi sosial dan sekaligus spiritual, salah satunya adalah menunggu. Ya, menunggu. Wujud kerjanya sederhana – bisa duduk, berdiri, atau mondar-mandir diantara keduanya, dan segala bentuk eksresi lainnya – tetapi bisa berdampak kompleks, seperti perasaan marah, jengkel, lelah, bahkan frustrasi. Namun juga bisa berdampak positif seperti terbentuknya pribadi yang lebih matang, jiwa yang lebih kuat dan berkarakter, kesabaran yang lebih lapang, serta kesetiaan yang teruji. Kapan ia, menunggu itu, berdampak positif atau negatif, tentu sangat tergantung dari kualitas pribadi seseorang; apakah seseorang itu memiliki kemampuan mengelola emosi dengan baik, ataukah sebaliknya.
Catatan: Suwarno Wisetrotomo
Aktivitas sederhana tetapi berdimensi sosial dan sekaligus spiritual, salah satunya adalah menunggu. Ya, menunggu. Wujud kerjanya sederhana – bisa duduk, berdiri, atau mondar-mandir diantara keduanya, dan segala bentuk eksresi lainnya – tetapi bisa berdampak kompleks, seperti perasaan marah, jengkel, lelah, bahkan frustrasi. Namun juga bisa berdampak positif seperti terbentuknya pribadi yang lebih matang, jiwa yang lebih kuat dan berkarakter, kesabaran yang lebih lapang, serta kesetiaan yang teruji. Kapan ia, menunggu itu, berdampak positif atau negatif, tentu sangat tergantung dari kualitas pribadi seseorang; apakah seseorang itu memiliki kemampuan mengelola emosi dengan baik, ataukah sebaliknya.
Aktivitas menunggu terkait erat dengan urusan waktu. Waktu itu konsisten, tak pernah merasa kurang atau lebih. Perbedaan hanya karena persoalan posisi geografis. Namun tak mengubah apapun, kecuali sekadar perbedaan antara wilayah yang satu dengan yang lainnya, yang membuat terjadinya selisih waktu. Maka, menunggu seperti bermain dan dimainkan oleh waktu dengan segenap tegangan. Dalam kehidupan masa kini tegangan itu di wakili oleh kehadiran arloji yang menunjukkan perubahan jam, yang menandakan durasi. Mula-mula dihitung dengan detik, kemudian menit, kemudian jam, yang kait mengkait dengan hari, bulan, tahun, dan abad.
Dalam aktivitas menunggu, maka arloji yang (umumnya) dikenakan di pergelangan tangan menjadi sasaran ekspresi si penunggu; entah menerima makian, entah terus-menerus dipelototi dengan muram, sambil memelihara kegelisahan. Atau sebaliknya, menunggu bisa melatih kesabaran dan mengikat kesetiaan. Aktivitas menunggu berada dalam ruang permainan yang menegangkan semacam itu.
Dari Tubuh ke Waktu
Tubuh adalah jazad yang terbatas. Puncaknya adalah kehancuran fisik setelah kematian. Tak ada yang tersisa kecuali kenangan (atas nilai-nilai) terhadapnya. Kapan semua itu terjadi, adalah urusan Sang Khalik Yang Maha Kuasa. Siapapun hanya mampu mengenang. Kenangan akan berkejaran dengan ingatan yang juga terbatas. Namun waktu berperan mengabadikan peran dan nilai yang pernah diperbuat oleh tubuh. Lebih dari itu, diperlukan tindakan untuk mengabadikan ingatan tersebut. Maka digubahlah sejumlah monumen yang substansinya adalah sebagai peringatan, sebagai kenangan. Meskipun akhirnya digunakan pula sebagai pengukuhan dan penegasan atas peran-peran seseorang yang merasa atau dianggap paling berjasa atau paling penting.
Tubuh sebagai subject matter para perupa, bukanlah hal baru. Karya-karya yang tertera dalam kitab-kitab suci seperti Bibel sudah mulai menghadirkan tubuh sebagai gambaran kenyataan, khususnya terkait nama dan peristiwa. Karya-karya era romantisisme, hingga era kontemporer seperti sekarang, tubuh tetap menjadi sumber penciptaan yang menggairahkan. Gagasan dan tendensi yang melatarbelakangi beragam gubahan itu juga berbeda-beda, terus bergerak, seiring dengan pergeseran zaman yang menggeser pula sikap dan pemaknaan terhadap tubuh.
Katirin (dilahirkan di Banyuwangi, 17 September 1968), pada karya-karya terbarunya mempersoalkan perihal “menunggu”. Seperti saya singgung dalam awal catatan ini, maka persoalan menunggu sangat terkait dengan “waktu”. Karya-karya ini akan menjadi materi utama dalam pameran tunggalnya di Galeri Tujuh Bintang Yogyakarta, April 2010.
Dalam waktu yang cukup lama, dengan kemampuan bentuk realistiknya yang memadai, Katirin dalam berkarya bertolak dari persoalan tubuh, terutama tubuh-tubuh perempuan. Sebab memang, tubuh perempuan memiliki kompleksitas yang memungkinkan untuk dieksplorasi dalam bahasa rupa; hampir dari setiap sisi dan lekuknya, memiliki potensi artistik. Meskipun sesungguhnya dalam melukis tubuh (perempuan), Katirin tidak sekadar ‘melukis model’, tetapi menghadirkan berbagai kemungkinan bentuk seliar-liarnya, bahkan yang tidak mungkin diperagakan oleh sang model.
Katirin terus menjelajah dunia tubuh. Tubuh dijadikan subject observasi, ditangkap kemungkinan-kemungkinan gesturnya, dan berupaya menangkap roh/auranya. Katirin tidak lagi menghadirkan kenyataan sang model (kenyataan tubuh perempuan), tetapi menghadirkan passion atas tubuh. Maka, meski tubuh-tubuh itu tampak erotis (karena gesturnya), sesungguhnya tidak lagi beridentitas kelamin secara pasti. Tubuh-tubuh itu adalah dunia pesona, gairah, kenikmatan, dan penjelajahan Katirin atas berbagai ‘kemungkinan’ yang bisa dilakukan atau diperagakan oleh tubuh (siapapun).
Kini, tubuh-tubuh menghadapi kenyataan yang fana: bergulat dengan waktu dan perubahan, serta keberakhiran. Setiap peristiwa akan berakhir. Dan, setiap akhir merupakan permulaan yang tak pernah bisa diduga atas apa yang akan terjadi. Pergeseran Katirin dapat dimaknai dalam perspektif semacam itu; yakni dari penghayatan atas fisik yang fana, ke persoalan waktu yang baka (abadi). Ia mempersoalkan tubuh dengan cara mengobservasi tubuh dirinya, atau tubuh orang lain (yang memiliki hubungan emosi atau jarak yang intim), untuk mengenali dan memahami, untuk kepentingan menjelaskan perihal menunggu dan waktu.
Meringkus Waktu
Problema yang muncul dalam aktivitas menunggu adalah munculnya hasrat yang besar untuk meringkus sang waktu; ingin mempercepat lajunya, atau (mungkin) ingin mempelambatnya. Ia, sang waktu, tak bisa ditipu, karena waktu tak pernah menipu. Waktu juga tak bisa disuap, agar memenuhi kehendak penggunanya. Waktu tetap setia, dan setia pula menjadi saksi atas semua yang terjadi. Kalaupun kita berhasil mempedaya laju jarum panjang dan pendeknya, dan jarum detiknya, atau bisa meremukkan tabung pasirnya, pada dasarnya yang berubah atau bahkan hancur hanyalah fisiknya. Tetapi esensinya (sang waktu) tetap tak bergeser sedetikpun. Bukankah dengan demikian justru kita yang akhirnya tertipu, atau dengan sangat bodoh kita sedang menipu dirinya sendiri?
Karya-karya Katirin yang terbaru dalam pameran kali ini, mengungkapkan perihal ‘menunggu’. Yang segera bisa ditangkap dari gejala visualnya adalah pose-pose atau gestur figur (simbolis) yang mencitrakan posisi menunggu. Ia juga melakukan eksplorasi material, tak hanya dengan cat dan kanvas, tetapi juga menggunakan kertas untuk menghasilkan tekstur, dan menggunakan kayu-kayu bekas untuk menggubah patung.
Akan tetapi apakah tema ‘menunggu’ ini dapat dibaca sebagai ‘narasi tentang kesabaran dan daya tahan’ seseorang terhadap apa yang ditunggu? Bukankah memang, persoalan menunggu adalah persoalan ‘daya tahan’ dan ujian tentang ‘kesabaran’? Karya lukisannya yang bertajuk “Waiting I”, sesosok dalam pose duduk, tangan kanannya memegang sebatang rokok, dan pada kepalanya sudah bermetamorfosa menjadi jendela kayu, tampak kuno, catnya mengelupas, dan jerujinya (krepyak: sebutan di Jawa) sebagian lepas dan bolong. Warna dalam lukisan itu, termasuk figur yang menjadi jendela itu kemerahan. Jendela tua itu juga tertutup, gestur tubuhnya seperti menyerah pasrah (nglokro: istilah Jawa). Dominasi kemerahan itu seperti akumulasi dari marah dan menyerah. Apakah karya ini mengisyaratkan tentang batas kesabaran, dan berujung pada kesia-siaan?
Penghayatan yang berbeda terdapat pada karya “Waiting II”; sesosok perempuan, yang dibagian kepalanya berbentuk arloji duduk dengan dua alrm di bagian atasnya, berbalut baju terusan kekuningan, duduk di bangku panjang berwarna merah. Sesosok itu duduk tepat di ujung bangku sebelah kanan, sementara arah bangku ke kiri seperti tak berujung (karena langsung habis di tepi kanvas). Bidang lukisan itu didominasi warna kebiruan. Absurditas dalam karya ini dibangun oleh kode yang berlapis-lapis; “arloji kepala” itu masih menunjukkan pukul 06.25. Gestur perempuan itu masih tampak semangat (mungkin baru saja duduk). Suasana tampak cerah; biru cerah, bangku merah yang cerah, juga baju kuning yang tampak terang. Saya berkesimpulan berdasarkan tafsie atas kode-kode itu, peristiwa itu terjadi pada pagi hari. Tapi saya tak yakin, seberapa pendek atau seberapa lama perempuan itu akan menunggu di sana.
Karya yang juga menghentak adalah karya-karya tiga dimensional, yang ia bentuk dengan pecahan kayu-kayu (kayu jati; tectonia grandis) bekas, mirip potongan-potongan kayu bakar, yang disusun atau ditata, membentuk figur-figur dalam bentuk atau gestur (pose) tengah menunggu (semua karya itu bertajuk “Waiting”). Karya-karya ini menjadi terasa pekat, karena menyerupai fosil; mengingatkan peristiwa menunggu yang lama, hingga diri ini terasa membeku, menjadi fosil, mengayu, menjadi kayu. Terdapat perasaan yang ringsek, yang rapuh, tampak berkeping-keping. Menunggu, disamping terasa absurd (perhatikan lukisan yang mengungkapkan kursi panjang, atau karya tiga dimensional yang duduk di sebuah kursi panjang tanpa ujung), juga berpeluang menjadi sang korban.
Katirin kembali menghadirkan ‘kenyataan’ menunggu yang membeku; sesosok samar-samar berwarna kekuningan, duduk dikursi kayu berwarna merah, dengan wajah yang loyo. Perhatikan kedua kakinya; sudah mengayu – menjadi kayu – dan menyatu ke dalam kaki kursi. Warna pastel yang mengitarinya, menambah suasana nglangut. Sudah berapa lama ia menunggu di kursi itu? Karya itu tentang kesabaran, kenaifan, atau kesetiaan?
Katirin juga bergurau, atau tepatnya meledek tentang saat-saat menunggu. Karyanya “Waiting Presiden Call”, seperti menyindir ritual lima tahunan, ketika banyak orang yang merasa penting dan mampu, menunggu telpon dari Istana, siapa tahu ditunjuk menjadi “pembantu” Presiden. Sesosok perempuan, duduk dengan gestur seronok, jari-jari tangan kanan menjepit sebatang rokok, tangan kiri menopang dagu, tetapi bentuk seluruh kepala itu sudah menjadi pesawat telepon. Apakah Katirin menyembunyikan ‘komentar sosial’ dalam karya itu? Jangan-jangan sejumlah orang yang merasa penting dan mampu, dan akhirnya benar-benar menerima telepon dari Presiden, tak lebih hanya mereka yang sesungguhnya ‘seronok’ kualitasnya? Dapat dibayangkan, betapa sepanjang waktu, isi kepala seseorang itu hanya tentang telepon.
Lalu apa yang terjadi dengan “ditunggu”? Subyek pelaku antara yang “menunggu” dan yang “ditunggu” berbeda secara tajam. Menunggu adalah pengalaman “penderitaan”, sementara “ditunggu” adalah pengalaman kekuasaan. Ia, sebagai sang “ditunggu” memiliki kuasa ‘memainkan’ pihak yang “menunggu”; yang berakhir mengecewakan atau membahagiakan. Karya “Coming Home” bagi saya menyodorkan pengalaman semacam itu; tegangan yang berbeda antara yang menunggu dan yang ditunggu, dan berujung pada pertemuan. Seseorang tengah pulang (mengayuh sampan) ingin segera menemui seseorang yang memeluk rindu dalam pose teronggok di balkon rumahnya.
Kegembiraan yang meluap juga sebuah momentum yang ditunggu-tunggu. Karya “Euphoria” yang melukiskan kerumunan, dengan ekspresi bingar. Perhatikan tulisan didinding itu, Great Sale. Sedang ada obral besar, dan Katirin membidiknya dari sisi dalam. Spirit memburu obral besar, adalah spirit yang ada dalam kondisi menungu-nunggu. Dalam kata great sale, terkonstruksi makna murah. Itulah mantra kapitalisme, sebagai bagian dari jurus bujuk rayu kepada konsumken. Maka, bagi sang konsumen, great sale adalah momentum kegembiraan untuk melampiaskan syahwat konsumsinya.
Terdapat tiga karya lainnya yang ingin saya soroti, meski tidak mengisyaratkan tema yang sama (menunggu), tetapi menyimpan narasi tentang waktu. Karya “building Memory”; dua orang lawan jenis tengah berciuman, sembari memegang penggaris lipat (meteran: Jawa) yang dibentuk menyerupai rumah. Sebuah kisah tentang upaya merajut mimpi, membangun sarang tempat menampung segala ingatan.
Dua karya lainnya; “The Thinker I”; sesosok dengan pose pemikir (mengolah karya patung terkenal dengan judul yang sama oleh Auguste Rodin, 1840-1917), namun berkepala merpati (kebebasan?). Kemudian karya “The Thinker II”; sesosok dalam pose duduk, tengah memegang kepalanya yang sudah menjadi batu (persoalan yang begitu berat, keras?). Ketiga karyan yang saya singgung terakhir ini menunjukkan kekuatan Katirin dalam menyampaikan narasi yang puitis.
Pameran ini lebih menampakkan pergulatan kesenian seorang Katirin dalam menjelajah dan mengobservasi tubuh dalam ruang dan waktu. Menunggu hanyalah sepenggal peristiwa, dari rangkaian waktu yang sesungguhnya mengisyaratkan tentang kesementaraan tubuh. Upaya-upaya untuk meringkus waktu, sesungguhnya hanya akan mubazir. Kecuali jika upaya itu ditujukan untuk berpacu dengan memberinya makna. Tubuh sesungguhnya fana. Dan, nilai-nilai lah yang abadi.
Suwarno Wisetrotomo
Kritikus Seni Rupa.
Dosen di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta.
Labels:
Info
Monday, April 12, 2010
Katirin Meringkus Waktu
Manusia dalam kehidupan sehari-hari merupakan rangkaian gerak-gerik sepanjang pergulatannya dengan hidup. Hidup yang tak pernah terdefinisikan dan senantiasa luput dari genggaman pemahamannya, maka kepada setiap manusia selalu saya temukan perasaan ketidakberdayaan tetapi sekaligus juga rasa kesanggupan untuk menempuh itu dengan ikhlas dan semua itu bagi diri saya sungguh memukau dan penuh misteri.
Berangkat dari itu saya mencoba untuk menuangkan ini ke dalam lukisan dengan tetap membiarkan sebagian terbungkus dengan misteri. Sesungguhnya realita tak pernah telanjang dan selalu terbingkai oleh narasi yang rumit dan panjang. Maka saya menolak setiap ilusi yang mengaku telah mampu memindahkan seluruh realita ke dalam visualisasi, ia tak pernah nyata kecuali samar-samar.
Pemahaman kata terhadap obyek adalah perjalanan jauh saya dalam “diam” sehingga sepanjang itu saya seperti sedang menelusuri mata dan lekukan batin sendiri untuk menangkap makna yang hanya bisa digapai dengan mengembangkan segenap rasa simpati dan melibatkan diri dengan seluruh emosi.
Berangkat dari sumber itu saya mencoba memberiakan sebagian kekuatan dan tenaga pada obyek-obyek saya lewat sapuan, warna, garis, tekstur dan goresan untuk menghantar pada “sesuatu” yang jauh dan tak terperi itu, selebihnya membiarkan ia berbicara sendiri.
Selengkapnya silakan di apresiasi di :
Tujuh Bintang Art Space
Jl. Sukonandi 7 Yogyakarta
Tanggal 17 April - 2 Mei 2010
Berangkat dari itu saya mencoba untuk menuangkan ini ke dalam lukisan dengan tetap membiarkan sebagian terbungkus dengan misteri. Sesungguhnya realita tak pernah telanjang dan selalu terbingkai oleh narasi yang rumit dan panjang. Maka saya menolak setiap ilusi yang mengaku telah mampu memindahkan seluruh realita ke dalam visualisasi, ia tak pernah nyata kecuali samar-samar.
Pemahaman kata terhadap obyek adalah perjalanan jauh saya dalam “diam” sehingga sepanjang itu saya seperti sedang menelusuri mata dan lekukan batin sendiri untuk menangkap makna yang hanya bisa digapai dengan mengembangkan segenap rasa simpati dan melibatkan diri dengan seluruh emosi.
Berangkat dari sumber itu saya mencoba memberiakan sebagian kekuatan dan tenaga pada obyek-obyek saya lewat sapuan, warna, garis, tekstur dan goresan untuk menghantar pada “sesuatu” yang jauh dan tak terperi itu, selebihnya membiarkan ia berbicara sendiri.
Selengkapnya silakan di apresiasi di :
Tujuh Bintang Art Space
Jl. Sukonandi 7 Yogyakarta
Tanggal 17 April - 2 Mei 2010
Labels:
Info
Saturday, April 10, 2010
"Alone"
Thursday, April 8, 2010
Contemporary Australian Drawings 1
The exhibition, which opened yesterday evening, focuses on the artists whose works appear in the forthcoming publication Contemporary Australian Drawing Volume 1 by Dr Janet McKenzie. It is held in conjunction with the 2010 International Drawing Out Conference at RMIT University.
Artists include: Godwin Bradbeer, Mike Parr, Mandy Martin, Bernard Sachs, Jon Cattapan, Hilarie Mais, Alan Mitelman, Pam Hallendal, Euan Heng, Helen Maudsley, Phillip Hunter, Jenny Watson, Deborah Klein, Wilma Tabacco and Jan Senbergs.
RMIT Gallery
RMIT, Storey Hall,
344 Swanston Street
Melbourne, 3000
Monday - Friday 11 - 5
Saturday 12 - 5.
The exhibition continues until Saturday, 26 June.
Image above:
Far left: Drawing by Jenny Watson; centre: participating artist Pam Hallandal; far right: Anonyme, 1998, linocut, 73 x 62 cm by Deborah Klein
Tuesday, April 6, 2010
Abby's birthday card...
Hello friends,
It's seems like forever since I've posted anything. I still have a thumb on the mend and it's slowing me down so much. It's absolutely driving me nuts! I was able to finish this card for my niece's second birthday. I used 3 images from the shop. "My Little Audrey" the chef, farm pantry and farm shelf. The papers are My Little Shoebox.
I hope everyone has a wonderful week and beautiful spring weather!
Tracey
One Cup Exhibition at Hand Held Gallery
Come along to Hand Held Gallery this Thursday (April 8th) between 6 and 8 pm for the opening of
One Cup
an exhibition of 48 teaspoons
by Melissa Cameron (Vic), Sandra Winkworth (Vic), Rachel Bell (N.Z), Jenny Meier (U.S.A/Guam), Lyndsay Reine (N.Z), Victoria Mason (Vic), Penny Peckham (Vic), Jill Hermans (Vic), Victoria McIntosh (N.Z), Soxy Flemming (Vic), Deborah Klein (Vic), Kate Wheeler (Vic), Anna Varendorff (Vic), Chloe Vallance (Vic) and Megan Herring (Vic).
Click HERE for a sneak peek. (Invitation designed by Megan Herring).
48 teaspoons measure one cup. My own two contributions to One Cup are pictured above. The images reflect my longtime interest in Elizabethan miniature portraiture and Victorian mourning and sentimental jewellery.
Top spoon: Eye, synthetic polymer paint on found teaspoon, 2010
Below: Braid, synthetic polymer paint on found teaspoon, 2010
The exhibition will continue throughout April.
Hand Held Gallery
Suite 18 (upstairs) Paramount Arcade
108 Bourke Street Melbourne, 3000
(03)9654 4006
www.handheldgallery.blogspot.com
Saturday, April 3, 2010
Menikmati Setan Berkepala Kelinci
TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Masa lalu yang hitam kelam tak selamanya terekspresikan secara buram. Perupa Oky Rey Montha Bukit alias Kyre, 24 tahun, mengungkap kisah getir masa lalunya justru dalam bentuk lukisan bergaya komikal dengan warna-warna cerah. Ekspresi kemarahannya dipersonifikasikan ke dalam figur kelinci yang lucu.
“Setan-setan Berkepala Kelinci” karya Kyre ini bisa disaksikan dalam pameran tunggalnya bertajuk Evorah (Evil of Rabbit Head) di Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta, mulai besok hingga 13 April mendatang. Tak hanya menampilkan belasan karya dua dimensi, Kyre juga menghadirkan karya tiga dimensi berupa kereta-kereta terbang bertanduk yang acap muncul dalam lukisan-lukisannya.
Mahasiswa semester VIII jurusan Desain Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, ini memang punya masa lalu yang kelam pada masa kanak-kanak saat masih tinggal bersama orangtuanya di Sumatera Utara. Sebagai anak sulung, ia harus kehilangan masa kanak-kanaknya untuk mengurus dua adiknya. Waktunya hampir habis untuk mengurusi kelinci, hewan piaraan adik-adiknya.
Tak hanya kehilangan masa kanak-kanak, Kyre juga sering mengalami kekerasan fisik. “Susah diceritakan sejauh mana kisah getir masa lalu saya. Yang jelas, sudah dalam bentuk (kekerasan) fisik,” katanya kepada Tempo.
Toh Kyre tak mau masa lalunya yang kelam itu muncul kembali ke atas kanvas. Pada karyanya yang berjudul Trip of Trap, misalnya, Kyre menghadirkan “setan berkepala kelinci” sedang mengendalikan kereta terbang bertanduk rusa dengan penumpang seorang gadis berkacamata. Kereta itu melintas di atas ombak menuju sebuah jebakan. Meski terasa getir, bentuk visualnya tetap terasa indah dengan pilihan warna-warna cerah.
Juga karya lain, Between Luck, Faith, and Dangerous yang mengisahkan tentang pertarungan hidup yang berbahaya, namun tetap indah dipandang. “Meski setan, kalau berkepala kelinci akan tereduksi wujud dan watak seramnya. Mungkin itulah yang akan dikatakan Kyre bahwa dirinya tetap manis, lucu, menggemaskan bak kelinci meski menyimpan nafsu seram,” tulis kurator Soewarno Wisetrotomo dalam katalog pameran.
Ihwal lukisannya yang terkesan ceria dengan pilihan-pilihan warna cerah, Kyre punya pengakuan tersendiri. “Saya ingin menciptakan dunia baru. Boleh dikatakan pelarian saya dari kenyataan,” ujarnya menjelaskan.
Menurut kurator Soewarno Wisetrotomo, karya-karya dengan genre komik seperti yang dilakukan Kyre ini sebenarnya sudah banyak dilakukan perupa lain, baik di dalam negeri seperti Bambang Toko Wicaksono, Uji Hahan Handoko dan Terra Bajraghosa, maupun perupa luar negeri seperti Bae Yoo Hwan dari Korea serta Jinten Tukral dan Sumir Tagra dari India. Namun, apa kata Kyre tentang pilihan gaya komikalnya? “Sejak kecil saya menikmati komik, menikmati kisah-kisah yang tidak nyata,” katanya.
Evil of Rabbit Head, tulis Soewarno Wisetrotomo dalam kuratorial pameran, adalah ekspresi umpatan, ledekan, gumam, dan gurauan Kyre menyikapi masa lalunya yang getir dan kelam. “Evorah (Evil of Rabbit Head” juga menjadi judul sebuah novel karya Sukma Swarga Tiba. Novel 33 halaman kwarto ini juga bertolak dari riwayat Kyre. Sukma Swarga Tiba tak lain adalah pacar Kyre.
Heru CN
“Setan-setan Berkepala Kelinci” karya Kyre ini bisa disaksikan dalam pameran tunggalnya bertajuk Evorah (Evil of Rabbit Head) di Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta, mulai besok hingga 13 April mendatang. Tak hanya menampilkan belasan karya dua dimensi, Kyre juga menghadirkan karya tiga dimensi berupa kereta-kereta terbang bertanduk yang acap muncul dalam lukisan-lukisannya.
Mahasiswa semester VIII jurusan Desain Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, ini memang punya masa lalu yang kelam pada masa kanak-kanak saat masih tinggal bersama orangtuanya di Sumatera Utara. Sebagai anak sulung, ia harus kehilangan masa kanak-kanaknya untuk mengurus dua adiknya. Waktunya hampir habis untuk mengurusi kelinci, hewan piaraan adik-adiknya.
Tak hanya kehilangan masa kanak-kanak, Kyre juga sering mengalami kekerasan fisik. “Susah diceritakan sejauh mana kisah getir masa lalu saya. Yang jelas, sudah dalam bentuk (kekerasan) fisik,” katanya kepada Tempo.
Toh Kyre tak mau masa lalunya yang kelam itu muncul kembali ke atas kanvas. Pada karyanya yang berjudul Trip of Trap, misalnya, Kyre menghadirkan “setan berkepala kelinci” sedang mengendalikan kereta terbang bertanduk rusa dengan penumpang seorang gadis berkacamata. Kereta itu melintas di atas ombak menuju sebuah jebakan. Meski terasa getir, bentuk visualnya tetap terasa indah dengan pilihan warna-warna cerah.
Juga karya lain, Between Luck, Faith, and Dangerous yang mengisahkan tentang pertarungan hidup yang berbahaya, namun tetap indah dipandang. “Meski setan, kalau berkepala kelinci akan tereduksi wujud dan watak seramnya. Mungkin itulah yang akan dikatakan Kyre bahwa dirinya tetap manis, lucu, menggemaskan bak kelinci meski menyimpan nafsu seram,” tulis kurator Soewarno Wisetrotomo dalam katalog pameran.
Ihwal lukisannya yang terkesan ceria dengan pilihan-pilihan warna cerah, Kyre punya pengakuan tersendiri. “Saya ingin menciptakan dunia baru. Boleh dikatakan pelarian saya dari kenyataan,” ujarnya menjelaskan.
Menurut kurator Soewarno Wisetrotomo, karya-karya dengan genre komik seperti yang dilakukan Kyre ini sebenarnya sudah banyak dilakukan perupa lain, baik di dalam negeri seperti Bambang Toko Wicaksono, Uji Hahan Handoko dan Terra Bajraghosa, maupun perupa luar negeri seperti Bae Yoo Hwan dari Korea serta Jinten Tukral dan Sumir Tagra dari India. Namun, apa kata Kyre tentang pilihan gaya komikalnya? “Sejak kecil saya menikmati komik, menikmati kisah-kisah yang tidak nyata,” katanya.
Evil of Rabbit Head, tulis Soewarno Wisetrotomo dalam kuratorial pameran, adalah ekspresi umpatan, ledekan, gumam, dan gurauan Kyre menyikapi masa lalunya yang getir dan kelam. “Evorah (Evil of Rabbit Head” juga menjadi judul sebuah novel karya Sukma Swarga Tiba. Novel 33 halaman kwarto ini juga bertolak dari riwayat Kyre. Sukma Swarga Tiba tak lain adalah pacar Kyre.
Heru CN
Labels:
Media
Thursday, April 1, 2010
Pameran Seni Rupa EVORAH
Evil of Rabbit Head
Waktu: 01 – 13 April 2010
Tempat: Tujuh Bintang Art Space, Jalan Sukonandi No. 7, Yogyakarta
Masa lalu yang hitam kelam tak selamanya terekspresikan secara buram. Perupa Oky Rey Montha Bukit alias Kyre, 24 tahun, mengungkap kisah getir masa lalunya justru dalam bentuk lukisan bergaya komikal dengan warna-warna cerah. Ekspresi kemarahannya dia personifikasikan ke dalam figur kelinci yang lucu.
“Setan-setan Berkepala Kelinci” karya Kyre ini bisa disaksikan dalam pameran tunggalnya bertajuk Evorah (Evil of Rabbit Head) di Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta, mulai hari ini hingga 13 April mendatang. Tak hanya menampilkan belasan karya dua dimensi, Kyre juga menghadirkan karya tiga dimensi berupa kereta-kereta terbang bertanduk yang acap muncul dalam lukisan-lukisannya.
dari Tempo Interaktif
Waktu: 01 – 13 April 2010
Tempat: Tujuh Bintang Art Space, Jalan Sukonandi No. 7, Yogyakarta
Masa lalu yang hitam kelam tak selamanya terekspresikan secara buram. Perupa Oky Rey Montha Bukit alias Kyre, 24 tahun, mengungkap kisah getir masa lalunya justru dalam bentuk lukisan bergaya komikal dengan warna-warna cerah. Ekspresi kemarahannya dia personifikasikan ke dalam figur kelinci yang lucu.
“Setan-setan Berkepala Kelinci” karya Kyre ini bisa disaksikan dalam pameran tunggalnya bertajuk Evorah (Evil of Rabbit Head) di Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta, mulai hari ini hingga 13 April mendatang. Tak hanya menampilkan belasan karya dua dimensi, Kyre juga menghadirkan karya tiga dimensi berupa kereta-kereta terbang bertanduk yang acap muncul dalam lukisan-lukisannya.
dari Tempo Interaktif
Labels:
Media
Subscribe to:
Posts (Atom)